“Devide Et Impera”, saya selalu terngiang kalimat tersebut saat mendengar kata adu domba. Memang arti dari istilah Belanda itu adalah politik adu domba, biasanya ditemukan di buku Pendidikan Sejarah SD pada Bab mengenai VOC. Tapi bukan soal adu dombanya VOC yang akan saya ceritakan, namun memang benar-benar tradisi adu domba nyata yang dipertunjukkan di sebuah arena di kawasan Cijaringao, Cimenyan, Kabupaten Bandung.
 
Adu Domba di Cijaringao

Saat saya bercerita mengenai pengalaman menonton pertunjukkan adu domba di Cijaringao, tak sedikit kawan yang mengutuk tradisi asli Indonesia tersebut. Kebanyakan alasannya dikarenakan kasihan dengan hewan tersebut, “Hewan juga makhluk hidup, emang kamu mau diadu-adukan begitu?”, kata seorang kawan. Saya hanya tersenyum saja dan sedikit mengingat pertunjukkan adu domba yang kemarin saya saksikan seharian. Tak salah memang berpikir seperti itu, karena saya pun pada awalnya berpikiran serupa. Memang ada banyak hal yang tak diketahui orang-orang mengenai tradisi adu ketangkasan domba secara lebih jauh dan saya pun yang termasuk baru mengetahuinya setelah melihat langsung. 

Wasit berperan penting dalam adu ketangkasan domba

Bayangan saya sebelumnya mengenai adu domba tak terlalu jauh berbeda dengan apa yang disampaikan kawan saya. Memang kita sebagai manusia rasanya terlalu jahat mengadu-adukan hewan hanya untuk kepentingan pribadi manusia itu sendiri. Saya sempat berpikir ada uang yang berputar pada sebuah arena adu domba. Namun nyatanya, setiap pertandingan adu domba yang kira-kira berlangsung sekitar 10-15 menit tersebut tak pernah diketahui  pemenangnya. Setelah menyelesaikan 20 tandukan yang terbagi menjadi 2 ronde, wasit meniup peluit panjang untuk menghentikan pertandingan, dan domba-domba tersebut langsung dibawa oleh si pelatihnya keluar arena. Saya sebut mereka pelatih karena selama pertandingan berjalan, mereka tampaknya mengerti apa yang diinstruksikan oleh mereka, entah intruksi melalui sebuah gerakan tangan atau dalam bentuk perkataan yang hanya mereka berdua yang mengerti artinya. Bagaikan sebuah pertandingan tinju, saat sang domba terlihat kelelahan , wasit akan memberi kesempatan untuk pelatih yang mendampingi domba tersebut untuk memijat punggung atau bagian tubuh lain yang terlihat bermasalah.

Sang pelatih yang siap sedia memijat dombanya yang lelah dan pegal ketika pertandingan

Akhirnya saya pun mengerti mengapa tradisi adu domba saat digelar lebih sering disebut dengan adu ketangkasan domba daripada pertandingan atau pertarungan. Karena adu ketangkasan domba ini digelar memang bertujuan untuk menyalurkan naluri berkelahi yang dimiliki oleh domba species tertentu, dalam hal ini adalah jenis Domba Garut yang memang memiliki keunikan pada tanduknya yang berbentuk spiral. Nah bila Domba Garut ini tak dipenuhi hasrat bertarungnya, maka dia punya kebiasaan merusak sekeliling mereka, dengan menanduk apa saja yang mereka lihat, termasuk kandang mereka sendiri ataupun rumah si peternak. Untuk menyalurkan kebiasaan unik yang mereka miliki, maka dari itu dibuatlah adu ketangkasan domba secara rutin oleh masyarakat. Saya sendiri sempat melihat seekor domba yang berdiri di deretan tunggu domba yang akan bertarung ada yang sudah sulit sekali menaklukkan nafsu bertarungnya, sehingga di saat ia melihat domba lain berjalan menuju arena, bawaannya selalu ingin menanduk saja padahal belum tiba gilirannya.

Domba yang menunggu giliran bertanding

Saya juga sempat mendengar dari salah satu si empunya domba tentang keberadaan pertandingan adu domba yang melibatkan uang, dulu memang sering ada pertandingan adu domba yang mempertaruhkan nyawa salah satu domba yang diadukan, hadiahnya pun bisa sampai sebuah sepeda motor, namun sekarang sudah tidak ada lagi dan dibuat sebagai sarana olahraga sang hewan saja. Tak heran memang melihat hadiah yang diselenggarakan, mengingat harga domba yang ditandingkan saja bisa mencapai puluhan juta rupiah. Entah bagaimana cara pelatih mereka melatih domba-domba tersebut, yang jelas beberapa domba terlihat menonjol sekali otot-ototnya. Mungkin bila saya berkunjung ke peternakannya saya dapat melihat mereka push up atau scot jump, haha.

Setiap Domba diberikan arahan oleh pelatih

Sama halnya seperti olahraga beladiri yang dilakukan manusia, adu domba pun membagi kelas-kelas domba tersebut berdasarkan berat badannya menjadi kelas A, B dan C. Dan tentunya namanya pertarungan bela diri, terkadang ada saja yang mungkin mendapat memar setelah pertarungan usai, beungeup kalau kata orang Sunda bila ada seseorang yang mukanya babak belur karena bertanding tinju, namun masih dalam batas kewajaran.

Di Bandung, pertunjukkan adu ketangkasan domba sendiri sudah sangat jarang. Sebelumnya aktivitas ini rutin digelar di Babakan Siliwangi setiap minggu pertama di akhir bulan, namun dari terakhir saya dengar dari warga sekitar, pertunjukkan adu domba ini sudah tidak pernah diadakan lagi dikarenakan keterbatasan dana dari pihak penyelenggara. Selain itu saya juga pernah menemukan sebuah arena adu domba di daerah Cilimus Bandung, yang entah masih digunakan atau tidak. Dan baru di hari minggu kemarin (27/11) bertepatan dengan puncak acara #angklungpride6 yang diselenggarakan oleh Saung Angklung Udjo,  saya kemudian mengetahui bahwa di Jalan Padasuka Bandung terdapat sebuah daerah yang disebut dengan Cijaringao yang memiliki arena adu ketangkasan domba yang masih aktif di dalamnya. Cijaringao ini merupakan salah satu kebun bambu yang digunakan oleh Saung Angklung dalam mendapatkan bahan untuk memproduksi angklung setiap harinya. Minat melihat langsung domba-domba Garut ini beraksi? Tinggal datang saja di minggu terakhir setiap bulannya.
Gerbang masuk Kebon Awi Cijaringao


“Jadi cukup tahu saja ya pak”, begitu yang diucapkan salah seorang kawan dari Komunitas Aleut menimpali jawaban Muhammad Jamaludin, seorang pengusaha tahu asal Cibuntu Bandung. Ucapan tersebut kemudian diikuti gelak tawa semua yang hadir di ruang tamu kediaman pria yang akrab diapanggil Kang Jamal tersebut. Sebelumnya salah satu pegiat Aleut memang bertanya soal keberadaan produk andalan lain yang dibuat oleh Warga Cibuntu. Dan jawaban dari Kang Jamal adalah, “di sini mah semuanya juga tahu”.

Tahu yang sudah masak dan siap dipotong
Hari minggu (20/11), Komunitas Aleut memang berkunjung ke daerah Sentra Pembuatan Tahu di Cibuntu Bandung. Nama Cibuntu sendiri sebelumnya adalah nama sebuah jalan yang kini menjadi Jalan Holis, begitu cerita Hevi Fauzan, salah seorang kawan yang pernah tinggal di daerah tersebut. Namun untuk daerah Cibuntu yang sekarang terkenal dengan pabrik tahunya berada di Jl. Aki Padma yang dapat di akses melalui sebuah gang kecil di depan jalan masuk ke Sumber Sari maupun lewat pintu masuk yang terletak di Jl. Pasir Koja. Bagi warga Bandung sendiri, mendengar nama Cibuntu pasti akan membuat  terngiang pada sebuah kotak biru atau hijau yang terbuat dari plastik dan menempel pada sebuah sepeda atau motor. Begitulah setidaknya gambaran penjual tahu keliling kebanyakan yang beroperasi di sekitar Bandung. Entah bertemu dengan penjual tahu di Soreang atau Lembang, semua wadah tahu yang mereka bawa bertuliskan Tahu Cibuntu.

Proses pengadukan adonan tahu

Setelah sedikit bernostalgia dengan para tetangga yang pernah menjadi bagian dari kehidupannya, Hevi kemudian mengajak untuk berkeliling ke berbagai pabrik tahu yang berderet di Jl. Aki Padma yang seluruhnya sudah memiliki sebuah papan nama dengan brand masing-masing. Rata-rata memang merek-merek tahu tersebut dinamai menggunakan nama sang pemilik usaha, seperti Galih Tahu dan Tahu Sutra M. Jamaludin. Setiap pabrik yang dikunjungi tak selalu sama dalam sistem operasional pembuatannya. Ada yang hanya membuat tahu dari pukul 2 siang, namun ada juga yang memberlakukan sistem shifting, hingga pabrik tahunya tersebut dapat bekerja 24 jam penuh. Wajar bila pabrik tahu di sini bisa sampai berproduksi non-stop, kebutuhan akan penganan yang satu ini sudah tak dapat terelakkan. Mulai dari kebutuhan langsung sehari-hari sebuah rumah tangga sampai restoran besar pun membutuhkan tahu untuk melengkapi hidangannya. 


Tak hanya soal sistem operasionalnya yang berbeda-beda, resep dan cara pengerjaan pun takkan sama satu sama lain. Walaupun semua tahu ini berasal dari daerah Cibuntu, dijamin dari segi rasa akan terasa bedanya, maka dari itu sekarang setiap pabrik tahu sudah mengemas tahunya dengan merek masing-masing agar setiap pelanggan dapat membedakannya, setidaknya begitu yang dijelaskan oleh Kang Jamal saat berada di rumahnya. Bahkan tahu yang dibuat adiknya yang memiliki usaha tahu sendiri dan menggunakan resep yang sama dengan yang digunakan olehnya akan memiliki rasa yang berbeda dari tahu yang dibuatnya. “Beda tangan beda rasa”, begitu ucapnya.

Kang Jamal ini dulu orang pertama yang mengembangkan tahu hingga kini memiliki beberapa varian jenis tahu yang dapat ditemukan di berbagai tempat. Ialah yang pertama kali memperkenalkan Tahu Sutra hingga dijuluki Jamal Tahu Sutra. Setelahnya ia pula yang mengembangkan varian Tahu Susu dan Tahu Keju. Termasuk produk Tahu Susu yang terkenal di wilayah Bandung Utara saat ini, ialah yang dulu melatih para pegawai di tempat tersebut untuk dapat membuat tahu susu. Sampai sekarang tahu susu merupakan tahu dengan harga jual termahal karena menggunakan banyak bahan susu. Ada yang membuatnya dengan susu murni, namun ada juga yang membuatnya dengan menggunakan susu bubuk kemasan yang katanya untuk lebih memunculkan aromanya. 

Dari segi proses, Tahu Sutra M. Jamal ini kini menggunakan bahan bakar yang disebut dengan wood pellet. Baru sekitar 2 minggu Kang Jamal mencoba menggunakannya untuk mengakali bahan bakar gas yang kian terbatas. Wood pellet adalah bahan bakar yang dibuat dari kayu yang di press hingga menyerupai puntung rokok. Memang bahan bakar menjadi isu utama dalam industri tahu di Cibuntu, sulitnya mendapatkan bahan bakar gas membuat para pengusaha tahu harus lebih kreatif memanfaatkan sumber daya yang ada.

Saat ditanyakan bagaimana pengembangan tahu ini menjadi sebuah kawasan wisata terpadu dengan sebuah toko souvenir serba tahu, kang Jamal hanya menjawab bahwa dirinya kesulitan dengan masalah tempat. Selanjutnya beliau juga bercerita mengenai rencana keberadaan toko souvenir tersebut pernah diusung oleh salah satu dinas terkait, namun sudah lama sekali tidak ada kelanjutannya. Selain keterbatasan soal tempat, akses menuju Cibuntu yang terkadang kena dampak banjir saat hujan besar juga belum teratasi, padahal Sentra Indutsri Tahu Cibuntu ini sangat dekat letaknya dari pintu Tol Pasir Koja yang dapat memudahkan wisatawan untuk berkunjung.

Kunjungan kami ke rumah Kang Jamal pun tak lengkap rasanya bila tak disuguhi tahu sutra yang menjadi andalannya. Tahu-tahu yang masih mengepulkan asap pertanda masih sangat segar diangkat dari tempat perebusan tersaji lengkap dengan kecap yang dibubuhi irisan cabe tipis. Tak sampai dengan lima menit, tahu-tahu tersebut sudah lenyap bagaikan disulap.Memang berbeda tahu-tahu yang disajikan oleh Kang Jamal ini, selain karena gratis, tahu-tahu ini teksturnya sangat lembut dan langsung melebur saat bersentuhan dengan dinding mulut. Dan ini pertama kalinya saya mencicipi tahu yang disajikan langsung mentah-mentah tanpa digoreng, ternyata rasanya juga enak kok.
Tahu sutra yang dimakan langsung setelah selesai diolah

Ah..asal tahu saja, tahunya tahu-tahu yang dibuat di Cibuntu ternyata menggunakan kedelai yang diimpor dari Amerika Serikat. Kualitas dan kuantitas yang tidak cukup baik dari yang dihasilkan oleh para petani lokal Indonesia membuat pengusaha tahu terpaksa untuk membeli kedelai dari Negeri Paman Sam tersebut. Tentu bila nilai dollar atas rupiah sedang naik, pengusaha tahu akan kelabakan, karena para pelanggan tidak mau tahu tentang masalah tahu sang penjual tahu, padahal ada ratusan orang di Cibuntu yang menggantungkan hidupnya dari industri tahu. Saya juga baru tahu, karena baru diberi tahu kemarin saat berkunjung ke blok tahu dari para pengusaha tahu yang cukup tahu soal tahu. Lalu bagaimana dengan sikap pemerintah dan para pelanggannya? Ya..cukup tahu saja!
“Rumahnya dimana?”
“Di Pagarsih”
“Itu teh dimana?”
“Itu deket Kings, dari Cibadak juga deket”
“Oh”

Percakapan di atas sering terjadi saat orang yang baru saja dikenal bertanya mengenai tempat saya tinggal. Tapi itu dulu, karena semenjak beberapa minggu lalu, nama Pagarsih menjadi populer seantero Nusantara karena tragedi banjir yang menghanyutkan sebuah mobil Grand Livina. Kini spontan saat mendengar nama Pagarsih, orang yang mendengarnya akan langsung menanyakan kondisi rumah saya saat banjir kemarin, seperti keasyikan dapat bertemu langsung dengan korban hidup suatu bencana.

Tak berlebihan bila saya menyebut Pagarsih kini terkenal seantero Nusantara, karena berbagai media kemudian berebut memberitakan kejadian bencana banjir ini. Media serasa mendapatkan emas untuk dipahat saat melihat Kota Bandung yang pamornya belakangan terangkat berkat sepak terjang Walikotanya, kini mendapat bencana yang di luar perhitungan sang mantan arsitek dan warganya. Tapi kan namanya bencana, memang siapa yang menduga.

Saya warga asli Pagarsih sejak 28 tahun lalu...yaa sudah hampir 29 tahun.
Yang  tak banyak orang tahu, pada dasarnya Pagarsih memang langganan banjir sejak dulu, namun untuk banjir yang sebesar sekarang memang dikarenakan cuaca ekstrim yang datang sekitar 1 dekade sekali. Karena walaupun tinggal di Pagarsih, rumah saya jarang sampai kemasukan air, hanya beberapa kali saja saya ingat saat banjir sebesar sekarang, yaitu  pada tahun 1996, 1997, 2006 dan 2016. Warga lama yang sudah tinggal di Pagarsih puluhan tahun pun sudah banyak yang menyiasati banjir ini dengan cara membuat pagar kedap air atau meninggikan pintu masuk ke dalam rumahnya. Media pun hanya memberitakan soal mobil yang hanyut kan? Bukan rumah warga yang terendam air. 



Setelah kejadian banjir yang kembali menghanyutkan mobil lainnya 2 minggu kemudian, sebuah tulisan yang mencoba menghubungkan banjir pagarsih dengan  hilangnya Situ Aksan kemudian beredar di berbagai sosial media dan aplikasi chat. Tulisan tersebut mencoba mengkaitkan lenyapnya Situ Aksan yang berubah menjadi perumahan adalah akibat terjadinya banjir Pagarsih kini. Disebutkan juga bahwa luapan air sungai Citepus kini tak memiliki tempat untuk bermuara. Namun saya dan banyak teman ragu akan hal tersebut, karena lokasi Sungai Citepus dan Situ Aksan itu jaraknya hampir 2 Km. Opini saya pun diperkuat oleh sebuah tulisan dari https://benwirawan.com/…/hilangnya-situ-aksan-dan-banjir-p…/ . Sang penulis disini membenarkan bahwa banjir sudah terjadi di Pagarsih sejak tahun 60-an, dan bukan karena adanya spekulasi dibangunnya perumahan di lokasi Situ Aksan berdiri saat ini. Ditambah penulis artikel tersebut memiliki hubungan dengan H. Aksan yang merupakan pemilik tanah tersebut sebelumnya.

Anggaplah tahun ini Walikota Ridwan Kamil sedang mendapat tantangan dan gogoda dibanding tahun-tahun sebelumnya, karena kebagian siklus cuaca ekstrim yang datang 10 tahun sekali. Tol Air yang sempat mengemuka mungkin bukan solusi terbaik, karena pada dasarnya tol air berfungsi mengalirkan air yang menggenang di jalan ke sungai, sedangkan sungainya sendiri sudah meluap, ditambah dengan curah hujan yang besar seperti sekarang. Area Pagarsih ini bahkan seringkali kedatangan banjir di saat hujan sama sekali tidak turun di daerah tersebut. Artinya banjir yang terjadi di Pagarsih merupakan kiriman dari hulu sungai yang tak mendapat ruang yang cukup di DAS (Daerah Aliran Sungai) yang menyempit sepanjang aliran sungai Citepus. Dan bukan hanya Warga Pagarsih saja yang perlu menjaga lingkungan, namun seluruh Warga Bandung yang tinggal di sepanjang DAS Citepus.
“Kang, upami bade ka Bale RT opat ka palih mana?”, tanya saya kepada seorang lelaki yang kaki kirinya dipenuhi tato. “Mangga, kantun lurus teras dugi mendak lapangan, engke mengkol ka katuhu”, begitu jawabnya sambil tersenyum ramah.

Salah satu mural di Blok Tempe
Minggu pagi itu saya terpisah dari kawan-kawan Komunitas Aleut yang hendak menuju Bale di kawasan Blok Tempe Bandung karena keasyikan memotret suasana kampung. Lelaki tadi hanyalah satu dari sekian banyak warga kampung yang merajah tubuhnya dengan tato. Sebelum tato menjadi trend lifestyle seperti sekarang, tato-tato tersebutsudah mereka dapat saat masih berprofesi sebagai preman dan sebagian saat menghuni Lembaga Permasyarakatan. Yak, pada tahun 90-an Blok Tempe sempat menyandang Kampung Narapidana karena rentannya kasus kriminalitas. Namun kini Blok Tempe telah berganti nama secara administratif menjadi Kelurahan Babakan Asih, karena warganya yang dikenal asih (ramah).

Blok Tempe yang berwarna
Sesampainya di Bale, kawan-kawan tampak sudah bersantai di area Bale yang sangat nyaman dan luas. Bale yang terletak di RT 04 ini terbuat dari bambu dengan latar belakang puluhan foto yang menunjukkan berbagai aktivitas serta tamu yang telah berkunjung. Pelataran Bale yang merupakan sebuah taman, terlihat sangat tertata rapi dan bersih. Kehadiran sebuah ayunan di sisi sebelah kanan taman mempercantik keberadaan Bale yang terletak di tengah-tengah gang sempit Blok Tempe.
Bale RT04 Blok Tempe yang nyaman

Akhirnya kami disambut oleh beberapa warga untuk berbincang santai di dalam Bale. Salah seorang yang dipanggil dengan nama Kang Iwan ditunjuk oleh kawannya yang lain untuk menjadi juru bicara. “Yah dulu bisa dibilang pemuda kampung sini tuh adalah sampah masyarakat, sering bentrok juga sama kampung sebelah, kalau udah lewat maghrib suasananya mencekam, anak gadis pasti dilarang keluar sama orang tuanya”, begitu cerita pembuka dari Kang Iwan mengenai masa lalu Blok Tempe. Kang Iwan menuturkan bahwa sebelumnya sudah banyak yang mencoba merubah keadaan para pemuda di Blok Tempe, namun dengan cara yang kurang tepat, sehingga justru para pemuda di sini malah menjadi melawan balik, bahkan sempat ada seorang Ustadz yang akhirnya pindah rumah dari Blok Tempe. “Namun diantara kami, ada satu orang kawan yang bisa dibilang paling maju dan mencoba melakukan pendekatan sebagai seorang teman untuk membantu kami ke arah yang lebih baik”, lanjut Kang Iwan. Sambil menunjuk sebuah rumah yang tepat berada di seberang Bale, Iwan kembali bercerita, “Nah Kang Reggy Munggaran yang rumahnya persis di depan sini yang sudah banyak membantu kami dengan pendekatan yang lebih enak”. Pendekatan yang dilakukan Kang Reggy Munggaran kepada pemuda Blok Tempe itu tidak sebentar, karena berlangsung kira-kira dari tahun 1995 sampai tahun 2000. 
Galeri foto di Blok Tempe

Pada tahun 2000-an awal kerja keras Kang Reggy mulai membuahkan hasil, para pemuda Blok Tempe sudah dapat diajak untuk membangun kampung mereka sendiri. Namun karena masih banyaknya keterbatasan, kemudian Kang Reggy mengajak Kang Emil yang saat itu masih merupakan ketua BCCF (Bandung Creative City Forum) untuk mendukung programnya di Blok Tempe. Program pertama yang dilakukan pemuda Blok Tempe dan BCCF adalah membuat sumur resapan. Sebelumnya kawasan Blok Tempe ini merupakan salah satu kawasan langganan banjir. Letaknya yang tepat berada di samping aliran Sungai Citepus menjadi salah satu penyebabnya.  Setelah dibuat 21 sumur resapan di daerah tersebut, Blok Tempe sudah tidak pernah terkena banjir lagi. Dan sebagai bentuk edukasi, warga Blok Tempe yang ketahuan membuang sampah sembarangan apalagi membuangnya ke sungai akan dihukum push-up sebanyak 50 kali, hal ini juga berlaku untuk anak-anak agar terbiasa sedari kecil.

Setelah masalah banjir teratasi, pembangunan Blok Tempe mulai menyentuh aspek fisik kampung. Salah satunya dengan keberadaan ruang publik berbentuk Bale yang berdiri pada tahun 2010 dan menjadi tempat kami berbincang saat itu. Sepasang cap tangan yang merupakan cap tangan dari Kang Emil diletakkan di bagian depan Bale. Di Bagian bawah cap tangan tersebut tertulis Kartoon Ervat, pada awalnya saya kira itu merupakan nama seorang asing yang meresmikan Bale tersebut, namun ternyata Kartoon Ervat itu adalah sebuah singkatan dari Karang Taruna Erte Ovat. Kreativitas ala Kang Emil jadi sangat terasa pada unsur penamaan tersebut. Blok Tempe ini pula yang membawa Kang Emil mendapatkan pernghargaan “Urban Leadership Awards” dari University of Pennsylvania, Amerika Serikat karena berhasil membantu warga di Blok Tempe mendapatkan ruang publik yang dananya berasal dari udunan warga sendiri.
Cap tangan Kang Emil saat peresmian Bale di Blok Tempe

Bisa dibilang Kang Emil dan Blok Tempe tumbuh besar bersama-sama. Kang Emil mendapat dukungan penuh saat mencalonkan diri menjadi Walikota Bandung dari Blok Tempe. Dan popularitas Blok Tempe pun kini melejit karena Kang Emil mendapatkan penghargaan atas bantuannya. Perkembangan Kota Bandung yang kebanjiran program kerjasama dengan Negara lain saat ini pun tak lepas dari transformasi yang terjadi di Blok Tempe, para investor asing tak segan untuk menggelontorkan dananya di Kota Bandung karena melihat keberhasilan perubahan kampung ini. Kini tak jarang wisatawan asing berminat untuk mengunjungi langsung wilayah ini karena pamornya. Bahkan pernah ada seorang fotografer asal Prancis menyelenggarakan pameran foto di Blok Tempe ini. “Tiap bulan pasti ada aja artis yang kesini, waktu peresmian kan ada Luna Maya, terus Kang Edi Brokoli pasti kesini sebulan sekali buat ikut nongkrong”, tutur Miki yang juga ikut dalam perbincangan kami yang biasa menjadi Contact Person untuk Blok Tempe. Event musik underground sekaliber Hellprint pun menggunakan public space yang dimiliki oleh Blok Tempe saat pertama kali menyelenggarakannya.
Sambutan ramah dari pemuda Blok Tempe

Blok Tempe, dulu mencekam, kini rupawan. Bale Kartoon Ervat yang dimiliki kampung ini menjadi sarana edukasi, hiburan dan kebersamaan warga. Mulai dari ngaliwet, nobar Persib, senam ibu-ibu sampai pengajian dan pendidikan anak usia dini dilakukan di Bale tersebut. Berkat namanya yang kini harum, tak sulit bagi warga Blok Tempe untuk mendapatkan berbagai akses fasilitas publik di masyarakat. Dari pengalaman kunjungan ke Blok Tempe, saya rasa bukan aspek fisik semata yang berhasil dibangun di Blok Tempe, justru aspek mental yang berhasil direvolusi dengan baik. Kebersamaan, keramahan dan semangat telah menjadi nilai berharga yang kini lekat dengan warga Blok Tempe dan patut dijadikan pelajaran bagi kita semua.