Dua tahun lalu, sebuah resensi pendek tentang sebuah buku,
melintas di instastory seorang kawan.
“Goodbye, things: Hidup Minimalis Ala Orang Jepang” tertulis di sampulnya,
dengan nama penulis Fumio Sasaki. Sebuah nama yang baru saja saya dengar kala
itu.
|
Dua Buku Rekomendasi untuk Belajar Hidup Minimalis
|
Satu resensi mungkin tidak cukup menarik. Lalu kemudian
muncul resensi ke-2, ke-3, dan ke-4, dari kawan yang berbeda, mulai menggelitik
rasa ingin tahu saya tentang isi buku tersebut. Walaupun membutuhkan waktu
berbulan-bulan hingga saya akhirnya membeli buku yang dimaksud.
Awalnya sih, saya mengira kalau hidup minimalis itu sama
artinya dengan hidup hemat dan sederhana. Namun ternyata, lebih rumit dari yang
saya duga. Makanya bisa ditulis menjadi sebuah buku berjumlah 242 halaman.
Walaupun begitu, di Indonesia sendiri, Fumio Sasaki bukanlah
orang pertama yang mengenalkan gaya hidup minimalis melalui bukunya. Marie
Kondo melalui program Tidying Up with
Marie Kondo yang tayang di netflix jauh
lebih populer di negeri ini. Hanya, sayanya saja yang kurang update, hingga kurang familiar dengan
Marie Kondo dan metodenya tersebut. Tapi setelah saya rampung melahap habis
konten dari buku Fumio Sasaki, bukunya Kondo pun menjadi target bacaan saya.
Kedua buku tersebut memang sama-sama membahas tentang
kebaikan hidup minimalis, namun ada perbedaan yang kentara antara keduanya.
Bila buku The Life-changing Magic of
Tidying Up Marie Kondo berfokus pada cara ia beres-beres dan merapikan
barang, buku Goodbye Things Fumio
Sasaki sangat menitikberatkan pada cara agar kita dapat membuang barang-barang
yang (sebetulnya) tidak diperlukan, demi kehidupan minimalis yang lebih
bahagia.
Memangnya, bagaimana kehidupan minimalis dapat membuat
bahagia? So, menurut Fumio,
sebetulnya kebanyakan orang yang memiliki barang berlebih, hidupnya tidak
bahagia. Selain karena seseorang harus menghabiskan banyak waktunya untuk
merapikan barang, benda-benda tersebut pun dapat menjadi sumber distraksi bagi
pikiran. Yang saya akui benar adanya.
Saat masih membujang dulu, kamar saya bagaikan sebuah gudang
yang hampir setiap barang ada di situ. Alih-alih agar aktivitas lebih efektif
dan produktif karena melihat menganggap banyak barang-barang yang bisa memberi
inspirasi, yang terjadi justru pekerjaan menjadi sering terdistraksi. Setiap
mata mendelik ke sebuah barang, ingatan kemudian melayang kepada kapan saya
mendapatkan barang tersebut, dari mana saya mendapatkannya, hingga soal warna
barangnya, yang berlanjut kepada latar
belakang cerita barang-barang yang ada di sekitarnya. Sungguh memuakkan
sekali sebetulnya. Momen macam ini bisa menghabiskan waktu saya 5-15 menit. Ini
yang membuat sistem work from home (WFH) yang
berlaku saat pandemi awal tahun ini menjadi tidak efektif buat saya.
Satu tahun berjalan sejak saya membaca tips dan nasihat yang
tertera pada buku ini, kamar saya masih tak mengalami perubahan, dan semakin
terasa menyebalkan saat berada di dalamnya. Terutama ketika WFH berjalan. Saya
bekerja di tempat saya rehat dan menghibur diri. Dan saya istirahat di tempat
saya bekerja. Alhasil, saya terasa bekerja tanpa memiliki batas ruang dan
waktu. Seakan waktu berhenti, tanpa pernah bergulir.
Tapi tanpa diduga, membuang barang yang dianggap suatu saat
akan dibutuhkan, menjadi lebih mudah menjelang pernikahan saya beberapa waktu
lalu. Karena seminggu sebelum menikah saya sudah harus memindahkan
barang-barang ke rumah kontrakan yang akan ditempati berdua. Saya mulai merasa kalau barang saya itu ternyata banyak sekali, dan sebagian besar jarang saya liat, dan bahkan beberapa baru ingat kalau ternyata saya mempunyai barang tersebut. Jadi, sebetulnya selama ini saya banyak menyimpan sampah hingga bertahun-tahun lamanya, tanpa disadari.
Mata dan hati saya terbuka, ketika satu per satu saya
memegang dan membereskan barang-barang yang selama ini terpajang, maupun
tersembunyi dalam lemari. Dalam bukunya, Fumio berkata, bila ada sebuah benda
yang tidak pernah disentuh selama tiga bulan, itu artinya saya tidak
membutuhkan benda tersebut. Maka dari itu saya kemudian memberikan, menjual,
serta membuang banyak pajangan berdebu yang tidak pernah saya rawat, seperti
hiasan miniature Borobudur yang saya beli saat study tour SMA, action figure
one piece yang baru saja saya ingat kalau pernah membelinya, beberapa
tumbler yang jumlahnya sudah melebihi tujuh buah, serta topeng guy fawkes dan Phantom of the Opera yang dulu saya beli untuk properti foto yang
diharapkan akan terpakai kembali suatu saat nanti. Benda-benda tersebut
hanyalah contoh, selain itu, ada sekitar empat karung benda dan dokumen yang
saya simpan dengan alasan “suatu saat
pasti dipake lagi.”
Di samping benda yang sudah sangat lama tidak saya pegang,
barang-barang lain yang saya buang adalah barang yang tidak membuat saya
bahagia, termasuk puluhan buku yang kini hanya menjadi bagian dari deretan buku
yang membuat kamar heurin. Mungkin
ada sekitar empat lusin buku yang kemudian saya jual di instagram story, lalu sisanya saya donasikan ke
perpustakaan.
Kalau dirata-ratakan, buku yang saya jual kebanyakan buku
yang tidak rampung saya baca, buku yang secara keilmuannya sudah ketinggalan,
atau buku populer yang ketika dipikir-pikir lagi, buku ini bukan saya banget, kendati sudah pernah tamat membacanya. Dulu, saya menyimpannya karena merasa semakin banyak buku yang memenuhi rak, semakin saya merasa bangga. Padahal, jarang ada pula orang yang bisa mampir dan melihat buku-buku tersebut di kamar. Sisa buku yang saya simpan kini, didominasi
oleh buku fotografi, sejarah, traveling, dan sastra.
Selain itu, saya juga membuang koleksi tiket nonton yang
saya kumpulkan sejak tahun 2010, yang sangat jelas menjadi sampah. Beberapa di
antaranya ada tiket event, dan tiket kereta pula. Saya hanya menyisakan dua
tiket nonton Insidious yang dulu saya
tonton saat kencan pertama bersama perempuan yang menjadi istri saya sekarang, serta
satu tiket kereta api Parahyangan. Tiket ini istimewa, karena selain desainnya
yang klasik dan terlihat mewah, kini sudah menjadi barang bersejarah pula.
Kereta api Parahyangan yang saya tumpangi waktu ini sudah tidak ada, dan
menjadi Argo Parahyangan sekarang, setelah digabungkan operasionalnya dengan
kereta api Argo Gede.
Untuk pakaian, saya meninggalkan sekitar sepuluh potong
pakaian saja sebenarnya. Hingga ketika tiba di rumah kontrakan, istri saya
langsung menyisihkan 50% lagi pakaian yang sebetulnya saya pilih untuk bawa ke
rumah. Sungguh faktor pernikahan ini memudahkan saya untuk membuang
barang-barang saya. :’).
“Yang, baju ini buang ya?”
“mmh..iya”
“Ini jugaa”
“iyaaaa”
Tapi yang dilakukan istri saya tidak salah juga sih. Karena
baju-baju yang ia pilih untuk dibuang/disumbangkan, rata-rata sudah berusia
5-15 tahun. Iya betul, kalian tidak salah baca. Sebelumnya saya masih memakai
kemeja dan kaos dari masa tersebut, termasuk kaos yang saya dapatkan saat ospek
kuliah tahun 2005, dan kaos keanggotaan extrakurikuler Pencak Silat sekolah
pada tahun 2003. Kebanyakan dari baju-baju tersebut sudah terlihat berbulu,
tapi masih saya kenakan untuk tidur, dan disimpan dengan alasan kenang-kenangan.
By the way, perilaku seperti ini
belakangan baru saya ketahui adalah sebuah penyakit psikologis bernama Hoarding
Disorder.
Dari dua buku tentang hidup minimalis yang saya miliki, buat
saya buku Fumio Sasaki lebih nyaman dibaca. Mungkin karena faktor spacing antar barisnya yang sedikit
lebih renggang, dan terjemahannya yang mudah dicerna. Rancangan konten bukunya
pun lebih easy-to-read dengan dibuat
poin per poin. Sehingga, tidak lelah saat membacanya.
Mungkin saat ini, saya sudah menjalankan sekitar 60% dari
prinsip hidup minimalis yang diajarkan. Karena saya masih senang membaca buku
fisik, serta memandangi foto-foto cetak. Keduanya sangat sulit digantikan oleh digital file. Feel-nya akan terasa
berbeda.
Kini, di rumah yang saya tempati. Lebih sedikit benda yang
dipajang, lebih sedikit pula benda yang ke depannya yang ingin saya miliki. Karena
“kapan-kapan butuh” itu arti
sebenarnya artinya “tidak butuh”.
Lebih sedikit barang yang hadir dalam pandangan, lebih sedikit pula hal yang harus
hinggap dalam pikiran.