Cerita soal nomor kamar keramat di sebuah hotel seringkali menjadi bahan incaran para sineas untuk ide pembuatan filmnya. Setelah film 1408 yang dibintangi John Cusack sukses di Hollywood sana pada 2007 lalu, perfilman Indonesia pun tak mau kalah dengan merilis film berjudul 308 yang dibintangi Shandy Aulia. Saya pun berkesempatan berkunjung ke sebuah kamar keramat di Hotel Bidakara Savoy Homann Bandung yaitu kamar 144, namun walaupun disebut keramat, kamar yang satu ini tidak berhubungan dengan hal-hal yang berbau mistis. Kamar ini menjadi kamar keramat karena pernah ditempati oleh Perdana Menteri pertama India yaitu Pandit Jawaharlal Nehru pada Konferensi Asia Afrika tahun 1955.
Kamar 144 Savoy Homann yang pernah ditempati PM Nehru
 
Pandit Jawaharlal Nehru, nama yang hampir setiap saya akan mengetik namanya, maka saya harus googling terlebih dahulu, karena takut-takut salah ketik di bagian Jawaharlal-nya. Tentunya nyaris semua siswa sekolah dasar (SD) di Indonesia mengenal nama tersebut karena menjadi salah satu bagian dari kurikulum yang diajarkan pada materi mata pelajaran sejarah. Tak hanya Nehru, sebagai pelajar saya pun kala itu harus mengingat nama Ali Sostroamidjojo dari Indonesia, Muhammad Ali dari Pakistan, Sir John Kotelawala dari Sri Lanka, dan U Nu dari Myanmar, tentunya nama terakhir merupakan nama yang paling mudah diketik dan diingat.

Pandit Jawaharlal Nehru
Perdana Menteri Nehru menginap di Hotel Savoy Homann bersama Presiden Sukarno dan perdana Menteri China Zhou Enlai. Tentunya mereka tidak berbagi kamar, masing-masing dari mereka mendapat sebuah kamar dengan type sekelas President Suites. Letak ketiga kamar tersebut berada di pojok timur bangunan dan tepat berada di area lengkungan Savoy Homann pada posisi lantai yang berbeda-beda. Bila Presiden Sukarno mendapatkan kamar bernomor 244 dan PM Zhou Enlai mendapat kamar nomor 344, maka PM Nehru mendapat kamar nomor 144.

Sebenarnya saya berharap dapat memasuki kamar yang ditempati Presiden Sukarno yaitu kamar 244, namun kamar yang available untuk dikunjungi saat itu adalah kamar 144 milik PM Nehru. Walaupun begitu, Mba Ruth, Marketing Communication Hotel Bidakara Savoy Homann yang pada sore tersebut memandu saya dan kawan-kawan yang lain berkata bahwa “untuk kamar PM Nehru ini akan sama saja interiornya dengan yang kamar yang ditempati oleh Presiden Sukarno dan PM Zhou Enlai, hanya foto-foto yang menghiasi kamarnya saja yang berbeda”. Walaupun begitu, saya rasa kamar yang ditempati oleh Presiden Sukarno akan tetap terasa perbedaannya, mungkin karena kedekatan sejarah sebagai Bangsa Indonesia yang membuat kamar 244 lebih terasa kharismanya. 
 
Ruang tamu kamar 144 Savoy Homann
Saat pertama menginjakkan kaki ke kamar 144, sebuah foto ukuran besar dari PM Nehru saat event KAA langsung terlihat dipajang di area ruang tamu. Selain foto tersebut, hanya ada dua buah sofa berbahan kanvas yang berada di ruangan. Ruang tamu tersebut terhubung dengan sebuah koridor kecil yang mengarah kepada ruang untuk bersantai yang terletak tepat sebelum ruang tengah. Karena kamar ini terletak di lengkungan khas dari bangunan Hotel Bidakara Savoy Homann Bandung, maka ruangan ini pun mengikuti bentuk lengkungannya dan menjadikannya tak biasa.
 
Kamar 144 Savoy Homann
Beranjak ke ruangan tengah, sebuah TV layar datar dipasang di bagian tengahnya. Di sekelilingnya terdapat beberapa sofa kulit, sementara di sudut ruangan tampak sebuah meja kerja dengan telepon dan katalog pelayanan kamar di atasnya, serta sebuah mini bar di sampingnya. Pada dasarnya interior kamar 144 ini masih dibuat seperti aslinya seperti pada saat KAA dulu, hanya beberapa barang saja yang diganti dengan yang lebih modern mengikuti perkembangan jaman dan masa usia barang. 
 
Ruang tengah kamar 144 Savoy Homann
Karena terletak di bagian paling timur Hotel Bidakara Savoy Homann Bandung, bagian balkonnya pun langsung berdampingan dengan trotoar Jl. Asia Afrika, serta luasnya mencapai sekitar 2x balkon yang lain. Bila malam tiba, meja dan kursi dari dalam kamar bisa di bawa ke balkon untuk membuat candle light dinner dengan pemandangan citylight Kota Bandung. Namun feeling saya soal keinginan masuk kamar Presiden Sukarno tidak sepenuhnya salah. Karena di kamar PM Nehru ini pemandangan dari balkon sedikit terhalang beberapa pohon. Sedangkan bila saya melihat ke arah kamar Bung Karno, pandangan dari balkon tersebut sudah tidak terhalang apapun dan langsung menghadap arah alun-alun.
Kamar tidur utama yang pernah ditempati PM Nehru di Savoy Homann

Di kamar 144 ini terdapat  2 buah kamar tidur dengan kamar mandi di dalamnya. Kamar tidur yang satu sedikit lebih besar dibandingkan dengan kamar yang satunya lagi, termasuk dengan kamar mandinya. Kamar tidur paling besar memiliki sebuah meja rias, serta terdapat whirlpool di kamar mandinya.
 
Whirlpool kamar 144 Savoy Homann
Sementara itu, untuk meja makan terletak di pojok paling timur kamar ini, tepat di sudut yang melingkar keluar, bila gordyn-nya dibuka pemandangan langsung dari Kota Bandung dapat langsung terlihat jelas. Pada pagi hari cahaya matahari pun akan masuk dengan mudah lewat jendela-jendela di pojok ini.

Tak hanya Savoy Homann, Hotel Preanger yang kini bernama Prama Grand Preanger adalah hotel besar lainnya di kawasan Asia Afrika yang menjadi tempat menginap para pemimpin Negara pada KAA tahun 1955 diselenggarakan.  Selain di kedua hotel tersebut, beberapa pemimpin Negara diinapkan di rumah-rumah besar yang ada di sekitaran Ciumbuleuit, Cipaganti dan daerah-daerah lainnya. 

Walau sudah berhasil memasuki kamar PM Nehru, tetap saja hasrat untuk memasuki kamar yang pernah digunakan Presiden Sukarno belum terpuaskan. Mudah-mudahan saja suatu hari nanti saya bisa kesampaian masuk atau bahkan menginap di dalamnya. Dan tak hanya yang berada di Hotel Homann saja, kamar yang pernah digunakan Presiden Mesir Gamal Abdul Naser di Preanger pun cukup menarik perhatian saya.
Ruang makan yang langsung menghadap ke Jl. Asia Afrika dari kamar 144 Savoy Homann

“Pami dipasihan widi, insya Allah bakal kengeng, pami teu aya widi ku gusti, moal ayaan eta potona” (Kalau dikasih ijin, insya Allah bakal dapat, kalau tidak direstui sama Tuhan, nggak akan itu fotonya), begitu ucap Ki Anom Juhana sang Juru Kunci Kampung Cikondang saat ditanya mengenai aturan memotret di Hutan Larangan. “Tapi ayeuna mah dinten kemis, pasti ayaan geura potona”(Tapi Karena sekarang hari kamis, pasti muncul hasil fotonya), lanjut beliau sambil mempersilahkan untuk memotret. Hutan Larangan atau forbidden forest ini seringkali saya baca dan tonton pada sebuah film fiksi seperti Harry Potter, namun tak pernah saya sangka Hutan Larangan benar-benar ada dalam dunia nyata.

Jalan Masuk Menuju Kampung Adat Cikondang
Kamis (11/5) lalu, saya bersama-sama dengan Komunitas Aleut berkesempatan menginjakkan kaki ke dalam Hutan Larangan Kampung Adat Cikondang yang terletak di kawasan Lamajang, Pangalengan, Kabupaten Bandung. Kami diperbolehkan masuk ke dalam karena kebetulan hari tersebut bukan hari larangan kunjungan. Pada hari Selasa, Jumat dan Sabtu biasanya tak seorang pun dapat berkunjung ke Hutan Larangan, termasuk warga sekalipun. Selain itu, bagi yang beragama di luar muslim serta bagi wanita yang sedang datang bulan sama sekali tak diperbolehkan masuk ke dalam, walaupun pada hari diperbolehkannya kunjungan.

Baca juga: Filosofi Singkong Kampung Adat Cireundeu
 
Hutan Larangan Kampung Adat Cikondang
Untuk masuk ke dalam Hutan Larangan, kami diharuskan melepaskan alas kaki dan masuk dengan melangkahkan kaki kanan terlebih dahulu. Sebuah batang pohon yang cabangnya melingkar-lingkar cukup menarik perhatian saya saat mulai memasuki hutan, pasalnya cabang pohon tersebut menjulur sangat panjang hingga keluar hutan serta sampai meliuk-liuk melewati batang pohon lainnya. “Ieu teh tangkal Malati Purba, tos aya tilu ratus genep puluh tahun langkung, tilu sasih kamari pas megarna ge sakampung ieu teh jadi kaambeu seungit” (ini melati purba, sudah ada lebih dari tiga ratus enam puluh tahun, tiga bulan yang lalu pada saat pohon ini mekar, seluruh kampung ini langsung tercium wangi), begitu penjelasan Ki Anom saat menangkap wajah takjub kami ketika melihat pohon unik tersebut. Keberadan Pohon Melati Purba ini membuktikan janji yang dipegang Juru Kunci Kampung Adat Cikondang secara turun temurun untuk tetap menjaga kelestarian alam dengan membuat satu kawasan larangan. 
 
Pohon Melati Purba di Kampung Adat Cikondang
Hutan Larangan ini ternyata tak begitu besar, luasnya hanya 3 hektar saja. Hanya sekitar 50 meter dari pintu masuk terdapat batu-batu berjejer rapi yang digunakan untuk meletakkan pusaka pada jaman dahulu. Selain batu-batu tersebut, terdapat pula makam leluhur yang seringkali diziarahi warga pada hari-hari kunjungan yang diperbolehkan.  

Kawasan Hutan Larangan ini terletak tepat di samping satu-satunya rumah adat di Kampung Cikondang yang tersisa. Setelah kebakaran hebat pada tahun 1942 silam, hanya rumah inilah bangunan asli yang masih dapat dilihat di kampung ini. Sementara itu di bagian luar rumah adat tersebut, terdapat sebuah bale dengan peralatan masak tradisional yang nampaknya masih aktif digunakan. Rupanya bila istri sang juru kunci sedang datang bulan ia pun dilarang untuk berada di dalam rumah adat, sehingga bale tersebut disediakan untuk tidur dan memasak di pekarangannya. Di dapur ini pula kue yang merupakan cemilan khas Cikondang dibuat. Terutama menjelang acara Tutup Tahun nanti, dapat dipastikan dapur ini akan terlihat super sibuk dengan kegiatan memasaknya.

Rumah adat di Kampung Cikondang ini bagian dalamnya sudah disekat antara bangunan asli yang telah berumur ratusan tahun dengan bangunan yang telah mengalami renovasi sebanyak 2 kali.  Bilik bambu dan atap ijuk menjadi salah satu ciri khas dari rumah adat ini, dan ternyata atapnya tersebut dapat ditumbuhi oleh tanaman liar. 
 
Bagian Dalam Rumah Adat Cikondang
Tak jauh dari rumah adat, terdapat leuit yang masih aktif digunakan untuk menyimpan padi. Leuit sendiri adalah tempat penyimpanan padi dalam kebudayaan Sunda. Sementara alunya sendiri dapat ditemukan di belakang Bale Paseban yang berada di luar pagar rumah adat. Walaupun desainnya menyerupai rumah adat, namun ternyata Bale Paseban ini masih terbilang baru didirikan. Saat kami datang ke Cikondang, Bale Paseban sedang direnovasi karena ada beberapa bagian atap yang bocor, padahal biasanya bila ada tamu bertandang, para tamu akan diterima di bale ini.
 
Leuit di Kampung Adat Cikondang
Dari obrolan  panjang lainnya dengan Ki Anom, rupanya nama Cikondang ini bukan berasal dari nama air dan pohon Kondang seperti yang kami banyak temukan di internet. Memang kebanyakan daerah di tatar Sunda banyak yang bernama dengan awalan ci- yang berarti air, namun berbeda dengan Cikondang, ci- dalam nama Cikondang memiliki arti aci atau hati, sementara itu –kondang di sini memiliki arti terkenal bukan karena ada banyaknya pohon Kondang di kampung.

Kunjungan kami ke Kampung Adat Cikondang sebenarnya sudah selesai pukul 1 siang, namun karena rasanya sayang untuk langsung pulang begitu saja, kami memutuskan untuk melalui rute Gunung Tilu yang aduhai sampai menembus jalur perkebunan teh Pangalengan yang rupawan. Terhitung dua kali balikan kami mengitari rute Gunung Tilu, karena beberapa jalur yang kami tuju ternyata berujung buntu, dari jalan penuh batu hingga jalan berlumpur yang mengotori baju. Dua kali balikan hingga Cikondang pun terasa sudah sangat jauh di belakang. Dua kali balikan hingga Gunung Tilu pun menjadi Gunung Genep.
 
Jalan Pulang Yang Aduhai