“Terima Kasih Untuk 42 Tahun Penuh Kehangatan. Kami Mohon Pamit.”

Saya membayangkan bila poster Star Wars: The Rise of Skywalker disematkan pesan layaknya yang terdapat di poster film Akhir Kisah Cinta Si Doel, rasanya mungkin akan sangat emosional sekaligus terlihat sangat konyol. Kedua film ini punya kesamaan dari segi deretan karakter yang memiliki ikatan mendalam dengan fans militannya. Dan kedua film tersebut pun akhirnya menuntaskan saganya pada jarak waktu yang berdekatan setelah puluhan tahun lamanya.

Poster courtesy of Lucas Art and Disney

Teknis pada film memang penting, namun bagi saya, terkadang yang bisa meraih hati penonton adalah character bonding yang mampu membangkitkan segala jenis emosi dalam diri. Inilah yang secara personal tidak bisa saya dapatkan di Star Wars: The Rise of Skywalker yang berjalan emotionless.

No hard feeling terhadap trilogy ini, karena saya sangat menyukai The Force Awakens, serta The Last Jedi yang mengundang banyak kritik dari berbagai pihak. Tapi berbagai adegan (yang seharusnya) lucu dan menyedihkan di Star Wars: The Rise of Skywalker terasa sangat hampa. Kematian Kylo Ren, dan Princess Leia terkesan datar. Berbeda halnya saat Han Solo ditikam Ren di The Force Awakens. Air mata pun seketika menggenang, walaupun hari sebelumnya saya sudah mengetahui adegan tersebut dari ranjau spoilers yang bertebaran di social media. Sh*t, Bahkan saya masih bisa merasakan kekesalan karena kejadian tersebut.

Mungkin rasa-rasanya semua fan boy Star Wars sudah tau kematian Carrie Fisher sebagai pemeran Leia Organa beberapa tahun lalu, sehingga mau tak mau meyakini kalau yang tampil di film ini hanyalah CGI belaka. Tapi sepertinya bukan itu yang membuat kematian Leia menjadi tanpa haru. Tapi cara ia ‘dibuat’ mati yang rasanya terasa datar. Saya jadi berandai-andai, coba saja bila Leia tak selamat saat cockpit kapalnya diledakan di The Last Jedi, maka emosinya akan terasa berbeda. Tapi kan nggak mungkin juga, karena perannya di sisa film tersebut cukup banyak. (ini mah kan penginnya)

Hubungan  trio Rey-Fin-Poe pun terasa demikian pula datarnya. Masing-masing menunjukan akting yang sangat baik. Tapi itu dia, aktingnya hanya “masing-masing” baiknya. Entah kenapa ketiganya terasa tidak menyatu secara chemistry. Mau nggak mau, saya kan jadi membandingkan chemistry yang dirasa lebih dapet, saat trio Luke-Han-Leia, dan Anakin-Obi Wan-Padme menjadi karakter utama.

Kendati banyak fans di berbagai belahan dunia yang mengritik pengulangan-pengulangan garis cerita yang terjadi di franchisee film ini sejak diakuisi oleh Disney, saya sebetulnya tidak begitu mempedulikannya. Kalaupun mirip-mirip sikit, seperti Rey yang diceritakan berasal dari planet yang agak dusun seperti Luke, yang pada sekuel keduanya ia kemudian dilatih oleh seorang Jedi Master, serta seri ketiga dari setiap triloginya yang selalu berbau kebangkitan (RETURN of the Jedi, REVENGE of the Sith, the RISE of Skywalker), rasanya semua masih baik-baik saja, hingga adegan moment of truth yang mengungkap Rey adalah cucu dari Palpatine. “Waw..aku terkejut,” tapi rasanya pernah liat di mana gitu adegannya.

By the way, di Star Wars: The Rise of Skywalker, saya lebih menyukai Ben Solo a.k.a Kylo Ren yang tumbuh secara manusia, ketimbang Rey yang berkembang pesat secara kemampuan bertarung. Walaupun proses Ren menuju tobat, agak sedikit terlalu cepat.

Memang, Luke pun saat menyelesaikan masa pelatihannya bersama Yoda dan bertempur di Return of the Jedi, kemampuannya pun meningkat. Bedanya, si Rey ini jadinya keliatan jago banget. Ya kemampuan healing, ya kemampuan mempengaruhi pikiran, ya kemampuan menggerakan benda. Ia bagaikan Magneto yang jogres bersama Professor X. Bahkan di salah satu adegannya, ia benar-benar mengingatkan saya akan magneto. Tapi, dengan kemampuan serba bisanya yang bercampur dengan karakter penokohannya, ia tampak seperti seorang juara kelas yang pintar, tapi kaku dalam pergaulan. Padahal banyak adegan emosional di mana Rey harus menangis, tapi entah kenapa kok saya nggak merasa terharu ya.

Rasa emosional justru datang ketika tokoh-tokoh pada kisah trilogy klasik bermunculan, hantu Han Solo yang walau cuma tampil beberapa menit, cukup memberi rasa gembira sekaligus waas, bahkan melihat kehadiran Ewok di akhir film pun terasa menyenangkan. Dari situ saya menyadari kalau karakter-karakter pada trilogy ini tidak memberikan bonding yang cukup kuat di akhir saganya. Padahal baru di Star Wars: The Rise of Skywalker, trio Rey, Fin, dan Poe lebih banyak tampil berbarengan.

Saat awal kemunculan Fin di Force Awakens, saya malah sempat merasa Fin yang tampil agak kocak ini dapat menonjol sebagai karakter baru yang menjanjikan bersama BB8. Penampilannya tersebut masih bisa dilihat di The Last Jedi. Namun sayangnya hal ini justru hampir tidak muncul di film penutup.

Kalau menggunakan alasan wajar bila karakter-karakter tersebut tidak memiliki emotional bonding yang kuat, dikarenakan karakter tersebut baru, dan berbeda dengan karakter lama yang sudah hidup puluhan tahun lamanya di benak para penggemar. Saya rasa tidak begitu. Karena Chirut Imwe dan K-2SO yang bahkan hanya tampil sekali di film spin-off Star War, yaitu Rogue One, justru lebih berkesan di hati.

Kalau soal visual effects, tentu Star Wars: The Rise of Skywalker ini sudah dijamin terlebih dahulu oleh nama besar Disney akan menyajikan pertunjukan yang memanjakan mata. Tapi, entah kenapa, lagi-lagi kok saya merasa tidak termanjakan. CGI canggih, dan suara jedar-jeder yang mengalun sepanjang film, malah lama-lama membuat ngantuk. Bahkan tak biasanya, sedikit-sedikit saya pun mengecek HP untuk melihat notifikasi, dan waktu yang sudah berlalu. Padahal posisi duduk saya baris ketiga dari depan, angger we tunduh. Entah di bagian mana yang salah, karena saya pun bukan movie expert. Tapi baru kali ini saya menonton adegan penuh aksi dengan rasa segera ingin menyudahi.

Setelah menonton film, dan mengunggah review angka dari aplikasi cinepoint, saya cukup banyak menerima pandangan lain dari kawan-kawan yang juga mengikuti film ini dari The New Hope. Padahal kami semua ini tak ada yang betul-betul menonton filmnya saat rilis tahun 1977. Ya gile aja bro, kami-kami ini belum setua itu.

Kebanyakan kawan yang bereaksi tentu dari pihak yang kontra tentang nilai rendah yang saya berikan pada film ini. Beberapa memberi saran agar seharusnya saya tidak membanding-bandingkan film klasiknya dulu. Sementara yang lainnya mengemukakan analisa dari sudut pandang cerita yang ia runut secara terukur, yang kemudian disampaikan dengan argumen latar belakang “why J.J Abrams do this and that, in the movie?” Namun sayangnya, saya tak merasa dan mengalami hal yang mereka sampaikan saat menonton film tersebut. Saya pun datang ke bioskop tanpa beban apapun, termasuk ulasan para reviewer yang sengaja tidak saya lihat. Wajah pun berseri-seri, karena tiket nonton didapat cuma-cuma dari giveaway Torch.id.

Saya rasa, mungkin kita semua, termasuk saya, sering lupa kalau pengalaman sinematik itu sifatnya personal, dan tak akan bisa tergantikan dengan membaca sebuah ulasan tertentu. Oleh karena itu, review bagus pada rotten tomatoes ataupun medium penilaian film lainnya tak pernah ada yang bisa mencapai nilai baik yang sempurna. Bahkan partner setia nonton saya pun acap kali memiliki pendapat yang berbeda dengan saya. Cukup dipahami, tak perlu banyak-banyak didebat. Karena sesungguhnya, mendebat perspektif dan selera, adalah sesuatu hal yang sia-sia, hehe. Adapun review yang saya tulis ini adalah kebutuhan psikologis saya untuk dapat menguraikan kata-kata yang memuncak dalam kepala. Kali ini saya pinjam dulu line andalan Mas Aby dari channel Sumatran Big Foot.

“Boleh setuju, boleh tidak.”


Minggu lalu, saya mengajak kawan saya mampir di sebuah tempat kuliner fast food baru di kawasan Jl. Pelajar Pejuang. Promonya di instagram, memang tak pelak mengundang rasa penasaran saya yang memang gemar berwisata kuliner. Namanya “Ngikan Yuk”, sebuah brand resto yang dikembangkan secara franchisee, dan kini untuk pertama kalinya hadir di Bandung.
 
Ngikan Yuk Ikan Crispy Sambal Matah
Sepulang kerja, kira-kira pukul 5 sore, saya pun memacu motor bebek saya ke TKP yang letaknya tak jauh dari lokasi kantor. Namun saat saya dan kawan saya tiba di tempat, seluruh menu yang ditawarkan sudah habis terjual. Padahal langit Bandung pun belum beranjak kelabu. Sementara antrean pengunjung tak kunjung berhenti. Tambahlah rasa penasaran saya terhadap si kuliner ikan ini.  

Namun memang jodoh. Rupanya dalam waktu dekat Ngikan Yuk akan membuka beberapa cabang baru, termasuk salah satunya di Sherlock Common Space, Jl. L. L. R. E Martadinata (Jl. Riau) No. 217, Bandung, yang letaknya lebih dekat dari tempat saya bekerja. Tak perlu menunggu hari kerja pekan depan, ternyata saat acara pembukaan, saya pun diundang untuk menyicipi menu ikan nila fillet crispy yang belakangan baru saya ketahui merupakan milik dari selebgram Rachel Vennya. Sepertinya memang kekuatan engagement dia lah yang menjadi salah satu faktor sajian menu Ngikan Yuk begitu diburu orang.

Suasana pembukaan Ngikan Yuk di Sherlock Common Space Bandung

Walaupun begitu, bukan berarti rasa makanannya menjadi tidak istimewa. Karena Ngikan Yuk ini juga memang dapat menjadi santapan terbaik, terutama saat didera lapar pada jam kerja. Bikinnya cepat, harganya murah, rasanya lezat, dan porsinya mengenyangkan.

BIla biasanya hidangan fish fillet lebih sering dihidangkan dengan kentang goreng di kebanyakan resto berkonsep fish and chips. Ngikan Yuk justru menghadirkan nasi liwet sebagai pendamping menu ikannya. Nasinya dimasak menggunakan potongan cabai, dan bumbu lainnya, sehingga rasa nasinya saja sudah terasa pedas dan gurih.

Untuk saus dan sambalnya pun mereka tidak menggunakan sambal sachet olahan. Agar bisa menjadi sandingan yang tepat dengan nasi liwetnya, tim dapur Ngikan Yuk menggantinya dengan tiga pilihan jenis sambal tradisional yang pedasnya terasa lebih segar, dan nonjok. Ketiga pilihan sambal tersebut antara lain sambal matah, sambal oseng mercon, dan sambal acar kuning.

Saat acara opening yang digelar Sabtu (7/12) siang, saya berkesempatan mencoba dua varian rasa sambal, yakni sambal matah, dan sambal oseng mercon. Untuk rasa sambal matah, tentu rasanya terasa lebih segar dengan rasanya yang sedikit masam. Namun untuk sambal oseng mercon pun tak kalah sedap. Selain rasa pedasnya yang lebih nampol, saya mendapatkan kejutan juga di antara sambalnya. Beberapa irisan daging sapi, termasuk bagian lemaknya, rupanya ditambahkan pula di dalamnya.

Bagi kamu-kamu yang kebingungan cari menu makanan enak, murah, tapi nggak mau ribet, menu Ikan Nila fillet ala Ngikan Yuk bisa jadi pilihan buat di gofoodin atau grabfoodin. Harganya cuma Rp19.000 per porsi. Selain itu, tentu untuk makan dine in juga asyik, terutama di cabangnya yang di Sherlock Common Space. Karena lokasinya juga berkolaborasi dengan aneka brand cemilan dan minuman lainnya, yang bisa jadi pendamping makan di Ngikan Yuk.


“Eh, kita ke ManA yuk.”
“Ke mana?”
“Ke ManA.”
“Iya, ke ManA?
“Ih, itu lho di ManA.”
“Malah nanya balik, jadi di mana?”
(Begitu seterusnya hingga ladang gandum menjadi Koko Krunch) *krik-krik
 
Area foto di ManA Foo & Cof Bandung
Iya, ini salah satu café hits di Bandung yang acap kali memunculkan perdebatan antar sahabat dan pasangan. Di luar namanya yang cukup ngeselin, tapi memang café ini menawarkan suasana dengan desain tempat yang atraktif. Meski untuk mencapainya kita harus menempuh jalan cukup menanjak, dan jauh dari pusat kota. Lalu ada apa saja di ManA? Coba rada usaha untuk baca ulasan saya sampai beres.

Nama lengkapnya ManA Foo & Cof. Entah apa yang mendasari huruf “A” pada ManA-nya harus dituliskan capital. Sedang “foo & cof“ mungkin kependekan dari “food & coffee”. Tempat ini memang menyediakan kedua hal tersebut dengan pilihan menu standar café, dan harga sedang.
 
Salah satu menu yang disajikan di ManA Foo & Cof Bandung
Walaupun begitu, makanan dan kopi bukanlah material utama yang membuat banyak orang berbondong-bondong melipir ke ManA Foo & Cof, tapi rancangan tempatnya lah yang sangat mengundang. Coba saya cek tab tagged photos akun instagramnya. Foto-foto pengunjungnya didominasi oleh foto-foto latar dan suasananya, mulai dari sekadar foto narsis ala-ala, hingga foto pre-wedding dengan pakaian dan properti yang cukup niat. Kalau Cuma foto iseng sih masih haratis, tapi kalau foto serius dengan tools fotografi yang mumpuni sih sudah harus membayar paket senilai Rp500.000 dengan durasi tertentu.

Kalau soal desain bangunan cafenya sih sebetulnya sudah banyak yang seperti ManA Foo & Cof yang bergaya minimalis. Bedanya, ia mempunyai pemandangan city light dan ruang berfoto yang lebih luas. Yaa..maka dari itulah ‘tempat’adalah hal utama yang mereka jual di sini.
 
Salah satu area makan di ManA Foo & Cof Bandung
Saking niatnya, mereka juga sengaja menyediakan motor bebek dan Vespa jadul untuk digunakan sebagai properti foto. Tak lupa ada juga tumbuhan alang-alang yang entah mengapa memang memberikan efek dramatis lebih terhadap hasil foto dan video. Cocok menjadi sebuah foreground pose romantis, ataupun adegan lamunan solo dengan raray kegalauan, serta tatapan sok keren, dan merasa ganteng.

Salah satu spot populer yang cukup digemari pengunjung untuk berfoto adalah area cottage yang bentuknya unik. Dari penjelasan yang dipampang di sekitarnya, bentuk cottage inilah yang disebut dengan ManA, entah asalnya dari bahasa apa.

ManA ini ditata berderet layaknya sebuah komplek pemukiman yang menghadap ke arah barat. Saat matahari mulai tenggelam, cahaya keemasan pun jatuh di muka cottage yang hampir keseluruhannya adalah kaca. Karena rancangannya tersebut, saya pun bisa mengintip bagian dalamnya, yang Nampak sangat nyaman dan homey. Bahkan rumah saya pun tidak se-homey ini.
Bangunan Cottage di ManA Foo & Cof Bandung

Akan tetapi ada pertanyaan lain muncul, bila nantinya bangunan cottage ini ditempati, apakah pengunjung café yang berfoto ini tak akan mengganggu kenyamanan tamu cottage. Karena bila saya menjadi tamunya sih, akan risih dengan kehadiran para pengunjung yang berfoto, sementara ruangan tempat saya menginap seperti aquarium. Rasanya seperti sedang dieksibisikan.

Di bagian ujung barat setelah area cottage, terdapat pula sebuah lapangan besar terbuka yang sepertinya akan sangat cocok untuk menggelar sebuah acara seperti pesta pernikahan. Namun kembali lagi ke kenyamanan para tamu cottage. Bila kebetulan digelar sebuah acara besar dengan massa yang cukup banyak, apakah tidak akan mengganggu tamu? Kecuali bila saat acara berlangsung, area cottage ditutup saja reservasinya pada jauh-jauh hari.

Kekurangan lainnya dari tempat ini juga terletak pada musholanya yang sungguh sangat tak nyaman. Mushola ManA Foo & Cof menyatu dengan tempat penyimpanan barang staff yang penuh dengan tumpukan kardus. Ukurannya pun hanya muat sekitar dua orang, dengan sajadah yang sudah lecek. Ditambah tempat berwudhu yang di pintunya menggantung baju dan celana karyawan. Harusnya dengan tempat seluas ini, alangkah baiknya bila dibangun setidaknya sebuah mushola yang layak. Bagi pengunjung muslim, tentu hal ini akan mempengaruhi tingkat kebetahan, dan tingkat keinginan untuk kembali pada masa yang akan datang.

ManA Foo & Cof
Jl. Cibengang, Ciburial, Bandung
(akses via Jl. Bukit Pakar Timur, selebihnya disarankan menggunakan google maps)


Pekerjaan saya dulu, memang memungkinkan saya untuk berkeliling ke berbagai hotel di Bandung. Beberapa di antaranya pun memiliki desain yang sangat unik dan atraktif. Salah satunya, adalah Zest Hotel Sukajadi Bandung.

Saya masih ingat betul saat pertama kali mampir ke hotel ini beberapa tahun lalu. Warnanya yang segar, dan bentuk desainnya yang catchy memang membuat bola mata tak hentinya bergerak ke sana kemari, menyisir tiap lekuk keunikan yang ditawarkannya.

Tanpa terasa, ingatan saya tersebut rupanya berasal dari memori yang sudah hampir empat tahun silam usianya. Hanya terpaut beberapa bulan saja dari kelahiran hotel bernuansa hijau lemon ini.

Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, secarik undangan digital pun mampir ke dalam sebuah pesan whatsapp pada bulan November. Zest Hotel Sukajadi Bandung yang akan merayakan hari jadinya yang ke-4, tak lupa meminta saya ikut serta ke dalam kemeriahan acara yang diadakan pada Minggu, 1 Desember 2019.

Peserta Zumba yang mendapatkan Bibit Pohon Jeruk di acara perayaan ulang tahun Zest Hotel Sukajadi Bandung

Namun kali ini, konsepnya sedikit berbeda dari tahun lalu. Selain karena venue-nya yang mengambil tempat di depan factory outlet Blossom pada momen Car Free Day Dago, agenda acaranya pun cukup menarik. Mulai dari Zumba, hingga pembagian 100 bibit pohon jeruk. Idenya betul-betul pas dengan vibe yang dibangun Zest Hotel Sukajadi Bandung yang fresh, dan healthy. Bagi yang belum pernah datang langsung ke hotelnya, cobalah sekali-kali mampir, di sini semua karyawan tampil berbeda dengan sporty look.
  

Zestree, Heal the Earth, Heal the Future.” Begitu bunyi tema yang diusung oleh Zest Hotel Sukajadi Bandung pada perayaan tahun ini. Rasanya terdengar sangat tepat dengan konsep yang digelar. Tentunya, bukan tanpa alasan tema tersebut mereka angkat. Karena bulan hari jadi Zest Hotel Sukajadi Bandung sendiri bertepatan dengan hari pohon sedunia.

Minggu pukul enam pada hari yang dijanjikan, saya pun sudah berada di sekitaran Car Free Day Dago. Rasanya sudah lama sekali saya tidak mendapat kesempatan ber-zumba. Mungkin terakhir kali itu enam tahun silam saat masih berstatus sebagai seorang bankir. Dengan sedikit malu-malu, saya ikut menggerakkan tubuh yang sudah lama kaku. Walau setelahnya pegal-pegal, tapi badan menjadi terasa sangat ringan.

Seusai sesi zumba, saya dan peserta lainnya mendapat masing-masing satu bibit pohon jeruk. Kini PR saya adalah merawat bibit pohon jeruk yang sudah langsung saya tanam kemarin di kebun belakang rumah. Semoga pohon jeruk ini dapat tumbuh dengan baik, seiring dengan Zest Hotel Sukajadi Bandung yang juga terus berkembang menjadi salah satu elemen supporting pariwisata di Bandung.

Selamat ulang tahun Zest Hotel Sukajadi Bandung!



Memang secara pemahaman umum, sebuah tempat yang menyajikan kopi, acap kali disebut coffee shop. Walaupun begitu, khusus dalam artikel ini, saya paksa pembaca untuk bersepakat bahwa coffee shop yang saya maksud di sini adalah yang secara bahasa betul-betul diartikan sebagai toko kopi non-café. Artinya, coffee shop jadul yang akan saya ceritakan adalah toko-toko yang hanya fokus menjual kopi secara raw, baik grinded ataupun masih dalam bentuk beans. Di Bandung sendiri, ada beberapa nama yang cukup termahsyur yang pernah saya datangi, dan menarik untuk dibahas. Berikut adalah nama-namanya:

 
Kopi Kapal Selam
1   Kopi Kapal Selam

Coffee shop ini tidak memiliki plank, tapi tak sulit menemukannya. Bangunan tokonya terletak di samping Toko Jamu Babah Kuya yang legendaris di kawasan belakang Pasar Baru Bandung. Saat akan diajak kemari oleh seorang kawan, awalnya saya kurang begitu mengenal merek kopi ini, hingga saya melihat langsung kemasan plastik bersablon tinta kuning yang rasa-rasanya sangat familiar. Rupanya Kopi Kapal Selam ini yang sering saya lihat kemasannya saat kecil dulu. Almarhumah uyut cukup sering membeli stock kopi ini untuk kebutuhan pribadi, dan menjamu tamu.

Saat saya menggunggah foto coffee shop ini di feed instagram, rupanya cukup banyak pula kawan yang mengenal merek kopi ini sebagai kopi langganan turun temurun di keluarganya.

Bukan cuma pelanggannya yang turun temurun, tentu kepemilkan dari Kopi Kapal Selam pun sudah diwariskan antar generasi, hingga dapat bertahan hingga saat ini. Pengelolanya sekarang, yakni Koh Chandra, merupakan generasi ketiga pemilik bisnis Kopi Kapal Selam.

Suasana toko yang ia jalankan ini sangat terasa khasnya sebagai coffee shop jadul, mulai dari bangunan kunonya, kalender kertas yang tampak telaten ia sobek lembar demi lembar setiap harinya, dan kopi yang disimpan berkarung-karung besar seperti beras. Selain itu, peralatan yang ia gunakan juga tak kalah menarik. Seperti sebuah timbangan manual yang harus dipindah-pindahkan batuan bobot ukurannya agar seimbang itu mengingatkan saya akan  serta sebuah coffee grinder klasik.

Kopi Kapal Selam
Jl. Pasar Barat (Belakang Pasar Baru)

Kopi Javaco

Kopi Javaco

Selain Kopi Kapal Selam, ada satu brand kopi lain yang kemasannya familiar bagi saya. Kopi tersebut adalah kopi Javaco yang tokonya berada di sekitaran Kebon Jati, tak jauh dari bangunan ex-Hotel Surabaya. Kemasannya sendiri menggunakan bahan kertas sampul yang biasa digunakan saat sekolah dulu. Saya sering mendapati om yang juga tinggal satu rumah dengan saya yang sering membawanya pulang. Katanya, Javaco ini banyak mengambil biji kopi dari Jawa Timur, seperti Jember.

Berbeda dengan Kopi Kapal Selam, Toko Kopi Javaco terlihat lebih rapi. Semua stock kopi yang mereka miliki, tidak dipajang di meja konter. Sebagai gantinya, daya tariknya bisa dilihat dari segi bangunannya yang kuno, serta benda-benda vintage yang beberapa di antaranya bertuliskan kata-kata dalam Bahasa Belanda. Seperti sebuah lubang bersekat besi di pintu masuk yang bertuliskan brieven (surat), dan sebuah benda berbentuk kotak yang tertera kalimat versche koffie (kopi segar). Lalu ada juga ada deretan empat alat penggiling kopi seperti yang bisa saya temukan di Kopi Kapal Selam, serta sebuah motor Vespa jadul di dekatnya.

Produk Kopi Javaco ini juga bisa dibeli di beberapa toserba, dan supermarket besar seperti Yogya, Griya, dan Borma.

Kopi Javaco
Jl. Kebon Jati No. 69


Kopi Malabar

     Kopi Malabar

Saat saya mendengar kalau letak Kopi Malabar berada di seberang SMAN 4 Bandung di Jl. Gardujati, rekaman visual di kepala saya berusaha keras menggambarkan dan mengingatnya. Karena rute tersebut cukup sering saya lewati sejak kecil dulu. Tapi saya sama sekali tak bisa mengingat kalau di sekitaran situ ada sebuah coffee shop jadul. Barulah ketika diajak oleh Mang Alexxx dari Komunitas Aleut, saya baru ngeuh tempatnya.

Tak heran sebetulnya bila saya dan mungkin banyak orang lainnya tidak menyadari keberadaan Kopi Malabar. Hal ini dikarenakan dari luar coffee shop ini terlihat seperti bangunan terbengkalai. Apalagi pintunya pun selalu tertutup. Padalah dibandingkan dengan dua coffee shop yang sebelumnya saya ceritakan, bangunannya memiliki plank nama dengan tulisan yang cukup besar.

Saat pintu tokonya diketuk oleh Mang Alexxx, saya pun masih ragu kalau toko tersebut masih ada yang menempati. Namun ternyata, betul-betul masih ada orang yang keluar dari dalamnya. Seperti yang sudah saya intip dari etalase besar dari luar, kondisi di dalamnya sangatlah berantakan. Saya pun dilarang mengambil gambar saat berada di dalam. Dari pengelolanya sendiri (yang saya lupa namanya), Kopi Malabar ini masih tetap didatangi oleh pelanggan tetapnya. Bila yang sudah terbiasa berbelanja kopi di sini, mereka sudah tahu sendiri tata caranya. Walau tokonya terlihat selalu tutup, tinggal ketuk pintu saja, maka sang empunya akan siap sedia melayani keperluan kita.

Kopi Malabar
Jl. Gardujati No. 17


Kopi Aroma

4   Kopi Aroma

Di antara coffee shop jadul yang ada di Bandung, mungkin Kopi Aroma adalah yang paling populer di kalangan wisatawan. Selain karena memang planknya di Jl. Banceuy yang sangat menyolok, sesuai dengan namanya, aroma kopinya sangat harum semerbak begitu kita melintas di sekitaran sini. Ditambah, antrian pembeli kopi yang memanjang hingga ke jalan, sangat menarik rasa penasaran untuk merapat. Beberapa kali saat mampir, seringkali saya juga mendapati si pemilik sedang menjelaskan tentang kopi ini kepada beberapa turis asing.

Seperti yang tertulis pada plank namanya, yakni Koffie Fabriek Aroma, seluruh proses pemanggangan, hingga penggilingan juga dilakukan di tempat ini. Oleh karena itulah harum aroma kopi saat proses roasting dapat tercium dari luar. Hal ini pula yang menjadikan ruang pembeli saat mengantri tak begitu luas. Sebagian besar ruang pada bangunannya digunakan untuk proses produksi. Saya pun sempat melihat kondisi ruang produksinya yang terlihat luas dan sibuk, dari foto-foto kawan yang dulu sempat diizinkan untuk masuk ke dalamnya. Sayangnya kini agak sulit untuk bisa mendapat akses melihat ke dalam pabriknya.

Kopi Aroma punya keistimewaan dari rasanya yang tak terasa asam. Hal ini dikarenakan oleh proses pengolahannya yang panjang. Setiap biji kopi yang mereka hasilkan akan disimpan dan direndam terlebih dahulu hingga waktu 5-8 tahun lamanya. Untuk menjaga keaslian cita rasa dan eksklusivitasnya, mereka hanya menjual produknya di toko mereka saja. Walaupun ada saja, orang yang memborong kopi tersebut, lalu menjualnya kembali lewat toko online.

Kopi Aroma (Koffie Fabriek Aroma)
Jl. Banceuy No. 51