“Itu kompor! Itu Kompor!” sebuah teriakan kencang terdengar dari luar rumah. Cukup kencang hingga membuat saya menghentikan goresan pensil saya di buku tulis dan berlari ke arah balkon. Begitu pintu dibuka, panas yang tak pernah saya rasakan sebelumnya langsung menyengat kulit. Jilatan api jingga membara membumbung tinggi bak angkara monster raksasa. Sebuah pemandangan yang biasanya hanya saya lihat lewat siaran televisi belaka.

Desember 1996, 2 minggu setelah adik semata wayang saya lahir, usia saya baru menginjak angka 8. Sebuah rumah yang berjarak hanya 1,5 meter dari kediaman saya dan keluarga terbakar hebat. Tak heran rumah tersebut dapat terbakar dengan cepat, penghuni rumah itu tidur di tempat yang sama dimana mereka memasak hidangan sehari-hari. Api pun sulit dipadamkan, karena mobil pemadam kebakaran tak dapat masuk kedalam gang pemukiman. Akhirnya api dapat dipadamkan dengan merobohkan dua rumah yang sudah terlanjur terjilat api untuk menyelamatkan rumah-rumah disekitarnya, termasuk tempat tinggal saya. Walau bangunan rumah saya selamat, sejumlah tanaman dan pohon pepaya di pekarangan rumah habis terbakar, pagar rumah menghitam dan antenna TV yang dipasang di atap rumah meleleh separuhnya.





Iya, rumah saya tak seperti kebanyakan pendatang dari luar Bandung bayangkan. Bukan sebuah rumah klasik yang ditransformasi menjadi kedai kopi ataupun rumah yang berderet rapi dengan sebuah mobil dapat masuk kedalamnya. Setidaknya itu yang biasa dilihat wisatawan saat datang ke Bandung lewat Jalan Dago dan Braga yang rupawan. 

Rumah saya terletak di dalam sebuah gang kecil di samping kanal aliran air menuju Sungai Citepus di Pagarsih. Satu area di Kota Bandung yang terkenal dengan wisata arung jeramnya bila hujan besar tiba dan hanya berlangsung sebentar saja bagai tsunami, karena banjir yang terjadi di area ini adalah banjir kiriman dari wilayah hulu. Pernah satu kali hujan tak terjadi, namun banjir tetap menghampiri. Untung saja banjir ini jarang sampai membasahi isi rumah, hanya akses jalannya saja yang kemudian menjadi terisolasi. Terhitung hanya 3 kali dalam 28 tahun terakhir setidaknya saya mengalami banjir walau semata kaki. Tak pernah ada septic tank di daerah ini, sehingga semua kotoran dari jamban akan dialirkan ke kanal dan sungai, yang bila terjadi banjir yg sangat besar akan kembali membawa kotoran tersebut naik kembali ke permukaan. Bahkan mungkin sekitar 8-10 tahun lalu, masih ada jamban sederhana yang sengaja dibuat di pinggir kanal untuk anak-anak, karena masih ada rumah yang belum memiliki toilet, sedangkan toilet umum untuk orang dewasa dibuat khusus di salah satu sudut. Satu hal yang cukup ironi bila mengingat lokasi jamban tersebut berada di samping sebuah pasar tradisional yang menjual kebutuhan pangan sehari-hari bernama pasar ulekan.

Tak perlu berjalan kaki keluar rumah untuk sekedar bersilaturahmi dengan tetangga, duduk di toilet dan dapur belakang rumah pun sudah dapat berbincang santai. Setidaknya saat Ibu mencuci piring dan baju tak perlu merasa kesepian karena dapat dilakukan sambil bergosip ria. Dari mulai mendengarkan teriakan bersahut suara piring pecah sampai menghirup asap daging bakar dari rumah sebelah sudah sangat biasa.

Sebelumnya keluarga saya termasuk yang menerapkan sistem pelayanan satu atap, semua
tamu dari anggota keluarga besar Ibu dapat dilayani di satu rumah. Karena sebelum beberapa adik dari Ibu memiliki rumah sendiri, mereka tinggal bersama dalam satu rumah, sehingga rumah tersebut dijejali sekitar 20 makhluk bernafas, itupun tanpa menghitung hewan liar dan hewan peliharaan kakek tiri saya yang ikut meramaikan kehidupan rumah. Selain tikus got yang dapat tiba-tiba muncul dari lubang pembuangan di toilet, bisa saja pintu kamar dibuka oleh seekor lutung. Yak, betul-betul seekor lutung, jenis primata yang dapat ditemukan di Negara Asia Tenggara, tak terkecuali Indonesia. Kakek saya ini memang sempat memiliki toko hewan peliharaan yang beroperasi di sekitar daerah balubur.Beberapa hewan yang ia jual, jauh dari kata lazim untuk dipelihara, seperti ular, burung elang, burung hantu dan biawak. Nama yang terakhir disebut tadi, sudah cukup ekstrim bagi saya dan keluarga, walaupun geraknya lambat, tetapi tetap terasa seram saat hewan tersebut berada di pekarangan, bagaikan memelihara seekor buaya di pekarangan rumah.







Soal metode pelayanan satu atap ini, para tetangga di sekitaran rumah pun tak mau kalah, bahkan tetangga sebelah rumah member-nya kini telah mencapai jumlah lebih dari 30 dan telah membuat kaos keluarga bertuliskan nama-nama anggota keluarga.
Ukuran gang tempat keluarga saya tinggal ini sebenarnya masih cukup lega dibanding beberapa rumah lain yang berbeda RT. Rumah-rumah tersebut hanya menyisakan sekitar 60 senti jalan untuk dilalui manusia. Jangan heran bila kita berjalan melalui jaln tersebut akan mendapati wajah kita ditetesi air yang sumbernya berasal dari kutang dan celana dalam yang dijemur.

“Apakah mereka tidak berpikir untuk, hidup secara normal?”, sebuah pertanyaan berbentuk pernyataan terlontar dari salah satu pegiat Komunitas Aleut di sesi sharing rutin mingguan saat komunitas ini berkunjung di Cikapundung Kolot dan Karees Sapuran Bandung. Mendengar apa yang beberapa kawan sampaikan membuat saya merenungkan bahwa bagi cukup banyak orang, kehidupan kampung urban yang sedikit mirip dengan kehidupan saya di pagarsih ternyata dianggap cukup unik dan luar biasa. Padahal untuk Kami inilah hidup “normal”. Tinggal di sebuah komplek perumahan luas dan sepi bagaikan tinggal di kota yang berbeda bagi saya. Mengelilingi Braga dan nongkrong di Dago saya anggap sebagai wisata, karena memang jauh dari lingkungan saya berasal. 

Kampung Urban rasanya selalu hadir diantara belantara beton-beton raksasa, karena memang dari kampung itulah sebuah kota berasal, Bandung salah satunya. Cikapundung Kolot dan Karees Sapuran hanya beberapa diantara kampung urban yang hadir tersembunyi di balik Kota Bandung, selain itu masih banyak sekali kehidupan kampung urban di beberapa lokasi yang menarik untuk dijumpai. Dan buat saya, wajah inilah Bandung yang sebenarnya dibalik rias tebal pemanggil tamu. Ini Bandung saya.