'Panas',
mungkin ada sekitar 20 kali saya ucapkan kata-kata itu sepanjang hari. Ini
bukan kali pertama saya berkunjung ke Cirebon, dan tentu pamornya sebagai kota
bersuhu panas sudah saya ketahui sebelumnya, namun tetap saja hal itu tak
membuat saya menjadi kemudian langsung terbiasa. Saya dan kawan-kawan hanya
mempersiapkan beberapa kaos ganti, karena dapat dipastikan keringat akan lebih
cepat membasahi tubuh, apalagi memang kunjungan kami pada hari tersebut akan
lebih banyak berada di jalan.
Peserta Festival Keraton Nusantara menggoda petugas polisi yang mengamankan acara. |
Yak, jauh-jauh kami berangkat ratusan kilometer dari Kota Bandung adalah untuk menyalurkan hobi kami dalam memotret aktivitas manusia di ruang publik atau dikenal juga dengan istilah 'nyetrit'. Dan bukan tanpa sebab kami kemudian memilih hari tersebut untuk menjelajah Cirebon jeh. Hal itu dikarenakan pada waktu itu, Kota Cirebon sedang menggelar event akbar bertajuk Festival Keraton Nusantara.
Cirebon ini sudah cukup lama tak menjadi tuan rumah Festival Keraton Nusantara sejak penyelenggaraannya pada tahun 1997. Oleh karena itu, event ini benar-benar disambut meriah oleh warga Kota Udang tersebut ataupun warga kota lainnya seperti kami ini.
Pukul delapan pagi, saya dan tiga kawan sehobi pun sudah nangkring di sebuah warteg dekat Keraton Kasepuhan. Saat kami berjalan kaki menuju keraton, akses sekitarnya ternyata sudah ditutup untuk kendaraan. Seperti biasa, kami pun mulai keasyikan sendiri mencari posisi tepat yang kemudian dapat menghadirkan prestasi dalam hal karya foto. Beberapa kendaraan hias yang sedang parkir tentu menjadi target utama kami. Namun ada hal berbeda yang saya sadari dari peserta pawai ini dibandingkan peserta pawai-pawai yang diselenggarakan di Bandung. Peserta pawai di sini gesturnya nampak sangat rileks dan enggan bertingkah jaim. Dengan santainya mereka duduk-duduk dan ngemil sambil memanggul tandu atau mengendarai mobil hias yang menjadi tugasnya masing-masing.
Salah satu kendaraan pawai berbentuk Paksi Naga Liman di acara Festival Keraton Nusantara |
Tak beberapa lama kemudian iring-iringan pawai mulai bergerak memasuki lapangan Keraton Kasepuhan. Segerombol anak yang masih lengkap berseragam putih merah pun nampak kompak memanjat dinding pembatas demi melihat langsung Presiden Jokowi. Di rundown festival yang tersebar lewat group-group chat memang menyantumkan kehadiran Pakde Jokowi membuka gelaran akbar tersebut, namun ternyata beliau urung hadir karena kesibukan lain, dan memindahkan jadwal kedatangannya pada upacara penutupan.
Beberapa anak sekolah dasar tampak antusias menyambut kedatangan Presiden Jokowi (yang akhirnya tidak jadi datang pada hari pertama) |
Satu hal yang pasti terlihat pada event-event bertemakan budaya yang diselenggarakan di Cirebon adalah kehadiran Paksi Naga Liman dalam berbagai bentuk, mulai dari kostum hingga tentu saja kendaraan replikanya. Paksi Naga Liman sendiri merupakan Kereta Kencana milik Keraton Kanoman Cirebon yang memiliki bentuk sangat unik, kepala kereta tersebut menyerupai perpaduan antara gajah, burung paksi dan seekor naga. Konon katanya, perpaduan bentuk ini melambangkan akulturasi yang terjadi di Cirebon antara budaya Arab, Tionghoa dan India (Hindu).
Karena barikade penjagaan yang ternyata tak begitu ketat, saya pun berhasil menerobos masuk ke dalam lapangan Keraton Kasepuhan menyusul kawan-kawan saya yang sudah terlebih dulu berada di dalam sejak awal acara. Saya kemudian melihat sebuah menara temporer di salah satu sisi lapangan terdapat yang sepertinya diperuntukkan bagi awak media untuk meliput acara. Saya menyebut sepertinya, karena menara tersebut juga dipenuhi oleh masyarakat umum yang mencari tempat menonton.
Menara 2 lantai tersebut memiliki ukuran sekitar 3x3 meter dengan tanpa dilindungi pagar pembatas. Bisa dibayangkan, sungguh riskan sekali meliput dari tempat tersebut sambil berdesakan dengan penonton lainnya, bisa-bisa jatuh dari ketinggian yang lumayan bisa membuat gegar kepala.
Menara yang disediakan penyelenggara untuk mendokumentasikan acara |
Setelah puas mengambil foto-foto pada upacara pembukaan, saya
pun bertemu kembali dengan kawan-kawan di sebuah masjid berdinding merah besar
di seberang keraton. Bagian terasnya cukup luas dan terlihat klasik, namun
nampak tak begitu tua. Hal ini sangat berbeda dengan bangunan masjid utama yang
rancangannya menampakan kesan budaya yang kuat dan kuno. Sebuah plakat di salah
satu sudutnya bertuliskan Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Plakat tersebut tidak
memberikan informasi mengenai tahun berdirinya, hanya saja tertulis bahwa telah
dilakukan pemugaran pada tahun 1978. Namun, karena penasaran dengan
arsitekturnya yang luar biasa, saya pun mencarinya di internet dan mendapatkan
angka tahun pendirian 1480. Ini berarti, bangunan utama masjid ini sudah sangat
tua.
Kami pun berjalan mendekat untuk dapat melihat langsung bagian dalamnya. Akan tetapi, adzan dzuhur terlebih dahulu berkumandang, saya pun mengajak Arif, Algi, dan Kang Tirta yang menjadi kawan perjalanan saya hari ini untuk mengambil air wudhu. Namun, setelah selesai mengambil wudhu dan bergerak memasuki bangunan masjid utama, kami dicegat pengurus DKM Masjid. Katanya, kalau kami salat di dalam, ibaratnya akan seperti disalatkan jamaah lain yang salat di luar. Pernyataannya tentu membuat kami bingung, karena bukankah sudah umum bila salat berjamaah ada yang mendapat tempat di dalam masjid, dan ada yang mendapat tempat di teras, tanpa harus menjadikan orang yang salat di dalam disalatkan oleh yang berada di luar.
Bagian luar bangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa |
Karena sudah terdengar suara iqamah, kami pun langsung saja bergerak ikut ke dalam shaf yang telah terbentuk rapi di teras luar. Kami sedikit terkejut ketika melihat ke sekitar dan menemukan shaf untuk akhwat yang dibuat sejajar dengan ikhwan. Selain itu, saat salat berjamaah dimulai, semua langdung melakukan gerakan takbiratul ihram, padahal kami tidak mendengar suara takbir dari imam. Kami yang sempat kebingungan kemudian langsung mengikuti saja gerakan jamaah yang lain.
Perlahan-lahan kami pun sadar bahwa imam tidak menggunakan pengeras suara saat memimpin salatnya. Akhirnya kami pun bergerak dengan melihat jamaah lain di sekitar. Karena hal ini, setiap akan bangkit dari sujud, kami harus sedikit melirik apakah sudah bangkit dari sujud atau belum.
Seusai salat berjamaah, kami yang penasaran kemudian beranjak masuk ke dalam bangunan masjid utama melalui sebuah pintu kecil yang berukuran hanya sekitar 2/3 tinggi manusia pada umumnya. Untuk dapat masuk, kami harus membungkukan badan, dan menjumpai orang-orang berpakaian mewah sedang salat dan berdoa di dalam. Rupanya saat salat berjamaah hanya sultan yang diperbolehkan salat di ruangan tersebut. Menurut warga sekitar, selain kebiasaannya ini, ada juga kebiasaan unik lainnya yang terjadi pada momen adzan salat Jumat yang dikumandangkan oleh 7 orang muadzin.
Arsitektur bagian dalam dari Masjid Agung Sang Cipta Rasa |
Di dalam ruangan utama, kami pun tak menyia-nyiakan kesempatan yang didapat dengan mengambil foto interiornya yang ternyata sangat keren! Langit-langit ruangan ini dibuat tinggi dan luas, namun tidak kosong. Ada palang-palang kayu yang saling bertautan memenuhi bagian atasnya. Baru kali ini saya menemukan rancangan interior masjid serumit ini. Dari informasi pengurus DKM, palang-palang kayu ini bernama Saka Tatal yang memiliki filosofis persatuan bangsa. Bangunan masjid ini dibangun oleh 500 orang pekerja hanya dalam waktu semalam. Palang-palang kayu tersebut ditempelkan dan hanya disambung-sambungkan dengan sebuah plat besi pada titik pertemuannya.
Keunikan masjid ini tak berhenti sampai di situ. Di sebelah kanan masjid terdapat dua buah lubang yang terisi air seperti sumur. Awalnya, saya kira di sinilah tempat wudhu orang-orang bila hendak salat. Namun pada waktu salat tadi, para Jemaah bergerak ke arah lain. Sumur tersebut rupanya adalah tempat minumnya para Wali Songo dulu. Mata airnya sendiri berjarak sekitar 50 meter dari kedua sumur tersebut. Sumur ini dikenal kemudian dengan nama Banyu Cis Sang Cipta Rasa, atau ada yang menyebut sumur tersebut sebagai Zam-zamnya Cirebon. Disebut demikia karena air sumur ini dipercaya memiliki khasiat. Saat saya bertanya perihal khasiatnya kepada bapak penjaga, beliau hanya menjawab, 'Khasiat tergantung niat orangnya ingin apa dulu. Ada yang ingin sembuh dari penyakit, atau ada juga yang ingin dilancarkan segala urusannya. Mereka di sini ada yang mandi, wudhu, ataupun minum sambil berdoa sama Allah'.
Sumur Banyu Cis Sang Cipta Rasa |
Bagi yang ingin mengambil airnya untuk dibawa pulang ke rumah pun bisa. Ia pun menawarkan sebotol airnya kepada saya. 'Bayarnya seikhlasnya aja, bebas mau berapa juga,' tawar bapak itu. Akhirnya saya pun membawa pulang sebotol air tersebut ke Bandung. Warna airnya memang tidak seperti air mineral, ada bau tanah juga yang tercium saat botol didekatkan ke mulut.
Waktu telah menunjukkan pukul satu siang. Riuh keramaian yang tadi menyemarakkan jalan di antara keraton dan masjid pun sudah mulai bubar. Masih ada waktu panjang untuk mengejar kereta malam ke Bandung yang berangkat pukul 9 malam, kami pun mengisinya dengan berjalan-jalan di sekitar keraton dan berkunjung ke Goa Sunyaragi yang dikenal sebagai tempat meditasinya Wali Songo. Bukan tak ingin mengejar berbagai destinasi wisata lainnya, terik udara di Cirebon yang bagaikan memiliki dua matahari ini benar-benar membuat kami tak berkutik.
Tak jauh dari Keraton Kasepuhan, terdapat sebuah jalan bernama Jl. Lemah Wungkuk yang cukup membuat saya teringat dengan Jl Cibadak di Bandung. Sama halnya dengan Jl. Cibadak di Bandung, Jl. Lemah Wungkuk di Cirebon juga merupakan kawasan pecinan. Lebar jalan, gaya bangunan, serta konsep trotoarnya sangat serupa. Kawasan ini juga dikenal sebagai pusat oleh-oleh di Cirebon. Berbagai souvenir serta cemilan dapat dibeli di sini.
Jl. Lemah Wungkuk di Cirebon yang suasananya menyerupai Jl. Cibadak di Bandung |
Dari Jl. Lemah Wungkuk, kami meneruskan perjalanan ke Keraton Kanoman yang sedang menyelenggarakan pameran benda-benda pusaka selama festival berlangsung. Saat mampir ke salah satu booth, sepertinya si penjaganya langsung menangkap minat kami melalui arah tatapan yang tertuju ke bentuk patung giok Dewi Kwan Im. 'Kalau mau, itu yang Dewi Kwan Im bisa dipakai jadi mahar,' tunjuknya sambil menyesap cangkir kopinya di tangan kanan. 'Cuma itu saja, yang lain tidak bisa,'lanjutnya. Harganya di tujuh. Itu angka bukan dari saya, tapi langsung dari dia yang bisikin ke telinga saya. Yang dimaksud dengan âdia oleh bapak ini adalah patung Dewi Kwan Im setinggi 30 cm tersebut. Kami tahu karena sambil bicara soal harga bisikan, gestur dagu dan matanya menunjuk ke patung ini. Entah berapa banyak angka nol yang ia maksud setelah angka tujuh tersebut, saya pun tak bertanya, karena tak tertarik membeli. Pertemuan kami dengan bapak ini, meneruskan cerita unik yang terjadi selama seharian itu.
Seorang bapak yang menawarkan pusaka Dewi Kwan Im untuk mahar di Keraton Kanoman |
Sesuai rencana, sebelum pulang kami menghabiskan sore dengan meluncur ke kawasan wisata Goa Sunyaragi. Cukup banyak pengunjung yang hadir karena pada saat itu, Goa Sunyaragi juga menjadi venue perayaan Festival Keraton Nusantara. Saya rasa hampir seluruh penjuru kota sedang bersemangat menyemarakkan acara ini.
Bentuk Goa Sunyaragi ini sangat unik. Mungkin ini sudah kesekian kalinya saya menyebut kata unik. Tapi memang inilah hal yang saya dapatkan dalam perjalanan kali ini. Bentuk goanya bagaikan sebuah istana yang ditempeli terumbu karang, ibarat sebuah kerajaan dasar laut yang muncul ke bumi. Selain itu, jalur-jalur di bagian dalamnya sangatlah rumit sepeti labirin besar.
Goa Sunyaragi |
Setelah senja menutup kerja dari mentari, kami pun bergegas berangkat ke Stasiun Cirebon untuk merampungkan petualangan hari ini. Penjelajahan Cirebon ini terasa sangat mengasyikan, dan rasanya sangat worth it untuk dilakukan kembali. Terlebih saat tiba di Bandung, beberapa kawan lain yang melihat postingan Instagram saya kemudian memberikan banyak komentar tentang berbagai tempat yang tak sempat kami datangi. Btw, kata 'jeh' yang tertulis di judul tulisan ini adalah imbuhan yang sering ditambahkan pada kalimat yang diucapkan di bahasa Indramayu/Cirebon. Mungkin seperti 'mah' dan 'teh' ya kalau dalam bahasa Sunda.
Tulisan ini telah dimuat sebelumnya di: https://travel.detik.com/dtravelers_stories/u-4188301/menjelajahi-keunikan-cirebon-jeh