Tour Kit dari Susur Jejak Spoorwegen

Manghev, jadi ayeuna teh moal tumpak kareta?” tanya saya kepada Mang Hevi.“Kumaha carana? Jalurna ge geus euweuh,” jawab Mang Hevi sambil tertawa geli. “Tong boro ka Ciwidey, nepi ka Kordon ge geus moal bisa atuh,” samber Mang Irfan yang juga ikut seuri. Dan saya baru sadar begitu bodohnya saya menyadari hal itu, seumur hidup di Bandung, mana ada orang ke Ciwidey naik kereta api, padahal bukan satu-dua kali saya ke daerah selatan Bandung. Anggap saja kelinglungan saya pagi itu disebabkan oleh pekerjaan yang super padat belakangan hari. Pantas saja titik kumpul tour kali ini bukan di stasiun kereta. By the way, dua orang yang berbincang dengan saya ini merupakan kawan saya dari Komunitas Aleut yang terlibat dalam “Susur Jejak Spoorwegen” yang diselenggarakan oleh MooiBandoeng. Imbuhan “mang” pada nama panggilan saya kepada mereka menandakan perbedaan usia yang harus dijaga.

Perjalanan baru, tentunya menghasilkan pengalaman dan perjumpaan dengan orang baru pula. Beberapa peminat sejarah, travel blogger, dan tanpa diduga seorang kawan yang sebelumnya hanya saya kenal melalui instagram dengan akun @chubycheek. Hari itu saya baru tahu kalau nama aslinya Retno. Itupun karena Bang Ridwan dari MooiBandoeng memperkenalkan akun instagram saya kepada peserta tour lainnya di mobil elf. Retno datang bersama kawannya Juan,seorang travel blogger yang dipanggil sesuai pelafalan Bahasa Indonesia yaitu “Juan”, bukan “Yuan” ataupun “Khuan.”
Sesi perkenalan hangat dan sedikit cerita dari Bang Ridwan tentang kawasan Buah Batu era 80-an membuat perjalanan kami tak begitu terasa, hingga kendaraan berhenti di sebuah area lapang dengan bangunan hijau bertuliskan Stasiun Barat Desa Banjaran. Stasiun yang tentunya kini sudah tak terlihat kereta api terparkir di pelatarannya. Di dekatnya hanya ada sebuah gudang tua dengan besi-besi yang menonjol dari balik jalan, menandakan jalan di kampung ini dibangun di atas rel. Yak, semenjak jalur kereta ke arah selatan Bandung mati, orang-orang pun mulai mendirikan peradaban di atasnya.
Bangunan Stasiun Banjaran yang Kini Menjadi Balai RW

Rintik hujan mulai turun seiring dengan penjelasan Manghev yang bertindak sebagai pemandu bersama Manglex pada tour kali ini. Kami pun enggan berlama-lama  berdiri di stasiun Banjaran, karena masih banyak titik tujuan yang harus kami datangi. Dan destinasi ke-2 adalah Jembatan Kereta Api Sadu yang cukup populer dijadikan sebagai tempat berfoto karena dapat terlihat langsung dari jalan yang menuju ke Ciwidey. Kedatangan saya ke Jembatan Sadu bukan yang pertama, karena sebelumnya, saya pun pernah mengunjungi jembatan ini bersama Komunitas Aleut pada tahun 2016, persis dengan nuansa cuaca yang sama, yaitu hujan ringan disertai kenangan. Yak, maksudnya  kenangan saat berkunjung ke mari.

Jembatan Sadu ini tak begitu lebar, dan tak memiliki besi pengaman di sampingnya. Bagi yang takut ketinggian, mungkin akan merasa “degdegser” saat berjalan melintasinya. Beberapa kawan pun lebih memilih untuk menikmati gorengan dan secangkir kopi di warung. Tentunya berbeda dengan penduduk sekitar yang dapat menaklukan jembatan ini dengan mudahnya, bahkan dapat sambil mengendarai kendaraan roda dua. Kami menghabiskan waktu sedikit lebih lama di jembatan ini untuk memberi waktu bagi yang ingin berfoto, melihat-lihat kode yang tertera di rangka besi jembatan, serta menghabiskan gehu di tangan kanan.

Setelah dari Jembatan Sadu, kami bergerak menuju Jembatan Kereta selanjutnya, yaitu Jembatan Rancagoong. Desain bagian rangka besinya sama persis dengan Jembatan Sadu. Namun yang membedakannya adalah sebuah jembatan batu yang dibangun di sebelahnya. Pemandangan yang dapat dilihat di sini pun cukup memanjakan mata. Ada sebuah terasering di salah satu sisinya dengan hanya satu petak sawah yang ditanami. Karena penasaran dengan bagaimana bentuk jembatan ini secara utuh, maka kami pun turun ke bawah jembatan, mendengar cerita dari Manghev, mengambil beberapa foto, dan berbincang dengan petani yang sedang bekerja di bawahnya.

“Tos aya genep mah ti luhur dieu,” celetuk seorang petani saat saya meminta izin melintas. Saya pun menghentikan langkah dan bertanya balik karena penasaran, “ Genep naon bu? Jalmi? Luncat?” “Muhun, mineng di dieu mah,” jawabnya. Mendengar cerita beliau, saya pun sedikit bergidik. Rupanya jembatan ini tak kalah pamornya dengan Rooftop Pasar Baru di Bandung sebagai tempat mengakhiri hidup. Saat akan kembali naik, Manghev menunjukkan desain jembatan batu yang dibuat sangat rapi untuk ukuran konstruksi zaman dulu. Dari garis yang membentuknya memang sangat berbeda bila dibandingkan dengan konstruksi batu zaman sekarang, garisnya terlihat dikerjakan dengan detail dan sangat estetis.

Untuk ukuran pegawai korporat yang sudah jarang berolahraga, naik kembali ke atas jembatan Rancagoong ini sudah dapat dihitung sebuah aktivitas hiking yang cukup membuat bunyi nafas layaknya motor yang 6 bulan belum di-service, begitu kepayahan. Kami pun bergegas pergi ke titik berikutnya, namun kali ini bukan karena hujan yang turun, namun karena perut yang sudah meraung. Kami berhenti sejenak untuk men-charge daya gadget dan tubuh, untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke bekas Stasiun Ciwidey yang memiliki sebuah turn table yang masih dapat dijumpai di tengah perkampungan. Awalnya saya agak bingung saat diceritakan ada turn table di sini, dikarenakan turn table dalam imajinasi saya merupakan sebuah alat yang digunakan DJ untuk memutar piringan. Dan rupanya turn table ini merupakan sebuah alat untuk memutar balik kepala kereta api.

Saat akan beranjak ke lokasi terakhir yaitu Jembatan Kereta Kabuyutan, kami ditawari untuk berkunjung sejenak di Perkebunan Teh Rancabali yang pada kesempatan tersebut luar biasa berkabut. Perkebunan teh ini merupakan salah satu atraksi wisata yang digemari wisatawan dikarenakan polanya yang dibuat unik dan tentu menjadi  objek yang instagrammable. Setelah mengambil beberapa foto, kios jagung bakar di samping jalan raya pun menjadi pilihan untuk menghangatkan diri. Hujan yang kembali turun dengan lebih deras dari sebelumnya seolah menjadi tambahan kenikmatan sendiri saat menyantap jagung yang fresh diangkat dari panggangan arang.

Hujan reda, kami pun berangkat ke lokasi Jembatan Kabuyutan berada. Selain Jembatan Sadu, Jembatan Kabuyutan ini juga cukup populer di jagad instagram. Hanya saja sedikit lebih menyeramkan untuk berfoto di sini, karena bagian tengah jalannya tak dibangun apa-apa, masih dibiarkan seperti aslinya.  Namun tetap saja, beberapa kawan rela menguji nyalinya untuk berfoto di sini.


Dari perjalanan ini, saya jadi membayangkan, andai saja jalur kereta ini benar-benar masih aktif, perjalanan wisata ke Ciwidey tentu tidak akan semacet seperti yang banyak dikeluhkan wisatawan. Daripada bermacet ria di jalan, tentu para wisatawan akan lebih banyak memilih naik kereta. Bagi saya pribadi, perjalanan berkereta selalu lebih menyenangkan. Duduk di samping jendela sambil melihat bagaimana pemandangan dengan cepat terus berganti, sungguh dapat menjadi kegembiraan tersendiri. Namun tentunya yang sudah lama hilang akan sulit untuk kembali, tapi bukan berarti tak dapat direnungi. Karena masa sekarang ada karena masa lalu, dan tidak akan ada masa sekarang kalau tidak ada masa lalu.

Kopi Toko Djawa
Dari pakaiannya, jelas ia seorang siswi sekolah menengah atas. Dengan sedikit ragu, ia kemudian berjalan mendekati dan menyapa seorang pria yang sedang berdiri di sebuah toko buku. Dari raut wajah keduanya yang tersipu, tersirat ada sebuah rasa yang lama tertimbun telah melampaui batas waktu. Begitulah salah satu cuplikan adegan populer yang ditayangkan oleh stasiun televisi swasta SCTV, tiap kali akan menayangkan sebuah program bertemakan keluarga. Toko buku yang menjadi latar dari adegan tersebut adalah Toko Buku Djawa yang terletak di Jalan Braga, Bandung. Namun, menjadi tontonan keluarga Indonesia selama-bertahun-tahun tak menjamin toko buku tersebut kemudian menjadi laris manis diserbu para turis. Karena yang diburu orang yakni hanya bagian luar toko bukunya saja yang lalu banyak dijadikan latar untuk tempat berfoto. Toko Buku Djawa pun resmi tutup usia pada tahun 2015 silam, sampai akhirnya bereinkarnasi menjadi Kopi Toko Djawa. Dari yang menjual aksara, kini menawarkan cita rasa.

Dari tampilan luar, nyaris tak ada yang berubah dari saat sebelumnya menjadi Toko Buku Djawa. Bangunan yang sama, jenis font nama yang sama, jendela dan pintu yang sama, hanya saja aktivitas di dalamnya yang berbeda. Gaya interior ala coffee shop modern nampak sangat terasa di setiap sudutnya. Namun, ukuran ruangannya sendiri tak begitu besar. Untuk dapat menikmati secangkir kopi sambil larut dalam sebuah perbincangan, hanya tersedia sebuah meja panjang untuk 10 orang di pojok ruangan dan sebuah meja kecil di sampingnya khusus untuk yang berpasangan. Adapun spot lainnya hanya tersedia dua bangku panjang yang sebenarnya cukup nyaman untuk duduk santai, tapi tidak memiliki meja terpisah untuk menyimpan kopi dan cemilan. Beberapa buku dan majalah tersedia di setiap tempat duduk, namun saya rasa bukan tipe-tipe buku ideal untuk dibaca, tapi tipe buku yang cukup manis untuk dibingkai dalam feed instagram bersama secangkir kopi.
Suasana di dalam Kopi Toko Djawa

Menu yang ditawarkannya pun sebenarnya tak begitu jauh berbeda dari coffee shop yang lain, masih seputar espresso,  cappuccino, serta latte dan beragam modifikasi rasanya. Kopi Toko Djawa mengklasifikasikan jenis-jenis kopi tersebut masuk ke dalam “Kopi Mewah,” dengan harga yang sebenarnya cukup wajar. Justru menu yang menarik perhatian saya ada di dalam kolom “Kopi Biasa.” Ada menu Es Kopi Susu dan Es Kopi Susu Toko Djawa. Karena memang cuaca Bandung yang belakangan hari sedang panas-panasnya, saya rasa menu-menu minuman dingin ini akan sangat tepat. Es Kopi Susu Toko Djawa kemudian menjadi pilihan saya, sebab biasanya menu dengan embel-embel nama toko selalu memiliki racikan yang istimewa. Selain Es Kopi Susu Toko Djawa, menu unik lainnya ada kopi yang dicampur dengan air kelapa. Saya pun sebenarnya sempat ingin memilih menu tersebut, namun sayangnya material air kelapanya sedang tidak ada.
Pembuatan Kopi di Kopi Toko Djawa

Tak lama kemudian, Es Kopi Susu Toko Djawa pun telah hadir di meja bersama sebuah cheese croissant hangat yang saya pilih sebagai pendamping. Jadi, alasan mengapa nama menu ini disebut Es Kopi Susu Toko Djawa, dikarenakan gulanya sendiri menggunakan gula Jawa yang telah dicairkan, sama seperti yang digunakan pada cendol. Kemasannya pun menggunakan gelas plastik yang sering digunakan oleh minuman-minuman yang dijual di mall, lengkap dengan label nama Kopi Toko Djawa yang berkesan vintage. Bagi saya, minuman ini cukup berkesan. Rasa gula Jawa cairnya memberikan kesan tradisional pada kopi ini. Sedangkan untuk cheese croissant-nya sangat renyah namun berisi, tak hanya sekedar croissant yang kalau dalam bahasa Sundanya itu ngeprul. Apalagi harga croissant ini hanya Rp.15.000 saja, cukup murah bila dibandingkan dengan cemilan pendamping kopi yang biasanya mencapai harga di atas Rp. 20.000.
Es Kopi Toko Djawa dan Cheese Croissant


Secara keseluruhan, konsep yang disajikan oleh Toko Kopi Djawa ini cukup menarik. Karena tempatnya yang tak terlalu besar, maka ia menawarkan konsep coffee shop on the go. Jadi, walaupun tersedia beberapa kursi dan cangkir untuk dine in, Toko Kopi Djawa menyediakan juga kemasan-kemasan yang mudah dibawa jalan-jalan. Selain itu, penggunaan atribut yang masih memiliki kesan yang lekat dekat Toko Buku Djawa memberikan perasaan yang menyenangkan bagi saya yang sebelumnya cukup akrab dengan Jalan Braga.
Kopi Toko Djawa