“Lima, delapan, sepuluh,” dalam hati saya menghitung orang-orang yang kemudian menyusul saya masuk ke dalam studio 9. Judul film yang hendak saya tonton ini memang tidak sepopuler Pretty Boys dan Danur 3 yang menjadi kawan seangkatannya di bioskop Indonesia. Namun bila mungkin dapat sedikit menaikkan biaya promosinya, Ne Zha seharusnya dapat menjadi santapan lezat bagi masyarakat Indonesia.


Untung saja lah saya merupakan salah seorang beruntung yang tanpa sengaja membaca ulasan akun Watchmen.id dan Bicara Box Office tentang film ini di lini masa twitter. Informasi tentang predikat film terlaris ke-2 sepanjang masa di Tiongkok, cukup menggugah rasa penasaran saya akan film ini. Ditambah dengan berbagai testimoni netizen yang menyatakan mengenai kualitas visualnya yang luar biasa. Walau sebetulnya, saya belum begitu menangkap kekerenan film ini dari trailer-nya.

Setelah menonton film ini, saya harus setuju dengan pendapat yang berkeliaran bebas di social media, bahwa untuk ukuran film animasi, gambarnya sangat…sangat memanjakan mata. Bagi saya, Ne Zha menjadi film animasi dengan kualitas visual terbaik yang dikemas dengan rentetan adegan pertarungan yang menggelegar. Rasa takjub melemparkan ingatan saya pada saat menonton fighting scene Son Goku vs Frieza dalam Dragon Ball Z di Indosiar dulu, namun tentu dengan level visual yang jauh di atasnya.

Ne Zha ini sebetulnya bukan karakter asing bagi penonton Indonesia seumuran saya. Dulu ia dikenal dengan nama Na Cha ketika sempat muncul pada serial Kera Sakti, dan beberapa film mandarin lainnya. Sama halnya dengan di serialnya dulu, tokoh cerita legenda Tiongkok ini selalu digambarkan sebagai anak nakal yang sulit untuk dikendalikan, sehingga lehernya harus dibelenggu oleh gelang sakti. Mirip-mirip dengan Sun Go Kong yang kepalanya harus dibelenggu oleh semacam ikat kepala besi.

Ciri khas lainnya juga terlihat dari penampilannya yang digambarkan berbaju merah, memiliki rambut yang dicepol kiri kanan, bersenjatakan tombak yang bisa mengeluarkan api, serta mempunyai cakram kembar yang bisa ia gunakan sebagai kendaraannya.

Tak cuma bermodalkan tampilan visual, Ne Zha juga menyajikan cerita yang sangat baik. Tentunya ini bukan kali pertama cerita legenda Ne Zha diadaptasi ke dalam sebuah film, namun saya merasa film Ne Zha inilah yang terbaik. Selain ada beberapa adegan memorable yang cukup membuat mata berkaca-kaca, beberapa tokoh lain yang ditampilkannya pun berkarakter sangat kuat. Mungkin bila ada action figure tokoh-tokoh tersebut yang dijual di Indonesia, saya akan membelinya. Plot dalam ceritanya memang berjalan cukup serius, namun komedi yang dimunculkan cukup berhasil memberi tawa dan kesan tersendiri.

Secara garis besar, bagi saya Ne Zha sangat layak disandingkan bahkan dengan deretan film animasi buatan pixar. Tahun ini setidaknya ada Toy Story 4, dan Ne Zha yang telah mencuri perhatian. Entah bagaimana dengan nasib Frozen 2 pada akhir tahun ini. O..yah, Nezha ini juga memiliki tiga credit scene. Satu di awal, satu di tengah, dan satu di akhir. Pengumuman akan adanya credit scene ini bahkan diberitahukan secara gamblang saat credit mulai bergulir di layar. Sepertinya akan sangat menarik bila Ne Zha dibuat sekuelnya.

Nah, bagi yang penasaran dengan kerennya film ini, sebaiknya segera bergerak ke CGV terdekat yang menayangkannya di kota kamu. Karena bila melihat awareness masyarakat serta jumlah layar yang tersedia, rasanya film ini tak akan berumur panjang di Indonesia. Bagi yang berdomisili di Bandung, dapat menyaksikannya hanya di CGV Paris van Java.


Hiruk pikuk Braga Festival cukup membuat jengah, dan pusing kepala. Tak heran memang, kala itu, event di Kota Bandung masih cawerang jarang-jarang, bagai daging di panci sup meja prasmanan kondangan yang kita datangi saat injury time. Perhatian saya kemudian teralihkan kepada sebuah gang kecil di tengah himpitan jalan Braga di mana ada 3-5 orang bergantian keluar masuk. Beberapa mural cantik yang menghiasi sekeliling dindingnya semakin mengundang saya untuk menjelajah lebih dalam. Seolah tak mau kalah dengan kebisingan panggung Braga Festival 2012, alunan musik pun kian terdengar dalam setiap langkah yang saya ayunkan ke depan.
Mulut Gang Apandi di Jl. Braga, Bandung
Setibanya di sumber suara, sebuah panggung dengan setelan Agustusan rupanya berdiri di tengah-tengah gang sempit yang barusan saya lewati. Sebuah pertunjukan tari-tarian yang diiringi kendang pencak, nampak sedang ditampilkan. Riuh penonton yang tak henti-hentinya bersorak dan bertepuk tangan, membuat ruang kecil berlatar bangunan tinggi di sekelilingnya ini menjadi bergelora. Itulah kali pertama saya berkenalan dengan Gang Apandi. Selama 20 tahun lebih berjalan-jalan di sekitaran Braga, baru kali ini saya melihat kehidupan di baliknya.
Dokumentasi panggung perayaan Braga Festival 2012, di Gang Apandi.

Potret kehidupan di Gang Apandi ini sebetulnya setali tiga uang dengan kawasan tempat saya tinggal. Lebar jalan yang hanya cukup untuk motor, deretan pakaian yang dijemur tepat di atas kepala, serta perbincangan dengan tetangga yang dilakukan dengan saling berteriak dari rumah masing-masing. Saya sendiri sering menyebutnya ‘Gang Seribu Punten’. Karena saat kita berjalan di daerah yang dikategorikan sebagai ‘Kampung Kota’ ini, hampir setiap meternya kita akan terus menyebut kata ‘punten’ kepada orang yang sebetulnya nongkrong di depan pintu rumahnya.

Dalam beberapa bulan terakhir, hingga puncaknya awal September 2019 lalu, suara Gang Apandi terdengar kian lantang, hingga mulai dikenal lebih banyak warga maupun wisatawan di Kota Bandung. Sebuah spanduk petisi bertandatangan warga, serta bertuliskan “Gang Apandi Harga Mati!!! Kami warga RW 08 Kelurahan Braga menolak penutupan Gang Apandi,” membentang di bangunan bekas Toko Buku Djawa. Pemicunya adalah sebuah mobil (yang sudah dikempeskan bannya) yang diparkirkan memblokir akses gang pada 10 September 2019, dini hari. Hal ini sontak membuat warga Gang Apandi geram. Persengketaan lahan yang terjadi selama beberapa tahun terakhir memang cukup membuat panas suasana. Puluhan rumah pun perlahan telah dihancurkan dalam kurun waktu satu tahun ke belakang. Sementara warga yang sudah kehilangan tempat bernaungnya, tidak mendapatkan imbalan yang setimpal. Dalam perbincangan saya dengan Pak Nana, Ketua RW 08, warga hanya mendapat penggantian Rp40 Juta yang mesti dibagi kepada puluhan kepala keluarga.
 
Beberapa rumah warga Gang Apandi yang sudah dihancurkan.
Saya memang cukup sering mampir ke Gang Apandi bersama kawan. Entah untuk memotret, ataupun terlibat dalam sebuah obrolan panjang dengan warga. Warga di sini sangat ramah, kami selalu diperbolehkan merekam aktivitas mereka, dan mengunggahnya di media sosial. Tentu harapannya agar cerita kami ini dapat membuka mata masyarakat dan pemerintah, bahwa ada sebuah ruang kehidupan di balik megahnya wisata Jalan Braga.

Dalam beberapa kali kunjungan saya ke Gang Apandi, sapaan saya terhadap warga selalu berujung dengan sesi curhat mengenai penolakan mereka terhadap rencana penutupan mulut gang tersebut. Selain karena terowongan yang menjadi mulut gang ini merupakan bagian dari bangunan cagar budaya, gang tersebut juga merupakan akses utama warga untuk pergi memakamkan jenazah, ataupun mengungsi ketika ada banjir besar. Sejarah mencatat bahwa kawasan Gang Apandi pernah beberapa kali mengalami banjir besar pada tahun 1952, awal periode 80-an,  hingga terakhir tahun 2009. Hal ini dikarenakan Kampung Apandi ini juga berbatasan langsung dengan Sungai Cikapundung. Di samping itu, Kampung Apandi ini juga merupakan bagian dari sejarah Bangsa Indonesia sebagai tempat bersembunyinya para pejuang kemerdekaan.
Suasana di sisi perkampungan di Kelurahan Braga yang berbatasan dengan Sungai Cikapundung
Di luar permasalahan yang merundungnya saat ini, Gang Apandi memiliki latar belakang historis yang tak kalah penting dengan Jalan Braga, yang sebetulnya dapat menjadi bagian dari wisata sejarah di Bandung. Karena di perkampungan inilah, para pejuang kemerdekaan bersembunyi dahulu. Tentu akan menjadi sangat menarik untuk ditelusuri, bila seluruh pihak dapat bekerja sama mengemas sisi tersebut. Yang pasti, rute tour wisata tersebut jangan luput dari aktivitas sarapan pagi dengan bubur ayam di mulut Gang Apandi yang rasanya selalu tepat untuk mengawali hari.
Plakat Cagar Budaya Gang Apandi (maaf bila kurang jelas, karena memang objek awalnya saat motret bukan plakat ini)





“Teu boga sawah, asal boga pare, teu boga pare, asal boga beas, teu boga beas, asal bisa nyangu, teu nyangu, asal dahar, teu dahar, asal kuat.”
Hasil panen Kampung Adat Cireundeu yang dipertunjukan saat acara Tutup Taun

Sebuah tulisan berbahasa Sunda yang secara arti cukup menarik ini, terpampang jelas di sebuah bangunan mirip saung di Kampung Adat Cireundeu. Sementara di bawah tulisan tersebut, berbagai hasil kekayaan alam yang didominasi oleh singkong, tersusun rapi, bak tumpeng raksasa yang dibuat untuk sebuah perayaan. Saat itu, warga Cireundeu memang tengah bersukacita memperingati pergantian tahun Saka Sunda dalam upacara adat Tutup Taun yang memang sudah rutin diadakan.  

Bukan tanpa alasan singkong menjadi primadona yang terlihat menjadi santapan, serta hiasan pada acara Tutup Taun Kampung Adat Cireundeu. Kampung yang berada di kawasan administratif Cimahi ini memang dikenal karena kebiasaannya yang sudah mulai mengganti pilihan bahan baku makanannya dengan singkong, mulai dari nasi singkong, dendeng singkong, hingga cemilan seperti egg roll pun dibuat dengan bahan utama singkong. Hal ini pun menjelaskan mengenai tulisan yang tertera di bangunan tadi. Itulah filosofi yang dipegang erat oleh warga Kampung Adat Cireundeu ini. Mereka berpedoman bahwa manusia itu tidak boleh bergantung pada satu bahan makanan saja. Sehingga bila satu bahan sedang langka, mereka lantas tidak harus kelabakan.
Cemilan khas Kampung Adat Cireundeu yang terbuat dari bahan baku beras singkong.

Contoh yang sangat nyata terjadi pada krisis moneter tahun 1997 silam. Saat seluruh masyarakat Indonesia ribut mempersoalkan kenaikan harga beras, dan bahan pokok lainnya, yang diakibatkan oleh inflasi besar-besaran. Warga Kampung Adat Cireundeu sama sekali tidak terpengaruh akan hal tersebut. Selain bisa ditanam di kebun belakang rumah, biaya pengembangannya pun tergolong murah. Lalu bila ditinjau dari segi gizinya, singkong memiliki kandungan gizi lebih baik, karena komposisinya yang rendah gula. Satu bungkus Rasi (beras singkong) dengan berat mungkin sekitar 500gr (sudah agak lupa, karena terakhir beli 2017), bisa dibeli dengan harga Rp5.000 saja. Satu kemasan tersebut sudah dapat dibuat nasi sekitar satu dandang.

Saya pribadi sudah beberapa kali mampir ke Kampung Adat Cireundeu, terutama saat digelarnya acara Tutup Taun. Setidaknya saat saya menyengaja untuk membeli produk-produk olahan singkongnya yang unik, ada festival budaya yang bisa sekaligus saya saksikan. Karena di luar acara Tutup Tahun, kampung ini terlihat seperti pemukiman warga biasa saja. Sudah tidak tersisa bekas-bekas rumah adatnya. Walaupun begitu, guyubnya warga, serta sikap gotong royong dalam keseharian masih bisa terlihat. Hal ini sudah langka bila saya bercermin ke lingkungan yang saya temui sehari-hari.
Pengunjung membeli produk-produk makanan olahan singkong di Kampung Adat Cireundeu.
Seperti kampung adat lainnya yang pernah saya kunjungi, Cireundeu juga memiliki hutan larangan. Namun, seperti yang sudah saya jelaskan di beberapa artikel sebelumnya, hutan larangan ini bukan berarti benar-benar terlarang untuk masuk. Hanya saja, ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh pengunjungnya, seperti dilarang dimasuki oleh perempuan yang sedang haid, serta pengunjung harus pula melepaskan alas kaki. Ujung dari hutan tersebut adalah Puncak Salam yang memiliki pemandangan yang katanya tak kalah menawan dari tempat-tempat wisata di Lembang. Belakangan malah sudah ada penyedia open trip yang memasarkan perjalanan malam ke Puncak Salam ini. Sayangnya saya belum berkesempatan menjajalnya.

Baca juga: Bertandang ke Kampung Adat Cikondang
Agenda hiburan pada acara Tutup Taun di Kampung Adat Cireundeu
Di samping wisata ke Puncak Salam, Kampung Adat Cireundeu juga memang sudah serius disiapkan oleh Pemerintah Kota Cimahi sebagai tujuan wisata andalannya. Bahkan kini mereka sudah memiliki slogan “Visit Cireundeu” yang sekaligus dijadikan akun promosi pariwisatanya. Tapi, memang tak heran bila Cireundeu ini menjadi ujung tombak pariwisata di Cimahi. Karena berdasarkan perbincangan saya dengan Kang Tri, salah seorang pemuda kampung tersebut, setiap minggunya itu selalu ada saja mahasiswa yang datang dari berbagai daerah untuk mempelajari budaya Kampung Adat Cireundeu. Hal ini juga menandakan bahwa sebetulnya masih ada wisata atraktif yang tidak dibatasi dari penilaian sisi visualnya. Karena sesungguhnya, budaya pun merupakan elemen penting pariwisata. Itu yang kebanyakan orang lupa.

Kampung Adat Cireundeu
Jl. Saptadaya (masuk lewat Jl. Leuwigajah di sebelah Kerkof), Cimahi



Saat mengetahui kabar mengenai event bertajuk Festival of Light akan mampir ke Bandung bulan ini, kedengarannya sangat menjanjikan. Apalagi setelah tahu kalau event ini digelar secara roadshow keliling Nusantara. Saya membayangkan sebuah event kece macam festival balon udara di Wonosobo, festival layangan di Pangandaran, atau malah festival salju dan es internasional seperti di Harbin, Tiongkok. Hal ini didukung pula oleh citra kota Bandung yang memang setiap tahunnya sejak tahun 2014 lalu, telah rutin menggelar Bandung Light Festival untuk merayakan ulang tahunnya yang jatuh setiap 25 September.
Beberapa instalasi lampion di Festival of Light Bandung di Kiara Artha Park

Namun, imajinasi saya akan sebuah festival megah perlahan mulai pupus, seiring dengan langkah kaki yang terus bergerak menjelajahi sudut Kiara Artha Park Bandung yang menjadi venue acara. Rupanya Festival of Light ini tak ubahnya seperti sebuah tempat wisata selfie yang sudah banyak bertebaran di Bandung. Tak ada lagi yang bisa dilakukan di sini selain berswafoto dengan berbagai desain lampion yang menyala karena diberi lampu di dalamnya. Rasanya seperti sama saja dengan berjalan-jalan di Lampion Park di Tegallega. Bahkan lebih worth it untuk berkunjung ke Tegallega yang harga tiket masuknya hanya seribu rupiah.

Instalasi di Festival of Light Bandung di Kiara Artha Park

Koridor berhiaskan lampu di Festival of Light di Kiara Artha Park Bandung
Saya tidak bisa berpendapat tentang gelaran di daerah lain, tapi untuk ukuran penyelenggaraan di Bandung, Festival of Light ini jelas minim kreativitas. Bahkan bila disandingkan dengan Bandung Light Festival tahun lalu yang banyak mendapat kritik, Festival of Light ini masih jauh berada di bawahnya. Malah sepertinya, instalasi di Gedung Sate Festival 2018 masih bisa dikatakan lebih baik dari ini. Bagi saya yang memang sering singgah dari satu event ke event lainnya di Bandung, saya rasa pihak penyelenggara salah memilih kota. Hal ini dapat terlihat pula dari area event yang kalah ramai dibandingkan dengan area dancing fountain yang dipadati pengunjung. Walaupun sebetulnya, pertunjukan air mancur menari bukan hal baru di Bandung.
Salah satu mobil hias di Bandung Light Fest 2016
Instalasi koridor di Gedung Sate Festival 2018
Saya sempat melihat di akun Instagram event ini, bahwa sebetulnya ada juga atraksi hot air balloon di kota-kota lain, yang justru ditiadakan atau belum terlihat di penyelenggaraan Bandung. Entah apa alasannya. So, saran saya sih, bagi yang penasaran, dan memang doyan selfie, silakan berkunjung dengan membayar tiket Rp25.000 untuk weekdays, dan Rp35.000 untuk weekend. Untuk yang berada di luar kaum tersebut, with all due respect, mendingan pergi ke Tegallega.
Lampions Park di Tegallega

Festival of Light Bandung
Kiara Artha Park
Perempatan Jl. Ibrahim Adjie (Kiara Condong) dan Jl. Terusan Jakarta, Bandung.
Buka: 17.00-22.00
Start from: 13 September 2019

Mungkin, review saya kali ini akan sangat ketinggalan. Karena yang akan saya bahas adalah sebuah kuliner jadul yang sudah melegenda di Bandung, bernama Bolu Bakar Tunggal. Jajanan ini baru saya ulas, karena memang saya baru mencobanya beberapa waktu lalu. Padahal, pabriknya sendiri terletak cukup dekat dari tempat saya tinggal. Ia bahkan cukup menyolok dengan ornament kue marie raksasa yang menjamin setiap yang melintas untuk mendongakkan kepala sejenak. Namun, mungkin karena dulu dari segi tampilannya terlihat sangat ‘pabrik’, saya jadi enggan untuk mampir.
Bolu Bakar Tunggal Rasa Keju
Saya baru tertarik menjajal rasa Bolu Bakar Tunggal ini justru saat sedang berjalan-jalan di kawasan foodcourt pusat perbelanjaan 23 Paskal. Harumnya yang menggoda, cukup kuat untuk menghentikan langkah saya berkeliling ke arah kios makanan lainnya. Saya sering melihat langsung proses pembuatan makanan dalam konsep open kitchen, tapi tidak ada yang semenggoda ini. Saya rasa, wangi ini  ditimbulkan oleh mentega khusus yang dioleskan pada bolu, yang kemudian matang dengan baik melalui permukaan besi panggangan. Walau sebetulnya saya merasa bingung juga, judulnya Bolu Bakar, tapi prosesnya lebih mirip dipanggang, serta bentuknya pun lebih mirip seperti roti dibandingkan dengan bolu.

Karena paling suka santapan apapun dengan rasa atau topping keju, tanpa ragu saya pun memilih pilihan rasa tersebut, yang memang rasanya tak gagal memuaskan lidah. Wangi mentega yang tadi tercium, dapat juga saya rasakan di mulut. Ditambah, tekstur bolunya yang sangat lembut cukup memberikan efek nagih. Untuk harga satu porsi bolu rasa keju yang bisa diiris menjadi 8 potong ini adalah Rp38.000, begitu pula dengan yang varian rasa roombutter. Sedang untuk varian rasa asin seperti tuna, harganya Rp55.000. Selain dua rasa tersebut, tentunya banyak lagi rasa lainnya seperti strawberry, nanas, pindakas (kacang), coklat, kopi, dan campuran dari rasa-rasa tersebut. Bahkan ada juga keju spesial yang katanya pakai dua kali lipat jumlah kejunya. Padahal, rasa keju yang reguler saja sudah sangat enak, entah bagaimana rasanya kalau yang keju spesial.

Satu minggu dari pengalaman icip Bolu Bakar Tunggal yang pertama, akhirnya saya mengunjungi juga pabriknya langsung di Jl. Jenderal Sudirman No. 570-574. Di luar dugaan, ternyata tempatnya kece. Rancangannya sudah seperti café-café kekinian yang hits di Bandung. Selain bisa membeli bolu bakarnya, pihak pengelola rupanya menyediakan beberapa tenant makanan dan minuman lain yang bisa disantap. Lalu ada juga area pusat pembelian oleh-oleh yang tempatnya cukup besar, walau saya tidak tahu pasti, apakah ada wisatawan yang mampir ke sini? Karena lokasinya bukan berada di kawasan wisata. Anyway, saya sempat membeli juga beberapa cemilan yang keseluruhannya merupakan buatan pabrik ini. Rasanya tak kalah enak, namun memang sepertinya masih jarang ada yang mampir belanja.

Bolu bakar ini cukup bisa dinikmati rame-rame dengan keluarga atau sahabat. Satu porsinya, saya kira cukup untuk empat orang, dengan jatah per orangnya masing-masing dua potong lah. Tapi kalau boleh mengutip sebuah tagline iklan brand coklat ternama, “gede sih, tapi rela bagi-bagi?”

Saya bukan vegetarian, tapi memang belakangan ini merasa ingin mulai sedikit menyeimbangkan asupan makanan dengan lebih banyak material yang memiliki gizi lebih baik. Bukannya berlebihan, tapi memang dalam beberapa tahun ke belakang, beberapa kawan terdekat saya mengalami sakit yang cukup berat yang diakibatkan oleh pola makan yang tidak sehat.


Sejak satu bulan terakhir, saya pun mulai mengganti makan siang saya dengan beragam buah-buahan. Inginnya sih, intensitas menyantap makanan sehat ini bisa lebih sering, dan menggantikan penuh menu sehari-hari. Tapi, tidak bisa dipungkiri, makanan yang betul-betul terjaga gizinya itu biasanya memiliki standar harga yang justru lebih tinggi, yang tentunya tidak lebih murah, dan mengenyangkan, dibanding bala-bala, dan mie rebus yang dijual di warung kopi. Sedang saya pun tidak bisa juga memaksa orang rumah, untuk terus-terusan memasak, serta menyantap hidangan yang tidak saya sukai. Oleh karena itulah, agar tidak bosan juga, sesekali, saya menyempatkan untuk membeli menu-menu yang disediakan oleh café dan restoran vegetarian yang kini mulai banyak bertebaran di Bandung

Problem kebanyakan tempat yang menjual makanan sehat itu sebetulnya ada di rasa. Beberapa tempat yang saya pernah coba datangi menawarkan makanan sehat, namun sayang rasanya hambar. Nah, maka dari itulah, saya mencoba merekomendasikan beberapa café dan restoran yang menyediakan menu makanan yang tidak hanya sehat, tapi juga lezat di Bandung.

 1.  Serasa Salad Bar

Waktu masih bergerak open booth dari event to event pada periode tahun 2015-2016, Serasa Salad Bar ini menjadi brand makanan sehat favorit saya. Karena baru Serasa ini nih yang saat itu mengenalkan menu salad sayuran yang rasanya enak. Karena sering bertemu di banyak event yang digelar di Bandungteh Fitri, pemilik Serasa Salad Bar, sempat selalu ingat dengan wajah saya setiap akan membeli saladnya. Kalau sekarang sih wallahualam, belum pernah lagi dilayani langsung saat beli saladnya, haha.

Salad Wrap ala Serasa Salad Bar
Setelah beberapa tahun saya tidak menemukan mereka di event-event yang saya datangi, belakangan saya baru tahu kalau mereka kini sudah memiliki kedai sendiri di kawasan Cilaki, Bandung, serta telah membuka juga kedai di Jakarta, dan Bekasi. Bahkan Teh Fitri sendiri sempat didapuk sebagai salah satu pengusaha sukses yang menjadi salah satu pembicara yang hadir dalam program Akademi Instagram Bandung bulan lalu, bersama bos saya Om Ben, yang merupakan founder dari Torch.id.

Baca juga: Belajar Bisnis di Akademi Instagram Pertama di Dunia

Selang tiga minggu dari acara Akademi Instagram, saya pun akhirnya berkesempatan mampir di Serasa Salad Bar Cilaki. Tempatnya dirancang dengan gaya eco-green minimalis, yang dikelilingi oleh jendela-jendela kaca yang membuat lampu tak perlu dinyalakan pada siang hari. Desain tempatnya tersebut terasa sangat sesuai dengan produk yang dijualnya.


Untuk menunya, Serasa Salad Bar tentu menawarkan lebih banyak menu dibandingkan saat saya rajin membelinya di booth-booth event dulu. Selain menu customize salad yang sudah menjadi ciri khasnya, kini mereka juga memiliki beragam jenis penyajian salad, seperti Thai Beef Salad, Salmon Pasta Salad, Mexican Tuna Salad, Salad Wrap, dll. Menu-menu salad yang judulnya ‘berdaging’ seperti Salmon Pasta Salad, Thai Beef Salad, dan Mexican Tuna Salad, dapat dihidangkan tanpa daging untuk vegetarian. Harganya pun akan menjadi lebih murah, dibanding dengan memakai daging.

Suasana di Serasa Salad Bar Bandung
Saat itu saya memesan Salad Wrap yang dari tampilan dan pengemasannya cukup membuat penasaran. Salad Wrap ini merupakan menu salad yang dibungkus dengan rice paper menjadi 10 pcs one-bite salad, yang bisa dicocol dengan salad dressing. Cara menyantapnya menjadi seperti saat kita memakan Dim Sum.


Serasa Salad Bar
Jl. Cilaki No. 45, Bandung

Range Harga: Rp35.000-55.000


2.    Burgreens Bandung

Bagi warga Ibukota, mungkin sudah tidak asing dengan nama yang satu ini. Karena saat saya berbincang dengan salah seorang crew­-nya, ia mengatakan bahwa Bandung merupakan cabang ke-8 yang dibuka, setelah tujuh gerai sebelumnya sudah beroperasi di Jakarta. Di Bandung, mereka berbagi ruang dengan Toko Organic, yang juga memiliki concern khusus terhadap segmen yang membutuhkan makanan, minuman, serta obat-obatan herbal.

Dari restoran vegetarian yang pernah saya kunjungi, Burgreens ini memiliki variasi menu yang paling kaya. Mulai dari salad, burger, steak, spaghetti, ramen, sate, nasi liwet, hingga smoothies. Nah, si smoothies-nya ini nih yang juara. Bahkan varian menunya tersebut langsung ditawarkan di bagian paling depan menu, sebelum main course. Saya pun sempat menyicipi Burgreens Signature Bowls yang terdiri dari smoothies bayam, dengan taburan kacang mede, almond, spirulina, irisan pisang, dan irisan belimbing. Rasanya sangat segar, cocok dengan udara Bandung yang sedang panas-panasnya.
 
Burgreens Signature Bowls
Untuk menu makanan berat, saya mencoba salah satu menu burgernya, yakni Big Max untuk dijajal. Nama Max sendiri diambil dari nama Max Mandias yang merupakan owner sekaligus executive chef dari Burgreens. Maka tak heran bila menu-menu di burgreens memiliki cita rasa yang terjaga. Burger yang saya coba ini dihidangkan dengan salad, dan kripik ubi ungu. Untuk rotinya sendiri, mereka menggunakan roti gandum, serta patty yang walau terlihat seperti daging cincang, tapi sebetulnya merupakan hasil kreasi dari beberapa bahan, seperti jamur, kedelai, dan beberapa bahan lainnya. Oleh karena itu, bila diamati lebih cermat, warna patty-nya sedikit berwarna kehijauan, dan ketika diiris, dan dikunyah, akan terasa sangat lembut.

Walaupun mengusung tagline Healthy Plant-Based Eatery”, Burgreens memiliki beberapa menu yang terdapat komponen non-vegan di dalamnya. Contohnya adalah Big Max yang saya makan, ia menggunakan cheese sauce untuk penyajiannya. Namun, untuk kawan-kawan yang fully vegetarian, tak perlu jadi khawatir. Karena selama pemilihan menunya, kita akan dipandu dengan ramah oleh crew Burgreens yang sedang bertugas, sehingga bisa memilih menu yang sesuai dengan selera, dan kebutuhan. Di samping menu-menu makanan berat, Burgreens Bandung juga menyediakan beberapa cemilan, seperti keripik, dan dessert manis, yang kadar dan komposisinya sudah terjaga.

Dari segi tempat, Burgreens Bandung juga dapat dibilang sebagai café yang Instagrammable. Desainnya yang homey, dengan beberapa ornament dekorasi yang cantic, menjadi salah satu kelebihannya. Akan tetapi, dari segi harga, rate harga Burgreens cukup tinggi untuk kuliner di Bandung. Ya, cukup menyesuaikan dengan kualitas, serta lokasinya yang berada dekat dengan Jl. Riau, yang terkenal dengan kawasan wisatanya.

Suasana di Burgreens Bandung

Burgreens Bandung
Jl. Cimanuk No. 6, Bandung
Range harga: Rp20.000-65.000 (rata-rata main course di 60.000-an)

Telah terbit terlebih dahulu dalam: Burgreens, Satu Lagi Restoran Vegan yang Hadir di Bandung


3. Toko Organic Bandung

Seperti yang sudah saya ceritakan di bagian Burgreens Bandung, Toko Organic Bandung merupakan penghuni sebelahnya yang terlebih dahulu mendampingi Jl. Cimanuk No. 6. Namun Toko Organic Bandung ini bukanlah sebuah café atau restoran vegetarian, melainkan sebuah toko kelontong / swalayan yang khusus menjual produk-produk ritel makanan, dan minuman sehat.

Produk seperti low-fat dark chocolate, mie instant vegan, unsalted pop corn, Kombucha, dan Kefir (susu kambing fermentasi) bisa ditemukan di sini. Tak lupa untuk obat-obatan organic-nya, mereka menyediakan beberapa merek, termasuk Botanina yang cukup ternama.
 
Salah satu sudut di Toko Organic Bandung
Hal menariknya, Toko Organic Bandung juga menjual beragam produk yang sedang gencar dikampanyekan sebagai solusi pengurangan sampah plastik, seperti tote bag, sendok-garpu dari bahan recycle, hingga sedotan stainless yang sedang populer belakangan ini. Mereka menjualnya dengan harga eceran mulai dari Rp15.000, yang kemudian membuat saya berpikir untuk menjualnya kembali dengan memberikan sentuhan pada pengemasannya. Karena di pasaran, sedotan jenis ini dijual dengan harga cukup beragam. Mulai dari Rp25.000-75.000. Padahal yang membedakan hanya dari pouch-nya saja.
Sedotan stainless yang dijual secara paket dan satuan di Toko Organic Bandung

Toko Organic Bandung
Jl. Cimanuk No. 6, Bandung
Range Harga: Mulai dari Rp5.000



    4. Tiasa Kedai Sehat

Buat kawan-kawan pemuda hijrah yang rajin menghadiri pengajian di Masjid Al-Lathief Bandung, tentu akan sadar dengan keberadaan sebuah kedai makanan sehat yang baru berdiri sekitar satu bulan terakhir tepat di depan masjid yang menjadi markasnya tersebut. Tiasa Kedai Sehat namanya.

Tempatnya tidak terlalu besar, namun dibuat cukup nyaman dengan gaya ala coffee shop kekinian. Menu-menunya ditampilkan dengan rancangan layaknya warteg, hanya saja dibuat lebih modern.
Tiasa Kedai Sehat yang dirancang dengan desain menyerupai warteg
Seperti kebanyakan café vegan yang sudah ada, Tiasa Kedai Sehat menyajikan makanan-makanan daging hasil sintesis bahan-bahan seperti kedelai dan jamur, dengan rasa yang untuk saya sih sangat lezat, namun dengan porsi yang sedikit. Berbeda dengan kebanyakan menu-menu vegetarian yang sering saya jumpai, beberapa menunya dibuat sedikit pedas, sepertinya,  mungkin agar bisa lebih memenuhi selera pasar. Rasa pedasnya masih sopan kok, tapi cukup memberikan booster bagi nafsu makan.


Bagi saya, kelebihan Tiasa Kedai Sehat ini adalah dari harganya yang sangat murah untuk ukuran restoran vegetarian. Untuk satu pilihan menu sayurnya hanya berkisar di harga Rp4.000, sedangkan untuk menu daging sintesisnya ada di rentang Rp11.000.


Karena tempatnya yang tak begitu besar, tapi tak begitu jauh dari kantor. Saya lebih sering memesannya lewat jasa layanan food delivery yang harganya hanya berbeda Rp1.000 saja dari harga dine in. Setelah mencoba beberapa kali memesan menu dagingnya seperti Lasagna, Bulgogi, Ayam Sambal Matah, Daging Sapi Lada Hitam, dan Dendeng Batokok, nama menu terakhir yang disebut lah yang menjadi juaranya. Teksturnya tebal, tapi lembut, dengan rasa yang agak pedas, dan kaya.
Hidangan Nasi Putih dengan Daging Sapi Lada Hitam dan Dendeng Batokok yang dibuat secara sintetik dari jamur dan kedelai

Tiasa Kedai Sehat
Jl. Kihiur No. 10, Bandung
(Minggu libur)
Range harga: Rp4.000-Rp11.000



     5.  Kehidupan Tak Pernah Berakhir
Oke, karena restoran yang namanya cukup absurd ini sudah sangat lama tidak saya kunjungi. Maka saya tidak mempunyai fotonya. Tapi tempatnya sangat menyolok kok, dengan kata “KEHIDUPAN” yang ditulis besar-besar dengan font warna merah di gerainya. Terlebih, resto vegetarian ini juga letaknya sangat strategis, berada di dekat perempatan Jl. Pasirkaliki-Jl. Pajajaran yang terkenal dengan mall Istana Plaza.


Saat pertama menyicipi makanan di Kehidupan Tak Pernah Berakhir (untuk selanjutnya disebut dengan Kehidupan) adalah ketika bekerja di sebuah bank swasta asing pada medio 2012-2013 dulu. Saya dan kawan-kawan yang sering ditempatkan bekerja di booth Istana Plaza harus memutar otak untuk bisa mendapatkan makan siang hemat. Lalu sebuah signboard LED bertuliskan “Nasi+4 sayur= Rp6.000 menjadi jawaban keresahan kami.


Tempatnya sendiri bagi saya memberikan sebuah kesan spiritual. Beberapa ornamen desainnya cukup aneh, dan nyeleneh, sama seperti namanya. Unik memang, tapi tidak seperti desain café-café yang instagrammable zaman now. Di beberapa sudutnya, terdapat layar yang secara non-stop memutar tentang manfaat, serta testimoni para public figure yang hidupnya sehat dengan menjadi vegetarian. Saya dan kawan-kawan seperti sedang di-brainwash untuk dapat menjadi vegan.


Pelayanan di sini mirip dengan sebuah kantin atau warung nasi yang menyediakan berbagai menu. Kita bisa memilih menu prasmanan ataupun ala carte yang tersedia di daftar menu. Bila memilih menu secara prasmanan, nantinya kita akan mengantre, dan dilayani oleh mbak-mbak yang memakai selendang bak Miss Universe. Entah apa yang tertulis di selendang tersebut, saya sudah lupa.


Untuk sayurannya sendiri, rasanya memang tak begitu jauh dengan menu makanan warteg, tapi memang tidak terasa begitu gurih. Mungkin karena semua makanannya tidak mengandung MSG, serta ditumis dengan minyak kelapa rendah kolesterol. Namun yang paling berkenang saat itu adalah daging sintesisnya yang betul-betul terasa seperti daging sungguhan, seperti sate, dan gepuknya yang saat itu pernah saya coba. Aromanya pun demikian, layaknya 100% sedang makan sate ayam.


Hal unik lainnya dari restoran Kehidupan ini adalah adanya keripik rumput laut yang ditumpuk berdus-dus di area masuk, dan dijual oleh SPG yang dandanannya seperti SPG rokok atau kosmetik. Bedanya, tentu yang dipegang keler-keler keripiki rumput laut.


Kehidupan Tidak Pernah Berakhir
JL. Pajajaran No. 63, Bandung
Range Harga (sekarang): Mulai dari Rp13.000

Bagi warga Ibukota, mungkin sudah tidak asing dengan nama yang satu ini. Karena saat saya berbincang dengan salah seorang crew­-nya, ia mengatakan bahwa Bandung merupakan cabang ke-8 yang dibuka, setelah tujuh gerai sebelumnya sudah beroperasi di Jakarta. Di Bandung, mereka berbagi ruang dengan Toko Organic, yang juga memiliki concern khusus terhadap segmen yang membutuhkan makanan, minuman, serta obat-obatan herbal.

Dari restoran vegetarian yang pernah saya kunjungi, Burgreens ini memiliki variasi menu yang paling kaya. Mulai dari salad, burger, steak, spaghetti, ramen, sate, nasi liwet, hingga smoothies. Nah, si smoothies-nya ini nih yang juara. Bahkan varian menunya tersebut langsung ditawarkan di bagian paling depan menu, sebelum main course. Saya pun sempat menyicipi Burgreens Signature Bowls yang terdiri dari smoothies bayam, dengan taburan kacang mede, almond, spirulina, irisan pisang, dan irisan belimbing. Rasanya sangat segar, cocok dengan udara Bandung yang sedang panas-panasnya.

Burgreens Signature Bowls
Untuk menu makanan berat, saya mencoba salah satu menu burgernya, yakni Big Max untuk dijajal. Nama Max sendiri diambil dari nama Max Mandias yang merupakan owner sekaligus executive chef dari Burgreens. Maka tak heran bila menu-menu di burgreens memiliki cita rasa yang terjaga. Burger yang saya coba ini dihidangkan dengan salad, dan kripik ubi ungu. Untuk rotinya sendiri, mereka menggunakan roti gandum, serta patty yang walau terlihat seperti daging cincang, tapi sebetulnya merupakan hasil kreasi dari beberapa bahan, seperti jamur, kedelai, dan beberapa bahan lainnya. Oleh karena itu, bila diamati lebih cermat, warna patty-nya sedikit berwarna kehijauan, dan ketika diiris, dan dikunyah, akan terasa sangat lembut.

Baca juga: Rekomendasi Cafe dan Restoran Vegan di Bandung

Walaupun mengusung tagline Healthy Plant-Based Eatery”, Burgreens memiliki beberapa menu yang terdapat komponen non-vegan di dalamnya. Contohnya adalah Big Max yang saya makan, ia menggunakan cheese sauce untuk penyajiannya. Namun, untuk kawan-kawan yang fully vegetarian, tak perlu jadi khawatir. Karena selama pemilihan menunya, kita akan dipandu dengan ramah oleh crew Burgreens yang sedang bertugas, sehingga bisa memilih menu yang sesuai dengan selera, dan kebutuhan. Di samping menu-menu makanan berat, Burgreens Bandung juga menyediakan beberapa cemilan, seperti keripik, dan dessert manis, yang kadar dan komposisinya sudah terjaga.

Dari segi tempat, Burgreens Bandung juga dapat dibilang sebagai café yang Instagrammable. Desainnya yang homey, dengan beberapa ornament dekorasi yang cantic, menjadi salah satu kelebihannya. Akan tetapi, dari segi harga, rate harga Burgreens cukup tinggi untuk kuliner di Bandung. Ya, cukup menyesuaikan dengan kualitas, serta lokasinya yang berada dekat dengan Jl. Riau, yang terkenal dengan kawasan wisatanya.

Suasana di Burgreens Bandung

Burgreens Bandung
Jl. Cimanuk No. 6, Bandung
Range harga: Rp20.000-65.000 (rata-rata main course di 60.000-an)

“Cobalah untuk menyeruput kopi lebih lama, cobalah untuk menyentuh, dan merasakan dinginnya lantai secara perlahan ketika pulang kerja, cobalah untuk memandang hujan, tidak dengan cara yang seperti biasanya.”

Begitu bunyi nasihatnya. Sesaat setelah saya menyelesaikan pertanyaan mengenai cara untuk menemukan kembali diri dalam menulis. Lebih dari 700 artikel lifestyle yang saya tulis selama tiga tahun ke belakang di sebuah media, memang tanpa sadar telah melenyapkan sedikit demi sedikit rasa personal pada setiap pilihan kata yang saya coba susun. Oleh karena itulah, selepas memutuskan hengkang dari dunia media, saya pun mulai kembali rajin memberi asupan untuk blog pribadi. Tak kurang dari tiga kali seminggu. Walaupun, nafas reportase masih sangat terasa di dalamnya. Justru memang karena itulah saya melangkahkan kaki ke IFI (Institut Francais d’Indonesie) Bandung pada malam tersebut, yaitu agar dapat menemukan dan menuliskan suara sendiri lewat Theoresia Rumthe yang hadir sebagai pemberi materi.
Theoresia Rumthe, dalam workshop "Temukan dan Tuliskan Sendiri Suaramu" di Bandung Readers Festival 2019
Sama seperti karya tulisnya, tutur bicaranya sangat indah. Mendengar ia berkata, sudah seperti melihatnya menuliskan puisi secara live. Ia menata kata dengan cermat, serta pandai menempatkan jeda sebelum mengakhiri kalimat. Terkadang, keheningan pada jedanya lah yang membuat ucapan yang ia lempar berikutnya menjadi bernyawa.

Saya cukup mengagumi soal rancangan arena yang disiapkan panitia Bandung Readers Festival untuk Theo. Kursi-kursi disusun memutar. Lalu sebuah meja dan kursi diletakkan di tengah-tengahnya untuk sang pembicara. Walaupun, baginya seluruh ruangan tersebut adalah panggungnya. Ia cukup aktif berjalan mendekat, dan berinteraksi dengan orang-orang yang menjadi audiensnya.
 
Suasana workshop "Temukan dan Tuliskan Sendiri Suaramu" di Bandung Readers Festival 2019
“Tempat Paling Liar di Muka Bumi” menjadi awal perkenalan saya dengan Theoresia Rumthe. Buku puisi yang ia tulis bersama Weslly Johannes ini cukup berhasil membawa imajinasi saya melayang ke berbagai adegan, serta sebuah tempat eksotis bernama Saumlaki. Saat bertemu dengannya kemarin, ia persis seperti yang digambarkan Weslly dalam puja-puji yang ia lontarkan dalam buku tersebut.

Theo tak datang dengan membawa tangan hampa kala itu. Ia membawa sebuah wadah berisikan batu, tanah, serta bunga yang ia pakai untuk menyampaikan materinya. Memang cukup aneh untuk sebuah workshop tentang literasi. Namun saya pun kemudian paham ketika dalam sebuah sesi, ia memainkan benda-benda tersebut, untuk memanggil ingatan personal kami semua, yang kemudian kami wujudkan masing-masing dalam bentuk tulisan.

Beberapa dari kami pun bergiliran menyampaikan hasil tulisan yang dibuat dalam waktu singkat. Termasuk saya, yang dari hasilnya masih terdengar seperti membaca lantang sebuah surat kabar. Beda halnya dengan kebanyakan kawan lain dari ruangan ini. Pilihan diksi mereka sangat menarik, beberapa di antaranya terdengar sangat berjiwa. Saya pun langsung teringat akan kawan saya Nurul dari Mbantul, yang sepertinya memiliki warna penulisan kata yang sama dengan orang-orang ini.

Seperti yang saya sampaikan di awal, Theo meminta saya untuk belajar lebih melambat, belajar untuk melihat ke dalam, menikmati setiap pertemuan, mengamati perlahan detil yang harusnya dapat menjadi hal yang lebih. Mulai dari aroma tubuh, hembusan nafas, hingga sepatu yang orang kenakan. Iya, kata-katanya ini memang menjadi hal yang menyadarkan. Karena entah sejak kapan, memainkan gawai menjadi sebuah jalan saya untuk menghindar dari sebuah interaksi yang mungkin sudah ditakutkan duluan akan menjadi menjemukan.


Bandung Reader Festival
4-8 September 2019
Di berbagai ruang literasi di Kota Bandung