Disposable Camera, atau kamera sekali pakai, cukup sering saya jumpai dalam cerita-cerita di drama atau anime Jepang. Namun baru kali ini saya melihatnya langsung ketika mampir ke Kopi Toko Djawa di Jl. Braga Bandung. Tampilannya tak ubah seperti biskuit yang dikemas dengan bungkus plastik. Ukurannya terasa lebih kecil dibanding kamera pocket analog pada umumnya. Body-nya pun terasa lebih ringan saat ditenteng. Bahkan biskuit Nissin keju pun lebih berat dari ini. Terdapat beberapa jenis disposable camera lain yang dijual di situ, namun kamera dengan nama besar Fujifilm tentu lebih menarik perhatian saya. “250.000,” begitu kata petugas kasir ketika saya menanyakan harganya. Cukup membuat saya berpikir dua kali untuk membelinya. Akal sehat saya kemudian menyuruh saya untuk membandingkan harganya terlebih dahulu di market place online.
Beberapa hasil foto Fujifilm Disposable Camera (kamera sekali pakai) yang saya cetak.
Mungkin sebetulnya disposable camera ini bukan barang baru bagi para penggemar kamera analog. Namun bagi saya yang kini lebih sering memotret menggunakan perangkat digital, perjumpaan dengan kamera sekali pakai di Kopi Toko Djawa ini tentu tak bisa dihiraukan begitu saja. Action selanjutnya, adalah mencarinya dengan harga best buy. Saya pun menemukan cukup banyak lapak online yang berjualan produk dengan kata kunci disposable camera, yang harganya lebih murah dibanding yang dijual di Braga. 
Kebanyakan jenis yang dijual memang merupakan Fujifilm Disposable Camera yang persis sama dengan yang saya incar. Beberapa di antaranya, harganya hanya berbeda Rp10.000-30.000 saja, sampai saya menemukan sebuah lapak yang menjual produk tersebut dengan perbedaan harga mencapai Rp70.000. Awalnya saya sedikit ragu dengan toko tersebut karena tidak menggunakan logo atau gambar apapun pada profile tokonya. Namun banyaknya review dan statistik barang terjualnya akhirnya memutuskan saya untuk membeli di lapak tersebut.
Kamera sekali pakai yang saya temui di Kopi Toko Djawa
Akhir pekan setelahnya, saya pun berkesempatan untuk langsung menjajalnya di lapangan Tegallega Bandung bersama Kang Dudi Sugandi dan Komunitas Lets Hunting yang ia rintis. Karena bungkusnya memang hanya terbuat dari plastik, feel saat membukanya pun persis seperti sedang membuka bungkus makanan ringan. Dari segi fisiknya, kamera ini sangat terlihat seperti mainan anak-anak. Begitupun perasaan saat menekan tombol rananya, nyaris tak seperti sedang memotret sesuatu. By the way, sudah lama saya tidak melihat dunia di balik viewfinder manual, terhitung sejak saya mulai menggunakan kamera mirrorless pada 2017 silam. Viewfinder pada kamera ini sedikit buram, mungkin karena terbuat dari material plastik yang murah. Tentunya mustahil untuk mengambil fokus dengan fitur sesederhana ini, sehingga saya benar-benar memotret menggunakan feeling saja. Hanya ada dua tombol di kamera ini, yaitu tombol shutter, dan tuas untuk mengangkat lampu flash.

Selain di Tegallega, saya menggunakannya untuk memotret di Pasar Burung Sukahaji, Pasar Malam di Asia Afrika, rumah, dan beberapa café yang saya kunjungi hingga akhirnya menggenapkan hitungan 27 peluru yang dimiliki kamera ini.
Salah satu foto yang saya ambil di kawasan Tegallega menggunakan disposable camera.
Saya pun kemudian membawanya ke Hipercatlab, salah satu tempat di Bandung yang cukup populer bagi pegiat fotografi analog untuk melakukan cuci film & scan. Dugaan saya sebelumnya pun memang tepat. Saat saya bertandang ke markas Hipercatlab, saya cukup banyak menemukan bangkai-bangkai kamera sekali pakai di salah satu sudutnya. Ini menandakan memang bagi orang-orang tertentu, disposable camera cukup akrab. Begitupun dengan Fajar, sang pengelola Hipercatlab. Hanya dengan sekali gerakan, ia langsung dapat membongkar kamera tersebut untuk mengeluarkan roll film-nya. Untuk dapat melihat hasil fotonya, dibutuhkan waktu maksimum dua hari dari waktu penyetoran roll. Karena memang ternyata bisnis ini masih terbilang punya potensi penghasilan sendiri di segmennya. Bila kondisi sedang sepi saja Hipercatlab bisa mendapatkan tidak kurang dari 20 roll film setiap harinya untuk diproses.

Sesuai janji, 48 jam kemudian hasil foto pun dikirimkan melalui link dropbox. Memang praktis juga sih seperti ini. Karena bila file foto masih disimpan dalam bentuk klise seperti dulu, ada kemungkinan data foto mengalami kerusakan seiring dengan berjalannya waktu. Belum lagi harus menyediakan tempat khusus untuk menyimpannya.
Foto ayah saya yang saya potret di depan teras rumah, dengan kondisi langit cerah.
Ada beragam hal unik yang saya dapatkan dari hasil foto yang saya potret. Selain karena exposure dan tone yang berbeda ketika saya melihatnya di smartphone, laptop, dan hasil cetak. Beberapa foto pun banyak yang mengalami underexposure, hingga objek foto hampir tak terlihat sama sekali. Jangankan foto saat malam hari, foto di dalam ruangan pun banyak yang gelap hasilnya. Padahal saya berasumsi spek ISO 400 yang melekat pada kamera ini dapat cukup baik menangkap imaji indoor. Sampai saya sadar bahwa selain ISO, spek teknis pada kamera pun berperan juga. Dengan bobot dan fitur sederhananya, maka tak heran kamera ini menghasilkan gambar yang seadanya.

Satu hal yang saya prediksi dari awal, bahwa kamera ini akan menghasilkan foto-foto dengan cukup banyak grain, yang sebetulnya memberikan sentuhan vintage. Namun dari apa yang saya amati, hasil foto grainy classic ini pernah saya lihat sebelumnya saat menggunakan kombinasi kamera Nikon D70 dan lensa 18-55 mm keluaran Sigma. Nikon D70 sendiri merupakan salah satu kamera DSLR yang cukup senior, karena diluncurkan pada masa-masa awal munculnya generasi kamera digital, yakni pada tahun 2004. Saya cukup akrab dengan jenis kamera tersebut, karena pernah meminjam dan memakainya dari seorang teman dengan durasi 1, 5 tahun.
Salah satu foto indoor yang saya ambil menggunakan disposable camera (tanpa memakai flash).
Memang banyak yang menyebutkan bermain kamera analog seperti ini akan mengasah naluri dalam menangkap momen. Akan tetapi, kadang dengan kamera digital pun saya cukup sering memotret momen hanya dengan sekali jepret. Toh, momen kan memang sulit untuk terulang kembali. Namun, apabila suatu saat nanti saya akan menggunakan tipe-tipe kamera yang hasilnya untuk dicetak, saya rasa saya akan memilih untuk menggunakan kamera polaroid/instax saja. Saat beberapa waktu lalu saya mencoba kamera instax, rasa puas yang saya dapatkan ketika memegang hasil cetaknya jauh lebih tinggi dibanding saat menggunakan Fujifilm Disposable Camera ini. Di hasil foto instax pun sebetulnya memang ada grain, over exposure, dan misleading tone. Tapi tetap saja mis-nya si kamera instax ini jatuhnya ke arah yang lebih memuaskan.


Untuk ke depannya, saya sepertinya tidak akan menggunakan kamera sekali pakai ini lagi, karena rasa penasarannya pun sudah terpenuhi. Untuk mencoba rutin bermain dengan kamera analog pun sepertinya tidak akan dalam waktu dekat. Setelah melihat hasil-hasil cetakan dari Fujifilm Disposable Camera, saya teringat banyak foto yang saya ambil menggunakan kamera film pada medio 2002-2005 ya hasilnya seperti ini juga. Mungkin ya karena sudah sempat mengalami periode akhir kamera analog saat remaja, saya tidak begitu tertarik menggunakannya. Akan tetapi, kamera sekali pakai ini tetap worth it kok digunakan saat berwisata di alam terbuka, dengan kondisi langit yang cerah. Kalau langitnya gloomy, yaa..gitu deh.

Salah satu foto di yang saya ambil di Tegallega menggunakan disposable camera dengan kondisi langit mendung.



Public figure dan bisnis adalah dua hal yang bisa disinergikan dengan sempurna, hanya bila si empunya pandai mengelola. Contoh saja Kaesang Pangarep dengan Sang Pisangnya, serta Gofar Hilman dengan Lawless Burgernya. Untuk nama yang terakhirnya, dampaknya baru-baru ini terasa oleh saya yang gemar menonton video di channel Youtube miliknya. Social media memang bisa menjadi platform yang tepat dan efektif untuk mempromosikan produk, selama konten yang disampaikannya dikemas dengan smooth, tanpa harus menjadi hard selling. Seperti yang Gofar lakukan pada episode Ngobam (Ngobrol Bareng Musisi) bersama David Naif. Akhirnya premis “burger paling enak yang pernah gua cobain” dari David, membuat saya datang pada Sabtu 27 Juli 2019, pukul 11 siang ke Rider & Rules Jl. Sultan Tirtayasa 56, untuk menjajal rasa Lawless Burgerbar yang sedang away ke Bandung kala itu.
Motley Burg Double dari Lawless Burger Bar
Karena katanya burger yang dibawa ke Bandung terbatas, saya pun rada meniatkan diri untuk datang ke lokasi sekitar satu jam sebelumnya. Sempet nyasar dikit ke arah jalan Sultan Tirtayasa yang di Jalan Dago, rupanya lokasinya berada lebih dekat dengan Jalan Banda. Alhasil, saya baru sampai di lokasi sekitar pukul 10.12. Saat itu, baru ada satu orang saja yang sudah duduk di kursi antrian. Luar biasa, ternyata sudah ada orang yang lebih niat daripada saya. Setelah menunggu sekitar 10 menit, dan kondisi masih sepi-sepi aje, saya memutuskan untuk window shopping dulu ke toko kamera instax yang terletak di sebelah venue.

Setelah 20 menit kemudian saya kembali ke tempat, ternyata pengunjung yang datang sudah superrr banyak. Beruntung saya masih bisa dapat antrean aga depanan. Sambil berdiri mengantre, saya nikmati saja wangi bawang Bombay yang sudah mulai dimasak, menyusul daging cincang dan keju yang juga mulai naik panggangan.
Proses pemanggangan Beef Patty di Lawless Burgerbar
Untuk pop-up store-nya kali ini, Lawless Burgerbar membawa dua pilihan menu yakni Sabbath Burger, dan Motley Burg. Kedua menu tersebut juga ditawarkan dengan dua pilihan jenis penyajian, single atau double patty, yang jarak harganya sebetulnya tak terlalu jauh. Saya rasa kebanyakan orang akan selalu memilih double dengan strategi harga seperti ini. Begitu juga saya yang memesan Motley Burg Double.

Harga untuk Sabbath Burger ini Rp60.000 untuk single patty, dan Rp73.000 untuk double patty. Sedangkan untuk Motley Burg dimulai dari Rp66.000 untuk single, dan Rp80.000 untuk double. Saya sendiri tidak tahu apakah harga-harga tersebut harga reguler mereka bila berjualan di Jakarta atau tidak, dan apakah menu ini tergolong menu termurah mereka atau tidak, yang pasti kelas harganya sedikit agak tinggi untuk Bandung. Mungkin itu juga yang menjadi pertimbangan Gofar belum membuka toko permanen di Bandung. Tapi, saya yakin Lawless akan tetap memiliki segmen sendiri bila meletakkan tokonya di kawasan perbelanjaan Dago atau Jalan Riau.

Selesai mendapatkan barang pesanan, saya pun langsung meluncur pulang. Dengan antrean yang saya lihat saat itu, sepertinya 200 pcs burger akan habis dalam waktu paling lambat satu jam. Karena terlihat hampir setiap orang yang mengantre akan membeli 3-6 pcs burger. Kecuali saya. Cek ombak dulu, hehe.
Antrean di Pop-Up Store Lawless Burgerbar Bandung
Dari tampilan, Lawless Burger ini memiliki  wujud yang berantakan. Tapi justru karena itulah, ia terlihat lebih menggiurkan. Si kejunya pun dipanggang bersama patty, sehingga ketika sampai di tangan customer, bentuknya sudah meleleh bersama dengan patty, lettuce, dan bun. Selain itu, permukaan bun-nya juga terlihat segar dan mengilap. Tidak seperti banyak burger yang saya temui, yang permukaan rotinya kering. Sayangnya, sebetulnya saya mengincar The Lemmy untuk dipesan. Karena kalau dilihat dari fotonya di akun Instagramnya. The Lemmy inilah yang mempunyai rupa paling berantakan, sekaligus paling menggugah selera.

Pop-up store Lawless Burgerbar masih akan membuka ­booth-nya besok (28 Juli 2019) siang, masih dengan stok 200 burgernya yang terbatas. Untuk kategori burger, buat saya Lawless menjadi burger ter-worth it di kelasnya. Lebih baik nambah dikit buat beli ini, dibandingkan beli burger mainstream yang kalau di foto keliatan gede, tapi pas dibeli tipis beud. Semoga cepat terwujud untuk Lawless Burgerbar hadir secara permanen di Bandung bersama The Lemmy-nya.



Cartil a.k.a Caringin Tilu, tempat di mana romansa para muda-mudi Bandung bergelora. Zaman kuliah dulu, tempat ini menjadi indikator sebuah hubungan PDKT sudah beranjak ke tahap confession. Diharapkan keindahan kerlap-kerlip pemandangan jutaan city light cukup dapat membuat sang perempuan terbius, hingga kemudian membalas “ya, aku mau.” Anyway, walaupun berada di dataran tinggi, kawasan Cartil ini terbilang cukup dekat dari area kota. Hanya sekitar 15 menit berkendara dari mulut Jl. Padasuka yang berlintasan dengan Jl. Surapati. Setelah memasuki era Instagram, kawasan ini semakin populer, dan berkembang. Hal ini ditandai dengan munculnya beberapa tempat nongkrong baru yang rancangannya cukup kece. Salah satu di antaranya adalah Kopi Timur.
Kedai Kopi Timur

Pertama kali saya mengunjungi Kopi Timur ini adalah pada menjelang akhir tahun lalu. Tempat ini direkomendasikan oleh seorang teman saya yang juga kebetulan mengenal Kang Anjar yang menjadi pemiliknya. Dugaan saya memang tepat, ketika berkesempatan berbincang dalam satu sesi obrolan, memang rupanya pemberian nama Kopi Timur ini berdasarkan lokasinya yang berada di Bandung Timur, serta biji-biji kopinya yang diambil dari kawasan tersebut, seperti dari Gunung Manglayang dan Palintang. Selain itu, ada juga biji kopi yang berasal dari Flores yang merupakan daerah Indonesia timur.

Kopi Timur ini terintegrasi langsung dengan area kuliner Dapur Cartil, sehingga pilihan makanan dan cemilan pun lebih beragam. Keistimewaan lainnya, lokasinya tersebut persis menghadap ke arah cekungan Bandung yang diisi oleh mungkin ratusan ribu konstruksi gedung dan pemukiman. Tunggu saja sampai matahari berganti peran dengan malam. Wajah Bandung yang gemerlap pun akan tampak, dan menjadikan Kopi Timur, kedai kopi dengan view terbaik di Bandung. Karena tempat ini dibangun di atas lereng, setiap spotnya akan sama-sama menyajikan pemandangan terbaik. Baik di area indoor maupun outdoor.
Suasana Kopi Timur pada malam hari.
Untuk menu-menu kopinya terbilang lengkap. Mulai dari Espresso, Caramel Macchiato, sampai dengan Matcha Coffee Latte ada di sini. Namun untuk andalannya, Es Kopi Timur lah yang banyak dipesan. Lalu ada juga Hazelnut Coffee yang menurut saya cukup jarang ditemui di kedai-kedai kopi lainnya. Harganya pun terbilang sangat terjangkau, mulai dari Rp15.000-Rp20.000an.


Es Kopi Susu Timur
Bila waktu pertama saya mampir ke Kopi Timur, tempat ini masih buka hanya pada Jumat, Sabtu, dan Minggu. Kini Kopi Timur rupanya telah menambah jam operasionalnya dengan hari Rabu dan Kamis, pada pukul 3 sore sampai pukul 1 malam. Saya sendiri sudah beberapa kali berkunjung ke kawasan ini, baik ke daerah Cartil-nya atau ke area yang lebih atasnya lagi di Bukit Moko atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Puncak Bintang. Untuk bisa mencapainya, ada baiknya membawa kendaraan roda dua ataupun kendaraan roda empat yang cukup prima kondisinya, karena jalannya yaa lumayan nanjak hingga puncak.



Kayu itu material yang unik. Selain karena memiliki warna yang alami, perbedaan pola serat pada setiap batangnya membuat kayu memiliki ciri khas tersendiri. Oleh karena itu, produk jam tangan, serta bingkai kacamata dari kayu yang terbilang tak umum pun mulai populer di negeri ini beberapa tahun ke belakang. Saya pribadi sangat menyukai benda-benda dari kayu. Memiliki sebuah kabin kayu di tengah bentang alam menjadi salah satu impian saya. Tak perlu takut rusak, asalkan kayu dirawat dengan benar. Setidaknya itu yang disampaikan Pak Fawaz Salim, pemilik Equator Coffee & Gallery kepada saya siang itu. Imajinasi yang masih mentok di kepala saya ini sudah ia wujudkan lebih jauh dengan membuat sebuah café unik dengan nuansa serba kayu di Bandung.

Rancangan Equator Coffee & Gallery yang serba kayu

Dari mata Pak Fawaz saat bercerita, saya pun langsung tahu kalau kayu merupakan segalanya baginya. Tak heran, sejak kecil ia sudah dibesarkan oleh keluarga pengusaha meubel. Equator Coffee & Gallery ini merupakan ekses dari perjalanan hidupnya yang selalu bergelut dengan kayu. Di samping café, ia juga memiliki workshop di kawasan Antapani. Melalui kegemarannya tersebut, sebuah mobil yang hampir keseluruhannya terbuat dari kayu kini bertengger di salah satu sudut cafenya. Hingga kini, total sudah 11 mobil kayu yang pernah ia buat, dan benar-benar bisa dikendarai.

Walaupun mengaku tak pernah mengenyam pendidikan desain, namun Pak Fawaz berhasil membuat saya kagum melalui rancangan interior di cafenya. Sebuah lorong kayu yang diberikan celah-celah untuk cahaya mentari jatuh menjadi sebuah ucapan selamat datang untuk tamu cafenya. Di dalamnya terdapat tiga bagian ruangan, yakni Coffee Shop, ruang makan semi-outdoor, dan gallery seni. Semua benda yang dipajang di café ini dapat dibeli ataupun dipesan secara custom oleh pengunjung yang berminat. Lalu ada juga beberapa patung kayu, dan beberapa instalasi unik yang menjadi sasaran latar berfoto.
Pak Fawaz Salim berfoto di depan mobil kayu buatannya

 Untuk makanannya sendiri, Equator Coffee & Gallery menyajikan jenis makanan yang cukup beragam. Mulai dari hidangan tradisional, hingga menu-menu ala western, dan Timur Tengah. Namun ada satu yang pasti, seluruh menu-menu yang disajikan selalu dibuat dengan porsi yang lumayan besar bagi ukuran saya. Contohnya saja Bebek Bumbu Bali yang saya santap. Potongan dagingnya sangat besar, sehingga saya pun dapat cukup lama menikmatinya hingga lenyap dari piring. Lalu ada juga Nachos yang dihidangkan dengan saus keju, dan daging cincang yang menggoda. Biasanya Nachos ini sering disajikan untuk makanan ringan. Namun sepiring Nachos di sini dapat cukup mengenyangkan perut, walaupun disantap bersama-sama dengan teman-teman. Sedangkan untuk minumannya, tentu kopi menjadi menu rekomendasi untuk dinikmati di sini. Menu kopinya pun cukup lengkap. Mulai dari Kopi Tubruk, Frappuccino,  hingga Es Kopi Susu yang sedang hits.
Bebek Bumbu Bali dan Nachos, dua menu favorit di Equator Coffee & Gallery
 Tak perlu khawatir soal harga, karena untuk menu-menunya dimulai dari Rp23.000 saja. Menu paling mahal pun adalah Pizza yang dibandroll Rp63.000. Pizza ini bisa dinikmati hingga idealnya empat orang, dan sudah bikin kenyang.

Buat kamu yang ingin mencoba nongkrong sambil menyantap hidangan-hidangan lezat dari Equator Coffee & Gallery, kamu tinggal mampir ke Jl. Sulanjana No. 32, Bandung. Tak jauh dari pusat perbelanjaan Balubur Town Square. Untuk kamu yang datang dari luar kota, kamu bisa menggunakan jalan layang Pasupati, dan turun di rute Jl. Taman Sari.
Salah satu area semi-outdoor di Equator Coffee & Gallery



Hingga ceritanya diangkat ke layar lebar dan TV series pada 2009/2010 lalu, mungkin sebelumnya kedekatan publik Indonesia dengan tokoh Sherlock Holmes hanya sebatas bayang-bayang samar dari tokoh yang diidolakan Shinichi Kudo di anime dan manga Detective Conan. Robert Downey Jr, dan Benedict Cumberbatch dapat dibilang cukup berhasil memperkenalkan sosok detektif yang dikisahkan tinggal di Baker Street 221b, London ini.
Photo Courtesy: Silver Pictures & BBC

Bermodalkan akting, cerita, dan cinematografi yang super apik, sisi kecerdasan Sherlock dalam menganalisa kasus selalu tampak memukau, bak robot super pintar dengan fitur berteknologi tinggi. Namun, dari kedua versi Sherlock zaman now tersebut, saya pribadi lebih menyenangi cerita Sherlock versi BBC TV series yang diperankan oleh Benedict Cumberbatch dibandingkan dengan versi film Robert Downey Jr. Selain karena durasinya pun setara dengan film, di mata saya Robert Downey Jr masih banyak terlihat seperti Tony Stark a.k.a Iron Man. Lalu dari segi penyajian efek dan tata kamera pun, TV series Sherlock masih terasa lebih unggul. Cara Benedict menyampaikan logika berpikir Sherlock melalui gaya berbicaranya yang cepat dan dingin menjadi daya tarik tersendiri.

Saking kagumnya dengan karakter Sherlock ini, saya bahkan membeli sebuah buku berjudul “99 Cara Mengasah Intuisi Ala Sherlock Holmes” yang saya sesalkan kemudian. Memang sebetulnya buku tersebut adalah sebuah buku psikologi populer biasa yang cukup dilabeli “Cara Mengasah Intuisi”. Dengan ditambahkannya karakter Sherlock di judul, memang memberikan daya tarik lebih. Apalagi memang karakter detektif tersebut sedang naik daun kala itu.

Lama-lama, saya pun mulai berpikir kalau karakter Sherlock itu sebetulnya nggak keren-keren amat. Malah sepertinya, Sherlock ini merupakan seseorang dengan gangguan kecemasan. Dengan ia menghabiskan terlalu banyak waktunya untuk memperhitungkan segala kemungkinan yang dapat terjadi, itu berarti ia seorang yang overthinking. Berbagai hal kecil dapat menjadi bahan pikirannya, dan bisa dengan mudah membuatnya risau. Kesimpulan ini saya ambil ketika saya berusaha mengatasi gangguan kecemasan yang sering menyerang diri saya sendiri. Saya bukannya mencoba menyamakan diri dengan Sherlock yang super cerdas, karena walau bagaimanapun, ia adalah karakter fiktif. Namun, hanya saja saya sering mengalami pemikiran berlebih yang hadir diakibatkan karena adanya sebuah detail kecil yang berubah dari suatu kebiasaan, atau sesuatu yang terjadi di luar perkiraan.

Dulu, saya memang sempat memegang teguh sebuah pepatah yang kalau tidak salah berasal dari seni perang Sun Tzu yakni “Siapa yang menguasai informasi, maka ia akan menguasai dunia”. Mungkin saya salah mengartikan pepatah tersebut, sehingga yang saya lakukan adalah mengisi terus informasi di kepala saya sampai overload, dan berakibat malah saya yang dikuasai informasi. Alhasil, saya menjadi banyak menghabiskan waktu bergelut dengan informasi di kepala saya serta menjadi sumber depresi bagi diri sendiri.

Belakangan ini saya mencoba membayangan bagaimana Sherlock dengan ketajaman analisanya yang pasti ia dapatkan dengan mengatur kekayaan informasi di dalam kepalanya yang ia sebut dengan mind palace. Tadinya, saya berharap bisa belajar darinya. Namun, saya pun diingatkan kembali kalau ia ini hanya tokoh fiktif yang ceritanya bisa dirangkai sedemikian rupa. Walaupun begitu, sebenarnya dalam semua episodenya, Sherlock memang digambarkan sebagai orang yang mudah gusar. Bila diamati kembali, karakternya ini memang sejak awal mengindikasikan seorang cerdas yang juga memiliki gangguan kecemasan. Bahkan dalam cerita di novel ataupun serialnya, Sherlock sempat tertangkap basah menggunakan narkoba untuk mendorong kemampuan otaknya dalam memecahkan kasus.

Hal yang sama juga rupanya terjadi pada karakter Tony Stark di Iron Man 3. Hal ini baru saya sadari, ketika menonton ulang film tersebut beberapa waktu lalu. Tony Stark yang dikenal jenius, beberapa kali mengalami anxiety disturbs yang berujung pada panic attack. Hal ini dapat terlihat juga dari banyak Iron Man suit yang ia buat. Ia seperti selalu merasa tak aman, sehingga jumlah armor-nya telah mencapai angka di Mark 42. Ia juga selalu membuat banyak rencana dan project yang sudah disesuaikan dengan keadaan darurat tertentu. Dari sini, saya mulai berpikir bahwa memang kecerdasan ataupun informasi yang melimpah itu selalu berada di ambang batas yang tipis dengan kecemasan.

Bicara soal gangguan kecemasan yang saya alami, mungkin bagi orang yang sudah banyak berada dekat dengan saya pernah beberapa kali melihat saya berbicara sendiri. Bahkan saat bekerja di sebuah bank asing tahun 2012-2013 lalu, seorang teman pernah menganggap bahwa saya adalah seorang Indigo. Hal ini tak terlepas dari kebiasaan saya yang seringkali seperti sedang berbicara dengan seseorang yang invisible. Padahal, ketika tanpa sadar saya melakukan hal itu berarti saya sedang mengingat sebuah adegan dialog di masa lalu, atau sedang membayangkan adegan perbincangan dari sebuah pertemuan yang akan terjadi. Saat itulah kemudian saya justru baru mulai menyadari bahwa saya mengalami gangguan kecemasan.

Ketika saya cemas menghadapi sesuatu, saya mulai membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa yang akan datang. Good things dan bad things-nya. Namun sayangnya, lebih banyak bad things yang saya pikirkan, yang sebetulnya lebih banyak tidak terjadi. Tanpa sadar, kepala saya mencoba membayangkan kejadian pada waktu mendatang tersebut dengan benar-benar mensimulasikannya lewat kemungkinan dialog-dialog yang akan terjadi. Dan karena memang saya punya kebiasaan melafalkan sesuatu yang saya baca atau pikirkan, maka mungkin orang akan melihat saya seperti sedang berbicara sendiri. Fakta lainnya yang baru saya sadari. Ternyata Ibu saya pun mempunyai kebiasaan yang sama.

Tulisan ini saya buat sebetulnya untuk menjadi terapi tersendiri untuk saya. Untuk mengurai satu per satu kebutekan yang sudah overload di kepala ini. Hal ini juga baru saya sadari ketika saya lama tak menulis di blog pribadi. Overthinking yang sempat mereda, kemudian muncul kembali dengan begitu masif. Yang efeknya juga berimbas kepada kenyamanan tidur. Rasanya kepala saya ini bagaikan laptop Intel Pentium dengan puluhan tab terbuka di sistemnya. Jadi, saat ini saya sih sudah ogah menjadi seperti Sherlock Holmes. Cukup menjadi versi diri yang lebih bersyukur dan bahagia sambil berjuang, tanpa harus dibebani terlalu banyak target yang harus dicapai. Bukan berarti menyerah, tapi yaa.. kalau kata The Beatles, “Let it be.”



Beberapa tahun lalu, saya mulai berhenti mencetak foto yang saya ambil. Sebagai gantinya, aktivitas mencetak foto tersebut dialihkan menjadi aktivitas posting di Instagram. Tentu saja rasanya memang berbeda. Tapi yang pasti, cukup dapat memangkas biaya yang harus keluar dari mencetak foto. Namun tidak begitu dengan ayah saya yang hingga hari ini tetap rajin mencetak foto yang ia ambil melalui gawainya. Saya rasa, memang perbedaan generasi cukup berpengaruh.
Hasil foto menggunakan kamera Instax SQ10
Ngomong-ngomong soal Instagram, mungkin kita semua masih ingat bagaimana platform social media tersebut pertama kali hadir di perangkat telepon pintar. Semua foto yang diposting wajib berbentuk square, alias, keseluruhan sisinya haruslah memiliki ukuran yang sama. Hal ini memang tercermin dari bentuk logonya yang mengambil wujud sebuah kamera polaroid yang juga menghasilkan foto berformat bujur sangkar. Setelah aturan foto square dihapuskan Instagram, otomatis feel menggunakan aplikasi foto yang satu ini pun menjadi berubah. Namun, pengalaman memotret dengan aturan format square tersebut, kembali bisa saya rasakan dalam acara hunting photo bersama Instax Indonesia di Car Free Dago Bandung yang diadakan pada 14 Juli 2019.

Instax sendiri merupakan nama lini merek dari Fujifilm Indonesia untuk produk kamera polaroid. Walaupun sama-sama berformat square, tentunya ada perbedaan yang cukup kentara antara Instax dan Instagram. Dengan Instax, kita dapat langsung mencetak hasil foto yang telah kita ambil. Karena memang saya tidak memiliki kamera Instax, saya pun mendapatkan pinjaman dari Fujifilm Indonesia sebagai penyelenggara acara ini, berupa satu kamera Instax tipe SQ10. Tipe kamera ini sebetulnya cukup memudahkan saya yang sebelumnya sudah sangat terbiasa memotret dengan kamera digital. Karena Fujifilm Instax SQ10 ini memiliki fitur untuk dapat me-review foto terlebih dahulu sebelum dicetak. Walaupun begitu, saya tetap lebih berhati-hati dalam memotret. Karena kalau motret seenaknya saja, lalu apa bedanya dengan memotret menggunakan kamera digital biasa.

Sebagai bekal nyetrit saya pagi itu, saya juga diberikan satu pak Instax Square Paper yang berisikan 10 kertas cetak. Cara memasang ‘peluru’ tersebut di kamera, bisa dibilang cukup mudah. Tidak seperti bila kita memasang roll film pada kamera analog yang harus lebih berhati-hati. Kemudian saya dan peserta yang lain ditantang untuk membuat seri foto dari aktivitas yang sedang berlangsung di Car Free Day Dago. Karena cuaca cukup cerah, saya pun memutuskan untuk membuat seri foto bertemakan bayangan.

Jepretan pertama saya rupanya tak semudah yang dibayangkan. Hampir sepuluh menit berlalu, saya hanya berdiri di satu titik di Taman Cikapayang dengan mengarahkan kamera ke salah satu batu bulat yang sering dilintasi pejalan kaki. Beberapa momen menarik pun terlewatkan, karena saya terlalu takut untuk menekan tombol rana. Kondisi ini sepertinya akan sangat berbeda bila saya memegang kamera Fujifilm X-M1 yang biasa saya gunakan. Hingga akhirnya, momen pertama yang saya dapatkan dari kamera instax ini adalah bayangan seorang anak (yang mungkin) bersama bapaknya sedang berlari.

Setelah momen pertama tersebut, langkah saya selanjutnya menjadi lebih ringan dan berani dalam mengambil momen. Saya pun berjalan hingga ujung area Car Free Day Dago yang baru saya ketahui bahwa kini area di ujung utaranya telah memendek ke Jl. Dayang Sumbi dari yang sebelumnya berada di Simpang Dago.

Tanpa terasa waktu dua jam pun telah terlewati. Foto yang saya ambil ternyata lebih dua, sehingga saya harus memilih foto-foto mana saja yang akan saya cetak. Proses developing-nya ternyata cukup mudah. Dengan satu hingga dua kali klik saja, selembar kertas foto pun perlahan keluar dari bagian atas kamera dengan kondisi putih bersih, tak ada image yang muncul. Namun hal ini merupakan hal yang wajar, karena selanjutnya akan ada proses developing dari photo paper tersebut untuk menampilkan gambar.

Setidaknya, butuh sekitar tujuh menit untuk gambar dapat tampil dengan sempurna. Walaupun gambar sudah selesai ter-develop, ternyata tetap ada sedikit perbedaan tone, serta feel yang muncul, antara image yang ada di preview LCD dengan hasil foto yang dicetak. Warna yang dicetak di kertas foto saturasinya terasa lebih light. Warna hitam pada bayangannya pun nggak ngageblak, kalau dalam istilah Bahasa Sundanya mah. Mungkin agak mirip bila foto kita edit menggunakan filter-filter di aplikasi VSCO. Tapi, entah kenapa, saya justru lebih menyukai hasilnya. Hal ini menjadi sesuatu yang tak diduga-duga. Dan entah kenapa, emosi dalam fotonya pun jauh lebih terasa. Tidak seperti bila kita mencetak secara digital, ataupun mencetak foto dari roll film. Saya pun tidak tahu apakah karena ukurannya yang kecil, atau karena space putih yang membingkai foto square ini memberikan pengaruh terhadap citra foto atau tidak. Rasanya lembar-lembar foto ini mengingatkan saya kepada film Memento karya Christopher Nolan yang menjadi kunci dari alur cerita pada film tersebut.

Semakin tinggi matahari naik, semakin dekat juga waktu saya untuk berpisah dengan kamera Instax SQ10. Yang pasti, ada sedikit sesal bercampur kesal dengan mengikuti acara ini. Karena setelahnya saya jadi benar-benar ingin memiliki sebuah kamera Instax untuk sekali-kali ‘nyetrit’ atau membuat foto seri dari kamera tersebut. Semoga bisa berjodoh.


Setelah huru-hara yang sempat terjadi beberapa tahun lalu di area parkir Taman Hutan Raya (Tahura) Ir. H. Djuanda, premis “Ngopi di Tengah Hutan Pinus” di Bandung memang ikut lenyap pula. Sejak peristiwa tersebut, belum ada tempat ngopi lain dengan vibe yang setidaknya sama, serta dengan jarak yang cukup terjangkau dari pusat kota. Namun ternyata, dari sekitar satu tahun yang lalu, Tahura sudah memiliki tempat ngopi dengan suasana yang juga dikelilingi hutan pinus, bernama Dalem Wangi Bed & Brew. Tak tanggung-tanggung, kali ini letaknya berada di tengah-tengah belantara hutannya. Jadi, untuk menuju ke sini memang harus masuk dulu ke dalam area Tahuranya.
Dalem Wangi Bed & Brew
Kalau bukan Kang Ncis yang menjadi narasumber konten Youtube saya hari itu tak mengajak saya kemari, mungkin saya tidak akan pernah tau ada tempat ngopi seadem ini di Bandung. Untuk dapat mencapai Dalem Wangi Bed & Brew, tak perlu memarkir kendaraan di area parkir, dan berjalan dari gerbang Tahura. Karena ternyata, Tahura memiliki jalan samping yang dapat ditembus kendaraan bermotor. Fakta lainnya yang baru saya tahu, ternyata masuk Tahura itu gratis setelah pukul 4 sore, sehingga, saya dapat langsung memacu motor saya ke arah Dalem Wangi Bed & Brew yang rupanya berada di dekat patung dada Ir. H. Djuanda.

Dalam perjalanan, saya menjumpai banyak monyet jenis ekor panjang yang berkeliaran bebas di jalan, persis seperti di Ubud. Yaa.. walaupun saya belum pernah ke Ubud, tapi setidaknya foto teman-teman saya di Instagram menaruh sebuah imajinasi di kepala saya. Biasanya kalau saya berkunjung ke Tahura, agak sulit menemukan mereka berjalan bebas di jalanan. Mungkin memang mereka juga sudah tau bahwa biasanya pada waktu sore menjelang terbenam matahari, pengunjung sudah mulai sepi, sehingga mereka lebih berani menampakkan diri.
Monyet-monyet ekor panjang yang saya temui di perjalanan menuju Dalem Wangi Bed & Brew
Di luar dugaan, Dalem Wangi Bed & Brew ini ternyata memiliki bangunan yang sangat artistik. Saya rasa memang rancangannya pasti dikerjakan oleh arsitek, dan sengaja dibangun dengan tanpa menebang pohon. Sehingga, di dalamnya kita dapat melihat pohon dapat tumbuh bebas menembus langit-langit cafe. Keseluruhan kerangkanya sendiri terbuat dari kayu yang diselimuti oleh dinding-dinding kaca. Hal ini membuat cahaya matahari pada pagi dan sore hari dapat jatuh dengan indah ke dalam ruangan. Selain itu, tempat ini juga memiliki area outdoor yang nyaman. Sebagian di antaranya bahkan dibuat menggunakan lahan yang berada di tengah-tengah pohon pinus.
Rancangan bagian dalam dari Dalem Wangi Bed & Brew
Karena cuaca mulai terasa dingin seiring dengan keadaan yang mulai gelap. Walau judulnya tempat ngopi, sore itu saya memesan wedang jahe untuk menghangatkan tubuh. Sebagai cemilan, saya memesan paket menu dimsum seharga Rp35.000 yang berisikan 7 pcs dimsum dengan jenis yang berbeda-beda. Bagi saya menu ini istimewa. Karena selain rasanya yang memang enak, sangat jarang menu dimsum itu disajikan oleh kedai kopi.

Sesuai dengan namanya, Dalem Wangi Bed & Brew juga memiliki 'bed' yang tersedia di dua pondokan yang dapat menjadi tempat bermalam pengunjung yang ingin merasakan suasana malam di Tahura. Khusus untuk tamu pondok, pelayanan dari Dalem Wangi akan berlaku selama 24 jam. Sedangkan untuk pengunjung café, harus mengikuti jam operasionalnya yang buka pukul 8 pagi hingga 9 malam, pada hari selasa hingga minggu.
Ray of light yang muncul saat sore hari di Dalem Wangi Bed & Brew
Nah, buat yang penasaran dengan feel & vibes yang ditawarkan oleh Dalem Wangi Bed & Brew, kamu bisa mencoba mampir ke sini saat sedang berwisata ke Tahura atau Tebing Keraton, atau bisa sengaja saja berkunjung untuk menikmati suasana nyaman dan unik yang disajikan di sini.
Hutan pinus menjadi dekorasi alamiah yang mempercantik Dalem Wangi Bed & Brew



Ada yang berbeda pagi itu ketika saya memacu motor ke arah kantor yang saat itu masih berada di kawasan Kyai Gede Utama, Bandung. Sebuah restoran dengan tampilan cukup kece kini hadir menarik sudut mata. Dari tampilannya yang artsy, awalnya saya beranggapan bahwa bangunan restoran bertuliskan nama Delapan Padi ini merupakan sebuah restoran yang menyajikan menu-menu standar ala café di Dago yang harganya cukup tinggi. Namun ternyata, resto Delapan Padi ini menyajikan menu-menu masakan ala warteg, lho. Hal ini baru saya ketahui justru ketika saya sudah berganti pekerjaan dan kantor.
 
Resto Delapan Padi Bandung menyajikan menu makan siang dengan konsep parasmanan ala warteg.
Untuk ukuran sebuah resto, Delapan Padi ini memiliki space yang sangat besar. Beberapa ruangannya didesain dengan sofa yang nyaman untuk bersantai dan berlama-lama di sini. Sementara di area paling belakangnya, terdapat sebuah area semi outdoor dengan menggunakan ayunan sebagai tempat duduknya. Lalu ada juga beberapa stools dan meja yang dibuat memanjang ala bar yang mungkin akan cocok untuk yang datang untuk makan sendirian di sini. Selain area ground, area lantai dua pun sepertinya dapat digunakan untuk private event dengan kapasitas hingga sekitar 100 orang.
Salah satu area di Delapan Padi Bandung yang dilengkapi dengan ayunan.
Nah, mumpung kebetulan bisa makan siang di Delapan Padi, saya pun mencoba menu parasmanan ala wartegnya. Menu-menu ini dihidangkan khusus hanya pada pukul 11 siang hingga pukul 4 sore saja. Cocok buat yang cari tempat makan siang murah meriah, tapi suasananya eksklusif. Harga rata-rata per menunya di Rp5.000/item, namun untuk menu daging, tentunya ada sedikit penyesuaian. Kita juga bahkan bisa memesan nasi setengah porsi layaknya di warteg. Jadi, misalkan bila kita memesan nasi setengah dengan tempe orek, dan terong, harganya hanya Rp13.000. Bedanya dengan menu warteg, tentu saja terletak di segi cita rasa yang sudah di-upgrade ke level resto, serta beberapa hidangannya yang tak bisa dinikmati di warteg. Contohnya seperti daging sapi Mongolian, dan daging bumbu matah. Total terdapat 30 macam menu yang digilir setiap harinya.
Satu porsi hidangan menu ala warteg di Delapan Padi Bandung yang melimpah.
Di samping menu parasmanan, Delapan Padi juga menyajikan hidangan ala carte yang tak kalah unik dan lezat. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah Bala-Bala Pizza yang dibandrol Rp30.000 saja per porsi. Dengan harga tersebut, menu ini sudah bisa dinikmati hingga 5 orang. Sesuai dengan namanya, Bala-Bala Pizza ini merupakan bala-bala yang disajikan dengan bentuk dan topping pizza, serta dipotong melingkar. Ditambah, lumeran keju mozzarella yang menutupi seluruh permukaan bala-bala ini memang menjadi visual yang menggoda untuk dicicipi. Di samping menu fusion satu ini, ada menu-menu lainnya juga seperti French toast, mie bakso, apple pie strudel, dan tak lupa, signature drink Klepon Frappe yang berasa persis seperti jajanan tradisional Klepon, lengkap dengan taburan serutan kelapanya.
Bala-Bala Pizza ala Delapan Padi Bandung
Lain waktu, lain juga menu. Bila kamu mencoba datang ke sini pagi hari, menu yang disajikannya pun akan berbeda ketika kamu datang saat waktu makan siang. Delapan Padi memang terlihat ingin memenuhi kebutuhan menu customernya dengan tepat, sehingga pengunjung pun dapat mampir untuk makan di sini sepanjang hari, tanpa merasa bosan dengan pilihan makanan yang ada. So, buat kamu yang mencari tempat makan sekaligus spot nongkrong yang asyik di sekitaran Dago dan Dipati Ukur, Delapan Padi ini bisa menjadi pilihan.
Beragam menu di ala carte di Delapan Padi Bandung


Delapan Padi
Jl. Dipati Ukur No. 8, Bandung
Buka: 06.30-23.00 WIB


Tips agar bisa makan hemat di Braga Permai adalah dengan datang pada waktu sarapan. Betul, hanya itu saja. Tapi tentunya saya tak ingin Anda untuk berhenti membaca tulisan saya sampai di baris pertama, jadi biarkan saya untuk menyeritakannya secara lebih detail. Saya sudah mengeluarkan uang untuk sarapan di sini, jadi tolong baca hingga selesai.



Braga Permai yang dulu bernama Maison Bogerijen ini bagi saya adalah salah satu restoran paling sakral yang ada di Kota Bandung. Saking sakralnya, langkah saya selalu terhenti di pintu masuk. Iya, daftar menu beserta harga lengkapnya yang dipajang di bagian depan restoran, selalu berhasil menghentikan saya untuk bergerak lebih jauh. Rata-rata harga hidangan main course-nya yang berada di atas Rp50.000 memang cukup membuat saya mengurungkan niat untuk menyicipi kuliner yang dikenal legendaris di Bandung tersebut.

Namun segala keraguan, dan rasa berat dalam melangkah itu berubah menjadi ringan tatkala Braga Permai meluncurkan breakfast package tahun lalu. Bayangkan saja, hanya dengan total Rp30.000, saya sudah bisa menikmati seporsi Mushroom Spinach Avocado Omelette, satu cup poffertjes keju isi empat pcs, serta segelas teh talua. Belakangan, khusus untuk menu poffertjes ini kini diberikan sebagai free compliment saat memesan menu tertentu. Harga tersebut belum termasuk free flow kopi, susu, dan infused water.

Poffertjes, cemilan khas Belanda yang disajikan di menu sarapan Braga Permai.
Soal rasa, tentu sebutan kuliner legendaris ini bukan hanya gelar semata. Semua rasa dari menu-menu Braga Permai tak pernah gagal memuaskan lidah dan perut. Setelahnya, tempat ini menjadi tempat favorit saya untuk santap sarapan di Bandung. Apalagi, hampir setiap beberapa bulan sekali, akan selalu ada menu baru yang dihadirkan. Tak butuh waktu lama, beberapa sarapan setelahnya pun saya berkesempatan mencicipi menu lainnya seperti Bubur Kacang Hijau, Nasi Goreng Hongkong, Nasi Uduk, Nasi Soto Ayam, Lontong Cap Go Meh, Rissoles, Rye Burger, dan Ciabatta. Khusus untuk pemesanan menu Ciabatta dan Rye Burger, saya mendapatkan pudding sebagai free dessert. Dari tiga rasa yang ditawarkan yaitu caramel, strawberry, dan chocolate, saya paling menyukai rasa caramel. Selain bertekstur sangat lembut, rasanya pun sangat khas. Saya belum pernah menyicipi rasa pudding seperti itu selama ini.

Teh Talua, minuman favorit yang selalu saya pesan saat sarapan di sini.
Namun, dari keseluruhan menu yang pernah saya pesan, favorit saya adalah menu-menu tradisional. Walaupun terbilang sangat sering menyantap menu-menu tersebut di luar Braga Permai, tapi rasa yang ditawarkannya sangat berbeda. Sekelas dengan masakan hotel bintang empat atau lima, namun punya ciri khas dari cita rasa. Entah apa yang membedakannya. Yang pasti rasanya tidak template.


Nah, bagi yang ingin mencoba makan hemat di Braga Permai, jangan lupa untuk bangun pagi, dan mampir ke Jl. Braga No. 58 antara pukul setengah 7 pagi, hingga pukul 10 siang. Harga makanan dan minumannya hanya berkisar dari Rp8.000 sampai Rp35.000. Menu Rye Burger yang saya sebut tadi yang memiliki harga Rp35.000. Namun dengan porsi yang dihadirkannya, saya jamin hidangan ini tidak bisa habis oleh sendiri. Tidak seperti yang banyak disajikan di restoran fast food yang rata-rata rotinya tipis-tipis. Jadi, jangan lupa untuk mengajak seseorang yang bisa menemani kamu sarapan di sini. Itu juga kalau ada.


Sore itu, langit begitu cerah tanpa cela. Bahkan sinar mentari pun dapat dengan mudahnya menyingkap jalanan menuju Maroko yang berselimutkan debu. Seharusnya, buff atau masker memang menjadi perlengkapan wajib para pemotor yang melintasi daerah ini. Saya tidak dapat mengenakannya, karena seringkali mengakibatkan kaca mata saya menjadi berembun. Memang ini salah satu derita si mata empat.
Senja di Dermaga Maroko
Maroko adalah sebuah negara Timur Tengah yang memiliki gurun, pantai, dan pegunungan terjal secara bersamaan. Di Jawa Barat sendiri, nama Maroko sempat melejit, ketika pada tahun 2006 silam, klub sepak bola Persib Bandung sempat kedatangan pemain yang berasal dari negara ini. Namun, perjalanan saya kali ini bukan ke Maroko yang menjadi kampung halaman Redouane Barkaoui, tapi ke sebuah kampung di kawasan Cililin, Kabupaten Bandung Barat yang kebetulan bernama persis sama dengan negara yang terletak di ujung utara benua Afrika tersebut.

Nama Kampung Maroko pertama kali saya dengar dari rekan kerja saya di kantor yang kebetulan memang besar di sini. Menurutnya, tak banyak yang istimewa di Maroko, selain keberadaan dermaga yang berhadapan langsung dengan salah satu sisi Waduk Saguling. Namun bagi saya, itupun sudah cukup. Pekerjaan baru saya yang kini lebih banyak berada di belakang layar laptop, membuat saya benar-benar membutuhkan perjalanan ini.

Saya berangkat dengan motor dari tempat tinggal di Pagarsih pada pukul setengah empat sore, dan baru sampai di Dermaga Maroko pada pukul setengah enam sore. Sungguh perjalanan yang ternyata cukup melelahkan dan bikin pegal. Padahal sebetulnya tidak perlu menghabiskan waktu selama itu bila menggunakan jalur Cipatik atau Leuwi Gajah. Namun sayangnya, jalur Cimareme adalah satu-satunya jalur yang saya ketahui, dan hapal benar. Saya tak berani ambil jalur lain, karena ada resiko nyasar yang dapat menyebabkan saya sampai di tempat setelah maghrib.
 
Jalan menuju Kampung Maroko
Tadinya sih, saya berniat datang ke Maroko ini setelah salat subuh. Sengaja memang, agar sekaligus dapat membingkai momen saat matahari terbit. Namun karena belum hapal betul jalurnya, akhirnya waktunya digeser ke sore hari untuk berburu senja. Lokasi yang dituju ini kebetulan berada di arah barat, sehingga memang perjalanan bermotor kali ini layaknya mengejar matahari. Sedikit takut juga kalau-kalau saat sampai, kondisi sudah gelap.

Semakin saya memacu motor ke arah barat, jalan pun terasa semakin mengecil. Dari lebar jalan yang tadinya muat dua mobil, kini sepertinya hanya cukup satu mobil saja dengan menyisakan sedikit space yang mungkin dapat berdampingan dengan satu motor. Sesampainya di dermaga, saya kemudian buru-buru mengeluarkan kamera dari tas, karena posisi matahari saat itu sudah hampir tenggelam di antara dua gunung.

Sedang asyik-asyiknya memotret, seseorang menepuk punggung saya. “Bade kamana a?” tanyanya. “Ah, ieu weh pak, bade popotan hungkul, hehe,” jawab saya. “Pami bade nyeberang, tiasa ka abdi,” balas bapak tersebut. Rupanya bapak ini merupakan pemilik dari salah satu perahu yang banyak ditambatkan di sini. Rupanya bapak ini merupakan pemilik dari salah satu perahu yang banyak ditambatkan di sini. Dari tempat saya berdiri memang terlihat ada sebuah rumah makan yang sepertinya sengaja dibuat berada di tengah-tengah danau sebagai tujuan pengunjung atau wisatawan. Malah sebetulnya, menurut bapak pemilik perahu, ada empat rumah makan serupa yang tersebar di area danau ini yang berbaur dengan beberapa bangunan tambak ikan. Walaupun begitu, memang untuk kategori tempat wisata, Dermaga Maroko ini terbilang sepi. Mungkin karena selain lokasinya yang cukup antah berantah bagi sebagian orang, namanya pun tak banyak diketahui. Saat itu, saya pun melihat hanya ada sekitar 5-6 mobil berplat B yang berisikan rombongan keluarga.
 
Salah satu rumah makan di Dermaga Maroko, Cililin, Kabupaten Bandung Barat
Awalnya setelah beres memotret momen senja, saya ingin mencoba berkeliling juga dengan salah satu perahu yang disediakan, dan menyantap makanan tradisional Sunda di salah satu rumah makan terapung di situ. Namun karena tampaknya rumah makan yang ada diisi oleh rombongan wisatawan, saya pun mengurungkan niat. Walaupun sepertinya masih ada beberapa meja tersisa di rumah makan tersebut, tapi akan menjadi sangat canggung rasanya bila ikut makan sendirian bersama mereka di sekelilingnya. Idealnya, satu rumah makan diisi oleh satu rombongan keluarga besar saja pada satu waktu.

Untuk harga menu makanannya, rentangnya mulai dari Rp40.000 per orang. Harga tersebut sudah termasuk satu bakul kecil nasi, ayam goreng/bakar, serta tahu dan tempe. Setidaknya itu bocoran menu yang saya dengar dari salah satu pemilik perahu di Dermaga Maroko. Mungkin hidangan yang ditawarkannya mirip-mirip dengan setelan yang ada di Punclut. Ya, mungkin untuk selanjutnya, saya akan langsung mencobanya, dan tentunya tidak akan datang sendiri lagi, haha.

By the way, biaya sekali jalan naik perahu di sini hanya Rp5.000. Perahunya akan tetap berjalan, walaupun dengan penumpang satu penumpang saja. Selain itu, foto-foto di sini pun tidak dikenakan biaya. Sebetulnya saat ditegur oleh salah seorang pemilik perahu, saya sempat takut kalau-kalau memotret di tempat ini berbayar dengan nominal cukup tinggi. Namun untungnya, hal tersebut tidak terjadi. Para pemilik perahu, serta warga sekitar yang melihat saya memotret, tampak santai saja melihat saya mengulik settingan kamera, dan memasang tripod. Sebelum pulang, saya juga sempat mendapat sebuah cerita dari salah seorang pemuda yang juga menjalankan jasa penyeberangan dengan perahu tentang kampung Maroko yang awalnya bernama Cimaroko. Namun dia sendiri pun tidak tahu arti dari nama tempat tinggalnya tersebut. Mungkin karena sepertinya dia masih muda. Andai saja saat itu saya dapat bertemu tetua kampung, barangkali ada kisah lain yang bisa digali. Yang pasti, dulunya dermaga ini merupakan Pasar Aci. Sesuai dengan namanya, “aci” di sini merupakan Bahasa Sunda dari tepung yang terbuat dari singkong, atau dengan kata lain tepung tapioka. Jadi Pasar Aci di sini merupakan tempat berjualan tepung aci. Sayangnya, kini Pasar Aci sudah tidak khusus menjual tepung aci, tetapi menjadi pasar yang berjualan bahan-bahan kebutuhan sehari-hari pada umumnya. Uniknya, pasar tersebut hanya digelar pada hari Selasa dan Jumat saja.
Rombongan keluarga yang tengah menyewa perahu untuk menyeberang ke rumah makan.
So, buat yang mencari tempat untuk bersantai bersama keluarga, saya rasa Dermaga di Kampung Maroko ini bisa menjadi tujuan alternatif dibandingkan tempat wisata populer lainnya. Namun, kalaupun suatu saat dermaga ini mulai ramai dikunjungi wisatawan, ada baiknya untuk menghindari pembuatan spot selfie secara berlebihan. Walaupun memang bisa memberikan dampak ekonomi bagi warganya, akan tetapi dari banyak tren saat ini, hal tersebut banyak memicu kerusakan alam, dan sebetulnya juga merusak keindahan secara visual dari alam itu sendiri.