Poster film 27 Steps of May, Courtesy of Green Glow Pictures


Setelah dianggurin selama hampir 1, 5 tahun lamanya, akhirnya saya mengapeli blog ini kembali. Karena domainnya sendiri sudah dibayar hingga 2021 nanti. Sungguh sayang bila blog ini lantas berkarat, padahal brand Elekesekeng sedang saya tumbuhkan dengan gencar di kanal YouTube.

Episode comeback ini akan saya isi dengan ulasan film 27 Steps of May yang digadang-gadang oleh para pengamat sebagai calon film Indonesia terbaik tahun ini. Sama halnya dengan saya dengan blog ini, Raihaanun pun melakukan epic comeback dengan berperan sebagai May yang menjadi pemeran utama film tersebut. Sebetulnya ia pernah juga muncul sebagai pemeran pendamping di film Salawaku (2016). Namun saya rasa, satu-satunya tempat yang cocok untuknya hanyalah dengan menjadi pemeran utama wanita.

Dalam Salawaku, Raihaanun berperan sebagai Binaiya, seorang wanita yang tengah menunggu kekasihnya untuk bertanggung jawab karena telah menghamilinya. Meskipun hanya muncul sebentar, aktingnya memang langsung mencuri perhatian, bahkan menjadikannya menonjol dibanding para pemeran utamanya sekalipun. Sebelumnya yang saya ingat dari Raihaanun adalah akting debutnya saat membintangi remake film Badai Pasti Berlalu 12 tahun silam.

Bak bangun dari tidur panjang, tiba-tiba saja sosok wanita ini kembali muncul setengah tahun lalu dalam teaser sebuah poster film yang cukup membuat orang bertanya-tanya, “film tentang apakah ini?” Dalam poster tersebut,  Raihaanun berdiri menghadap dinding berlubang yang terdapat sebuah tangan berkaus menjulurkan bunga kepadanya. Rasanya, hanya orang yang sudah menonton filmnya yang nanti akan mengerti adegan dalam poster tersebut.

Akhirnya saya berkesempatan menonton 27 Steps of May satu hari setelah penayangan perdananya di bioskop yang diputar dengan sangat terbatas. Saya tak mau ambil risiko menunggu terlalu lama untuk menonton film ini di tengah himpitan pertempuran Tony Stark, dkk, menyelamatkan semesta dari ambisi gila Thanos. Terbukti Ave Maryam dan Kucumbu Tubuh Indahku saja hanya mampu bertahan kurang dari seminggu di dua layar sinema yang disediakan di Bandung. Di luar dua nama film tersebut, cukup banyak film-film ‘bergizi’ yang akhirnya saya lewatkan, dan sulit saya dapatkan kesempatan untuk menonton film-film tersebut, dikarenakan televisi pun mempertimbangkan nilai komersil dari penayangannya yang mungkin tak akan begitu tinggi.

Selembar tiket 27 Steps of May yang sudah dalam genggaman kemudian membawa langkah saya masuk ke dalam studio 4 XXI Cihampelas Walk yang lebih banyak diisi oleh sepi. Mungkin hanya ada sekitar 30 kepala saja yang sudah pasang mata dengan posisi menghadap layar. Tak seperti menyaksikan para pahlawan super beraksi, kali ini saya memilih ditemani pikiran sendiri, karena memang sulit mencari teman nonton untuk film seperti ini. Kursi yang saya pilih pun sengaja sedikit jauh dari penonton yang lain untuk memberi sedikit ruang kontemplasi.

Sebelumnya saya sudah membaca sedikit beberapa ulasan non-spoiler yang mengatakan bahwa belasan menit akan berlalu tanpa dialog. Namun yang tak saya sangka adalah suasananya akan seintens ini, menguras energi, rasa, dan pikiran. Saya dipaksa merasakan trauma berat yang dialami oleh May pasca tragedi kekerasan seksual yang menimpa dirinya saat SMP, sekaligus memikirkan apa yang sebenarnya ada di dalam pikirannya hingga membuat ia mengisolasi diri selama delapan tahun lamanya, tanpa bicara. Setiap harinya ia hanya memakai baju yang sama, dan mengerjakan rutinitas kegiatan yang sama, hingga pada suatu hari, hadirnya sebuah lubang kecil di dinding kamarnya mengubah hidupnya secara perlahan.

Di samping Raihaanun, akting sang ayah yang diperankan oleh Lukman Sardi juga sangatlah memukau. Mungkin sudah lama sekali saya tak melihat aktingnya yang sedalam ini semenjak ia berperan sebagai penyandang autis di Rectoverso tahun 2013 silam.

Untuk mendapat penghasilan sekaligus melampiaskan kekesalannya terhadap dirinya sendiri yang tak mampu mengembalikan keadaan May seperti semula, ia kemudian bertinju. Sungguh pekerjaan yang cukup jarang diangkat dalam film-flm Indonesia, rasanya seperti melihat Jake Gyllenhaal di film Southpaw.

Pada dasarnya saya melihat 27 Steps of May yang dibuat oleh Ravi Bharwani ini bersifat timeless dan placeless. Artinya, seluruh adegan di film tersebut tak menunjukan latar waktu dan tempat dari kejadian tersebut. Tak ada adegan membuka handphone atau menonton televisi. Mode pakaian yang dikenakan May pun tak menunjukan hal tersebut. Kejadian ini bisa saja terjadi pada tahun 70-an, 80-an, 90-an, atau bahkan tahun-tahun sekarang. Untuk latar tempatnya sendiri mungkin baru sedikit tergambar jelang film berakhir, yakni kota dengan gedung-gedung tinggi besar. Namun saya rasa Ravi di sini menunjukan hal tersebut bukan untuk menunjukan tempat, tapi sebagai simbol mengenai dunia luar yang selama ini tak terjamah oleh May. Setting cerita seperti ini, saya rasa dapat dengan mudah diadaptasi oleh pembuat film di belahan bumi manapun untuk dibuat di negaranya sendiri tanpa mengubah konten, dan konteks.