Senang membaca buku? Ingin mencari suasana yang nyaman untuk menghabiskan waktu seharian dengan buku-buku asik sambil ngemil dan ngopi, mungkin anda perlu mencoba mengunjungi Little Wings Cafe & Library, satu cafe yang terletak di kawasan Cigadung Raya Barat, nomer 2 tepatnya, rute menuju ke tempat ini bisa melalui jalan cikutra ataupun jalan Dago, tapi menurut saya lebih mudah untuk menemukannya dari Jalan Dago, karena memang jalannya lebih dekat dari arah sana, naik ke arah jalan Dago saat menemukan pertigaan yang mengarah ke arah Taman Hutan Raya sebelah kanan dan Lawang Wangi sebelah kiri, ambil jalan yang ke lawang wangi ke arah kiri bawah hingga menemukan pertigaan kembali bila ambil kiri menuju Lawang Wangi..nah ambillah jalan ke kanan untuk memasuki area cigadung, tak jauh dari sana anda bisa menemukan sebuah rumah dengan arsitektur yang tidak umum terutama untuk rumah-rumah di Indonesia, karena rumah ini memanjang bagaikan sebuah bus tingkat dan ramping.
Walaupun rumah ini tidak terlalu besar dan sederhana,  pekarangan disini sangat luas sehingga cukup menampung banyak kendaraan untuk parkir, selain rumah ini terdapat juga sebuah rumah adat kecil di samping cafe tersebut yang dijadikan dapur dan sedikit ruang untuk bersantai apabila tempat di dalam cafe utama tidak memadai, sedikit kontras memang desainnya dengan cafe utama yang berdesain lebih ke Eropa.
Dari pintu masuk utama terlihat juga sebuah etalase di sampingnya yang memajang jaket dan tas peralatan untuk mendaki gunung, dan memang ketika masuk di lantai 1, ada lebih banyak rak etalase dengan pajangan perlengkapan berkemah. Namun konsep perpusatakaan tetap di tekankan di cafe ini dengan berbagai rak penuh buku pula yang terpajang menghiasi sudut cafe ini.
Hanya saja area lantai satu ini sedikit ramai dan kurang private karena hampir segala ada disini, di sekeliling tempat makan penuh dengan rak berjejer, entah itu rak buku ataupun etalase yang memajang barang jualan, rasa-rasanya akan canggung di saat kita makan di tempat tersebut, ada beberapa pengunjung lainnya yang bergerak di sekitar kita sedang memilih barang.
Namun buku-buku di lantai 1 ini cukup lengkap dan populer ko untuk dibaca, beberapa buku yang saya temukan adalah novel-novel populer salah satunya saya melihat buku karangan Dan Brown yang terkenal dengan Da Vinci Code dan Angel & Demonnya terpampang disini. Maka dari itu kami mencoba untuk naik ke lantai 2 sambil melihat apa saja yang berada di lantai 2. Saat saya naik ke lantai 2 suasana di sana masih cukup sepi, dan sebenarnya lebih nyaman di lantai 2, karena di lantai 2 tidak ada etalase barang jualan, hanya rak buku dan beberapa meja untuk bersantai sambil menyantap hidangan, selain itu terdapat beberapa jendela besar sehingga sirkulasi udara lebih baik dan cahaya matahari dapat masuk dari luar.
Cuma pilihan buku disini rata-rata lebih berat dan tebal daripada di lantai 1, beberapa berbicara mengenai negara dan kota dan sebagian menggunakan bahasa asing, tapi ada juga buku populer disini, salah satunya saya menemukan buku karangan J.K Rowling yang berjudul "The Vacancy", selain itu sebuah ruangan dengan settingan sebuah dapur lengkap dengan kompor dan panci bergaya vintage yang tentu tidak bisa dipakai karena hanya merupakan sebuah dekorasi untuk memperkuat konsep dan menjadikan cafe ini menjadi "selfieable", kenapa saya sebut demikian, karena di jaman sekarang terutama di Bandung, sebuah tempat makan memiliki nilai lebih bila memiliki dekorasi unik sebagai latar belakang foto narsis, adanya social media seperti instagram dan path yang mengedepankan tampilan visual menjadikan gengsi pada sebuah foto menjadi semakin viral, karena seseorang akan disebut up to date bila sudah mengunjungi sebuah tempat yang populer dengan bukti sebuah foto tentunya agar tidak disebut hoax. Dan ternyata tempat ini juga sering disewakan untuk sebuah sesi foto pre wedding, tentu saja hal ini menjadi hal yang wajar bila melihat tempat ini yang full decoration.

Akhirnya kami memutuskan memilih sebuah meja di lantai 2 karena cukup sepi dan nyaman untuk bersantai, dan mulai meminta menu kepada waiter, buku menu yang diberikan juga cukup unik karena lembaran menu ditempelkan disebuah talenan, harga yang ditawarkan pun cukup bersahabat dari mulai harga 10.000-20.000 untuk minuman dan cemilan, serta 20.000-35.000 untuk makanan berat, sebenarnya kami ingin membeli beberapa makanan berat seperti spagheti dan ayam goreng, namun ternyata bahan-bahan untuk membuat menu tersebut belum ada, padahal kami datang di saat weekend ketika rata-rata banyak orang datang ke cafe, akhirnya kami memutuskan untuk membeli camilan dan minuman saja, dari beberapa menu tersedia yang ada saat itu hanya kentang goreng saja,dan minuman kami memilih smoothies dan earl grey tea, dan untuk earl grey tea yang saya minum rasanya tidak mengecewakan kok, lebih baik daripada earl grey tea yang pernah saya minum di sebuah restoran korea di mall kota Bandung. Dan kalau melihat dari menu yang ditawarkan serta service disini, ini memang tempat untuk bersantai menghabiskan waktu tidak cukup untuk 1 jam saja , saya rasa bila memang sedang lengang saya bisa menghabiskan waktu untuk 3-4 jam disini.

 Karena suasana cafe yang masih kosong, kami bisa mengeksplore ke lantai 3, dan di lantai 3 ternyata jauh lebih nyaman daripada di lantai 2, bahkan sampai ada tempat tidur, namun seperinya disini lebih cocok untuk dipakai membaca buku daripada untuk makan, karena sedikitnya jumlah meja dan kursi di tempat ini, gaya ruangan di lantai 3 ini benar-benar seperti gaya rumah di eropa dan Amerika yang memanfaatkan ruang yang bersentuhan langung dengan atap, karena ruangan bawah atap di rumah-rumah Indonesia terutama di Bandung, yang saya tahu ruangan tersebut dikosongkan dan biasanya tempat para tikus bersembunyi di siang hari, ruang kosong di bawah atap kalau di Sunda disebut dengan para.


Dari sekitar tanggal 5 November sampai 9 November 2014 adalah hari-hari dimana kota Bandung menjadi kota yang sangat berbeda, macet salah satunya, bukan macet karena wisatawan yang datang berkunjung pada waktu libur panjang seperti biasanya, karena kemacetan ini terjadi pada hari yang bukan merupakan long weekend, yak kota Bandung macet dikarenakan antusias masyarakat pada tim sepakbola kebanggaan Jawa Barat yaitu Persib Bandung melaju ke pertandingan final Indonesia Super League 2014 menantang sang juara bertahan Persipura Jayapura yang sudah menjadi langganan juara dan sudah meraih 4 bintang di dada kiri, situasi memang berbeda dengan Persib yang terakhir kali menjadi juara liga di edisi pertama liga Indonesia digulirkan pada musim 1994/1995, hampir 20 tahun tak pernah mengangkat trophy membuat animo masyarakat menjadi sangatlah besar, posisi lama tak pernah juara menjadikan Persib sebagai tim kuda hitam.

Ribuan bobotoh rela berangkat ke stadion Jaka Baring sampai-sampai ada sebuah hashtag unik beberapa hari sebelum itu yang dimulai oleh akun twitter @simamaung yaitu #modalfinal , untuk satu hari itu saja akun Simamaung menjadi akun FJB (Forum Jual Beli), @simamaung memfasilitasi para bobotoh yang ingin pergi ke Jakabaring dengan me-retweet semua tweet bobotoh yang menjual barang pribadinya yang menggunakan hashtag #modalfinal, sampai #modalfinal menjadi trending topic kala itu, dari mulai berjualan handphone, kulkas sampai motor dijadikan modal para bobotoh untuk mendapatkan tiket ke Palembang, tak hanya #modalfinal hashtag #buligirday menjadi trending topic juga saat itu, terjadi saat Persib Bandung berhadapan dengan Arema Cronus di semifinal, Persib yang kala itu mendapatkan hukuman tidak boleh menyaksikan laga tandang selama satu musim kompetisi, tidak diperbolehkan memasuki stadion Jakabaring, akhirnya para bobotoh yang sudah terlanjur jauh datang ke Palembang berinisiatif untuk membuka atribut persibnya sampai bertelanjang dada untuk dapat memasuki stadion, yang membuat saya merinding adalah bapak walikota Bandung Ridwan Kamil yang juga hadir saat itu di Jaka baring ikut membuka kaosnya dan mengomandoi serta menenangkan para bobotoh saat itu, saya sendiri yang hanya melihat berita di televisi dan social media ikut merinding dibuatnya, sorak dan applause bobotoh pun menyeruak di luar stadion Jaka baring, dan selama di pertandingan tersebut para bobotoh laki-laki pun menonton pertandingan dengan bertelanjang dada, tak hanya di Jaka baring, bobotoh yang menyaksikan pertandingan final secara nobar di Bandung pun ikut bertelanjang dada sebagai bentuk solidaritas.

Akhirnya tiba saat pertandingan final digelar, kota Bandung pun macet total, berbagai sudut kota Bandung menyelenggarakan pertandingan final, saya sendiri berencana menyaksikan pertandingan final di taman film Bandung, jyang akhirnya tidak jadi, karena tidak sempat, jangankan taman film balaikota saja tidak sampai. saya berangkat dari tempat tinggal saya di pagarsih jam 17.15 untuk menyaksikan pertandingan final yang diselenggarakan pukul 18.30, pukul 18.15 saya masih berada di depan viaduct, tidak dapat bergerak maju lebih lanjut ke arah balai kota, padahal jarak pagarsih dan balaikota tidak sampai 5 KM, akhirnya saya memutuskan membelokkan arah saya ke arah pasir kaliki mencari sekiranya ada cafe atau tempat nobar yang tidak terlalu penuh ataupun macet, dan pilihan saya memang tepat karena jalan di daerah pasirkaliki sama sekali tidak macet bahkan lowong, dan akhirnya karena saya sendiri sudah lumayan cape karena bergelut dengan kemacetan, saya memutuskan untuk berhenti di Istana Plaza, karena seingat saya ada beberapa toko yang memasang televisi di tokonya dan sering menayangkan pertandingan Persib. yah..dan setibanya saya di salah satu toko, saya sudah tertinggal sekitar 20 menit dan pertandingan sudah mendapatkan skor 1-1, benar-benar sangat pantas disebut pertandingan final, persib tertinggal lebih dulu oleh Persipura Jaya pura dan 2mampu membalikkan keadaan menjadi 2-1, hingga disamakan kembali pada akhir babak kedua, namun setelah dilanjutkan ke babak tambahan skor akhir tetap 2-2 dan masing-masing ada satu pemain dikeluarkan karena kartu merah, pertandingan dilanjutkan dengan babak adu penalty, di saat jeda persiapan adu penalty saya memilih untuk segera pulang dan melanjutkan untuk menonton pertandingan di rumah, karena bisa dibayangkan kondisi di jalan sehabis pertandingan nanti baik persib kalah ataupun menang, mungkin saya baru mencapai rumah tengah malam, dan Alhamdulillah saya sampai rumah tepat waktu saat babak adu penalty akan dimulai, ya karena jalanan masih lengang juga.

I made Wirawan menjadi pahlawan Persib saat itu dengan  berhasil memblok tendangan dari Ortizan Solossa. Jelas tangis haru memecah stadion saat Achmad Jufriyanto algojo penalty terakhir berhasil menjebloskan bola ke gawang Persipura, padahal saya nonton sisa pertandingan ini di rumah tapi sorak sorai pecah terdengar di sekeliling saya, saya rasa 90% warga setempat pun pasti menonton pertandingan ini.
Keesokan harinya tanggal 8 November 2015 puluhan ribu bobotoh berkumpul di sekitaran pintu keluar bandara husein sastranegara untuk menyambut kedatangan para pahlawan mereka sekaligus mengantarkan para pemain ke mess persib di stadion sidolig ahmad yani.

Saya sendiri lebih memilih untuk menunggu di stadion sidolig,lumayan pasti macetnya kalau ikut arak-arakan, di stadion sidolig yang masih kosong, saya bahkan menungu para pemain di atap stadion, demi mendapatkan foto jelas dari kedatangan para pemain, foto disamping adalah saat pemain belakang Persib Vladimir Vujovic memasuki pelataran stadion sidolig bersama keluarganya, saat itu Luna anak perempuan dari Vujovic agak sedikit ketakutan dan sampai menangis karena ramainya sambutan bobotoh saat itu.

Di dalam stadion para pemain masuk naik ke sebuah balkon, saya sendiri tidak tahu apakah memang balkon tersebut memang sudah ada sejak dulu sebagai tempat untuk mengangkat trophy di era perserikatan, karena di saat saya mulai menyukai dan mengikuti Persib, baru saat ini saya mengalami Persib yang meraih gelar juara.

Pesta tak berhenti sampai di hari itu, karena keesokan harinya skuad Persib dengan menggunakan Bus Bandros berkeliling Bandung dimulai dari bunderan cibiru Bandung timur dengan arak-arakan trophy ISL, saya memilih untuk menunggu di jembatan penyeberangan Asia Afrika depan gedung PLN karena posisinya strategis untuk melihat arak-arakan, walaupun pada akhirnya arak-arakan trophy bahkan tidak sampai ke tempat saya berdiri, sampai jam 6 sore pun skuad persib hanya mampu sampai di simpang lima asia afrika yang kemudian lanjut pulang ke mess, padahal sebelumnya rute sudah direncanakan agar melewati daerah jalan jendral sudirman dan jalan rajawali sampai akhirnya finish di gedung sate. Akhirnya saya pun pulang dengan sedikit kecewa, karena saya sudah menunggu sampai sekitar 4 jam dari jam 2 siang, tapi pemandangan yang saya lihat cukup menakjubkan dan membuat merinding, karena hanya pada hari itu, Bandung benar-benar menjadi lautan biru dalam arti kata yang sebenarnya, jalanan begitu padat dengan bobotoh bahkan untuk kendaraan bergerak pun hampir tidak ada ruang, yangbahkan saya dengar yangahdir pada pawai saat itu bukan hanya bobotoh Bandung saja, tapi bobotoh dari luar kota pun tumpah ruah di Bandung.








Bila saya ditanya mengenai lokasi wisata di daerah Bandung Barat yang worth it , saya akan menyebutkan gua pawon dan dan stone garden. Saya melakukan perjalanan ini untuk melakukan sesi foto prewedding bersama tim fotografi saya, kebetulansaya memiliki bisnis sampingandi bidang fotografi.
Tujuan awal kami adalah stone garden yang berada di puncak gua pawon, kami berencana mengambil background sunrise yang sebenarnya kami telat datang ke tempat ini,yang tentunya mataharinya sudah berada diatas, selain langit pun agak mendung karena malam sebelumnya hujan sedikit deras, serta membuat medan menuju stone gardenagak sedikit berat karena becek dan licin.
Kami datang cukup pagi sehingga area stone garden cukup sepi. 
Memang stone garden ini cukup unik dengan banyaknya batuan yang berukuran raksasa, yang katanya batu-batuan megalithikum tersebut merupakan batuan dari jaman purba.
Disebut stone garden mungkin karena layaknya sebuah kebun, batu-batuan yang timbul dari dalam tanah cukup banyak layaknya ditanam dan tumbuh di sebuah kebun.
Warga sekitar sini menyebutnya dengan sebutan taman batu, dan sepertinya mereka sudah sangat terbiasa dengan kontur di area stone garden, karena dengan mudahnya mereka naik turun batu-batuan besar dengan sangat cepat, apalagi orang yang saya lihat adalah seorang bapak yang sudah cukup tua, tapi sepertinya saya kalah jauh dari dia.
Saat hari mulai siang, waktu menunjukan pukul 09.00, area stone garden sudah mulai ramai, kita istirahat sebentar dan mulai turun ke area gua pawon, dan saat di perjalanan ke gua pawon di kaki bukit ternyata sudah ada pos tiket disana, mungkin saat tadi pagi kami naik petugas jaganya belum bangun hehe
Dan akhirnya kami harus membayar tiket masuk seharga 7.500 Rupiah per orang, cukup murah menurut saya, namun karena kami menggelar sesi foto prewedding juga disini ,maka kami harus membayar biaya tambahan sebesar 50.000 rupiah, selain stand penjualan tiket, pos tersebut juga menjual berbagai merchandise seperti gantungan kunci dan kerajinan tangan lainnya.

Sesampainya di tempat parkir, kami tinggal berbelok ke arah kanan untuk menuju gua pawon, tak jauh mungkin hanya sekitar 300 meter dari tempat kami turun dari stone garden, di perjalanan kami cukup banyak menemukan monyet liar yang cukup berani berdekatan dengan pengunjung ataupun warga.
Setibanya kami digua pawon, bau busuk mulai tercium dan sangat menyengat, belum jelas apa sebenarnya yang menyebabkan baunyabegitu kuat, dan baru ketika masuk sedikit lebih dalam gua, akhirnya kami tahu asal bau busuk ini berasal darikotoran dan bangkai kelelawar, ketika kita meilhat kebagian bawah kita menemukan beberapa bangkai dan kotoran kelelawar yang terjatuh dari sarangnya, dan saat kita melihat ke atas gua..kami menemukan sinar yang jatuh dari lobang di langit-langit gua yang dikelilingi mungkin ratusan kelelawar, mungkin di saat malam tempat tersebut menjadi sarang kelelawar, namun karena ada cahaya masuk  tidur sang kelelawar terganggu dan terus berputar tanpa henti. Pemandangan ini mengingatkans saya pada film Batman Begins saat Bruce Wayne kecil terjatuh pada sumur tua yang di dalamnya terdapat banyak kelelawar, persis seperti batcave di film tersebut, saat kita mengeksplore lebih dalam lagi..banyak spot-spot yang lebih indah di dalam, dan saya lebih suka eksplore di dalam gua pawon ini daripada di stone garden, banyak keindahan tak terduga daripada sekedar hamparan batu.
Curug Malela terletak di daerah Bunisari, Gununghalu Kabupaten Bandung Barat. Perjalanan total menuju ke tempat ini menghabiskan waktu sekitar total 4 jam setengah (saya berangkat dari daerah kopo mas), dari muali kendaraan roda empat, lalu pindah ke kendaraan roda dua dan kemudian dilanjutkan dengan perjalanan kaki dua yang cukup melelahkan, dari kopo kami menggunakan mobil menuju arah batujajar dari jalan tembus di Taman Kopo Indah, kami berangkat pukul 7 yang sampai di dusun Bunisari pukul 9, kami istirahat sebentar di tempat tinggal salah satu teman kami di dusun selama sekitar 1 jam yang kemudian dilanjutkan ke arah curug malela, yang sampai di satu titik, jalanan menuju ke sana sudah terlalu buruk untuk dilanjutkan dengan mobil, apalagi mobil yang digunakan bukan mobil offroad.
Kemudian kami ditawari melanjutkan perjalanan menggunakan ojeg dengan membayar 40.000 rupiah untuk perjalanan bulak balik curug malela, dan menurut saya harga yang cukup pantas mengingat jalan menuju ke sana yang kondisinya cukup parah, bisa saja menggunakan motor sendiri atau mobil kesini, tapi saya jamin biaya untuk service kendaraan anda akan jauh lebih membengkak sepulang dari sini, bahkan saat kami memakai ojeg disini berbarengan, bau kopling yang cukup menyengat hidung menemani sepanjang perjalanan. Sekitar 20 menit perjalanan roda dua kita melewati gerbang yang mengharuskan kita membayar tiket masuk seharga 10.000 rupiah.
Tiba di pos masuk, ternyata motor pun sudah tidak dapat melanjutkan perjalanan menuju ke daerah curug (kecuali bilaanda menggunakan motor trail), kita harus melanjutkannya dengan berjalan kaki selama 1 jam, sungguh perjalanan yang cukup melelahkan, apalagi bagi kami yang notabenenya pegawai kantoran yang sudah cukup jarang mengalami perjalanan sepanjang ini.
30 menit berjalan lelah kami sedikit terobati dengan melihat curug tersebut dari puncak, kami sedikit berjalan cepat untuk menuju ke arah curug. Setibanya kami di curug ternyata pengunjung yang datang cukup banyak, agak sedikit kecewa karena air yang sedikit keruh. Namun memang sesuai julukannya sebagai "Niagaranya Jawa Barat", curug malela memiliki lebar yang lebih dibanding curug lainnya di Jawa Barat dan cukup deras. Karena bila kita melihat curug lain seperti Cinulang, Citambur, Cimahi, curug tersebut lebih tinggi namun lebarnya lebih kecil.
Kami menghabiskan waktu disini selama 3 Jam untuk makan, berfoto selfie dan bersantai (lebih lama di perjalanan daripada di curugnya, haha), dan memang perjalanan pulang jauh lebih berat daripada saat menuju curug, karena pastinya perjalanan pulang kita menanjak dan setelah berisitirahat kembali di kampung bunisari, kita melanjutkan perjalanan dan baru sampaijam 7 malam di kopo mas. Dan menurut saya untuk melakukan perjalanan ini, pastikan dulu keesokan hari tidak masuk kerja, karena setelah perjalanan ini dan keesokannya harus bekerja cukup berat bagi para pegawai,minimal mesti istirahat sehari penuh!!


Kursi-kursi yang berderet rapi memanjang layaknya sebuah tempat duduk di gerbong kereta api memang terlihat seperti kereta api, tapi nyatanya ini adalah sebuah cafe yang menjadi bagian dari gedung grand royal panghegar Bandung selain interior tempat yang menyerupai kereta api , beberapa dekorasi vintage cukup menjadi daya tarik untuk berfoto selfie disini. Satu hal yang menjadi daya tarik disini karena cafe ini didirikan persis di samping rel kereta api sehinhgga ketika ada kereta api yang sedang melewati cafe ini...tanah terasa benar-benar bergetar layaknya ketika kita sedang makan di gerbong kereta api.
Namun memang untuk harga menu disini cukup mahal, mengingat sebenarnya cafe ini merupakan bagian dari apartemen dan hotel Grand Royal Panghegar, harga kopi yang mendekati angka 30.000 rupiah sudah cukup mahal untuk saya dan menu makanan-makanan lainnya yang sudah mencapai angka di atas 30.000 rupiah per porsi.
Saya rasa saat ini kalau saya pajang foto ini sudah tidak ada lagi orang yang bertanya ini dimana? Karena tebing ini sudah sangat populer sejak tahun lalu foto-fotonya beredar di Instagram, bahkan banyak orang yang menyebutnya Tebing Mainstream.
Aneh bin ajaib, tebing yang sudah tercipta dan berdiri disana ribuan tahun lalu dengan jarak yang tidak terlalu juah dari kota Bandung baru dikenal oleh masyarakat Bandung tahun lalu.
Banyak yang menyebutkan kalau tebing ini sebenarnya sudah sering dilewati oleh para penggowes, namun yang berperan penting dalam mempopulerkan tebing ini adalah komunitas foto instagram, peran sosial media yang sekarang begitu viral sehingga membuat tebing ini dalam sekejap menjadi terkenal.
Poin yang menjadi daya tarik di tebing ini adalah pemandangan bandung yang bukan perkotaan tapi justru hutan dan gunung secara langsung.
Hal ini cukup langka dikota Bandung, karena bila kita naik ke dataran tinggi seperti lembang, cartil atau punclut kita melihat keindahan kota Bandung dengan berbagai arsitektur dan lampu temaramnya.
Selain itu posisi tebing yang menghadap ke utara menjadikan kita dapat melihat matahari terbit di sebelah kanan tebing pada pagi hari dan ketika matahari terbenam disebelah kiri tebing, ditambah pemandangan yang sedikit berkabut apabila di pagi hari menambah keindahan pemandangan dari tebing ini.
Hutan yang terlihat dari atas tebing adalah hutan raya Djuanda yang sebenarnya orang lebih familiar dan sering berkunjung karena ada gua peninggalan penjajah yang terlebih dahulu menjadi objek wisata. Saya bisa dibilang cukup terlambat mengunjungi tempat ini, karena ketika saya datang ke tebing keraton pada satu minggu setelah hari lebaran tahun lalu tempat ini sudah penuh sesak walau tidak sesesak sekarang, ditambah area tebing ini sebenarnya cukup sempit dan berbahaya karena berhadapan langsung dengan jurang yang sangat dalam, namun hal ini tetap tidak menyurutkan para pengunjung untuk turun sedikit ke bawah tebing.
Namun, saya termasuk beruntung saat mengunjungi tebing ini karena saya hanya menghabiskan uang 4.000 rupiah saja per motor, 2.000 untuk biaya melewati portal dan 2.000 lagi untuk biaya parkir, kalau dibagi dua biayanya dengan teman boncengan saya, saya hanya mengeluarkan biaya 2.000 rupiah saja.
Berbeda dengan teman saya yang seminggu kemudian mengunjungi tebing ini, ia harus mengeluarkan uang 16.000 rupiah karena para warga  sekitar mulai menjadikan tebing ini sebagai lahan bisnis, 11.000 rupiah untuk tiket masuk dan 5.000 rupiah untuk parkir motor, malah belakangan saya dengar sudah mulai bermunculan tukang ojeg yang mengantarkan para pengunjung bulak balik dari bawah sampai tebing dengan rentang tarif 30.000-50.000 rupiah. Memang kehadiran ojeg ini cukup pantas mengingat jalan yang ditempuh cukup buruk dan agak terjal, dan tidak semua kendaraan mampu naik sampai lokasi.
Setahun berlalu setelah saya terakhir kesana, saya melihatdari foto teman-teman saya yang berkunjung, tempat ini sudah banyak mengalami perubahan salah satunya bagian tebing yang sedikit dibuat rata dengan pasir dan batuan kecil serta pagar pembatas area tebing dengan jurang, walaupun tetap saja masih ada orang yang nekat naik melewati pembatas untuk mendapatkan foto yang berbeda dengan pengunjung lain.
Taman satu ini merupakan salah satu taman tematik yang cukup mencuri perhatian, selain ornamen-ornamen yang berukuran raksasa, lokasi taman ini juga terletak di kawasann sentral dari kota Bandung yaitu di sekitar Jl. belitung, peresmian taman ini berlangsung cukup meriah dengan menghadirkan para musisi indie kota bandung seperti Pure Saturday, the Milo, Pidi Baiq, hingga band legend Java Jive.

Satu ornamen besar yang cukup menarik perhatian adalah pemain bass raksasa yang terletak tepat di tengah panggung yang disediakan untuk para performers yang tampil di taman ini. serta di sebelahnya terletak pula sebuah ornamen gitar raksasa yang terbuat dari besi-besi bekas yang sekelilingnya terdapat stilasi-stilasi yang (monumen kecil) untuk memperingati para korban meninggal dalam konser metal yang diadakan di gedung AACC (Asia Afrika Culture Centre) beberapa tahun silam, nama-nama para korban tewas diabadikan di bagian atas stilasi tersebut.



Beberapa hal unik lainnya adalah beberapa patung musisi yang terbuat dari rangka besi dan baja, desain patung-patung ini cukup berbeda dan sangat menarik karena bentuknya yang dibuat lentur sehingga jauh dari kesan kaku, dan terlihat seperti orang yang sedang konser sungguhan.


Tak hanya nama belaka, taman musik dapat juga digunakan untuk menggelar konser musik sungguhan, karena adanya panggung yang sengaja didesain untuk mengakomodir event tersebut, namun setelah 1 tahun lebih diresmikan, acara musik yang diselenggarakan disini masih dapat dihitung jari, panggung yang terbuka dan dapat dilihat langsung oleh masyarakat mungkin menjadi alasannya, karena kebanyakan konser musik di Bandung adalah konser musik berbayar, maka taman musik kurang cocok untuk digunakan, karena tanpa membayar tiket masyarakat tetap dapat dengan mudah melihat event di dalamnya dari bagian luar taman, sehingga massa yang datang tidak dapat terkontrol oleh penyelenggara.