Disposable Camera, atau kamera sekali pakai, cukup sering saya
jumpai dalam cerita-cerita di drama atau anime Jepang. Namun baru kali ini saya
melihatnya langsung ketika mampir ke Kopi Toko Djawa di Jl. Braga Bandung.
Tampilannya tak ubah seperti biskuit yang dikemas dengan bungkus plastik. Ukurannya
terasa lebih kecil dibanding kamera pocket
analog pada umumnya. Body-nya pun
terasa lebih ringan saat ditenteng. Bahkan biskuit Nissin keju pun lebih berat
dari ini. Terdapat beberapa jenis disposable
camera lain yang dijual di situ, namun kamera dengan nama besar Fujifilm tentu
lebih menarik perhatian saya. “250.000,” begitu kata petugas kasir ketika saya
menanyakan harganya. Cukup membuat saya berpikir dua kali untuk membelinya.
Akal sehat saya kemudian menyuruh saya untuk membandingkan harganya terlebih
dahulu di market place online.
Beberapa hasil foto Fujifilm Disposable Camera (kamera sekali pakai) yang saya cetak. |
Mungkin
sebetulnya disposable camera ini
bukan barang baru bagi para penggemar kamera analog. Namun bagi saya yang kini
lebih sering memotret menggunakan perangkat digital, perjumpaan dengan kamera
sekali pakai di Kopi Toko Djawa ini tentu tak bisa dihiraukan begitu saja. Action selanjutnya, adalah mencarinya
dengan harga best buy. Saya pun
menemukan cukup banyak lapak online
yang berjualan produk dengan kata kunci disposable
camera, yang harganya lebih murah dibanding yang dijual di Braga.
Kebanyakan
jenis yang dijual memang merupakan Fujifilm Disposable Camera yang persis sama
dengan yang saya incar. Beberapa di antaranya, harganya hanya berbeda
Rp10.000-30.000 saja, sampai saya menemukan sebuah lapak yang menjual produk
tersebut dengan perbedaan harga mencapai Rp70.000. Awalnya saya sedikit ragu
dengan toko tersebut karena tidak menggunakan logo atau gambar apapun pada
profile tokonya. Namun banyaknya review dan
statistik barang terjualnya akhirnya memutuskan saya untuk membeli di lapak
tersebut.
Kamera sekali pakai yang saya temui di Kopi Toko Djawa |
Akhir pekan
setelahnya, saya pun berkesempatan untuk langsung menjajalnya di lapangan Tegallega
Bandung bersama Kang Dudi Sugandi dan Komunitas Lets Hunting yang ia rintis.
Karena bungkusnya memang hanya terbuat dari plastik, feel saat membukanya pun persis seperti sedang membuka bungkus
makanan ringan. Dari segi fisiknya, kamera ini sangat terlihat seperti mainan
anak-anak. Begitupun perasaan saat menekan tombol rananya, nyaris tak seperti
sedang memotret sesuatu. By the way, sudah
lama saya tidak melihat dunia di balik viewfinder
manual, terhitung sejak saya mulai menggunakan kamera mirrorless pada 2017 silam. Viewfinder
pada kamera ini sedikit buram, mungkin karena terbuat dari material plastik
yang murah. Tentunya mustahil untuk mengambil fokus dengan fitur sesederhana
ini, sehingga saya benar-benar memotret menggunakan feeling saja. Hanya ada dua tombol di kamera ini, yaitu tombol shutter, dan tuas untuk mengangkat lampu
flash.
Selain di
Tegallega, saya menggunakannya untuk memotret di Pasar Burung Sukahaji, Pasar
Malam di Asia Afrika, rumah, dan beberapa café yang saya kunjungi hingga
akhirnya menggenapkan hitungan 27 peluru yang dimiliki kamera ini.
Salah satu foto yang saya ambil di kawasan Tegallega menggunakan disposable camera. |
Saya pun
kemudian membawanya ke Hipercatlab, salah satu tempat di Bandung yang cukup
populer bagi pegiat fotografi analog untuk melakukan cuci film & scan.
Dugaan saya sebelumnya pun memang tepat. Saat saya bertandang ke markas
Hipercatlab, saya cukup banyak menemukan bangkai-bangkai kamera sekali pakai di
salah satu sudutnya. Ini menandakan memang bagi orang-orang tertentu, disposable camera cukup akrab. Begitupun
dengan Fajar, sang pengelola Hipercatlab. Hanya dengan sekali gerakan, ia
langsung dapat membongkar kamera tersebut untuk mengeluarkan roll film-nya.
Untuk dapat melihat hasil fotonya, dibutuhkan waktu maksimum dua hari dari
waktu penyetoran roll. Karena memang ternyata bisnis ini masih terbilang punya
potensi penghasilan sendiri di segmennya. Bila kondisi sedang sepi saja Hipercatlab
bisa mendapatkan tidak kurang dari 20 roll film setiap harinya untuk diproses.
Sesuai
janji, 48 jam kemudian hasil foto pun dikirimkan melalui link dropbox. Memang praktis juga sih seperti
ini. Karena bila file foto masih disimpan dalam bentuk klise seperti dulu, ada
kemungkinan data foto mengalami kerusakan seiring dengan berjalannya waktu. Belum
lagi harus menyediakan tempat khusus untuk menyimpannya.
Foto ayah saya yang saya potret di depan teras rumah, dengan kondisi langit cerah. |
Ada beragam
hal unik yang saya dapatkan dari hasil foto yang saya potret. Selain karena
exposure dan tone yang berbeda ketika saya melihatnya di smartphone, laptop, dan hasil cetak. Beberapa foto pun banyak yang
mengalami underexposure, hingga objek
foto hampir tak terlihat sama sekali. Jangankan foto saat malam hari, foto di
dalam ruangan pun banyak yang gelap hasilnya. Padahal saya berasumsi spek ISO 400
yang melekat pada kamera ini dapat cukup baik menangkap imaji indoor. Sampai saya sadar bahwa selain
ISO, spek teknis pada kamera pun berperan juga. Dengan bobot dan fitur
sederhananya, maka tak heran kamera ini menghasilkan gambar yang seadanya.
Satu hal
yang saya prediksi dari awal, bahwa kamera ini akan menghasilkan foto-foto dengan
cukup banyak grain, yang sebetulnya
memberikan sentuhan vintage. Namun
dari apa yang saya amati, hasil foto grainy
classic ini pernah saya lihat sebelumnya saat menggunakan kombinasi kamera
Nikon D70 dan lensa 18-55 mm keluaran Sigma. Nikon D70 sendiri merupakan salah
satu kamera DSLR yang cukup senior, karena diluncurkan pada masa-masa awal
munculnya generasi kamera digital, yakni pada tahun 2004. Saya cukup akrab
dengan jenis kamera tersebut, karena pernah meminjam dan memakainya dari
seorang teman dengan durasi 1, 5 tahun.
Salah satu foto indoor yang saya ambil menggunakan disposable camera (tanpa memakai flash). |
Memang
banyak yang menyebutkan bermain kamera analog seperti ini akan mengasah naluri
dalam menangkap momen. Akan tetapi, kadang dengan kamera digital pun saya cukup
sering memotret momen hanya dengan sekali jepret. Toh, momen kan memang sulit
untuk terulang kembali. Namun, apabila suatu saat nanti saya akan menggunakan
tipe-tipe kamera yang hasilnya untuk dicetak, saya rasa saya akan memilih untuk
menggunakan kamera polaroid/instax saja. Saat beberapa waktu lalu saya mencoba
kamera instax, rasa puas yang saya dapatkan ketika memegang hasil cetaknya jauh
lebih tinggi dibanding saat menggunakan Fujifilm Disposable Camera ini. Di
hasil foto instax pun sebetulnya memang ada grain,
over exposure, dan misleading tone. Tapi
tetap saja mis-nya si kamera instax
ini jatuhnya ke arah yang lebih memuaskan.
Baca juga: Pengalaman Nyetrit Pake Instax!
Untuk ke
depannya, saya sepertinya tidak akan menggunakan kamera sekali pakai ini lagi,
karena rasa penasarannya pun sudah terpenuhi. Untuk mencoba rutin bermain
dengan kamera analog pun sepertinya tidak akan dalam waktu dekat. Setelah
melihat hasil-hasil cetakan dari Fujifilm Disposable Camera, saya teringat banyak
foto yang saya ambil menggunakan kamera film pada medio 2002-2005 ya hasilnya
seperti ini juga. Mungkin ya karena sudah sempat mengalami periode akhir kamera
analog saat remaja, saya tidak begitu tertarik menggunakannya. Akan tetapi,
kamera sekali pakai ini tetap worth it kok
digunakan saat berwisata di alam terbuka, dengan kondisi langit yang cerah.
Kalau langitnya gloomy, yaa..gitu
deh.
Salah satu foto di yang saya ambil di Tegallega menggunakan disposable camera dengan kondisi langit mendung. |