Suatu jumat siang pada WFH yang sudah menyentuh hari ke-300 sekian. Dari jarak yang tak begitu jauh di telinga ada bunyi “klontrang-klontreng”, tanda pagar rumah digedor seraya meminta saya yang berada di dalam untuk menemui sang tamu. Entah siapa gerangan.

 

“Gojeeek”, begitu teriak bapak tua berhelm hijau yang bertandang ke depan rumah. Detik pertama saya merasa senang dikunjungi, detik kedua saya kebingungan, karena seingat saya dalam satu jam atau bahkan satu minggu terakhir tidak memesan, bahkan tidak membuka aplikasi layanan berlogo hijau tersebut.

 

Wajah saya yang mungkin terlihat bertanya-tanya kemudian dijawab segera oleh sang pengemudi dengan, “Melon Pan untuk Bapak Irfan”. Aah, saya tau. Ini rupanya yang dijanjikan seorang kawan dalam sebuah grup whatsapp. Sebuah brand kuliner baru di Bandung bernama Pastry Chef by JRX Brew memang sedang membagi-bagikan roti ini secara gratis, setiap hari, selama sebulan penuh. Tentunya tidak tiap hari, rezeki seperti ini datang. Tanpa pikir panjang, saya ambil penawaran tersebut.

 

Kemasan Exclusive dari Melon Pan Pastry Chef by JRX Brew

Mendengar Melon Pan tuh membuat saya teringat dengan karakter anime Anpanman yang pernah tayang di Indosiar minggu pagi. Super hero berkepala roti ini yang mengajari saya kalau pan itu berarti “roti” dalam Bahasa Jepang.

 

Walau disebut Melon Pan, tetapi sesungguhnya rasa original roti ini tidak ada melonnya sama sekali. Nama melon diambil dari bentuknya yang bulat, serta ada bentuk irisan yang menyerupai buah melon. Nah, Melon Pan yang dikirimkan oleh Pastry Chef by JRX Brew ini justru ada rasa melonnya. Maka dari itu, judul artikel ini saya buat demikian. Taburan bubuk gula berasa melon betul-betul menjadikan Melon Pan menjadi roti melon sesungguhnya.

 

By the way, kemasan Melon Pan ini betul-betul well packaged. Dibungkus dengan paper bag yang berlapis, serta kemasan plastik sebagai lapisan terakhir yang menjaga roti tetap fresh saat diterima.

 

So, Melon Pan ini teksturnya empuk. Saya rasa adonan rotinya pun sudah bisa terasa enak dan manis, walaupun tidak ditambahkan bubuk gula di bagian atasnya. Di luarnya terasa crispy, dan di dalamnya lembut. Sungguh kudapan yang datang tepat waktu ketika waktu sudah bergulir menuju sore hari yang disambut hujan deras yang membasahi Bandung.

 

Melon Pan Pastry Chef by JRX Brew

Buat yang penasaran dengan Melon Pan ini, bisa mampir ke IG @pastrychef.official dan @jrx.brew yang sepertinya tidak terafiliasi dengan jrx yang dari Bali itu, hehe.  Pembagian Melon Pan Gratis ini masih berlangsung lho, sampai akhir November ini. Coba saja say hi via DM, siapa tau masih bisa menjadi salah seorang yang beruntung untuk mencoba Melon Pan ini secara cuma-cuma.

Dua tahun lalu, sebuah resensi pendek tentang sebuah buku, melintas di instastory seorang kawan. “Goodbye, things: Hidup Minimalis Ala Orang Jepang” tertulis di sampulnya, dengan nama penulis Fumio Sasaki. Sebuah nama yang baru saja saya dengar kala itu.

 

Dua Buku Rekomendasi untuk Belajar Hidup Minimalis


Satu resensi mungkin tidak cukup menarik. Lalu kemudian muncul resensi ke-2, ke-3, dan ke-4, dari kawan yang berbeda, mulai menggelitik rasa ingin tahu saya tentang isi buku tersebut. Walaupun membutuhkan waktu berbulan-bulan hingga saya akhirnya membeli buku yang dimaksud.

 

Awalnya sih, saya mengira kalau hidup minimalis itu sama artinya dengan hidup hemat dan sederhana. Namun ternyata, lebih rumit dari yang saya duga. Makanya bisa ditulis menjadi sebuah buku berjumlah 242 halaman.

 

Walaupun begitu, di Indonesia sendiri, Fumio Sasaki bukanlah orang pertama yang mengenalkan gaya hidup minimalis melalui bukunya. Marie Kondo melalui program Tidying Up with Marie Kondo yang tayang di netflix jauh lebih populer di negeri ini. Hanya, sayanya saja yang kurang update, hingga kurang familiar dengan Marie Kondo dan metodenya tersebut. Tapi setelah saya rampung melahap habis konten dari buku Fumio Sasaki, bukunya Kondo pun menjadi target bacaan saya.

 

Kedua buku tersebut memang sama-sama membahas tentang kebaikan hidup minimalis, namun ada perbedaan yang kentara antara keduanya. Bila buku The Life-changing Magic of Tidying Up Marie Kondo berfokus pada cara ia beres-beres dan merapikan barang, buku Goodbye Things Fumio Sasaki sangat menitikberatkan pada cara agar kita dapat membuang barang-barang yang (sebetulnya) tidak diperlukan, demi kehidupan minimalis yang lebih bahagia.

 

Memangnya, bagaimana kehidupan minimalis dapat membuat bahagia? So, menurut Fumio, sebetulnya kebanyakan orang yang memiliki barang berlebih, hidupnya tidak bahagia. Selain karena seseorang harus menghabiskan banyak waktunya untuk merapikan barang, benda-benda tersebut pun dapat menjadi sumber distraksi bagi pikiran. Yang saya akui benar adanya.

 

Saat masih membujang dulu, kamar saya bagaikan sebuah gudang yang hampir setiap barang ada di situ. Alih-alih agar aktivitas lebih efektif dan produktif karena melihat menganggap banyak barang-barang yang bisa memberi inspirasi, yang terjadi justru pekerjaan menjadi sering terdistraksi. Setiap mata mendelik ke sebuah barang, ingatan kemudian melayang kepada kapan saya mendapatkan barang tersebut, dari mana saya mendapatkannya, hingga soal warna barangnya, yang berlanjut kepada latar  belakang cerita barang-barang yang ada di sekitarnya. Sungguh memuakkan sekali sebetulnya. Momen macam ini bisa menghabiskan waktu saya 5-15 menit. Ini yang membuat sistem work from home (WFH) yang berlaku saat pandemi awal tahun ini menjadi tidak efektif buat saya.

 

Satu tahun berjalan sejak saya membaca tips dan nasihat yang tertera pada buku ini, kamar saya masih tak mengalami perubahan, dan semakin terasa menyebalkan saat berada di dalamnya. Terutama ketika WFH berjalan. Saya bekerja di tempat saya rehat dan menghibur diri. Dan saya istirahat di tempat saya bekerja. Alhasil, saya terasa bekerja tanpa memiliki batas ruang dan waktu. Seakan waktu berhenti, tanpa pernah bergulir.

 

Tapi tanpa diduga, membuang barang yang dianggap suatu saat akan dibutuhkan, menjadi lebih mudah menjelang pernikahan saya beberapa waktu lalu. Karena seminggu sebelum menikah saya sudah harus memindahkan barang-barang ke rumah kontrakan yang akan ditempati berdua. Saya mulai merasa kalau barang saya itu ternyata banyak sekali, dan sebagian besar jarang saya liat, dan bahkan beberapa baru ingat kalau ternyata saya mempunyai barang tersebut. Jadi, sebetulnya selama ini saya banyak menyimpan sampah  hingga bertahun-tahun lamanya, tanpa disadari.

 

Mata dan hati saya terbuka, ketika satu per satu saya memegang dan membereskan barang-barang yang selama ini terpajang, maupun tersembunyi dalam lemari. Dalam bukunya, Fumio berkata, bila ada sebuah benda yang tidak pernah disentuh selama tiga bulan, itu artinya saya tidak membutuhkan benda tersebut. Maka dari itu saya kemudian memberikan, menjual, serta membuang banyak pajangan berdebu yang tidak pernah saya rawat, seperti hiasan miniature Borobudur yang saya beli saat study tour SMA, action figure one piece yang baru saja saya ingat kalau pernah membelinya, beberapa tumbler yang jumlahnya sudah melebihi tujuh buah, serta topeng guy fawkes dan Phantom of the Opera yang dulu saya beli untuk properti foto yang diharapkan akan terpakai kembali suatu saat nanti. Benda-benda tersebut hanyalah contoh, selain itu, ada sekitar empat karung benda dan dokumen yang saya simpan dengan alasan “suatu saat pasti dipake lagi.”

 

Di samping benda yang sudah sangat lama tidak saya pegang, barang-barang lain yang saya buang adalah barang yang tidak membuat saya bahagia, termasuk puluhan buku yang kini hanya menjadi bagian dari deretan buku yang membuat kamar heurin. Mungkin ada sekitar empat lusin buku yang kemudian saya jual di instagram story, lalu sisanya saya donasikan ke perpustakaan.

 

Kalau dirata-ratakan, buku yang saya jual kebanyakan buku yang tidak rampung saya baca, buku yang secara keilmuannya sudah ketinggalan, atau buku populer yang ketika dipikir-pikir lagi, buku ini bukan saya banget, kendati sudah pernah tamat membacanya. Dulu, saya menyimpannya karena merasa semakin banyak buku yang memenuhi rak, semakin saya merasa bangga. Padahal, jarang ada pula orang yang bisa mampir dan melihat buku-buku tersebut di kamar. Sisa buku yang saya simpan kini, didominasi oleh buku fotografi, sejarah, traveling, dan sastra.

 

Selain itu, saya juga membuang koleksi tiket nonton yang saya kumpulkan sejak tahun 2010, yang sangat jelas menjadi sampah. Beberapa di antaranya ada tiket event, dan tiket kereta pula. Saya hanya menyisakan dua tiket nonton Insidious yang dulu saya tonton saat kencan pertama bersama perempuan yang menjadi istri saya sekarang, serta satu tiket kereta api Parahyangan. Tiket ini istimewa, karena selain desainnya yang klasik dan terlihat mewah, kini sudah menjadi barang bersejarah pula. Kereta api Parahyangan yang saya tumpangi waktu ini sudah tidak ada, dan menjadi Argo Parahyangan sekarang, setelah digabungkan operasionalnya dengan kereta api Argo Gede.

 

Untuk pakaian, saya meninggalkan sekitar sepuluh potong pakaian saja sebenarnya. Hingga ketika tiba di rumah kontrakan, istri saya langsung menyisihkan 50% lagi pakaian yang sebetulnya saya pilih untuk bawa ke rumah. Sungguh faktor pernikahan ini memudahkan saya untuk membuang barang-barang saya. :’).

 

“Yang, baju ini buang ya?”

“mmh..iya”

“Ini jugaa”

“iyaaaa”

 

Tapi yang dilakukan istri saya tidak salah juga sih. Karena baju-baju yang ia pilih untuk dibuang/disumbangkan, rata-rata sudah berusia 5-15 tahun. Iya betul, kalian tidak salah baca. Sebelumnya saya masih memakai kemeja dan kaos dari masa tersebut, termasuk kaos yang saya dapatkan saat ospek kuliah tahun 2005, dan kaos keanggotaan extrakurikuler Pencak Silat sekolah pada tahun 2003. Kebanyakan dari baju-baju tersebut sudah terlihat berbulu, tapi masih saya kenakan untuk tidur, dan disimpan dengan alasan kenang-kenangan. By the way, perilaku seperti ini belakangan baru saya ketahui adalah sebuah penyakit psikologis bernama Hoarding Disorder.

 

Dari dua buku tentang hidup minimalis yang saya miliki, buat saya buku Fumio Sasaki lebih nyaman dibaca. Mungkin karena faktor spacing antar barisnya yang sedikit lebih renggang, dan terjemahannya yang mudah dicerna. Rancangan konten bukunya pun lebih easy-to-read dengan dibuat poin per poin. Sehingga, tidak lelah saat membacanya.

 

Mungkin saat ini, saya sudah menjalankan sekitar 60% dari prinsip hidup minimalis yang diajarkan. Karena saya masih senang membaca buku fisik, serta memandangi foto-foto cetak. Keduanya sangat sulit digantikan oleh digital file. Feel-nya akan terasa berbeda.

 

Kini, di rumah yang saya tempati. Lebih sedikit benda yang dipajang, lebih sedikit pula benda yang ke depannya yang ingin saya miliki. Karena “kapan-kapan butuh” itu arti sebenarnya artinya “tidak butuh”. Lebih sedikit barang yang hadir dalam pandangan, lebih sedikit pula hal yang harus hinggap dalam pikiran.

Pernah mengalami berlangganan layanan streaming mingguan karena ingin menonton beberapa film saja yang tayang eksklusif? Sejak pandemi Covid-19 berlangsung, ini sering sekali saya lakukan. Mulai dari GoPlay, Vidio, Mola TV, hingga Netflix. Nama terakhir yang padahal paling populer baru saja saya jajal belakangan ini karena memang harga berlangganannya paling mahal. Yang lain bisa dibayar dengan harga di bawah Rp20.000 untuk waktu berlangganan satu minggu.

 

Lalu muncullah Bioskop Online yang saya kira akan sama dengan platform layanan streaming lainnya. Dilihat dari namanya sih, ya pasti layanan ini lahir di tanah air Indonesia. Mungkin seperti itu positioning pemasarannya. Tapi ternyata, layanan berdomain www.bioskoponline.com ini menyediakan film-film yang bisa ditonton tanpa berlangganan! Film-filmnya pun film langka pula, yang notabenenya merupakan film-film festival berkualitas yang memang tak bisa masuk selera pasar mayoritas, alias segmented. Makanya, film-film ini terbilang susah dicari setelah lewat masa penayangannya, karena selain hanya dapat mampir sebentar di layar bioskop, ia juga tidak diminati stasiun televisi swasta untuk ditayangkan.

 

Tampilan laman beranda Bioskop Online

Satu atau dua di antara film-film di laman pilih Bioskop Online pernah saya tonton, seperti Keluarga Cemara, dan The Copy of My Mind. Tapi sisanya didominasi oleh film-film yang memang menjadi incaran saya sejak lama, seperti Mereka Bilang, Saya Monyet dan Ziarah, atau bahkan justru film-film yang baru saya dengar judulnya, tapi langsung memikat dari segi cerita, pengambilan gambar, ataupun aspek lainnya. Contohnya saja Daysleepers dan Nay. Keduanya punya keunikan dari segi teknik penceritaan. Daysleepers yang menceritakan tentang seseorang yang melakukan rutinitas kerja pada waktu malam, dan hanya terlihat dari sepotong jendela. Tanpa sadar, ada seseorang yang selalu memperhatikannya di seberang sana. Lalu ada Nay yang latar pengambilan gambarnya 95% dilakukan di mobil, dan mengandalkan akting solo Sha Ine Febriyanti yang selalu tak pernah gagal mengecewakan. Padahal Nay ini sudah diluncurkan sejak tahun 2016.

 

Film-film yang saya sebutkan di atas sudah dapat ditonton dengan harga hanya Rp5.000. Selisih Rp3.000 saja dari harga copy soft file yang dulu biasa saya beli dari sebuah toko film tersembunyi di kawasan Dipati Ukur, Bandung. Jujur saja, memang sampai awal tahun ini saya terbiasa membeli koleksi film secara ilegal di toko tersebut. Sampai akhirnya saya sadar, kalau hal tersebut merugikan pembuat karya. Sebagai sesama pembuat karya, saya pun tentu tak ingin karya saya digunakan secara cuma-cuma, tanpa izin pula. Karena memang hal itu sudah sering pula terjadi pada foto-foto karya saya. Dan rasanya itu sakiiit booss. Apalagi bila pihak yang melakukan penggunaan konten saya itu adalah nama yang punya pamor, dan power yang jauh lebih besar. Maka dari itu, saya pun belajar pula untuk lebih mengapresiasi karya pegiat kreatif lainnya, entah dari dunia musik, perfilman, ataupun bidang lainnya. By the way, walaupun tidak perlu berlangganan, harga tiket nonton Rp5.000 itu diberi jangka waktu juga selama 48 jam sejak pembayaran.

 

Selain film-film yang terbilang langka, dan segmented, Bioskop Online juga menyediakan film-film yang terbilang cukup populer di pasar, seperti The Raid 2: Redemption, dan yang paling terbaru, The Story of Kale yang menjadi perbincangan banyak orang, karena merupakan spin-off film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI) yang cukup berhasil meraih hati banyak penggemar film Indonesia pada awal tahun ini.

 

Untuk film terbaru seperti The Story of Kale, harganya sedikit di atas harga normalnya yaitu Rp10.000. Tapi kan tetap saja cost untuk menontonnya tidak mahal, dan yang paling penting, tidak harus repot berlangganan aplikasi streaming terlebih dahulu. Cukup membuka situs www.bioskoponline.com, pilih film yang ingin ditonton, dan membayar “tiket” menonton melalui berbagai metode pembayaran elektronik yang tersedia sangat beragam pilihannya. GoPay, Ovo, ShopeePay? Semua ada.

 

Walaupun tidak bersentuhan langsung dengan dunia perfilman, tapi saya harap sih, Bioskop Online dan layanan streaming film lainnya dapat menjadi sarana edukasi juga kalau sebuah karya itu, apapun bentuknya, bagi pembuatnya membutuhkan sebuah proses yang sangat panjang, dan tak mudah. Saya sendiri bekerja membuat rancangan konten untuk sebuah brand. Kadang, untuk membuat sebuah konten postingan social media yang bisa engage dengan followers itu bisa berjam-jam, dan membutuhkan kerja sama dengan beberapa orang pula. Memang sih masih bisa dibajak juga, tapi tega gitu beli/pake barang orang, bayarnya pake gratisan atau receh? Ga pake izin pula. :D

 

 

Saya ingat betul, tahun 2010, brand makanan ringan favorit yang biasa jadi target jajanan di warung sebelah tiba-tiba saja membuka restoran fast food macam KFC. Nggak tanggung-tanggung, brand “kaya keju” ini memasang iklan lowongan kerja segede Gaban di halaman favorit saya kala itu di Koran PR hari sabtu. Tapi karena tidak terdapat posisi yang cocok, akhirnya saya memilih memuaskan rasa penasaran saya dengan mendatangi gerai pertamanya di PVJ Bandung.

 

Dari yang awalnya ragu karena makan ayam bersaus keju itu terasa sangat aneh pada waktu itu. Tapi berubah menjadi kagum karena satu dekade kemudian, brand dengan nama Richeese Factory ini bukan cuma bisa berdiri sejajar dengan kompetitor asal negara Paman Sam, tapi juga menjadi game changer di bidangnya. Mulai dari gerobak preciken pinggir jalan, sampai restoran besar, ikut mengadopsi idenya dengan menggunakan saus keju.

 

By the way, kekaguman saya ini semata karena memang senang mengikuti perkembangan dunia bisnis dan marketing. Walau tentu dari segi makannya pun doyan juga. Hehe.

 

So, singkat cerita saya berkesempatan mendapat kabar lebih awal tentang rencana peluncuran brand kuliner terbaru dari PT. Richeese Kuliner Indonesia yang walau masih satu grup, dipisahkan pengelolaannya dengan produsen makanan ringannya (kalau Richeese yang menjual makanan ringan itu dikelola PT. Kaldu Sari Nabati). Iya..iya, mungkin artikel ini bisa dipertimbangkan masuk juga ke kategori “marketing”, selain dapat ditemukan di kategori “kuliner”.

 

Nah, uniknya, brand baru mereka kali ini keluar dari zona nyamannya seputar perkejuan dan coklat. Mereka bahkan menanggalkan nama “rich” yang biasanya melekat di Richeese, Richoco. Jenama untuk persembahan terbaru mereka ini adalah “Urban Ninja”. Walau sesaat mengingatkan saya dengan brand lainnya dengan nama “ninja” yang terkait dengan jasa pengiriman.

 

Urban Ninja Taman Kopo Indah Bandung yang Berbagi Tempat dengan Saudara Tuanya, Richeese Factory

Dari namanya, tentu jelas, Richeese mencoba masuk ke pasar makanan Jepang. Tapi pemilihan namanya pun bisa dibilang menarik, dan bisa dibilang cukup tepat, walau agak nyeleneh. Karena selain mudah dilafalkan dan diingat berbagai kalangan, nama “ninja” juga merupakan istilah Jepang yang sangat populer di Indonesia sejak lama. Ditambah, penggunaan perpaduan warna hitam dan magenta yang cukup mencolok. Tapi buat saya yang cuma paham 12 color palette sih jadi mengartikan warna magenta buat masuk ke pink, yang kemudian membuat warna brand Urban Ninja ini terasosiasi dengan girl band Korea tempat bernaungnya Lisa dan Jennie.

 

Sejalan dengan pemilihan namanya yang easy, pilihan menu-menunya pun memang dibuat lebih mudah masuk ke lidah orang Indonesia. Semua menunya berbasis nasi yang menjadi makanan pokok kita. Di luar itu, Urban Ninja menyediakan side dish yang cukup familiar dapat ditemukan di restoran-restoran Jepang pendahulunya, seperti Gyoza, Ebi Furai, Chicken Katsu, dan Teriyaki.

 

Pelayanan di Urban Ninja Menggunakan Protokol Kesehatan Lengkap

Tapi tentunya, beda nama, beda tempat, beda tangan, membuat cita rasa yang berbeda juga. Secara garis besar, rasa menu makanannya didominasi oleh perpaduan rasa manis dan pedas, sehingga taste-nya menjadi ada sedikit rasa kecut seperti rasa-rasa di masakan Thailand. Salad yang disajikannya pun terasa seperti Thai Salad kemasan yang pernah saya cicipi.

 

Namun, walau sudah melepaskan diri dari citra serba keju yang melekat. Sebetulnya ada satu rasa di lidah yang menjadi benang merah penghubung antara Urban Ninja dan saudara tuanya Richeese Factory. Hal ini dapat ditemukan di cita rasa coating sauce yang digunakannya untuk melumuri menu Urban Beef dan Crispy Chicken mereka. Rasa manis dan pedasnya, sedikit mengingatkan saya pada Fire Chicken yang jadi menu andalannya. Hanya saja, pedasnya ini agak berbeda. Rasa pedas di hidangan Urban Ninja itu ada rempah-rempahnya.

 

Selain itu, untuk penyajian nasinya pun tidak sama dengan Richeese, ada taburan Furikake di atasnya yang walau tak banyak, memberikan rasa yang benar-benar berbeda.

 

Furikake itu semacam bumbu tabur kalau di Jepang. Di menu yang dihidangkan Urban Ninja, Furikakenya ada sedikit taste pedas, dan ada sedikit rasa makanan laut, entah itu rumput laut, atau sejenis ikan-ikan kecil seperti teri. Pas banget buat disantap di atas nasi panas.

 

Saat diundang pada acara pembukaan minggu lalu, saya berkesempatan buat menjajal dua signature menu-nya, yaitu Urban Beef Bowl, dan Urban Chicken Katsu Donburi. Keduanya dapat dihidangkan secara a la carte ataupun combo complete.

 

Menu Urban Beef Bowl Complete Set di Urban Ninja

Khusus untuk combo complete, nasi dan dagingnya disajikan bersama Gyoza, Urban Salad & Ocha Tea. Tapi khusus untuk Urban Chicken Katsu Donburi, ada tambahan potongan silky tofu yang superr lembut, dan (mungkin) ada sedikit rasa keju di dalamnya. Yang pasti, ini tahu terenak yang pernah saya cicipi. Selain topping-topping tersebut, saya juga bisa memesan tambahan side dish yang nggak kalah enak.

 

Pilihan saya jatuh ke Tamagoyaki yang sebelumnya tidak pernah saya temui. Kebetulan pula saya termasuk penggemar hidangan olahan telur. Jadi ketika melihat kata-kata tamago yang berarti telur, saya pun langsung menambahkannya ke dalam pesanan saya. Pada dasarnya, Tamagoyaki ini rupanya sejenis scrambled egg/omelette yang dibungkus, dan digoreng dengan tepung roti. Tampilan luarnya memang mirip risoles, tapi rasanya jelas jauh berbeda.

 

Daftar Menu di Urban Ninja

Sama halnya dengan menu seri fire-nya Richeese, beberapa menu Urban Ninja juga memiliki tingkatan kepedasan yang bisa dipilih sesuai selera. Mulai dari Kawaii, Kakkoii, dan Banzai. Namun hati-hati dalam memilih level kepedasan, karena untuk level Kawaii saja, rasanya sudah cukup pedas. Kalau kalian biasa memilih level 3 Fire Wings di Richeese Factory, maka jangan pesan level ke-3-nya Urban Beef di Ninja. Karena level ke-3 merupakan yang paliing pedass.

 

Dari segi harga, rentangnya dimulai dari 30ribuan untuk a la carte, dan 60ribuan untuk paket combo complete. Sedangkan dari segi tempat, Urban Ninja by Richeese ini masih mengadaptasi desain yang pada umumnya banyak digunakan resto fast food. Namun untuk saat ini, Urban Ninja baru dapat dijumpai di Taman Kopo Indah III, Bandung. Berbagi tempat dengan saudara tuanya, Richeese Factory. Katanya sih, konsep ini akan diterapkan juga di cabang-cabang Richeese Factory lainnya. Sehingga, ada alternatif pesanan lain saat customer tipe keluarga datang ke Richeese Factory, dan dapat pula menjadi barang tambah yang bisa dimasukkan ke dalam keranjang belanjaan.

Suasana Dine In di Urban Ninja Bandung