“tuang jang?”
“mangga..mangga pak”
Begitu serunya dengan mulut yang masih dipenuhi makanan, lantang tapi
belepotan menawarkan kepada saya nasi kuning yang tengah ia makan sebagai
pengganjal perut di pukul sepuluh pagi.
Sedangkan saya sendiri menjawab tawarannya sambil asyik di belakang
jendela bidik menangkap setiap gerakan dari figur unik yang saya temukan hari
itu di sekitar Jalan Arjuna Bandung.
Figur yang saya temui itu adalah pak Aang, seorang penggenjot becak
yang sudah 20 tahun lebih mencari nafkah di Bandung, khususnya di sekitaran
jalan Arjuna, Ciroyom dan Pajajaran, hampir seluruh warga sekitar sudah sangat
mengenalnya, ibu-ibu yang melintas pulang dari pasar pun sudah begitu akrab
menyapanya. Dandanannya yang nyentrik cukup mudah dikenali, dan menjadi daya
tarik orang yang lalu lalang.
Pak Aang hanyalah satu dari sekian banyak orang yang mencari
penghidupan dari menarik becak, satu moda transportasi yang sampai sekarang
masih digunakan di Bandung, namun sudah mengalami pergeseran fungsi. Memang sejatinya
becak dapat ditemukan pula di berbagai kota lainnya di Indonesia, bahkan di
luar negeri pun becak masih digunakan sebagai saran transportasi dengan
berbagai sebutan dan bentuk. Namun, semenjak saya kecil bentuk becak yang di
Bandung inilah yang saya kenali sampai saya beranjak dewasa dan mengunjungi
beberapa kota lain di Indonesia yang juga masih menggunakan becak.
Cirebon dan Yogyakarta adalah dua kota pertama yang saya sadari
memiliki bentuk yang berbeda dari becak di Bandung, selain warnanya yang lebih
sederhana dengan menggunakan 1-3 warna dan tempat duduk pada becak tersebut
agak sedikit miring sehingga pandangan sang penumpang mendongak ke langit ,
berbeda dengan becak di Bandung yang badan becaknya penuh warna dan gambar dari
cat lukis, serta kursi penumpang yang dibuat datar.
Selain di Indonesia beberapa kali saya melihat di layar kaca berbagai
bentuk becak dari penjuru dunia dengan bentuk yang unik, termasuk dari Jepang
dan Tiongkok yang cara menggerakkannya tidak dengan dikayuh, tapi ditarik
menggunakan tangan sambil dibawa berlari.
Dari berbagai macam tayangan yang saya amati, sebenarnya becak selalu
dijadikan moda transportasi wisata suatu kota di berbagai Negara, termasuk di
Bandung, tapi sudah sangat jauh berkurang peran wisatanya dibandingkan tahun
90-an, saat dimana masa kecil saya yang bertempat tinggal di Jalan Pagarsih
sangat menikmati berkendara dengan becak untuk berkunjung di pusat perbelanjaan
Kings Kepatihan Bandung. Warna becak yang sangat ramai begitu menarik mata saya
saat itu, serta perjalanan yang menyenangkan bersama orang tua saya kala itu,
yang saya ingat ketika ayah dan ibu saya mengajak untuk naik becak, artinya
mereka akan mengajak saya belanja di matahari Kings dan bermain berbagai wahana
permainan di lantai atas gedung tersebut.
Kembali kita melihat becak di Bandung masa kini, trend penggunaan becak
bergeser dari transportasi wisata menjadi transportasi multiguna yang condong
ke penggunaan komersial layaknya sebuah mobil pick up. Warna-warnanya yang
sudah pudar serta lokasi pangkalan yang lebih banyak di pasar, kini saya lebih
banyak melihat sebuah becak ditumpangi karung beras dan kangkung dibandingkan
ditumpangi manusia, bahkan sering saya melihat sebuah becak mengangkut bahan
bangunan seperti kerangka baja yang saya rasa ukuran dan muatannya akan
melebihi berat yang bisa ditanggung oleh sang penarik becak serta akan sangat
membahayakan pengguna jalan yang lain. Tak cukup sampai disitu pergeseran
fungsi yang dialami oleh becak di Bandung berkembang lebih signifikan dengan
mulai banyak bermunculannya Becak Motor, beberapa tukang becak mulai
memodifikasi becak mereka dengan menggabungkan motor yang mereka miliki untuk
memudahkan pekerjaan mereka mengangkut barang-barang besar, seperti seorang
tukang becak di daerah saya di pagarsih yang sekarang menggunakan becak motor
karena memiliki orderan tetap untuk mengantar kasur dan bed cover dari produsen
yang juga salah satu tetangga saya.
Pergeseran trend ini tidak terjadi begitu saja, hal ini terjadi Karena
tuntutan keadaan dimana para penduduk kota Bandung saat ini sudah memiliki
kendaraan pribadi masing-masing sehingga memilih berkendara sendiri dibanding
harus menggunakan jasa becak yang cenderung mahal serta lebih lambat, hal ini
dapat terlihat jelas bila kita melihat tingkat kemacetan di kota Bandung saat
ini dari jumlah kendaraan yang beredar.
Tahun lalu saya sempat mengunjungi kembali kota Yogyakarta, dan cukup
terkesan dengan apa yang saya lihat di jalan Malioboro, salah satu area
pariwisata paling populer bagi wisatawan yang datang ke Yogyakarta. Sepanjang
Jalan Malioboro berjejer rapi Delman dan Becak menunggu para wisatawan keluar
dari toko untuk mengantarkan mereka kembali ke hotel masing-masing, warna yang
menarik dan cat yang masih mengkilap di badan becak membuat para wisatawan
tanpa segan memakai jasa mereka.
Saya rasa ada peran pemerintah yang memiliki andil terhadap majunya
becak sebagai moda transportasi wisata di Yogyakarta, dapat saya lihat di Jalan
Malioboro, aparat hukum berdampingan dengan tukang becak dan delman di samping
jalan. Lain Yogya lain juga di Bandung, aparat dan tukang beca main
kucing-kucingan, selain membawa muatan berlebih yang membahayakan pengguna
jalan yang lain, seringpula saya hampir bertabrakan dengan tukang becak yang
berjalan melawan arah.
Dengan mulai bermunculannya tempat wisata baru di Bandung, dan
pembangunan kereta cepat Jakarta Bandung, Bandung menjadi salah satu destinasi
wisata favorite di Indonesia, namun akankah becak di kota Bandung dapat memulihkan
citra serta fungsi sebagai transportasi wisata dan mempertahankan eksistensinya?
Tentunya bukan hanya peran dari pemerintah kota saja yang ditunggu namun peran
aktif masyarakat dalam bentuk solusi kreatif layaknya peran ojek yang terangkat
belakangan ini.