Mulai dari penemuan bahtera Nabi Nuh di Turki, pemalsuan kematian Michael Jackson, hingga pembuktian kalau Neil Armstrong tidak pernah mendarat di bulan, saya menikmati pembahasannya bagaikan nonton marathon Star Wars, ataupun trilogy Back To The Future. Tapi ya, sebatas itu saja. Sebagai penggemar cerita fiksi, saya menyukai kisah misteri dunia, dan teori konspirasi hanya sebagai teman bagi secangkir kopi, dan sebungkus keripik setan yang padahal sudah pasti kombinasi tersebut bikin mondar-mandir ke kamar mandi pada dini hari.



Teori konspirasi bisa menyasar liar tentang apapun yang terjadi tanpa adanya batasan. Termasuk bahasan soal Covid-19 yang tengah menjadi pandemi global saat ini. Jauh sebelum pasien Covid 01 diumumkan pemerintah RI pada 2 Maret 2020, saya sudah mendengar, dan membaca banyak berita tentang teori konspirasi Wuhan dan Corona. Mulai dari pernyataan kalau virus Corona cepat menyebar karena ditransmisikan oleh teknologi 5G, atau virus Corona diciptakan Amerika Serikat melalui Bill Gates untuk merusak perekonomian China, hingga yang paling terbaru adalah virus Corona ini merupakan kebohongan yang diciptakan para pemerintah di tiap Negara, dan elite global untuk menebar ketakutan bagi masyarakat dunia agar tetap tunduk kepada penguasa.

Untuk pertama kalinya, saya agak kurang menikmati mendengar teori konspirasi yang menyebar tentang corona saat ini, dan malahan merasa sangat resah. Apalagi teori ini diberitakan oleh banyak media besar, dan dibahas langsung secara terbuka oleh banyak public figure yang mempunyai pengaruh. Alasannya, selain karena memang hal yang dibahas berhubungan langsung dengan kehidupan yang saat ini sedang dirasakan, hal ini bisa membuat banyak orang lengah atas keadaan yang terjadi.


Beberapa hari lalu algoritma youtube merekomendasikan sebuah video tentang teori konspirasi Covid-19 yang didiskusikan oleh Deddy Corbuzier dan Young Lex di beranda. Setelah saya tonton pada menit ke-5, video berdurasi total satu jam delapan menit ini sudah bisa saya tebak arah rantai logikanya seperti apa. Polanya sama dengan kebanyakan teori konspirasi yang kurang cukup bukti, dan tanpa diriset dengan literasi, yaitu bermula dari frasa “what if?” yang lahir dari dugaan karena kejadian, kemudian di-highlight dari hanya dari sisi eksotismenya belaka.

Kalau disampaikan dengan sebuah rangkaian argumen yang baik, mungkin tidak masalah. Tapi dari yang saya ikuti, bahasan mereka ini sangatlah berbahaya, karena tidak dipaparkan dengan sebuah narasi yang baik.

Malah saya menangkap kesan, kalau video tersebut hanyalah untuk kebutuhan entertainment. Walaupun mereka berulang kali mengungkapkan kalau hal ini hanyalah imajinasi, dan obrolan kosong semata, tapi cukup banyak orang yang sepertinya jadi sangat terpengaruhi. Hal ini bisa saya simpulkan dengan men-skimming ratusan dari ribuan komentar yang masuk, dan membuka kelengahannya. Teori dengan narasi "Corona itu tidak ada", tentu sangatlah berbahaya.

Baca juga: Sebuah Upaya Untuk Tetap Waras : Catatan Kuncitara #1

Dalam videonya tersebut, mereka mempertanyakan pula soal banyaknya pasien meninggal di masa pandemi yang rata-rata juga memiliki komplikasi penyakit lain di luar Corona, lalu divonis meninggal karena Corona. Padahal bisa saja faktor meninggalnya bukan karena Corona, tapi karena penyakit lain yang sudah lama dideritanya. Hal inilah yang mendasari pernyataan bahwa Covid-19 merupakan konspirasi elite global untuk mempertahankan kekuasaannya dengan menakuti masyarakat. Seiring dengan keberadaan kasus seperti itu, pernyataan instan mereka tentu saja tidak salah, tapi tidak juga bisa dibenarkan. Karena hal tersebut hanya diasumsikan melalui beberapa kasus saja yang mereka ketahui, yang disimpulkan dalam hitungan menit, bukan sebuah cara riset yang baik.

Beberapa akun berkomentar membenarkan kasus-kasus yang diceritakan benar terjadi, dan menimpa pada orang-orang terdekat mereka. Namun ada juga sebetulnya komentar yang menyatakan justru mengalami hal yang sebaliknya. Kalaupun ada di beberapa tempat terjadi kematian yang kemudian diperlakukan salah oleh petugas, atau orang di sekelilingnya, bukan berarti keseluruhan kasus tersebut bisa langsung disimpulkan demikian. Maka dari itulah, agar tidak menghasilkan keputusan dengan hasil lebih akurat, di dunia ini ada hal yang disebut dengan “penelitian”. Tak harus yang berprofesi sebagai ilmuwan yang bisa mengerti pentingnya riset untuk memutuskan sesuatu. Setiap individu di dunia ini sebetulnya kan melakukan banyak riset dalam hidupnya masing-masing, mulai dari barang dagangan apa yang harus dijual dalam aktivitas usaha mereka, hingga jalan yang harus ditempuh agar tidak macet untuk pergi bekerja. Mereka yang sukses menemukan jawaban dari setiap permasalahannya adalah mereka yang menganalisa hasil, dari berulang kali percobaan dengan beragam cara dan variabel tertentu.

Baca juga: Siasat Mengajarkan Ibu Soal Corona : Catatan Kuncitara #2

By the way, dua minggu lalu pun tetangga yang ada di sebelah tempat tinggal saya meninggal dunia secara mendadak dalam tidurnya. Dalam kondisi seperti ini tentu menjadi keresahan keluarga, ataupun kami, tetangganya, apakah akibat Covid-19 itu atau bukan. Hal ini pun dipertanyakan pula oleh pihak RT/RW setempat, dan pengurus tempat pemakaman di mana ia akan dikuburkan. Tapi dari pihak keluarganya kemudian bisa menyediakan surat pertanyaan tegas baik dari mereka sendiri, maupun dari dokter yang langsung melakukan pemeriksaan, bahwa ia meninggal karena komplikasi radang otak yang dideritanya. Ia pun kemudian dimakamkan dengan cara normal. Jadi, sekali lagi, tidak bisa sebuah kasus atau kesalahan penanganan pasien sakit kemudian digeneralisasikan menjadi sebuah fenomena umum.

Lalu, kenapa sih banyak orang yang mudah saja percaya dengan adanya teori konspirasi yang tak berdasar sebuah penelitian terstruktur? Kalau saya pribadi menganggap hal ini terjadi ya karena sebagian masyarakat kita ini adalah masyarakat yang iliterasi, kurang membaca, dan tidak mau melakukan pemahaman mendalam terhadap suatu hal. Mereka mencari sebuah jawaban cepat dari masalah-masalah yang dialami saat ini. Ya, karena turunnya pendapatan, stress karena pembatasan aktivitas, sampai mungkin karena duka yang sedang dialami. Alhasil mereka butuh sebuah pembenaran atau shortcut yang kemudian mereka dapatkan dari ucapan kedua orang youtuber tersebut, ataupun media lain yang membahasnya. Mereka sudah berhasil memengaruhi sisi emosi kita. Kalau sudah hati yang bermain, maka ucapan kalau “ini hanya imajinasi, dan ucapan omong kosong” pun tidak akan diingat dan didengar.

Bila teori soal "Corona ini tidak pernah ada" ternyata benar, lalu apa? Apa kemudian hanya menjadi kebanggaan semata? Seperti yang disebutkan Young Lex di akhir video. 

Reaksi saya terhadap teori konspirasi Covid-19 ini agak berbeda saat saya menyaksikan diskusi live tentang teori konspirasi antara dr. Tirta, dan Jerinx SID pada Rabu, 29 April. Karena keduanya lebih meriset apa yang diucapkannya. Dua jam diskusi tak hanya menghasilkan kesepahaman antara dua pribadi yang sebelumnya berbeda pendapat, tapi juga memberikan sebuah insight bagi para penontonnya. Keterbukaan input terhadap data yang saling mereka bagikan, menjadikan perbincangan lebih bergizi, dan yang pasti berbicara dengan empati. Bukan sekadar obrolan ngaler-ngidul penuh imajinasi, yang kemudian dapat berdampak buruk terhadap publik yang menyaksikan. Walaupun kemudian beberapa hari berikutnya, pernyataan Jerinx kembali sedikit ramai diperbincangkan karena semakin ngawur, dan tak berdasar.

Suka teori konspirasi boleh-boleh saja, asalkan jangan sampai kemudian jadi kehilangan kepekaan terhadap hal lain yang mungkin berakibat terjadi di sekitar. Dan yang paling dasar adalah lakukan literasi sebisa mungkin sebelum kemudian memutuskan sesuatu itu benar atau salah. Tidak ada jalan singkat menuju kebenaran yang akurat. Ini kan prinsipnya sama saja dengan hoax yang sering kita terima di grup-grup WA. Saat mendapat sebuah berita yang sepertinya terasa mind blowing, tonton dan bacalah sumber lain, diskusi, lakukan pencarian dari lebih banyak sudut pandang. Jangan biarkan kebenaran yang kita percaya berada di sebuah gelembung bias. Kita percaya, karena kita hanya ingin percaya bahwa itulah jawabannya. Kumpulkan data, bandingkan, pelajari, barulah putuskan. Jangan mau terjebak dengan bahaya laten budaya iliterasi yang hanya inginkan jawaban cepat.

Bicara soal Charles Darwin sebetulnya tidak harus melulu membahas teorinya yang mengatakan manusia berasal dari monyet yang menuai banyak kontroversi. Karena di sisi lain, ia mengungkapkan istilah “natural selection” yang saya rasa memang betul terjadi kok. Dalam teorinya Darwin mengatakan bahwa “bukan species terkuat yang akan bertahan hidup, bukan pula yang paling pintar, tapi dia yang paling responsif terhadap perubahan.” Teori ini kemudian dihubungkan oleh Herbert Spencer dengan teori ekonomi miliknya dan melahirkan istilah baru yang ia sebut “survival of the fittest.”



Rasa-rasanya “survival of the fittest” cukup relevan dengan kondisi pagebluk Corona seperti sekarang. Ngomong-ngomong, belakangan baru saya tahu kalau “pagebluk” itu merupakan kata dari Bahasa Jawa yang sudah resmi terdaftar di KBBI, dan dapat dijadikan padanan kata untuk “wabah”.

Tak butuh waktu lama dari hari-hari awal imbauan social distancing di Indonesia, beberapa kawan sudah sigap menghadapi potensi penghasilan yang mungkin hilang karena Corona dengan menyediakan Covid Starter Kit, yang berisikan masker, sanitizer, hingga termometer tembak. Padahal kalau saya ingat, minggu sebelumnya mereka-mereka ini masih fokus bekerja sebagai marketing cafe, sales mobil, wedding organizer, dsb. Tapi memang mereka inilah contoh manusia terbaik yang mengamalkan survival of the fittest. Mereka tahu seninya hidup di masa pagebluk.

Nah yang sudah bertahan ini, tentunya lama-lama bukan sekadar hidup, tapi juga berkembang biak, dan malah berevolusi. Dari yang tadinya cuma jual masker kain biasa, kini maskernya sudah bermotif, atau bahkan bersablon lucu atau berbentuk unik dengan tambahan kuping, dan hidung boneka. Alhasil, pemandangan anak-anak yang berlarian depan rumah dengan masker kucing, atau macan menjadi the new normal pula bagi saya. Selain itu, kini tak sulit untuk membeli barang-barang ini, cukup jalan sedikit ke jalan raya, yang jual sudah ada. Atau tinggal pilih saja salah satu dari deretan kontak status Whatsapp yang ada. Selain berjualan masker, beberapa di antaranya malah kini sudah bertindak sebagai sebagai pedagang “Palugada” (apa yang lu mau gua ada).

Baca juga: Sebuah Upaya Untuk Tetap Waras: Catatan Kuncitara #1

Mungkin sebetulnya, tak perlu jauh-jauh bicara soal orang lain, tempat saya bekerja pun kini sudah mengalokasikan sebagian supply-chain untuk memproduksi APD, dari yang sebelumnya fokus membuat perlengkapan traveling. Bukan APD biasa tentunya, tapi APD yang selain memenuhi standar WHO, juga dapat digunakan berulang-ulang, hingga dapat bertahan lebih dari 20 kali proses sterilisasi dingin. Setidaknya, APD ini dapat mengurangi dana yang keluar oleh rumah sakit untuk penggunaan APD sekali pakai. Jasa pembuatan APD ini pun kemudian dapat saya jumpai melalui berbagai iklan brand lainnya yang cukup banyak berseliweran di kanal instagram.

Di samping sektor bisnis fashion, industri food & beverage dan pariwisata yang dapat dibilang sektor yang paling terkena dampak Corona pun harus memodifikasi layanannya dengan membuat penawaran produk yang lebih kreatif, dan adaptif. Contohnya saja seperti beberapa hotel yang membuka paket menginap satu bulan dengan harga super hemat, serta deretan coffee shop yang kini menjual kopi kemasan dengan ukuran botol literan. Produk ini menangkap kebutuhan pelanggan setianya yang ingin ngopi, tapi tidak diperkenankan berkurumun, dan tidak keluar rumah. Lalu ada juga jasa kirim sayur dan buah yang kian marak.

Pada masa pagebluk ini, mungkin saya dapat dibilang cukup beruntung, karena perusahaan tempat saya bekerja tidak sampai memberlakukan unpaid leave bagi karyawannya. Adapun saya dan kawan-kawan lainnya dirumahkan untuk kemudian tetap meneruskan rutinitas dengan sistem work from home. Hal ini dapat terwujud, ya.. karena memang bentukan aktivitas kerjanya memungkinkan.

Baca juga: Siasat Mengajarkan Ibu Menghadapi Corona : Catatan Kuncitara #2

Namun, berbeda halnya dengan yang dialami adik saya yang bekerja di sebuah hotel di kawasan Jatinangor. Begitu situasi darurat Corona diumumkan Negara, tingkat okupansi pun menurun drastis hingga mendekati nol. Dua hari kemudian, ia dirumahkan hingga saat ini. Sedikit banyak, akibatnya pun sebetulnya bisa saya rasakan. Bila diibaratkan keluarga kami selama ini adalah sebuah sepeda yang berjalan dengan dua roda, kini sepedanya harus dimodif agar bisa berjalan dengan satu roda saja. Masih aman, tapi cukup bikin ketar-ketir.

Sebetulnya saya sendiri memiliki dua jalur penghasilan. Selain bekerja, saya menjalankan bisnis online yang kurang lebih sudah berjalan selama setahun ke belakang. Akan tetapi, karena barang yang saya jual bukan kebutuhan primer, maka ambyar sudah kanal penghasilan tambahan saya. Dari yang Februari lalu bisa menghasilkan minimal tiga penjualan per hari, kini bahkan tak sanggup menggapai angka tersebut menginjak pekan ke-3 April. Saya rasa hal ini pun berlaku pada kawan-kawan lain yang berjualan barang-barang kebutuhan sekunder. Kini semua potensial customer kami lebih prefer untuk spend uangnya di kebutuhan pokok, dan tentunya untuk Covid Starter Kit. Sisanya akan sangat mungkin untuk ditabungkan sebagai dana jaga-jaga.

Krisis ekonomi karena Covid yang terjadi hari ini, tentu berbeda dengan krisis moneter yang pernah dialami Indonesia sekitar dua dekade silam. Bila saat tahun tersebut ayah saya masih bisa berhasil mengakali tambahan penghasilan dengan mengajar Bahasa Inggris di beberapa tempat kursus, kini saya yang mengambil alih peran beliau di keluarga, sedikit kebingungan mencari sampingan yang tepat. Karena pembatasan aktivitas tentunya.

Segini saja sudah bingung ya? Padahal ini masih belum seberapa dengan para pekerja, dan pedagang yang memang kolam nafkahnya berada di luar rumah. Bagaikan buah simalakama yang bentuknya baru saja iseng saya googling yang ternyata mirip jambu atau terong Belanda. Bila keluar rumah berisiko terpapar Corona, sedang bila diam di rumah, mereka tidak bisa memperjuangkan isi perut keluarga. Sedangkan bantuan pemerintah pun tentu butuh proses yang tak sebentar, dan harus menghadapi beragam rintangan yang mungkin terjadi di lapangan. Bukan bermaksud suudzon, tapi ya semoga saja dalam kondisi seperti ini tidak terjadi. Ya memang  di negeri kita ini, jangankan berbentuk uang tunai atau sembako, Es Krim mevvah nan viral Viennetta saja bisa jadi objek meraup keuntungan lebih bagi segelintir orang.


Soal Viennetta, beberapa hari terakhir lini masa twitter saya sempat diramaikan oleh kabar dari food vlogger Awi Rachma yang berhasil mengungkap penimbunan es krim ‘kesenjangan sosial’ itu di beberapa mini market. Itulah kenapa sangat sulit menemukan produk tersebut di rak pajangan freezer Walls. Karena stocknya disembunyikan di bagian bawahnya. Saat ada pelanggan yang berhasil menemukannya, dalih yang disebutkan petugas shift yang bersangkutan adalah bahwa es krim ini sudah dibeli oleh pegawai. Ya memang tidak salah bila pegawai sendiri membeli produk yang dijual toko. Tapi ketika produk tersebut kemudian dijual secara online dengan harga 1,5-2 kali lipat lebih mahal, ini meninggalkan kesan yang buruk bagi brand di mata pelanggan. Bahkan pihak Walls yang tidak bersalah pun sampai membuat surat permohonan maaf untuk ini. Awalnya saya tidak begitu perduli, hingga saya melihat postingan lain dalam akun instagramnya, Awi juga berhasil membuktikan penimbunan masker dan antiseptic oleh seorang karyawan mini market. Tentu tidak semua pegawai mini market bertindak demikian, tapi cukup membuat saya berpikir soal ketiadaan produk antiseptic saat hari pertama social distancing diberlakukan. Walaupun sejujurnya, dalam skandal ini cara Awi memang agak kurang bersahabat di social media hingga memicu amarah paguyuban pegawai mini market se-Nusantara.

Karakter orang Indonesia tuh sebetulnya panjang akalnya dalam menghadapi kondisi seperti ini. Namun terkadang, sikap lebih ingat dengan perut sendiri pada sebagian orang, tanpa sadar seringkali melupakan etika, serta mematikan nurani. Inilah yang menyebabkan harga masker medis melonjak dengan harga tak masuk akal. Kalau ada yang menjual dengan harga reguler, eh..barangnya fiktif. Hal ini pun yang membuat pihak platform e-commerce kemudian menyeleksi ketat merchant-nya yang terindikasi penipuan. 

Baca juga: Bahaya Laten Iliterasi, Dan Teori Konspirasi : Catatan Kuncitara #4

Yang memiliki sisi buruk tak sedikit, namun yang masih punya hati untuk membantu sesama pun tak kalah banyak. Beberapa grup WA yang saya ikuti banyak yang bergerak secara kolektif mengordinir pengumpulan donasi untuk membantu saudara kita yang perekonomiannya kurang. Dukungan terhadap sesama pun tak melulu bersifat financial, tapi juga dapat berbentuk moril, atau sesederhana sebuah rekomendasi bisnis kawan yang satu dengan kawan lainnya.

Lama waktu kemungkinan krisis ini berlangsung tidak hanya menyakiti isi dompet, tapi juga dapat memukul kesehatan mental. Oleh karena itu, kehadiran kawan pun penting. 

Dari lapisan bawah, hingga ke atas, semuanya pun terdampak perekonomiannya. Hanya saja resistensi terhadap krisis yang berbeda, dan tentu cara untuk survival-nya pun berbeda. Namun kita selalu memiliki pilihan dalam bertahan hidup. Apakah akan menjadi sosok adaptif yang berjuang bersama kawan? Atau menjadi pribadi manipulatif yang memanfaatkan keadaan?


Entah istilahnya social distancing, ataupun physical distancing, mungkin ibu saya merupakan orang yang hingga saat ini kurang familiar dengan frasa tersebut, padahal keduanya teramat populer di masa menghadapi Corona ini.



Zaman sekarang memang semua orang dapat mengakses internet dengan mudah melalui perangkat gawai pribadinya, namun tidak demikian dengan ibu saya. Sejak terjun bekerja mengumpulkan pundi-pundi rupiah sendiri satu dekade silam, saya sudah berusaha mengenalkan teknologi telepon genggam ini kepada ibu. Akan tetapi, ponsel-ponsel yang pernah saya berikan hanya teronggok di sudut lemari kaca ruang tengah. Ujung-ujungnya saya jual kembali dengan harga yang pasti sudah terjerembab jatuh dari harga belinya.

Oleh karena itulah, ibu adalah orang di rumah yang memiliki resiko paling besar (amit-amit) tertular Covid-19, karena tidak banyak terpapar rentetan informasi mengenai virus yang menyerang pernafasan tersebut. Apalagi walau sebetulnya tak banyak jalan ke mana-mana, ia cukup sering berinteraksi dengan banyak orang. Hal ini dikarenakan ibu berjualan aneka jajanan di muka rumah.

Saya cukup bersyukur dengan pemberlakuan work from home dari tempat saya bekerja. Itu artinya, saya memiliki lebih banyak waktu untuk memastikan orang tua di rumah setidaknya mengikuti protokol yang disarankan WHO lewat pemerintah.

Baca juga: Sebuah Upaya Untuk Tetap Waras : Catatan Kuncitara #1

Hadirkan Sesuatu yang Tidak Biasa
Beberapa hari jelang work from home, hal pertama yang saya lakukan adalah memesan sejumlah perlengkapan ‘tempur’ yang memadai via platform online. Karena pada awal pemberlakukan physical distancing, cukup sulit menemukan alat-alat ini di luar. Dua lusin masker kain, dan satu liter hand sanitizer pun tiba tak lama setelahnya.

Memang dianjurkan untuk menggunakan sabun dan air yang mengalir untuk mencuci tangan. Tapi saya ingin coba menghadirkan sedikit pressure kepada orang rumah, dengan menempatkan sesuatu yang tak biasa di tengah-tengah rumah. Kalau hanya dengan meletakkan sabun saja di kamar mandi, saya rasa mereka akan sering lupa untuk menggunakannya.

“Mah, mamah pami kapaksa ka pasar meningan dianter ku Irfan weh, ulah dugikeun ka naek angkot pokona mah, diantosan di luar,” begitu saya bilang ke ibu saya. Selain karena memang penggunaan alat transportasi umum sangat rentan dengan penularan, lagi-lagi saya ingin menghadirkan sebuah “tekanan” halus pada ibu dengan melakukan hal yang berbeda. Karena biasanya saya hanya mengantar pada saat diminta, itupun seringnya ibu hanya minta diantar, tidak ditunggu. Karena tau biasanya saya harus meneruskan bekerja.

Setiap terdengar suara langkahnya yang khas, yang seperti selalu tergesa-gesa saat berjalan keluar rumah membuka pintu pagar, saya selalu bergerak mengejar dan bertanya “mah, mau ke mana?” Dengan begini, malah lama-lama justru ibu akhirnya bisa menerapkan strategi stock management, agar tidak harus sering-sering ke pasar. Begitupun ketika saya tidak merasakan keberadaan adik ataupun bapak saat di rumah, selalu saya tanyakan kepada Ibu. Padahal sebelumnya, saya tidak pernah sebawel ini. Saya yakin pada akhirnya, hal tak biasa yang saya lakukan sedikit-banyak memberikan penekanan bahwa situasi yang terjadi sekarang memang seserius ini.

Baca juga: Seni Hidup Di Masa Pagebluk : Catatan Kuncitara #3

Memberikan Contoh
Lalu bagaimana soal barang-barang tempur Corona yang sudah dibeli, apakah langsung ibu saya gunakan? Tentuu sajaaa tidaaak, hahaha. Setidaknya pada awalnya. Sampai harus saya contohkan terlebih dahulu dengan sesering mungkin mengambil botol sanitizer, dan membasuh tangan dengan gerakan yang banyak dicontohkan di konten social media. Sengaja, hal itu sengaja saya lakukan lebih sering pada saat ada ibu saja. Kalau sedang tidak ada, karena sedang ke toilet atau ke warung, sengaja saya tunggu sampai beliau kembali, baru saya pakai sanitizer-nya.

Siasat memberikan contoh terbukti sangat efektif untuk mengajarkan ibu untuk menghadapi Corona, tanpa harus menggurui. Karena walau bagaimanapun, manusia itu punya habit untuk tanpa sadar mengikuti sikap dari orang yang ada di sekelilingnya. Kalau dulu waktu saya belajar dari workshop selling sih, istilahnya namanya mirroring. Ilmu lama terpakai juga kan, hehe.

Lingkungan yang Suportif
Kedua cara tadi mungkin tidak akan mudah, jikalau personil lainnya di rumah tidak melakukannya. Untungnya bapak dan adik saya cenderung mudah diedukasi karena memang kegiatannya sehari-hari masih terhubung dengan teknologi informasi dari telepon pintar.

Di samping keluarga, pemerintahan RT/RW yang menaungi Gg. Mastabir pun terbilang sangat aktif dalam menyosialiasikan terkait tindakan pencegahan dari lingkungan rumah. Mulai dari beberapa spanduk peringatan physical distancing di  beberapa titik, penyemprotan cairan disinfektan ke halaman rumah setiap seminggu sekali, serta imbauan langsung yang dilakukan door to door.


Memasuki minggu keempat pemberlakuan darurat Corona di Bandung, Alhamdulillah, sudah tak ada lagi kawanan pemuda yang nongkrong depan rumah, dan kini hampir seluruh tetangga yang melintas depan rumah, atau membeli jajanan ibu saya pun selalu mengenakan masker. Ibu pun kini memegang teguh aturan, kalau warungnya hanya buka sampai maghrib saja. Agar tidak memancing kerumunan katanya. Toh, Indomaret saja tutup lebih awal. Walaupun dampaknya, revenue penjualan usahanya ibu tentu jadi jauh menurun. Tapi, yak, memang betul-betul seluruh aktivitas ekonomi saat ini memang terdampak karena pandemi ini.

Hoax Buster
Berbeda dengan ibu, bapak cukup banyak mendapat asupan informasi mengenai Covid-19 dari whatsapp yang sebetulnya nggak banyak-banyak amat grupnya. Masih rentan terpapar hoax, tapi relatif masih mudah dibujuk. Saya terbilang agak segan untuk mengirimkan chat informasi atau apapun di grup keluarga besar. Tapi kali ini, urgensi saya untuk ikut campur sangat tinggi. Mereka orang-orang tercinta yang sangat saya khawatirkan terkena dampak dari wabah ini.

Angka positif, dan mortality rate yang tinggi dalam jangka waktu singkat, tentu sangat mencemaskan. Saya tidak ingin membayangkan salah satu dari mereka sampai terjerat virus mematikan tersebut. Walau ada yang bilang semua sudah ada yang atur. Tapi kehilangan itu tak akan pernah lewat jalan yang mudah.

Biasanya sih untuk mengatasi kesalahan informasi di grup keluarga, saya akan mencari berita pembanding yang dapat meng-counter sebuah postingan hoax. Beberapa media tergolong cukup terpercaya sebagai hoax buster. Lalu ada juga beberapa tokoh panutan para boomer, yang sering saya jadikan pendapatnya sebuah senjata ampuh. Tapi tetap, pendapatnya pun harus dicek terlebih dahulu sih. Siapa tau ternyata tidak sejalan. Saya selalu posting langsung konten/tautannya, tanpa menyertakan pendapat pribadi. Karena saya yakin mereka akan lebih dapat menghargai pendapat orang-orang ahli yang mereka hormati.

Baca juga: Bahaya Laten Iliterasi, Dan Teori Konspirasi : Catatan Kuncitara #4

Sejujurnya, angka-angka yang di­-update setiap harinya kini semakin lama sudah terasa biasa. Tak lagi menakutkan, tak lagi kemudian membuat panik, atau sampai terasa men-tackle mental. Tanpa bermaksud menganggap rendah kehilangan sebuah nyawa. Karena justru sebaliknya, seperti yang sudah kita bersama ketahui, angka ini trennya sangat terlihat masih akan terus menaikkan kurva positif, seperti kebanyakan negara-negara lainnya di dunia. Ini sudah bukan pertempuran satu malam, tapi pertempuran jangka panjang yang akan sangat melelahkan semua pihak. Makanya, hal terpenting yang harus dilakukan adalah menjaga dulu diri, dan orang-orang terdekat yang kita cintai. 

Kondisi mungkin akan berbeda dengan kawan-kawan yang hidup terpisah dari orang tua, dan kini tak bisa langsung bertatap muka. Tapi akan selalu ada jalan. Bisa dengan mengirimkan kebutuhan sehari-hari, hingga perlengkapan untuk melindungi diri. Tak lupa sering-sering juga menelpon untuk mengingatkan. Berikan sedikit 'tekanan', dengan melakukan banyak hal di luar kebiasaan. Ingat, masih ada sebuah kehidupan yang harus dijalankan setelah wabah ini usai.




Psikosomatik katanya, istilah untuk reaksi kecemasan karena overthinking mulai memengaruhi kondisi tubuh. Rasa-rasanya sih itu sudah terjadi pada diri saya sejak imbauan tentang social distancing mulai digaungkan. Memang kadang tiba-tiba saja tenggorokan mulai terasa gatal, yang kemudian diikuti dengan 1-2 batuk kecil yang cukup membuat orang-orang dalam radius 5 meter melirik tajam penuh curiga.


Mau bagaimanapun, ketika rutinitas hidup mulai dipaksa berubah seekstrim ini, pelan-pelan hal tersebut mulai mengganggu jalan pikiran. Kata-kata “pakai masker”, “cuci tangan sesering mungkin”, “jangan salaman”, “jangan berkumpul”, “jaga jarak minimal 2 meter”, “kalau salat bawa sajadah sendiri”, dan “jangan keluar rumah bila tidak perlu”, terus menerus terngiang di kepala. Ditambah pula dengan topik Corona non-stop yang beredar di chat group dan social media yang sungguh menambah perasaan parno. Kalau dibaca suka bikin panik, kalau tidak dibaca bikin penasaran. Menakutkan, tapi diam-diam dirindukan.

Walaupun begitu, kini saya jadi tahu alasan mengapa cukup banyak baby boomer santai-santai saja menghadapi pandemik Covid-19. Itu karena mereka tidak terpapar berita tentang ini separah saya, atau siapapun yang berada di generasi-generasi di bawahnya.

Ayah saya tahu Corona, ya dari TV, ataupun grup Whatsapp keluarga, tapi beliau tidak sampai sedikit-sedikit buka dan scroll-scroll lini masa twitter seperti yang saya lakukan. Padahal kalau dipikir-pikir, beda 10 menit saja tidak akan menambah sebuah perbedaan berita secara signifikan. Oleh karena itulah digital distancing adalah hal yang pertama mulai saya lakukan dalam beberapa hari ke belakang untuk tetap waras menjalani kehidupan.

Baca juga: Siasat Mengajarkan Ibu Menghadapi Corona : Catatan Kuncitara 2

Digital distancing
Digital Distancing memang manjur tenan, bikin hidup serasa kembali tanpa keberadaan Corona. Tiga jam melepaskan diri dari smartphone saja sudah cukup mengusir badai yang merundung isi kepala. Walaupun begitu, ada waktu-waktu khusus di mana saya harus membuka layar gawai untuk bekerja, yang sekaligus saja dimanfaatkan untuk meng-update berita soal si wabah bebedah. Bedanya dengan dulu, kini psikis saya rasanya tidak terasa sampai babak belur dihajar paranoid. Angka-angka positif dan Covid yang dari hari ke hari terus bertambah pun rasanya mulai menjadi hal lumrah, walaupun tentu bagi korban dan keluarganya, tak ada angka yang bisa menggantikan sebuah nyawa.

Dari tingginya exposure informasi soal Covid-19, saya pun mulai belajar mengambil sikap yang bisa menjernihkan kepanikan, setidaknya di dalam rumah, dan di beberapa group Whatsapp yang saya kelola.

Saya  tergolong warga Negara RI yang menganut pendapat bahwa jumlah real penderita Covid di Indonesia sudah berkali-kali lipat dari yang diumumkan Kemenkes pukul setengah empat sore setiap harinya. Hanya saja, mereka belum terdeteksi, dan mungkin beberapa di antaranya menjadi salah seorang yang sering saya lihat masih nangkring di pinggir jalanan Kota Bandung. Tanpa pengawasan. Tanpa perlindungan. Abai terhadap imbauan.

Memang betul angka penderita makin tinggi, dan sepertinya akan tetap terus naik hingga berminggu-minggu ke depan. Dan mungkin beberapa hari setelah tulisan ini dibuat, akan muncul titik merah di peta 1)Pikobar yang menunjukkan sudah ada penderita Covid dekat rumah. Tapi kalau dipikir-pikir, sebetulnya, hal utama yang perlu saya fokus lakukan adalah melindungi diri dan keluarga, dengan sebaik mungkin mengikuti saran pemerintah. Diam di rumah hingga darurat Corona ini yang ceunah diharapkan berakhir pada 29 Mei nanti, serta menjaga kebersihan, dan mengurangi interaksi fisik bila mengharuskan diri keluar dari kediaman.


Work From Home
Tentu sangat menyenangkan berada di rumah, tapi hanya jika sudah lelah bekerja, dan puas beraktivitas di luar ruang. Selebihnya, akan menjadi sangat membosankan dan penuh perjuangan. Ini kali pertama bagi saya work from home dengan tanggal akhir tanpa kepastian.

Buat saya yang senang merekam momen menarik di kota, ada banyak sekali kejadian unik yang menggoda. Namun tidak ada satu pun foto yang bisa menggantikan masa karantina ini bisa usai dengan segera. Tapi kalau memang terasa sudah sangat penat berat dan butuh kewarasan, pukul lima pagi, saya akan memacu revo fit kesayangan mengasah jalanan Kota Bandung yang sudah kering tak terjamah kemacetan. Tanpa tujuan. Tanpa turun dari kendaraan. Tanpa interaksi dengan manusia. Sekadar menghirup kesegaran udara pagi. Sekadar pengingat semangat bahwa akan ada hari di mana kehidupan lama yang hilang akan bisa kembali.

Di luar dugaan, kehidupan work from home ini terasa sangat intens dibanding apa yang ada di dalam bayangan. Mungkin karena untuk menjalani ini, saya benar-benar mengisolasi diri. Saya soalnya tipe orang yang gampang sekali terdistraksi. Bahkan diskusi kecil tetangga yang terdengar menembus dinding pun terkadang menjadi sebuah hal yang bisa menginterupsi konsentrasi.

Baca juga: Seni Hidup Di Masa Pagebluk : Catatan Kuncitara #3

Di luar bekerja untuk bisa mendapat rehat yang sejati, tentu menonton televisi atau terlalu banyak memainkan perangkat gawai dan mengotak-atik aplikasi bukan sebuah pilihan yang bisa mewaraskan diri. Berbuat sesuatu yang lain, yaa..bisa jadi opsi. Mulai dari menyelesaikan tumpukan buku yang dibeli tahun lalu yang sepertinya hampir basi, ataupun mencoba beberapa resep menu hits dunia maya yang membuat semua orang tiba-tiba saja menjadi master chef sehari. Aah..atau bisa juga dengan membuat beberapa konten visual, audio, maupun tulisan seperti ini. Karena buat saya, jujur saja, it helps! Sangat membantu menguraikan pikiran-pikiran yang membelit di benak.

Buat saya, melakukan sesuatu hal yang berbeda walaupun sedikit, itu bisa menjaga kesehatan mental. Entah sih dengan kawan-kawan lain. Karena kalau harus non-stop ngajentul film seri marathon di depan laptop, rasanya saya tak sanggup. Justru makin memicu ketidakwarasan. Yaa..kalau sehari melahap satu judul film mah masih cukup.

Di samping semua hal itu, tentunya saya jadi lebih banyak bicara dengan keluarga. Sebagai orang yang sudah terlalu cukup banyak tahu tentang bahaya Covid-19, saya menjadi orang yang kini jauh lebih bawel dibanding sebelumnya kepada anggota keluarga di rumah. Bahkan saya yang tergolong irit bicara di grup Whatsapp keluarga, kini menjadi semacam HOAX buster yang mau repot pelan-pelan meluruskan seliweran info yang datang tidak meyakinkan.

Baca juga: Bahaya Laten Iliterasi, Dan Teori Konspirasi : Catatan Kuncitara #4

Aah.. mungkin akan saya ceritakan selengkapnya nanti saja pekan depan di edisi Catatan Kuncitara berikutnya. Semoga seri catatan ini tidak sampai panjang-panjang. Karena berarti, pandemi dapat lebih cepat berakhir.

By the way, kata “kuncitara” ini saya ambil dari padanan kata dalam Bahasa Indonesia untuk lockdown, yang banyak digunakan di beberapa media. Walaupun kota tempat saya tinggal belum atau tidak menerapkan lockdown, tapi rasanya pilihan kata ”kuncitara” menarik untuk digunakan.

Stay safe, stay sane.
1)Aplikasi seputar info Covid-19 di Jawa Barat