Kebon Kalapa merupakan daerah lain selain pagarsih yang cukup familiar dengan saya di era 90an, karena saya bersekolah SD di SD Moh Toha
II Bandung, cukup aneh bagi sebagian tetangga sebenarnya karena kebanyakan
orang tua saat itu menyekolahkan anaknya di SD yang paling dekat dengan
rumahnya, sedangkan sekolah saya berjarak sekitar 3,5 KM dari rumah dan harus
menggunakan 2 kali angkot saat berangkat dan 1 kali angkot Abdul Muis-Elang
ketika pulang sekolah. Namun ternyata saat saya bersekolah disini, masih banyak
teman saya yang lain yang rumahnya bahkan lebih jauh dari saya seperti di
daerah kopo dan cibaduyut.
Di SD Moh Toha II kala itu saya termasuk siswa paling muda,
diantara teman-teman saya yang rata-rata lahir pada tahun 1987, saya lahir di
tahun 1988, yang membuat saya menjadi si bungsu di kelas yang berjumlah 64
siswa tersebut. Satu meja bisa ditempati oleh 3 siswa saking padatnya. Karena
yang paling muda saya termasuk sering dijahili atau diledek dengan panggilan
“Pak Raden” karena nama lengkap saya memiliki nama Raden di bagian depannya,
yang sebenarnya di jaman sekarang gelar tersebut sudah tidak berpengaruh
apa-apa, karena selain saya sering diledek teman-teman ketika SD, nama saya
yang panjang tidak pernah cukup ketika saya mengisi kolom nama di sebuah
formulir apapun termasuk KTP saya saat ini, ayah saya pernah memperlihatkan
sebuah silsilah tua yang disimpan di kediaman nenek saya yang berukuran sangat
besar dan bisa memenuhi ruangan ketika dibuka lipatan-demi lipatannya, yang menurut
cerita beliau adalah silsilah kerajaan
Galuh, namun hanya di update sampai generasi kakek saya dan adik-adiknya, yang
entah siapa yang membuatnya, ketika kakek saya memiliki anak yaitu ayah saya
dan adik-adiknya, nama-nama keturunan setelahnya tidak pernah ditambahkan,
namun ayah saya tetap ingin menambahkan nama Raden pada nama saya dan adik
karena merasa harus melestarikan sebagai anak tertua di keluarga dari kakek
saya yang merupakan anak tertua dalam keluarga juga.
Soal SD Moh Toha, untuk ukuran sekolah dasar saat itu,
bangunannya cukup tua namun bersih dan seringkali direnovasi, termasuk saat
menjelang kelulusan saya di SD, bagian depannya ditingkatkan menjadi dua
lantai, yang saya ingat ada sebuah sumur timba tua di belakang ruang kelas anak
kelas 4 waktu itu, layaknya sekolah-sekolah yang lain, ada sebuah keluarga yang
tinggal di belakang sekolah dan menjadi penjaga sekolah yang menggunakan sumur
tersebut untuk kebutuhan air sehari-hari.
Yang paling saya ingat saat bersekolah di SD Moh Toha adalah
perjalanan pulang, yak perjalanan pulang karena untuk dapat menghemat ongkos
pulang saya harus berjalan menuju terminal angkot kebon kelapa, banyak hal-hal
unik yang saya temukan di jalan, salah satunya sebuah hotel kecil tua bernama
arimbi di sebuah jalan kecil tepat di samping bangunan sekolah, karena di depan
hotel tersebut sepi, banyak siswa sekolah yang kemudian bermain bola atau
kucing-kucingan di jalan tersebut, saat jalan menuju terminal ada seseorang
penjual ikan hias yang menjajakan ikan-ikan tersebut dengan menggunakan sejenis
gentong yang dipanggul, dan ketika ada yang membeli salah satu ikannya, ia
membungkusnya dengan wadah plastik bening yang diikat, selain ikan hias dia juga
menjual kura-kura yang tentunya menjadi hal yang menarik bagi anak-anak SD, tak
terkecuali saya.
Ada dua rute perjalanan untuk mencapai terminal angkot Kebon
Kalapa, yang pertama melalui pasar traditional kebon kelapa yang layaknya pasar
traditional lain yang sedikit gelap dan bercampur berbagai macam baud an
kemudian keluar di sebuah lapak penjual berbagai jenis burung peliharaan. Rute
yang kedua adalah melalui terminal bus Kebon Kalapa yang sekarang sudah
didirikan gedung pertokoan ITC Kebon Kalapa, di samping terminal bus tersebut
ada sebuah gedung bioskop lama, Montana namanya kalau saya tidak salah ingat,
cukup menarik perhatian saya terutama saat berjalan memasuki area terminal bus
kemudian melihat sebuah poster warna-warna yang masih dilukis, dan sebuah
tangga untuk memasuki area bioskop di lantai 2, karena bioskop ini didirikan di
atas pasar tradisional Kebon Kalapa, namun area bioskop ini terbilang sangat
sepi, tapi hal itu yang menjadi menarik bagi saya untuk curi-curi kesempatan
untuk memuaskan rasa ingin tahu saya di bioskop ini, kadang mereka memajang
foto-foto seksi dari para bintang film India untuk bahan promosi mereka, karena
mayoritas mereka menayangkan film-film dari negeri Bollywood sana.
Sesampainya di terminal angkot Kebon Kalapa, saya biasanya
tak langsung pulang, sayamenyebrang ke Jalan Dewi Sartika untuk kemudian
membeli komik-komik bekas yang harganya sangat murah, biasanya mereka
mendapatkannya dari tukang loak yang sehari-hari menawarkan jasa pembelian
barang bekas. Tak hanya komik, saya pun kadang sedikit nakal mengintip lapak
jualan pedagang buku bekas yang menjual novel Nick Carter terjemahan yang
cover-covernya cukup aduhai untuk dilihat seorang SD sebenarnya, Nick Carter merupakan detective yang digemari
wanita layaknya James Bond. Namun bila sekarang kita bermain ke daerah Dewi
Sartika, kita akan lebih banyak menemukan majalah-majalah bekas daripada komik
ataupun novel.
Satu hal yang tidak
banyak berubah dari masa kecil saya di daerah Moh Toha dan Kebon Kalapa adalah
angkot Abdul Muis-Elang yang siap mengantarkan menuju ke rumah saya di
Pagarsih, yang berbeda? Tentu saja tarifnya, yang dulu saya cukup memberikan
ongkos 300 perak, kini berkali-kali lipat menjadi 4000 rupiah.