“Geura eta mandina! Engke telat ieu teh lalajo pawaina,” begitu bunyi teriakan Ceu Odey tetangga sebelah yang saling bersahutan dengan gedoran pintu kamar mandi. Yaa..beginilah memang kondisi rumah tempat tinggal saya yang memungkinkan untuk saling berbagi dengar dengan tetangga. Selama beberapa minggu terakhir, event akbar Karnaval Asia Afrika yang digelar untuk memperingati Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 ini memang sangat mengundang antusias wisatawan maupun warga Bandung untuk berbondong-bondong hadir menyaksikan langsung. Inilah kondisi yang terjadi empat tahun lalu saat peringatan KAA ke-60 tahun.
Suasana Karnaval Asia Afrika tahun 2015
Lain dulu, lain sekarang. Suara antusiasme tersebut mulai memudar menjadi suara sumbang seperti “males”, “macet”, “bosen”, dan “rieut loba jelema”. Special untuk tahun Karnaval Asia Afrika 2019 ini, suaranya bertambah dengan ucapan “panas”. Entah apa yang dipikirkan penyelenggara, bisa-bisanya menggelar acara pawai yang dimulai pukul 10 siang, saat matahari sedang terik-teriknya. Hal ini pun tentu berdampak kepada para pehobi foto yang banyak mendapatkan gambar-gambar peserta karnaval berwajah gelap, dikarenakan cahaya matahari yang berada tepat di atas kepala menimbulkan bayangan pada muka. Saya sendiri hanya tahan sekitar 30 menit di lokasi acara.

Penyelenggaraan Karnaval Asia Afrika tahun 2015 memang menjadi penanda awal mula Bandung kemudian menjadi sebuah kota karnaval. Setidaknya dalam satu tahun, akan ada dua event karnaval yang kini sudah rutin diselenggarakan di Bandung, yakni Asia Africa Carnival, dan Bandung Light Festival. Bahkan pada tahun 2017, ada tiga karnaval. Agenda karnaval pada tahun tersebut ditambah dengan Karnaval Kemerdekaan Pesona Parahyangan yang memang diadakan bergilir setiap tahunnya, dan pada saat itu, Bandung mendapat giliran menjadi tuan rumah.
Karnaval Asia Afrika 2019
Acara karnaval seperti ini sebetulnya tentu tidak jelek, asalkan dikonsep dan dieksekusi dengan matang. Sedangkan untuk penyelenggaraan tahun ini, mohon maaf, selain pemilihan waktu yang salah, serta pengembangan konsep yang diam di tempat, rasanya Karnaval Asia Afrika kali ini dibuat hanya untuk menggugurkan kewajiban. Sangat terkesan “yang penting ada”. Bahkan saya sempat melihat sebuah postingan mengenai pembukaan pendaftaran untuk peserta karnaval baru disebarkan setelah lebaran, atau sekitar tiga minggu sebelum acara berlangsung.

By the way, untuk catatan, tulisan ini saya buat tanpa bermaksud menggeneralisasikan opini warga Bandung secara keseluruhan. Apa yang saya tulis ini murni berdasarkan perasaan, perbincangan, serta pengamatan secara pribadi sebagai seorang customer pariwisata. Pendapat ini mungkin akan terasa berbeda tentunya bila dilihat dari sudut pandang wisatawan yang memang tergolong jarang atau baru menginjakkan kakinya di Bandung.
Sedikit survey yang saya lakukan di instagram soal Festival Budaya Asia Afrika kepada kawan-kawan orang Bandung.
Memang tak mudah untuk mempertahankan, atau untuk terus meningkatkan kualitas dari standar yang sudah ada setiap tahunnya, karena pasti dibutuhkan waktu, tenaga, serta biaya yang harus dianggarkan. Namun tentunya, ada harapan agar event ini tak hanya dapat memenuhi kebutuhan rekreatif wisatawan luar Bandung, tapi juga dapat menjadi sesuatu yang dapat kembali menarik langkah Ceu Odey serta warga lainnya sebagai bagian dari stakeholder pariwisata untuk keluar rumah, dan ikut berbahagia.

Boleh setuju, boleh tidak.


“Erdogan Turkish Coffee”, sebuah plank di Braga yang kemudian membuat saya berhenti berjalan dan mengecek ulang namanya. Karena saya tak yakin, presiden Turki ini membuka kedai kopi di Bandung menyusul kekalahan partainya di Pilkada Istanbul. Setelah mundur beberapa langkah ke belakang, barulah jelas terbaca “Gedogan Specialty Turkish Coffee”. Ini efek bila kata “Turkish” direndengkan dengan nama serupa “edogan”. By the way, rasa-rasanya saya baru melihat kedai kopi ini menghiasi salah satu ruas di Jalan Braga. Saya hapal betul, karena Braga ini sudah seperti arena bermain saya untuk menyalurkan hobi nyetrit. Tapi memang selama bulan Ramadan lalu, saya tak pernah menginjakkan kaki di sini.
Proses pembuatan Kopi Turki yang dipanaskan menggunakan medium pasir


Sebelumnya saya pernah melihat nama Kopi Turki di dalam daftar menu sarapan di Braga Permai, namun saya tidak begitu tertarik untuk memesannya. Baru di Gedogan Specialty Turkish Coffee inilah saya tertarik mencobanya, karena melihat proses pembuatannya yang unik. Sepertinya memang Turki ini memiliki kecenderungan menambahkan bumbu atraksi ke dalam penyajian berbagai jajanannya. Contohnya saja Turkish ice cream yang menghadirkan atraksi tipuan kecepatan tangan dalam penyajiannya kepada pembeli.

Karena cuaca Bandung belakangan hari ini sedang panas ngabelentrang, maka saya pun memilih Es Kopi Susu Aren yang kebetulan juga sedang ada promo. Satu cup es kopi susu ini hanya membutuhkan selembar uang bergambar Frans Kaisiepo a.k.a Rp10.000.

Sambil menunggu pesanan dibuat, saya pun kemudian sedikit berbincang dengan akang-akang barista yang sedang bertugas. Rupanya Gedogan Specialty Turkish Coffee ini merupakan pindahan dari booth yang selama tiga bulan terakhir berjualan di resto “Braga Punya Cerita”. Belakangan baru saya tahu, bahwa Gedogan sendiri sebenarnya telah memiliki beberapa cabang di Bandung. Namun baru di Braga ini, identitas kopi Turkinya lebih ditonjolkan.
Gedogan Turkish Speciality Coffee di Braga
Untuk biji kopinya, Gedogan menggunakan biji-biji kopi berkualitas yang ada di Jawa Barat. Namun bedanya, itu tadi, proses pembuatannya unik sekali. Dalam memanaskan kopinya, kopi Turki ini menggunakan pasir sebagai medium antara cezve (pot logam) dengan api. Pasirnya pun katanya menggunakan pasir khusus yang diimpor langsung dari Turki, sehingga dapat menghantarkan panas dengan baik.

Kalau soal rasa, saya mungkin tak bisa begitu detail menjelaskannya. Namun yang pasti, aroma dan cita rasanya kuat sekali, dan punya rasa berbeda dari kopi-kopi yang pernah saya minum.

Di samping Gedogan, ada juga beberapa gerai kuliner lainnya yang baru hadir setelah libur lebaran, seperti gerai franchise Rotiboy yang ternama, dan sebuah kedai kopi lainnya bernama Koffie Braga. Unik memang, dari banyaknya coffee shop yang bertebaran di jalan ini selama beberapa tahun ke belakang, baru kali ini ada yang kepikiran membuat tempat ngopi bernamakan Braga.

Tujuan kuliner di Braga ini memang sangat mudah datang dan mudah pergi. Beberapa bisa bertahan karena menerapkan strategi bisnis yang tepat. Sementara beberapa lainnya kurang dapat membaca pasar. Namun, Kopi Turki ini jelas memberikan sebuah daya Tarik baru bagi wisatawan yang datang untuk jalan-jalan di Braga. Bagaimana denganmu? Tertarik menyesap Kopi Turki ini di Braga?


“Saya sekolah Cuma sampe Aliyah, selebihnya saya jadi mahasiswa tongkrongan. Datang ke ITB, Unpad, Unpar, ikut nongkrong, ngopi, diskusi aja,” begitu jawab pria bernama Rahmat Jabaril ini saat ditanya soal almamater kampusnya.


Kang Rahmat Jabaril, saat ditemui di kediamannya di Kampung Dago Pojok
Pertemuan pertama saya dengan Kang Rahmat ini sebetulnya sudah lewat dua tahun lalu. Saat itu saya mampir ke Kampung Kreatif Dago Pojok yang ia bangun, untuk diangkat sebagai materi artikel di sebuah media tempat saya bekerja dulu. Karena kesibukan pekerjaan, saya baru dapat menulis artikel khusus tentang beliau sekarang.

Perbincangan yang mungkin berlangsung hampir selama dua jam di ruangan kerjanya ini juga dihadiri oleh seorang jurnalis Republika yang sekarang saya sudah lupa namanya. Saat itu ia pun sedang bertugas untuk meliput Kampung Dago Pojok yang menjadi salah satu venue yang digunakan edisi pertama bulan Seni Bandung. Memang untuk segala bentuk urusan peliputan tentang kampung, semua tamu yang datang akan diarahkan untuk bertemu dengan Kang Rahmat. Tak sulit pula untuk mendapatkan informasi tentang beliau. Namanya tersebut merupakan kata kunci yang akan mengarahkan kita ke puluhan tautan artikel dan video yang menjelaskan tentang ia dan kampung ini.

Ruangan kerjanya ini tak begitu besar. Ia hanya mengambil sedikit tempat di ruang tamunya untuk dijadikan sebuah ruang yang penuh dengan benda-benda seni rupa yang menjadi passion hidupnya, serta beragam penghargaan yang bertuliskan namanya. Sambil bercerita dan sekali-sekali menyeruput kopi hitam yang diseduhnya, ia berhenti berbicara. Tatapan matanya menyiratkan bahwa ia ingat tentang sesuatu hal yang sangat penting. Dari sebuah kotak di meja kerjanya, ia mengeluarkan puluhan lembar lebih kertas-kertas yang warnanya sudah menguning. Di permukaan kertas itu terdapat berbagai gambar sketsa tangan yang disertai paragraf-paragraf tulisan. Mirip seperti tampilan sebuah blog, namun bedanya, seluruh kontennya dibuat menggunakan tangan.
Hasil gambaran tangan Kang Rahmat Jabaril saat demo 1998
Rupanya, walau tidak pernah tercatat sebagai mahasiswa, pria yang akrab disapa Kang Rahmat oleh para tetangganya ini merupakan salah seorang aktivis yang berangkat ke Jakarta untuk menurunkan Presiden Soeharto dari tahta kepresidenan pada tahun 1998. Nah, pengalaman yang dialaminya tersebut ia guratkan pada kertas-kertas yang ia kini simpan dengan baik. Ia gambarkan langsung ingatannya itu sebagai dokumentasi pribadi, karena selain memang senang menggambar, waktu kejadian bersejarah tersebut terjadi pengguna kamera masih sangatlah jarang.

Melalui jiwa seniman yang sudah melekat dalam dirinya, ia pun berhasil menghias Kampung Dago Pojok yang terhimpit gang sempit, menjadi sebuah ruang berkarya untuk banyak orang. Namun ia pun bercerita bahwa sebetulnya, kampung kreatif itu bukan hanya dinilai berdasarkan bagaimana kampung tersebut dihias menjadi berwarna dengan mural-mural yang indah, tapi juga soal bagaimana warga sekitarnya dapat terus berjuang untuk mengembangkannya. Ia sendiri mengaku bahwa awalnya dia bukan warga asli kampung ini. Ketika pertama kali mengusulkan pengembangan kampung Dago Pojok pada tahun 2003, idenya pun banyak diremehkan warga aslinya. Butuh sekitar 8 tahun hingga akhirnya kampung ini dapat diresmikan, dan layak untuk menerima kunjungan wisata.
Salah satu sudut Kampung Dago Pojok yang menjadi ruang eksibisi karya warganya.

Saya sendiri merasakan bagaimana keramahtamahan warga Kampung Dago Pojok dalam menyambut tamunya. Orang Bandung memang sudah terkenal karena someah, tapi mereka ini hospitality level-nya sangat berbeda. Attitude mereka hampir layaknya pegawai hotel atau tempat wisata dalam menyambut pengunjung. Mereka juga sempat bercerita bahwa kampung ini sudah banyak didatangi wisatawan mancanegara. Bahkan tak jarang wisatawan tersebut meminta izin untuk tinggal 1-2 bulan, sekadar untuk merasakan suasana kehidupan kampung. Di samping soal keramahan warganya, kampung ini pun sudah memiliki sanggar yang sudah menjadi penghasilan mereka sehari-hari, mulai dari kaos, patung, hingga wayang golek.

Di samping Dago Pojok, Kang Rahmat pun sebetulnya sudah mengembangkan 6 kampung kreatif lainnya di berbagai titik di Kota Bandung. Beberapa di antaranya sempat saya sadari juga keberadaannya. Namun sayangnya, memang tidak berkembang, atau bahkan tidak terawat. Ya, sebagai orang yang dikenal sebagai penggagas konsep kampung kreatif, Kang Rahmat pun mengatakan bahwa hal terpenting dari Kampung Kreatif itu bukan soal tempatnya, tapi soal bagaimana orang-orangnya dapat bergerak untuk memperjuangkannya.



Poster film Parasite ini mengingatkan saya kepada karya-karya fotografer Jepang yang agak sedikit freak, namun sekaligus menggelitik. Dari judul dan tampilan posternya yang sarat dengan berbagai elemen, awalnya saya beranggapan kalau film ini menyeritakan tentang alien yang mengambil alih tubuh sebuah keluarga. Namun ternyata, tebakan saya itu meleset jauh.  
Poster film Parasite. Courtesy: CBI Pictures
Adegan Parasite bermula di sebuah rumah kumuh yang terletak di bawah level jalan raya yang sepertinya agak mirip kawasan belakang Pasar Baru di Bandung. Walaupun begitu, empat orang anggota keluarga yang menempati rumah ini tampak menikmati kehidupannya dengan segala kekonyolan yang mengundang tawa. Peluang mereka untuk mengubah kehidupan mereka pun datang ketika si anak lelaki mendapat kesempatan untuk bekerja sebagai guru privat les Bahasa Inggris di sebuah rumah milik seorang konglomerat. Nah, plot ceritanya saya hanya bisa ceritakan sampai di situ saja, karena selebihnya adalah spoiler. Asli.

Sebetulnya, sampai hampir setengah film, saya belum menemukan alasan kenapa film ini bisa meraih penghargaan sebagai palme d’or atau film terbaik di Festival Film Cannes di Perancis. Terlebih, Festival de Cannes sendiri dikenal sebagai festival film yang memiliki standar yang sangat tinggi di dunia film internasional. Banyak film yang lahir dari festival ini merupakan film yang sangat segmented, dan tak dapat memenuhi selera tontonan banyak orang. Sedangkan Parasite, berjalan cukup pop di paruh pertama film ini dengan konten-konten komedi yang menghibur.

Walaupun saya memang bukan penggemar sejati film Korea, tapi saya tetap menonton beberapa film yang menjadi hits di Indonesia, seperti Miracle in the Cell No. 7, Train to Busan, dan Extreme Job. Seperti tipikal kebanyakan film-film Korea lainnya, Parasite pun memunculkan drama menyentuh di bagian tengahnya. Mau sekomedi apapun plot yang dibangun di awal film, part drama ini akan selalu ada. Namun pada Parasite, ada sebuah level penceritaan baru yang membuat penonton tak bisa melepaskan fokus dan pikirannya barang sebentar sampai akhir film.

Alur cerita film Parasite ini sama sekali tak bisa ditebak mulai dari seperempat film hingga selesai durasi 2 jam. Bahkan sampai di akhir film pun, saya sampai bergumam, "si anjirr" untuk mengomentari apa yang saya lihat. Perasaan penonton pun rasanya bisa gila dibuatnya. Mulai dari tertawa, sedih, marah, tegang, hingga bertanya-tanya, “sebenernya film apa sih ini?”. Namun bagi saya pribadi, Parasite ini memiliki sebuah kemiripan nada dengan American Beauty yang memenangkan Best Picture Oscar tahun 2001. Bukan karena kesamaan cerita atau plot, hanya saja meninggalkan kesan yang mirip. Walaupun begitu, Parasite tetap terasa lebih mindblowing.

By the way, saya menonton Parasite ini dalam special screening yang tayang secara terbatas pada 22-23 Juni 2019. Buat yang penasaran, bisa nonton film ini mulai 26 Juni 2019. Jangan tunggu bajakan, unsur suspense-nya sangat worth it dinikmati di bioskop. :D



Baik lokal maupun asing, sudah banyak sekali film seri maupun layar lebar yang menyeritakan tentang pertukaran jiwa atau tubuh. Mungkin satu judul yang paling banyak diperbincangkan belakangan adalah “Kimi no Wawa”, sebuah film anime Jepang yang plot ceritanya sangat berkesan. Namun, tak kalah dengan film yang memiliki judul internasional “Your Name” tersebut, sebuah web series berjudul “Janji” yang juga mengangkat tema tentang pertukaran jiwa pun banyak dibicarakan oleh warganet di Indonesia. Nama Yandy Laurens sebagai sutradara yang sukses menukangi web series hits lainnya seperti “Sore”, dan “Mengakhiri Cinta dalam 3 Episode” ini, cukup kuat untuk menjadi alasan orang untuk tidak melewatkan karyanya kali ini. Seluruh web series karya sineas muda tersebut ternyata memiliki satu kesamaan yakni roman yang dibumbui oleh cerita fantasi, salah satunya ya “Janji” ini, yang mengangkat cerita tentang pertukaran jiwa antara Iko yang diperankan oleh Darius, dan Ujo yang diperankan oleh Ringgo Agus Rahman.

Poster dari tiga web series yang dibuat Yandy Laurens. Courtesy: Tropicana Slim dan Toyota Indonesia

Awalnya, saya pribadi menilai bahwa premis yang coba diangkat oleh Yandy dalam “Janji” ini sudah basi. Di Indonesia sendiri sepertinya tema tentang pertukaran jiwa sudah beberapa kali diangkat ke dalam sinetron atau FTV. Rasanya sudah terbayang akan bagaimana alur dari keseluruhan ceritanya. Namun keraguan  tersebut langsung ditepis dengan baik melalui cara Yandy menampilkan cerita. Dari karya-karya yang pernah dibuatnya, Yandy selalu menampilkan ciri khasnya yang bagaimana adegan demi adegan dibuat sedikit berdialog, namun terasa intense dari suasana yang dibangunnya melalui pengambilan gambar, ekspresi dan gestur para pemeran, serta pemberian jeda yang kemudian membuat kita menahan napas. Tak lupa, plot twist yang juga selalu ia bubuhkan di akhir episode-nya, termasuk yang ia lakukan pada “Janji” menjadikan web series buatannya sebuah paket lengkap yang semakin menunjukan kalau karyanya akan selalu berbeda dan akan menjadi hal yang memorable.

Namun di antara seluruh web series karya Yandy Laurens, “Sore, Istri dari Masa Depan” merupakan favorit saya. Judul yang sangat menggelitik. Ada apa dengan “Sore”? Rupanya sore ini adalah sebuah nama karakter yang ia sematkan kepada Tika Bravani yang menjadi pemeran utama wanita di seri ini. Sebuah nama yang sangat tidak umum diberikan kepada sebuah tokoh dalam cerita. Saya pun langsung menebak kalau Yandy ini sepertinya anak folk banget, sehingga memberi nama yang senada dengan senja. Memang tebakan saya ini terbukti, karena hampir di seluruh web series-nya, ia memutar beberapa lagu folk ternama, serta lantunan nada-nada mendayu-dayu sebagai latar musik.
Sebetulnya, Sore ini sudah tayang pada awal 2017. Hanya saja, memang saya baru mengetahuinya setelah melihat kolom komentar di video Youtube “Janji”, di mana netizen mulai membanding-bandingkan kedua web series tersebut. Sama halnya dengan “Janji”, “Sore pun” mencoba mengolaborasikan roman dengan cerita fiksi. Kali ini time travel menjadi salah satu tema yang diangkatnya.

Jangan bayangkan perpindahan waktu dengan visual efek memukau ala Back to the Future atau Avengers: End Game yang bertujuan menyelematkan dunia, karena kamu tidak akan menemukannya di sini. Time Travel di “Sore” ini lebih mirip cerita-cerita seperti di film About Time, the Time Traveler’s Wife, dan Midnight in Paris, yang kebetulan ketiga film tersebut diperankan juga oleh Rachel McAdams yang di semua filmnya itu berperan menjadi pasangan pemeran utama pria yang menjadi penjelajah waktu.

Saya tidak pernah berpikir bahwa akan ada film Indonesia yang berhasil membawakan tema ini dengan baik, tanpa menjadikannya sebuah cerita yang terlalu mengawang. Hubungan Sore, dan Jo yang diperankan oleh Dion Wiyoko membentuk sebuah chemistry yang manis, tanpa terlihat cringe.

“Sore” dan “Janji” merupakan dua web series yang dibuat Yandy untuk brand Tropicana Slim. Sebagai film seri yang ditayangkan untuk meng­-endorse merek, Yandy sangat berhasil memasukan misi dari brand tersebut ke dalam cerita dengan sangat baik. Tidak ada over placement pada produk, dan merek pun tidak menjadi harus disebut dalam dialog antar karakter. Porsinya pas, dan kualitas dari web series ini sendiri yang kemudian membangun engagement antara brand dan penonton. Saya bisa bilang begitu, karena sebelumnya ada sebuah web series milik Unilever yang berjudul “Transit”, yang kemudian terlalu kentara dalam mempromosikan produknya, hingga membuat cerita menjadi terganggu. By the way, awalnya saya menonton Transit” karena melihat Tika Bravani berperan di dalamnya. Idealisme Yandy ini pun dipertahankan saat membuat “Mengakhiri Cinta dalam 3 Episode” bersama Toyota Indonesia.

Time travel sudah, bertukar jiwa sudah, lalu apalagi? Ternyata di “Mengakhiri Cinta dalam 3 Episode”, Yandy menambahkan bumbu telepati. Sayangnya, sesuai dengan judul, series ini memang dirancang untuk berakhir dalam 3 episode (plus satu episode bonus) saja. Dari judulnya yang obvious, memang sepertinya cerita ini akan tertebak. Namun Yandy tentunya tidak membiarkan pikiran penontonnya langsung habis ketika selesai melihat judul. Pergulatan batin Satrio yang kembali diperankan oleh Dion Wiyoko, dan Ayu yang diperankan Sheila Dara Aisha, membuat saya melupakan judul tersebut. Saya menjadi berpikir bahwa judul ini hanyalah sebuah jebakan. Dan memang …

Sebaiknya ditonton saja sendiri series-nya, hehe.

Sebetulnya karya Yandy yang pertama saya tonton adalah film layar lebar Keluarga Cemara. Film ini memang agak sedikit keluar dari gayanya Yandy saat membuat web series. Tidak ada bumbu fantasi. Mungkin karena film ini adalah sebuah cerita yang diangkat dari sinetron tahun 90-an yang berjudul sama. Selain itu, kesan yang ditimbulkan pun lebih ceria dan berwarna. Hal ini ditunjukan dengan kehadiran Asri Welas yang menunjukan sisi jenaka dari film ini. Namun, ada satu hal yang tak berubah. Dari seluruh karyanya, Yandy selalu menghadirkan masalah yang berkaitan dengan hubungan intim manusia. Antara sepasang kekasih, suami-istri, maupun hubungan antara ayah dan anak. Bersamaan dengan masalahnya, ia pun menunjukan bahwa solusi antara seluruh permasalahan hubungan ini adalah dengan berdialog. Saling mengutarakan isi hati. Sehingga, rasa angkuh pun menjadi luluh. Sehingga, kesalahpahaman pun malah kemudian dapat menjadi menguatkan perasaan.


Saya sudah sama sekali lupa kalau malam di kawasan Setiabudi itu dinginnya nggak pernah kalem. Hal itu saya alami saat sering numpang nginep di kosan teman kuliah dulu, demi merasakan hidup jadi anak kosan. Hampir satu dekade kemudian, dinginnya malam di Keppler Sky Lounge, Grand Mercure Bandung Setiabudi lalu membawa ingatan saya menuju masa-masa jalan-jalan malam di Gerlong, dan melihat pemandangan langit Bandung yang indah dari balkon lantai 2 kosan teman. Kesempatan ini saya dapatkan ketika berhasil memenangkan voucher Stargazing BBQ Dinner yang diundi saat acara media gathering AccorHotels group beberapa bulan lalu. Dan voucher yang saya dapatkan tersebut benar-benar worth it.
View ke balkon dalam, dari Keppler Sky Lounge, Grand Mercure Bandung Setiabudi
Asal tahu saja, saya sempat cukup kesulitan menemukan rekan dinner kali ini karena orang yang diajak sudah harus kembali merantau ke luar kota secara mendadak. Namun akhirnya, pada sabtu sore tersebut, saya berhasil mendapatkan partner pengganti yang cukup kurus untuk menyapu hidangan all-you-can-eat yang disediakan.

Dari banyak kesempatan mengunjungi puluhan hotel yang ada di Bandung saat bekerja di media dulu, baru kali ini saya menginjakkan kaki di Grand Mercure Bandung Setiabudi. Sejak dulu saya hanya mendengar kalau hotel ini megah dan instagrammable bila difoto pada malam hari. Oleh karena itulah saya tak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut dengan membawa tripod agar membuat proses pengambilan gambar secara long exposure menjadi lebih steady.

Keppler Sky Lounge ini berada di lantai 9 Grand Mercure Bandung Setiabudi. Memang bukan angka lantai yang tinggi, bila dibandingkan dengan bangunan-bangunan lain yang lantainya hingga belasan atau puluhan. Namun hal yang perlu diingat, bangunan hotel ini berada di kawasan dataran tinggi, sehingga membuat posisinya cukup ideal untuk melihat keindahan langit malam Bandung. Beberapa bangunan ikonik, serta aktivitas take-off dan landing pesawat di Bandara Husein Sastranegara pun dapat terlihat dengan jelas. Selain memiliki balkon yang menghadap ke sisi luar bangunan, restoran ini juga mempunyai balkon lain yang menghadap ke sisi dalam, tepat berhadapan dengan kolam renang.
View dari balkon luar Keppler Sky Lounge, Grand Mercure Bandung Setiabudi
Untuk makanannya, Stargazing BBQ Dinner ini lebih banyak menyajikan makanan-makanan western, seperti butter rice, spaghetti, bruschetta, dan tentu saja chicken meat yang dimasak di atas panggangan barbeque sebagai sajian utama. Walaupun judulnya buffet dinner, namun khusus untuk hidangan daging barbeque ini setiap tamu hanya diberi sekali kesempatan untuk menyantapnya. Saya rasa wajar saja, karena daging yang disajikannya pun sangat besar, butuh waktu untuk menghabiskannya. Namun, untuk hidangan favorit, saya lebih menyukai spaghetti dan butter rice-nya yang memiliki rasa terbaik dari yang pernah saya cicipi. Untuk menu ini, saya sempat beberapa kali menambahkannya kembali ke atas piring.  Makanan pencuci mulut pun tak kalah istimewa, mereka menghidangkan beberapa pudding, dan assorted sliced cake. Red Velvet Cake menjadi dessert favorit saya malam itu. Red Velvet terlembut yang pernah saya cicipi.

Sajian chicken meat BBQ di Grand Mercure Bandung Setiabudi
Sajian buffet di Grand Mercure Bandung Setiabudi
Red Velvet dan aneka dessert di Grand Mercure Bandung Setiabudi

Suasana makan malam pun terasa semakin exclusive, tatkala para pemain musik sudah 
datang, dan mulai mendendangkan lagu-lagu romantis terfavorit dari berbagai generasi. Pelayanan ramah dari attendances di sini pun menjadi salah satu poin plus yang membuat Stargazing BBQ Dinner ini menjadi bernilai. Awalnya, saya sangka mbak-mbak attendances ini hanya bertugas menyambut kami saat tiba di restaurant. Namun ternyata, mereka jugalah yang secara sigap menawarkan kami makanan, membereskan meja, dengan senyum yang merekah sepanjang waktu makan malam.
Suasana Stargazing BBQ Dinner di Grand Mercure Bandung Setiabudi

Penampilan musik saat Stargazing BBQ Dinner di Grand Mercure Bandung Setiabudi
Harga untuk dapat mencoba Stargazing BBQ Dinner yang istimewa di Grand Mercure Bandung Setiabudi ini dimulai dari Rp200.000++. Namun makan malam ini hanya dapat dinikmati pada hari Sabtu, mulai pukul 6 sore, hingga pukul 10 malam. Untuk menu BBQ utamanya, selain chicken meat, kita juga bisa memilih daging-daging lainnya, seperti lam rock, prawn, beef tenderloin, ikan snapper, dan Norwegian Salmon. Satu lagi, jangan lupa membawa sweater atau mantel saat makan malam di sini. ;)

Grand Mercure Bandung Setiabudi
Jl. Dr. Setiabudi No.269-275, Bandung
(022) 8200 0000


Ya, memang judul artikel ini pelesetan dari sebuah film Hollywood bertajuk “Bad Times at the El Royale”. Walaupun kurang berhasil secara revenue, film yang menghadirkan aktor Australia pemeran si Thor a.k.a Chris Hemsworth ini menampilkan cerita krimininalitas yang unik, dengan alur yang maju-mundur, dan berganti-ganti pemeran utama. Sesuai judulnya, semua adegan di film ini pun berlangsung di sebuah hotel yang mungkin hanya sekelas hotel melati bernama El Royale. Lain halnya dengan hotel eL Royale yang akan saya ceritakan di sini. Di Bandung, eL Royale Bandung atau eL Hotel Royale Bandung merupakan hotel bintang empat yang bersejarah, sebelum menjadi eL Royale, hotel ini lama dikenal dengan nama Hotel Panghegar, dan sebelumnya lagi, hotel ini bernama Pension Van Hengel. Nama Panghegar pun diambil dari pelafalan yang salah dari tentara Jepang yang menyebut ‘Van Hengel’ menjadi ‘Pang Hegaro’.
Ayah dan Ibu berfoto di samping kolam renang eLRoyale Bandung

Tak hanya Hotel Savoy Homann dan Hotel Preanger, hotel yang didirikan pada tahun 1922 oleh seorang Italia bernama Anna Meister ini menjadi tempat menginapnya beberapa perwakilan negara yang menghadiri Konferensi Asia Afrika tahun 1955. Setelah 38 tahun berdiri, Nyonya Meister yang sakit kemudian memutuskan untuk menjual hotelnya kepada salah satu karyawan terbaiknya, yaitu H. E. K Ruhiyat. Selain Hotel Panghegar, namanya pun pernah tercatat sebagai pemilik dari Hotel Savoy Homann pada medio tahun 90-an.

Bagi saya, nama H. E. K Ruhiyat ini sangat tidak asing. Namanya pernah saya lihat bertengger di urutan pertama daftar nama buku telepon saku milik ayah saya. Namanya pun sering diperbincangkan saat ayah berada di rumah. Itu karena, ayah saya pernah bekerja di Hotel Panghegar selama kurang lebih 30 tahun, hingga akhirnya pensiun pada tahun 2010 lalu. Seluruh biaya pendidikan saya hingga lulus S1 dibiayainya dengan bekerja di hotel ini. Oleh karena itulah, saat bulan lalu saya mendapatkan voucher bermalam di hotel ini dari undian acara media gathering, saya memutuskan untuk memberikannya kepada ayah (padahal asalnya mau dijual :D). Bila sebelumnya dia yang melayani tamu di sini, sekarang dia yang dilayani sebagai tamu.
Suasana living room Condotel Loft eLRoyale Bandung
Kamis, 13 Juni 2019 sore, saya pun mengantarkan kedua orang tua saya untuk check-in di eL Royale Bandung yang pada zaman bernama Panghegar dulu, terkenal dengan restoran yang dapat berputar 360 derajat menyajikan pemandangan Kota Bandung. Namun sayangnya, restoran tersebut kini sudah tak berfungsi lagi. Kalaupun masih berfungsi, akan ada banyak bangunan tinggi yang sekarang sudah menghalangi view dari restoran ini.

Dengan raut wajah berseri-seri dan terlihat manglingi dengan suasana di sekitarnya, Ayah dan Ibu berjalan pelan menuju front desk untuk mengambil kunci, yang dilanjutkan dengan berjalan menuju lift dan menekan tombol angka 19, yang merupakan tempat kamar yang akan mereka tempati berada. Dari sejak ayah saya pensiun dari hotel ini, memang sudah banyak sekali hal yang berubah. Kini sudah ada mini market, apartemen, serta kolam renang yang jauh lebih luas.
Kamar tidur Condotel Loft di eL Royale Bandung
Kamar mereka di eL Royale Bandung ini bertipe condotel loft, sebuah kamar bertingkat dua yang memiliki living room dan mini kitchenette, serta pemandangan jendela yang menghadap langsung ke arah matahari terbenam. Dari jendela kamar, dapat terlihat Sky Lounge Restaurant yang berada di lantai teratas bangunan ini yaitu di lantai 20, yang bentuk arsitekturnya kini menjadi icon dari eL Royale Bandung. Bila melihat lurus langsung ke depan, tampak ada gedung Center Point yang lekat dengan Jl. Braga. Lalu ada juga menara kembar Masjid Raya Bandung (Masjid Agung Bandung) di sudut kiri jendela. Sementara saat menunduk ke bawah, kita dapat melihat bangunan lama hotel Panghegar, serta keceriaan dari tamu yang berenang di kolamnya.
View dari jendela kamar condotel loft, eL Royale Bandung
Karena saya sudah ada janji malam harinya, saya pun mengajak kedua orang tua saya untuk bersantai dan berfoto-foto menjelang senja di area kolam renang. Matahari yang mulai tenggelam, memberikan refleksi warna jingga yang sangat indah, dan menarik saat diabadikan dalam kamera.

Setelah salat maghrib, saya pun meninggalkan mereka berdua di eL Royale Bandung untuk kemudian pulang, dan menjemput mereka keesokan paginya. Saya pribadi pun sebetulnya cukup memiliki kedekatan emosional dengan hotel ini. Dulu, ketika sedang waktunya pembagian gaji, dan kebetulan sedang libur bekerja, Ayah selalu mengajak saya mengunjungi tempat bekerjanya. Beberapa kawannya yang sama-sama sudah pensiun pun sampai mengenali saya. Setelahnya, biasanya saya kemudian diajak bermain di arena permainan Kings Shopping Center, atau membeli komik di lapak komik bekas di sebelah Palaguna. Selain itu, setiap tahunnya, manajemen hotel ini tak pernah absen mengundang kami, keluarga para karyawan, untuk berhalal bihalal setelah lebaran di ballroom hotel.
Ibu dan Ayah saya
Begitulah sedikit cerita saya saat membawa orang tua saya menginap di eL Royale Bandung. Bagi kami, hotel ini tak hanya memberikan kenyamanan dan hospitality, tapi juga memberikan kehidupan, serta membangkitkan sekelumit memori dari masa lampau.

eL Hotel Royale Bandung
Jl. Merdeka No.2, Bandung
(022) 423 2286


Sebagai warga negara +62 yang dari lahir sudah merasakan cuaca beriklim tropis, melihat dan merasakan dinginnya salju dapat menjadi sebuah daya tarik tersendiri. Berlari-lari, melompat, berseluncur, berswafoto, dan ber-boomerang ria di Instastory tentu menjadi hal-hal mandatory yang dilakukan. Setidaknya, itulah potret yang berhasil saya tangkap dari para pengunjung Panama Park 825 Bandung. Snow Park memang menjadi wahana andalan dari tempat yang mengusung tagline sebagai “The Biggest Indoor Playground in Bandung”. Uniknya lagi, taman bermain ini berlokasi di dekat Batas Kota Kembang, Bandung, dengan Kota Cimahi, daerah yang sebelumnya sama sekali tak dikenal sebagai tempat hiburan apalagi wisata.

Pengunjung anak-anak sedang mencoba seluncuran salju di Panama Park 825, Bandung.
Ingatan saya tentang kawasan yang lebih sering disebut orang dengan nama ”Batas” ini cukup lekat. Karena selama tiga tahun mengenyam pendidikan di SMA, saya selalu bulak-balik melintasi jalur ini, dari Senin hingga Sabtu. Sepanjang jalan ini hanya dihiasi beberapa rumah toko, kios kecil dan jajanan kaki lima gerobakan, serta bangunan pabrik garmen yang setiap bubaran kerja langsung membuat macet lalu lintas. Nah, Panama Park 825 sendiri pun menempati bangunan bekas salah satu pabrik. Hal inilah yang menjadikan Panama Park memiliki area yang sangat luas dan memanjang.

Sebetulnya, selain Snow Park, Panama Park 825 juga memiliki area permainan lainnya yang dikerjasamakan dengan Game Master, sebuah brand arena permainan terbesar di Jawa Barat. Namun bila dibandingkan dengan arena Game Master yang biasa ada di pusat-pusat perbelanjaan, Game Master di Panama Park 825 ini memiliki wahana-wahana yang lebih beragam, dan dengan ukuran yang lebih besar. Selain itu, ada juga Joy n Fun Playground yang berisikan arena role play, LED Interactive Room, Sand Pool, Wall Climbing, dan Music Box.
LED Interactive Room di Panama Park 825, Bandung
Untuk dapat bermain, pengunjung diharuskan membeli tap card terlebih dahulu yang dapat diisi saldo mulai dari Rp10.000. Setiap mesin permainannya memiliki harga yang berbeda-beda. Contohnya saja untuk dapat bermain di arena Snow Park saat akhir pekan, setidaknya harus ada saldo Rp50.000 di dalam kartu, sedangkan untuk weekdays, kartu cukup terisi saldo Rp35.000. Harga tersebut berlaku untuk anak-anak dan orang dewasa.

Saldo yang didebit dari tap card untuk bermain di Snow Park ini sudah termasuk fasilitas jaket, sarung tangan, dan sepatu boots yang dipinjamkan selama durasi 30 menit bermain di dalam arena. Lalu ada juga fasilitas loker yang bisa digunakan untuk menyimpan barang-barang pribadi.
Pengunjung Panama Park 825 Bandung akan dipinjamkan jaket, sarung tangan, dan sepatu boots sebelum masuk ke dalam arena Snow Park.
Saat pintu dibuka, udara dingin pun langsung menyeruak, dan mulai menyentuh permukaan kulit muka. Tak perlu menunggu waktu lama, nafas yang keluar pun mulai berasap, tanda tubuh sudah bereaksi dengan udara sekitar yang dingin. Tak heran memang, karena udara di sini bisa mencapai suhu -7 derajat celcius, lho. Untuk semakin menambah suasana bersalju, di beberapa titik pun terdapat sebuah mesin yang dipasang di langit-langit yang secara konsisten mengeluarkan butiran-butiran salju. Kemudian ada juga beberapa ornamen seperti igloo, rumah kayu, serta patung beruang kutub yang bisa dijadikan properti dan latar berfoto pengunjung. Namun, tentu yang paling menjadi pusat perhatian adalah dua seluncuran salju yang mengasyikkan.


Beberapa pengunjung berswafoto di dalam Snow Park, Panama Park 825, Bandung
Untuk menjajal seluncuran salju, pengunjung tentunya diharuskan menggunakan papan seluncur yang tersedia. Namun, karena jumlah papan yang terbatas, pengunjung pun tentu saling bergantian untuk menggunakannya. Tak perlu khawatir ataupun malu bila ingin mencoba seluncuran ini, karena Anak kecil maupun orang dewasa tetap bisa mencoba berseluncur di sini.

Setelah puas bermain dengan seluruh wahana yang ada, kita juga tentunya bisa beristirahat sambal menyantap beberapa makanan dan minuman yang dijual di sini. Mulai dari aneka gorengan tradisional, sampai menu fast food ada di sini.
Area makan berkonsep food court di Panama Park 825, Bandung
By the way, nama Panama yang disematkan di tempat ini sempat menggelitik rasa ingin tahu saya, karena sepengatahuan saya, Panama merupakan nama sebuah negara di Amerika Tengah. Pada akhir kunjungan, saya pun berkesempatan untuk menanyakan hal tersebut kepada Bapak Manuel yang merupakan Direktur dari Panama Park 825. Rupanya, nama Panama itu diambil dari singkatan delaPAN duA liMA. Angka 825 sendiri merupakan nomor dari alamat Panama Park 825 yang berada di Jl. Jenderal Sudirman No. 825, Bandung. Nah, buat yang penasaran dengan serunya bermain salju saat jalan-jalan di Bandung, bisa mampir ke sini bersama keluarga.




Tonton juga vlognya di:





Sedia Kopi, memang nama yang cukup sederhana untuk nama sebuah coffee shop. Mudah melekat di benak, namun agak sulit terindeks google karena namanya menggunakan istilah umum. Tapi saya rasa itu bukan masalah. Karena bagi saya, sebuah produk yang baik, akan dapat menjual dirinya sendiri. Termasuk dengan Sedia Kopi.
Suasana Hangat di Kedai Sedia Kopi
By the way, sama seperti banyak kedai kopi lainnya saat ini, Sedia Kopi juga menawarkan konsep tempat yang dapat menjadi ruang bicara dan cerita antar satu sama lain. Bedanya, Ibeng sang pemilik usaha ini benar-benar serius menerapkan idealisme yang coba ia bangun. Bahkan, ia selalu berinisiatif mengajak berkenalan dan berbincang kepada para pengunjung ­Sedia Kopi. Oleh karena itu, tak perlu malu datang sendirian ke Sedia Kopi, karena selain dapat menikmati kopi yang enak, pengunjungnya juga bisa mendapat relasi.

Untuk mewujudkan visinya dalam membangun kedai kopi yang dapat menjadi ruang bicara, Ibeng pun menerapkan sebuah keputusan yang cukup berani untuk tidak menggunakan jasa food delivery yang sedang ramai belakangan ini. Padahal menurut pengalaman saya berbincang dengan banyak pemilik coffee shop di Bandung, 70-90% omzet mereka itu bisa didapat dengan berjualan menu es kopi susu dengan pengiriman melaui ojek online. Karena memang ide awal pemuda berusia 23 tahun ini untuk membuat kedai kopi itu sebenarnya simple. Ia hanya ingin membuat sebuah tempat ngumpul yang nyaman untuk siapapun. Tapi, jangan salah, walaupun strateginya terbilang anti-mainstream, Ia mengaku tetap mendapat keuntungan yang lumayan. Bila kebanyakan coffee shop mendulang rupiah pada akhir pekan, Sedia Kopi justru ramai pada saat weekdays.

Walaupun Sedia Kopi mengangkat konsep tempat yang dapat menjadi ruang bicara, bukan berarti kopi yang dijualnya tidak istimewa. Ibeng dan kawan-kawan juga punya dua menu affogato yang menjadi andalan. Pemilihan menu tersebut pun cukup unik, karena affogato itu terbilang jarang diangkat sebagai signature menu.

Menu affogato yang pertama adalah Red Affogato yang menggunakan red velvet powder di atas scoop ice cream-nya. Lalu ada juga Green Affogato yang menggunakan green tea powder. Kedua menu tersebut dapat dinikmati dengan espresso maupun flat white yang disajikan terpisah. Hal ini dimaksudkan agar pengunjung dapat menakar sendiri kadar kopi yang digunakan. Bila menggunakan flat white, rasa affogato-nya akan lebih creamy, namun bila menggunakan espresso, maka tentu rasanya akan sedikit pahit, tapi akan sangat strong di rasa kopinya. Dua affogato ini juga dapat dinikmati dengan pilihan topping yang tersedia, mulai dari krimer kental manis, taburan coklat meses, serta irisan keju cheddar. Yang mengejutkan lagi adalah harganya. Saya sempat mengira menu ini berkisar sebesar Rp25.000. Namun ternyata, satu porsi minuman ini dibandrol hanya dengan harga Rp15.000. Untuk menu lainnya pun ternyata memang sangat terjangkau dari segi harga. Menu yang paling mahal pun adalah Cappuccino yang dijual Rp20.000.
Red Affogato, signature menu dari Kedai Sedia Kopi

Nah, buat yang penasaran dengan suasana ngopi di Sedia Kopi bisa langsung saja mampir ke Jl. Ir. H. Djuanda (Dago) No. 450, Bandung. Lokasinya persis di depan Dago Tea House, sehingga tidak akan sulit menemukannya. Sedangkan untuk waktu operasionalnya dimulai dari pukul 5 sore hingga pukul 11 malam. Cocok untuk dijadikan tempat nongkrong dengan kawan sepulang kerja dan setelah aktivitas lainnya.


Iga itu adalah salah satu bagian dari daging sapi yang paling banyak dicari. Selain memang karena teksturnya yang empuk, rasanya pun terkenal lebih gurih. Oleh karena itulah, harga hidangan iga selalu cukup mahal di daftar menu. Namun ternyata, tak semua daging iga itu berharga tinggi, seperti menu iga yang saya temukan di Iga Bakar Merapi di Bandung yang hanya dibanderol Rp29.000/porsi. Harga tersebut berlaku untuk iga yang disajikan bertulang maupun yang tanpa tulang. Uniknya lagi, menu iganya tersebut dimasak langsung di atas cobek.
Iga Bakar Merapi yang dimasak langsung di atas cobek berapi.

Sebelum diolah di cobek, daging iga terlebih dahulu akan dimasukan ke dalam presto bersama aneka rempah-rempah, seperti bunga lawang, cengkeh, dan pala. Maka dari itu, saat disajikan, tekstur dagingnya pun sangat empuk, dan kaya akan berbagai aroma. Selain itu, penggunaan cobeknya pun ternyata tak asal-asalan. Cobek yang digunakan oleh Iga Bakar Merapi ini menggunakan cobek yang berasal dari Desa Siti Winangun Cirebon yang terkenal dengan kerajinan gerabahnya. Menurut cerita Kang Arief Hidayat sebagai owner dari Iga Bakar Merapi, Cobek Tanah Liat Desa Siti Winangun tersebut dipilihnya karena memberikan sentuhan aroma dan rasa juga ketika memasak hidangan iganya di atas api.

Di samping menu iga, kedai Iga Bakar Merapi ini juga memiliki menu-menu lainnya seperti nasi goreng, ayam kuluyuk, ayam bistik, dan ayam cobek. Nantinya malah si menu ayam ini akan berdiri sendiri dengan brand Ayam Cobek Merapi.
Ayam Cobek Merapi, menu lain di Iga Bakar Merapi

Untuk minuman, Iga Bakar Merapi ini bekerja sama dengan kedai Sedia Kopi untuk penyajiannya. Mereka pun saling berbagi tempat di Jl. Ir. H. Djuanda (Dago) No. 450. Tempatnya memang tak begitu besar, namun terkesan sangat intim. Di salah satu sudutnya pun terdapat panggung kecil yang disediakan untuk performer atau pengunjung menunjukkan bakatnya bermusik, berpuisi, atau bahkan ber-stand up comedy.