“Wujud tertinggi dari mencintai sesuatu adalah dengan mempersembahkan karya.”

 

Satu kutipan dari Eva Sri Rahayu yang langsung tersimpan di hati dan kepala dari sesi perbincangan malam itu.

 

Saya jadi teringat Taj Mahal yang dibuat Shah Jahan sebagai pertanda cinta untuk mendiang istrinya, atau Bandung Bondowoso yang menyanggupi mendirikan 1.000 candi dalam satu malam demi cintanya pada Roro Jonggrang.

 

Memang kalau sudah cinta, apa saja bisa diperbuat dengan caranya sendiri. Termasuk yang dilakukan Eva dengan kecintaannya terhadap dunia penulisan, serta sejarah dan budaya Indonesia melalui karya tulis terbarunya yang berjudul Labirin 8. Pembelajaran dan riset yang panjang ia lalui untuk melahirkan “anak” bungsunya tersebut.

 


Perjalanan Eva Sri Rahayu di Dunia Penulisan

Saya pribadi mengenal Eva melalui saudari kembarnya Evi dalam sebuah tour sejarah, yang juga sempat berkarya tulis fiksi berlatar sejarah dan budaya. Kebetulan keduanya hadir pula secara langsung pada acara IG Live Bincang MIMDAN #8 (Merajut Indonesia Melalui Digitalisasi Aksara Nusantara) yang digagas oleh PANDI (Pengelola Nama Domain Internet Indonesia). Pada kesempatan tersebut, Eva Sri Rahayu hadir sebagai narasumber, sedangkan Evi Sri Rezeki tampil sebagai host.

 Pandi lewat Program Merajut Indonesia Melalui Digitalisasi Aksara Nusantara (MIMDAN)

Dalam program live yang bertemakan “Sejarah dan Budaya dalam Novela Platform Digital” ini, Eva menuturkan langkah pertama dalam perjalanannya di dunia penulisan diawali dengan membuat komik saat masa taman kanak-kanak, lalu membuat majalah saat sekolah dasar, membuat cerpen saat sekolah menengah, lalu membukukan karya pertamanya, hingga kini aktif menulis novela di platform digital.

 

“Saya tuh ingin menjalani sejuta kehidupan”, tutur Eva. “Maka dari itulah saya menjalaninya dengan cara menulis berbagai cerita”.

 

Walaupun begitu, jalannya tidaklah mudah. Cerpen-cerpen yang ia tulis saat SMA tidak ada yang diterima satu pun oleh penerbit. Baru lah ketika masa kuliah, jalannya tersebut mulai terbuka melalui novel Panjang yang ia tulis.

 

Dalam dunia penulisan, salah satu tokoh penulis yang paling berpengaruh baginya adalah Margareth Mitchell, penulis yang dikenal dengan novel legendaris Gone With The Wind. Ah..saya sendiri baru tahu kalau film popular tersebut diangkat dari sebuah novel. Sampai saat ini kita bisa menemukan nama Gone With the Wind di google sebagai rekor film yang paling banyak ditonton. Padahal usia film tersebut sudah hampir mencapai 90 tahun. Selain itu, ia juga menyukai Percy Jackson yang ditulis oleh Rick Riordan. Saya rasa dua judul tersebut cukup menggambarkan Eva sebagai orang yang senang berfantasi. Walaupun begitu, ia mengaku tokoh-tokoh idolanya tersebut tidak mempengaruhi gayanya dalam bertutur.

 

Labirin 8

Melalui fantasi dan imajinasinya, lalu lahirlah Labirin 8, sebuah novel fiksi berlatar ruang bawah tanah Candi Borobudur! Bisa dibayangkan bukan bagaimana serunya novel ini? Karena ternyata, Candi Borobudur memang memiliki ruang rahasia yang tak dapat dimasuki oleh pengunjung, dan Eva menuangkannya melalui kisah petualangan yang ia berhasil rampungkan hanya dalam waktu dua bulan penulisan.

 

Walaupun novel fiksi, latar sejarah dan fakta budaya yang ia gunakan betul-betul melalui riset panjang. Jadi dapat dipastikan info dan nilai yang ia sampaikan bukan sekadar tempelan. Karena menurut Eva, di sinilah indikator keberhasilan novel fiksi berlatar sejarah dan budaya, lokasi dan fakta betul-betul digunakan sebagai penggerak cerita.

 

Selain Borobudur, Labirin 8 juga mengambil latar tempat di Candi Liangan dan Mata Air Jumprit yang memang betul-betul nyata keberadaanya di bumi Nusantara. Dua nama tempat lainnya cukup menggelitik, karena saya pribadi baru pertama kali mendengar keduanya. Ah..rasanya akan sangat menarik menyelaminya.

 

Diceritakan singkat oleh Eva bahwa Labirin 8 berkisah tentang delapan orang yang terjebak di ruang rahasia candi Borobudur. Agar dapat keluar, mereka harus menyelesaikan teka-teki dengan menyelidiki relief-relief candi untuk keluar.

 

Dalam pembuatan novel ini, selain terjun langsung ke lapangan, Eva juga mengikuti banyak webinar, mengumpulkan dan memilah data, memeriksa fakta, dan hingga ke tahap akhir, yaitu penyusunan kerangka penulisan cerita yang terdiri dari premis, synopsis, dan struktur plot. Plot ini sangatlah penting, karena harus rapi, dan dipastikan agar jangan sampai ada plot hole.

 

Bagi Eva sendiri, sejarah dan kebudayaan adalah tempat ia bangkit, setelah mengalami konflik batin dan berada di titik nadir. Keindahan falsafah yang melekat dalam kebudayaan mengajarkan banyak hal, dan memberikan kehidupan baru bagi dirinya.

 

Platform Penulisan Digital

Saat ini, Eva juga giat menulis di platform digital yang banyak berkembang. Menurutnya, penulis di platform digital ini bisa sangat menantang. Karena kalau menulis novel cetak biasanya ia harus menyelesaikan keseluruhan cerita terlebih dahulu. Namun di ranah digital penulisannya bisa dikejar satu bab per minggu oleh editor. Menariknya lagi para pembaca bisa ikut memberi saran atas alur cerita yang sedang ditulis. Selain itu, kita juga sebagai penulis dapat langsung membaca respon atas cerita yang baru diselesaikan.

 

Walau tergolong baru bagi sebagian orang, namun platform digital ini punya segmen tersendiri. Setelah ceritanya sudah rampung, bisa juga untuk kemudian dibukukan melalui penerbit. Platform digital juga bisa cukup cepat membuat penulis lebih dikenal dan memiliki reputasi.

 

Sesi bincang MIMDAN malam itu ditutup Eva dengan sebuah kalimat bahwa “Ide dan gagasan datang ke kita, karena mereka percaya, kita bisa mewujudkannya, dan diharapkan ketika orang membaca sebuah karya, ia dapat menjadi pribadi yang baru. Seperti saya yg menemukan jati diri dari sejarah dan budaya.”