Hari ini saya melangkahkan kaki ke bioskop dengan bermodal sedikit pengetahuan saja tentang Gundala. Saya tahu wujud dan namanya cukup lama, tapi masih kalah akrab dengan sosok Si Buta dari Gua Hantu yang sempat nongol di layar kaca. Awalnya saya mengira Gundala ini secara fisik mirip, dan memiliki kekuatan seperti The Flash. Namun ternyata, kekuatannya jauh berbeda, walaupun sama-sama mendapat kekuatan dari petir. Malah, kisah Sancaka yang menjadi Gundala ini justru banyak mengingatkan saya kepada sosok Batman. Beraksi lebih sering pada malam hari, dan punya ‘orang dalam’. Sisi penceritannya yang gelap pun agak membuat saya terngiang dengan film Batman Begins. Namun, jangan bayangkan sosok seorang milyuner playboy dengan segudang alat canggih bak Bruce Wayne. Karena Sancaka hanyalah seorang security pabrik.
Poster Gundala, Picture Courtesy: Jagat Sinema Bumi Langit
Seperti beberapa film sebelumnya yang disutradarai oleh Joko Anwar, ia selalu berhasil mengangkat peran anak-anak menjadi sangat menonjol. Bahkan Muhammad Adhiyat yang memerankan tokoh Ian dalam Pengabdi Setan pun berhasil menyabet penghargaan Pemeran Anak Terbaik pada ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2017. Nampaknya hal tersebut sangat mungkin terjadi pula pada Muzakki Ramdhan, aktor pemeran Sancaka cilik yang aktingnya dapat mencuri perhatian sejak awal film. Malah saya lebih menyukai karakter Sancaka kecil, dibandingkan dengan Sancaka dewasa. Lalu ada juga tingkah laku kocak dari Teddy, adik dari Merpati, salah satu next hero yang diperankan oleh Tara Basro yang lumayan mendapat porsi tampil cukup banyak. Di samping itu, kemunculan beberapa tokoh lain  dari Jagat Sinema Bumi Langit memberikan efek excitement tersendiri terhadap keberlanjutan universe ini di industri perfilman Indonesia. Setidaknya, selama beberapa tahun ke depan, penonton Indonesia akan disuguhkan ‘rasa’ film yang berbeda. Di luar pemeran anak-anaknya, karakter Ghazul yang diperankan Ario Bayu, dan Pengkor yang diperankan oleh Bront Palarae cukup memorable. Selain karena karakternya, beberapa dialog yang mereka ucapkan pun quotable. Hanya saja, saya berharap karakter Pengkor ini bisa tampil lebih evil. 


Kehadiran Cecep Arif Rahman sebagai aktor sekaligus penanggung jawab Koreografi di Gundala, sepertinya memang menjadi jaminan mutu dari adegan laga yang disajikan. Aksi-aksi pertarungan sekelas The Raid pun menjadi salah satu santapan lezat di film ini, walaupun tidak sampai terlalu vulgar. Adegan-adegan yang melibatkan darah di sini, selalu disamarkan dengan apik, tanpa menghilangkan intensitas ngeri dan ketegangannya.

Dari segi sinematografisnya, tentunya kualitas arahan Joko Anwar tak perlu diragukan lagi. Film ‘Kala’ yang meraih Tata Sinematografis Terbaik pada FFI 2007 menjadi salah satu buktinya. Bahkan, di bagian awal film, serta di beberapa bagian lainnya, vibe-nya berasa ‘Kala’ banget. Tone warnanya pun sama-sama banyak menghadirkan warna kuning yang hangat. Untuk kualitas visual efek nya pun terbilang cukup baik, dan tak berlebihan. Walaupun ada satu adegan yang menurut saya sedikit agak kurang pas penggunaannya, tapi masih bisa termaafkan.

Bagi saya, hal paling menarik yang disuguhkan dalam film pertama Jagat Sinema Bumi Langit adalah dari segi skenario, dan penceritaannya. Saya menangkap kesan bahwa film Gundala ini ingin menyampaikan pesan tentang perlawanan rakyat. Mulai dari adegan pertama film, hingga adegan penutup. Anyway, adegan pertama film ini diawali dengan para buruh pabrik yang bentrok dengan petugas keamanan perusahaannya. Adegan ini tampil juga di trailer ya, jadi ini bukan spoiler, hehe. Lalu kita bisa coba menghitung berapa banyak kata ‘rakyat’ disebut sepanjang film. Seolah ingin menegaskan sebuah pesan tertentu dari masyarakat bawah yang berada di tengah bayang-bayang penguasa. Hal ini juga dapat terlihat dari kostum Gundala yang benar-benar ditampilkan apa adanya, layaknya sebuah low cost cosplay. Bahkan, kadang Abimana Aryasatya yang memerankan Sancaka, tampak terlihat sedikit aga kedodoran dalam kostum Gundalanya. Namun bagi saya, kostum Gundala ini menjadi sebuah simbol personifikasi atas rakyat kecil Indonesia yang hidupnya sederhana. Ketika ia berada satu frame dengan karakter antagonis Pengkor pun, nampak sekali pesan ‘rakyat vs penguasa’ yang ingin coba disampaikan ke penonton.

Selain soal perlawanan rakyat, Joko Anwar juga menyelipkan pesan-pesan lain yang mungkin menjadi keresahan banyak orang di Indonesia saat ini, seperti korupsi, suap, dan hoax. Salah satu cara penyampaian pesannya pun sebetulnya sempat membuat saya terheran-heran, karena membuat kasus yang diangkatnya seperti terlihat bodoh. Saya baru memahami pesan, dan tujuan sebenarnya menjelang akhir cerita. Justru cara ia memberikan pesannya ini sangatlah cerdas. 

Sebagai titik mula rentetan film Jagat Sinema Bumi Langit yang akan tayang di Indonesia, Gundala menjadi awal yang menjanjikan. Joko Anwar berhasil menghindari kisah-kisah stereotype superheroes yang biasa disajikan Marvel atau DC. Ia memberikan warna sendiri untuk Gundala. Walaupun dengan gaya intro logo Bumi Langit di awal, serta keberadaan after credit scene-nya sempat mengingatkan saya dengan film-film Marvel. Tentunya saya mengharapkan,  film-film Bumi Langit selanjutnya bisa setidaknya sama, atau bisa lebih baik dari Gundala. Janganlah seperti film DC yang belakangan justru lebih banyak mendapat ulasan buruk, serta lebih banyak berita soal konflik yang terjadi antara elemen pendukung film.

By the way, konten after credit scene yang tayang, ternyata sesuai dengan dugaan saya, hehe. Ingin tahu adegan apa yang muncul? Yaaa, tonton saja laah sendiri.


Hades. Bagi saya namanya tak begitu asing. Dulu, setiap hari minggu pukul 10 pagi, Kevin Sorbo mengenalkan banyak nama dalam mitologi Yunani ke dalam kehidupan masa kecil saya melalui tayangan Hercules. Ingatan itulah yang kemudian membawa saya berangkat menonton pertunjukan teater berjudul Hades Fading (Hades Memudar), di NuArt Sculpture Park, pada Selasa 27 Agustus 2019 lalu. Saya cukup beruntung berkesempatan hadir pada acara gladi bersihnya, sehingga diperbolehkan untuk mengabadikan pertunjukan tersebut melalui gawai dan kamera.
Pementasan Teater 'Hades Fading' yang Menggunakan teknologi video mapping.
Hal menarik lainnya yang membuat saya melangkahkan kaki ke NuArt Sculpture Park malam tersebut juga karena acara ini merupakan pertunjukan kolaborasi antara para seniman Bandung dan seniman Melbourne yang telah 20 tahun bersinergi menghasilkan karya. Saya pribadi cukup menyenangi karya seni teater. Saat di sekolah menengah dulu, beberapa kawan dekat yang mengikuti ekstrakurikuler tersebut pun seringkali menggelar pementasan, dan mengajak saya untuk ikut serta mengapresiasi penampilan mereka. Sejak saat itulah, saya mulai menggemari pertunjukan teater.

Saat waktu menunjukkan pukul 8 malam, saya, beserta teman-teman blogger, dan media, pun mulai beranjak ke arah panggung yang berada di area amphitheatre outdoor NuArt Sculpture Park. Baru melihat panggungnya saja, saya merasa kalau ini akan jadi pertunjukkan keren. Platform lingkaran di tengahnya telah diubah layaknya sebuah kerangkeng di arena kelahi UFC. Namun bedanya, arenanya diselimuti oleh semacam kelambu jaring yang berfungsi mirip tirai pertunjukkan.

Adegan pentas Hades Fading dimulai dari monolog Eurydice, seorang dewi yang bersuamikan Orpheus yang berasal dari kalangan manusia. Keduanya diperankan oleh seniman dari Mainteater Bandung. Rupanya setiap kata dan kalimatnya diucapkan bergantian dengan menggunakan Bahasa Inggris, dan Indonesia. Uniknya, setiap kalimat yang keluar juga akan muncul dalam bentuk teks di jaring-jaring kelambu yang dibuat berlapis. Entah berapa lapis. Namun konten subtitle yang diproyeksikan ini membuat visual pentas teater ini menjadi sangat memanjakan mata. Bila si pemain mengucapkan kalimat berbahasa Inggris, maka subtitle yang muncul adalah arti kalimat tersebut dalam Bahasa Indonesia. Begitupun sebaliknya bila pemeran mengucapkan kalimat berbahasa Indonesia. Dengan begini, pentas ini menjadi dapat dinikmati juga oleh penonton lokal, maupun asing, ataupun juga teman tuli.
Salah satu adegan dalam pementasan 'Hades Fading'
Di samping memproyeksikan teks, konten multimedia yang dirancang juga berfungsi sebagai mood maker, serta pencipta latar, ya jadi semacam video mapping lah. Saya pun bisa membayangkan betapa rumitnya proses produksi konten ini. Karena saat pentas, ada beberapa adegan yang mengharuskan tirai kelambu dari setiap lapisnya dibuka, dan ditutup. Bagian panggung lainnya yang ditutup tirai pada suatu adegan, akan menjadi semacam backstage untuk pemeran lainnya yang menunggu giliran tampil untuk bersiap-siap, ataupun tempat untuk para pemusik mengalunkan nada-nada pengiring adegan. By the way, baru kali ini saya menyaksikan pertunjukan teater yang komposisi artistiknya sangat lengkap, dan bersinergi satu sama lain.

Tak hanya dari segi pengemasannya, konten cerita yang ditampilkan pun dapat terbilang asik, dan enjoyable. Beberapa jokes yang diselipkan sebagai punchline pun berhasil menjadi bumbu yang memberikan kesegaran tak terduga. Menariknya lagi, ada juga beberapa adegan di mana salah satu pemeran mengajak penonton untuk berinteraksi, sehingga membuat suasana menjadi lebih hidup.

Nah, bagi yang penasaran dengan serunya pementasan Hades Fading ini, ada tiga hari kesempatan untuk menyaksikannya di NuArt Sculpture Park, yaitu mulai dari 28-30 Agustus 2019, setiap pukul 19.30 WIB. Pementasannya memang hanya digelar pada malam hari, karena untuk tempatnya sendiri bersifat outdoor, sehingga memanfaatkan gelapnya langit, serta pepohonan di sekitarnya sebagai ambience untuk menciptakan atmosfir yang berbeda. Harga tiketnya dijual Rp 50.000 untuk pelajar dan mahasiswa, serta Rp100.000 untuk umum. Bagi saya sih harga tersebut sangatlah worth it dengan kualitas pertunjukan yang ditampilkan.



“Ka Ujung Genteng, yuk!”“Hayu atuh, iraha?”“Ayeuna weh, kela urang nyokot taraje heula.”“Euh..” 
Candaan standar seperti ini lumrah terjadi dalam sebuah perbincangan dengan kawan kuliah dulu, mengingat jadwal kuliah, bimbingan, dan berorganisasi yang sedang padat-padatnya. Pada saat rencana tersebut benar-benar diwujudkan, giliran kocek pribadi yang tak mendukung. Alhasil saya pun menikmati Ujung Genteng dari foto-foto kawan saya yang diunggah secara masif ke Facebook. Selang hampir sepuluh tahun setelahnya, barulah saya bisa mengunjungi tempat-tempat yang menjadi latar foto kawan-kawan saya dulu. Tak tanggung-tanggung, perjalanan saya ke Ujung Genteng ini pun bisa saya tempuh secara gratisan. Yaa.. tidak benar-benar gratis sih, tapi harus dibayar oleh keringat dan file. Kawan saya Kang Dadan tiba-tiba saja mengajak saya traveling dadak ke pantai yang berada di sebelah barat daya Kabupaten Sukabumi tersebut, untuk mengerjakan sebuah job foto pre wedding.
Salah satu sudut keindahan pagi hari di Pantai Ujung Genteng
Hanya berselang waktu dua jam, saya pun sudah berada di depan pintu rumah Kang Dadan untuk pergi bersama ke lokasi meeting point di kawasan Cihanjuang, Cimahi. Rupanya, tempat pertemuan kami ini adalah markas dari sang make up artist calon mempelai yang juga rekanan dari Kang Dadan yang sesekali ia bantu mengerjakan dekorasi pernikahan client-nya. Hal yang paling mengejutkan dari perjalanan ini sebetulnya adalah personil yang akan berangkat ke lokasi pemotretan pre-wedding. Masing-masing calon mempelai rupanya membawa anggota keluarganya juga, sehingga kami pun berangkat dengan dua kendaraan penuh sesak. Katanya sih, memang kedua keluarga tersebut ingin sekalian berlibur.

Kami berangkat pukul delapan malam. Saya dan Kang Dadan ditempatkan di kursi paling belakang sebuah mobil berkapasitas sembilan orang. Bagian kursi belakang mobil tersebut agak besar karena sering digunakan untuk mengangkut barang-barang keperluan rias pernikahan. Jok yang sebelumnya menghadap ke arah depan, dibuat menyamping layaknya angkot, sehingga kapasitas kursi yang asalnya hanya dapat menampung 3 orang, kini dapat menampung 4 orang.

Sampai sekitar Jl. Raya Pelabuhan Ratu, Sukabumi, sebenarnya rute jalan yang diambil sama dengan saat saya berangkat ke Geopark Ciletuh bulan Desember 2016 lalu. Perbedaannya bila saat ke Ciletuh dulu saya dan rombongan mengambil jalan lurus ke arah Pantai Pelabuhan Ratu untuk kemudian berbelok menyusuri sisi laut. Kali ini sang driver membawa kami melalui jalur Pedalaman Surade-Jampang Kulon yang mencekam. Mencekam, karena jalur ini nyaris tak memiliki penerangan jalan dengan jalan berbatu yang luar biasa aduhai. Hujan gerimis yang turun pada malam tersebut membuat perjalanan semakin menegangkan. Beberapa kali mobil yang tentunya dirancang bukan untuk kegiatan offroad ini kemudian slip ditengah jalan atau sampai tak bisa melaju di tanjakan berbatu yang licin. Kadang-kadang kami pun harus turun untuk mengurangi beban sekaligus mendorong mobil agar dapat melalui jalur tersebut.


Sepanjang perjalanan, praktis kami hampir tidak dapat menikmati istirahat berkualitas di dalam mobil, Hanya anak-anak saja yang nampak tertidur lelap tanpa merasa terganggu dengan jalanan yang buruk. “Geus kaambe yeuh bau pantai,” sahut Kang Dadan, “mana?? Mana?? ” keluarga sang penganten yang sejak tadi diam saja kemudian menimpali dengan tidak sabar. Lautnya sama sekali belum terlihat karena langit masih gelap dan tak ada penerangan di sepanjang jalan. Namun jalan yang dilalui mobil sudah terlihat banyak sekali butiran pasir ketika lampu depan menyorot jalanan.

Situasi perkampungan masih sangat sepi sekali, jam digital pada smartphone pun masih menunjukkan angka 4.05, nampaknya penduduk sekitar pun belum ada yang terbangun. Kami dikejutkan oleh sebuah motor yang dikendarai laki-laki paruh baya melintas tepat di depan mobil. Ia pun kemudian bertanya, “mau pada ke mana ini kang?”. “Ke pantai, ”jawab driver kami dengan polos. “Iya ini udah pantai, kalau perlu penginapan bisa saya bantu,” timpal laki-laki tersebut. Ah ternyata laki-laki tersebut memang punya maksud tertentu, maksud untuk menawarkan bisnisannya maksudnya. Tapi wajar saja sih bila warga yang tinggal di sekitar tempat wisata memiliki sebuah usaha yang ditawarkan untuk pengunjung.

Kami memesan agar diberikan penginapan yang langsung menghadap ke pantai, karena sesi foto pre-wedding yang akan kami lakukan semuanya berlatar di pesisir pantai. Wajar sih orang request jauh-jauh foto pre-wedding ke Ujung Genteng, ya karena ingin foto di pantainya. Akhirnya kami menyewa penginapan ini hanya untuk setengah hari saja, rencananya setelah mendapat foto sunset nanti, kami akan langsung pulang ke Bandung tanpa bermalam di Ujung Genteng. Dengan menyewa kamar, setidaknya anggota keluarga calon pengantin yang tidak ikut sesi foto dapat beristirahat, serta berguna juga untuk mengganti pakaian kedua calon mempelai.

Dua buah kamar dengan lokasi langsung menghadap ke pantai berhasil kami dapatkan. Kamar tersebut dilengkapi dengan masing-masing satu ranjang besar dan satu kamar mandi di dalam. Kami menyewanya hanya dengan Rp.150.000 saja untuk kedua kamar tersebut selama setengah hari. Harga yang sangat murah untuk ukuran penginapan lepas pantai, apalagi tanggal saat kunjungan tersebut termasuk ke dalam peak season liburan.

Pemandangan Pantai Ujung Genteng pada siang hari
Setelah shalat shubuh bergantian, saya dan Kang Dadan sudah bersiap dengan peralatan fotografi sederhana yang kami bawa dari Bandung. Kami berharap bisa mengambil adegan pada saat terjadi transisi dari langit malam ke langit pagi yang biasa disebut dengan blue hour. Namun nyatanya rencana hanyalah tinggal rencana, calon pengantin tumbeng, begitupun dengan sang make-up artist. Justru anak-anak yang sepanjang perjalanan dapat tidur nyenyak yang kemudian bersemangat untuk menjelajahi pantai. Kami tadinya sengaja menempatkan waktu pengambilan gambar pada pagi hari untuk jaga-jaga jikalau hujan melanda siang atau sore harinya.

Akhirnya kami berdua berinisiatif menggunakan waktu pagi buta tersebut untuk survey lokasi yang cocok dipakai latar foto pre-wedding. Selain itu tentu saja kami dapat menyalurkan hobi kami pula dalam menangkap lekuk keindahan Pantai Ujung Genteng ini. Pantai ini terbilang cukup sepi bila saya bandingkan dengan kunjungan saya ke Pantai Santolo tahun 2011 lalu, apalagi bila dibandingkan dengan Pantai Pangandaran yang merupakan pantai terpopuler di Jawa Barat. Walaupun seumur hidup saya belum pernah ke Pangandaran, tapi Kang Dadan banyak bercerita tentang bagaimana renyek-nya pantai tersebut pada waktu liburan.


Bicara soal pantai yang sepi, Pantai Palangpang yang saya kunjungi di Geopark Ciletuh pada Desember lalu sebenarnya jauh lebih sepi dari Pantai Ujung Genteng. Benar-benar tidak ada rumah penduduk maupun penginapan di pesisir pantai pada saat itu. Sedangkan Pantai Ujung Genteng sudah cukup memiliki banyak penginapan yang dapat dipilih oleh pengunjung. Mulai dari penginapan sederhana seperti yang kami sewa, hingga penginapan mewah yang sepertinya sangat cocok untuk berbulan madu. Mungkin saya lebih suka menyebutnya pantai yang damai dibandingkan dengan pantai yang sepi. Saya pikir pantai ini merupakan pantai yang sangat cocok untuk melakukan short escape. Tak cukup menghabiskan waktu hanya sehari di sini, bahkan bila tinggal sampai seminggu pun saya rasa saya masih akan betah.


Pasir Pantai Ujung Genteng terbilang cukup bersih, hanya saja banyak sekali pecahan karang dan cangkang hewan laut bercampur dengan pasirnya, sehingga sebaiknya tidak berjalan dengan kaki telanjang. Menurut penduduk setempat, nama Pantai Ujung Genteng sendiri sebenarnya berasal dari ujung gunting, karena letaknya yang berada di ujung barat daya Pulau Jawa dan lekuknya yang sedikit mirip gunting. Bila kita berjalan menyusuri pantai ini, maka kita dapat melihat bahwa Ujung Genteng ini memiliki lekuk yang sangat besar.


Sejak pukul 5 kami telah duduk di pesisir pantai menunggu datangnya matahari dari ufuk timur. Namun 20 menit kemudian kami sadar bahwa sisi pantai tempat kami nongkrong tersebut menghadap ke arah barat.  Akhirnya kami memotret suasana apa adanya saja dari Pantai Ujung Genteng dengan sinar matahari di belakang kepala. Kemudian terlihat beberapa perahu nelayan mulai merapat ke pantai, dan menjadikan foto-foto kami kini memiliki objek.


Sedikit keajaiban terjadi pada pagi hari itu, tanpa ada hujan terlebih dahulu, sebuah pelangi tipis hadir tepat di depan mata menghiasi langit cerah Pantai Ujung Genteng pagi itu. Tentunya kami berharap langit yang cerah ini akan bertahan sampai sesi foto pre-weddingnya tiba. Kalau saja sampai turun hujan cukup deras, sudahlah bubar semua rencana foto di sini. Terlalu riskan juga bila harus memotret dengan mengorbankan kamera saat hujan, padahal pengantinnya sih kalau disuruh hujanan mau-mau saja.
 
Pelangi Tipis yang muncul saat pagi kami tiba di Pantai Ujung Genteng

Kami mencoba berjalan ke arah utara, dan mulai banyak menemukan penginapan-penginapan mewah berkonsep rumah panggung. Kendaraan roda empat pun mulai lebih banyak terlihat diparkir di pelatarannya dibandingkan tempat kami menginap yang didominasi oleh motoris. Saya rasa memang Pantai Ujung Genteng ini memang lebih cocok dijadikan destinasi wisata bagi yang menggemari touring menggunakan motor secara beramai-ramai. Karena dengan mempertimbangkan jarak dan waktu tempuh yang cukup memakan waktu, Ujung Genteng kurang sesuai dijadikan destinasi wisata keluarga. Mengingat perjalanan kami menggunakan mobil semalam tadi pun cukup menyiksa.


Sama halnya dengan yang saya temui di kawasan wisata Geopark Ciletuh, banyak sekali sapi-sapi berkeliaran dengan bebas di pesisir Pantai Ujung Genteng. Memang secara jarak, kedua pantai tersebut tak terlalu jauh satu sama lain. Mungkin cukup sekitar 1,5 hingga 2 jam perjalanan untuk mencapai Pantai Palangpang Geopark Ciletuh dari Ujung Genteng.
Seekor sapi yang berkeliaran bebas di Pantai Ujung Genteng
Kami kembali ke penginapan pukul 8 pagi, namun ternyata sepasang muda-mudi yang akan menjadi objek foto kita ini belum siap jua. Barulah pada pukul 9, mereka keluar dari kamar dengan jas, dan gaun formal lengkap. Efeknya, sengat matahari pun sudah mulai terasa membakar permukaan kulit. Ditambah, memang cuaca di sini terasa jauh lebih panas dibandingkan Bandung. Bayangkan saja, hawa udara pukul 9 pagi, sudah terasa seperti pukul 12 siang. Maka dari itu, kedua calon pengantin ini pun menjadi lebih mudah berkeringat, yang berarti make-up­ nya akan mudah luntur juga. Untuk mengantisipasi hal ini, akhirnya teteh make-up artist pun kami ajak juga untuk berpanas-panas ria siang itu.


Sesi pertama pemotretan berakhir pada pukul 11 siang. Saya pun mengambil rehat sejenak, sebelum pergi ngebolang sendirian. Sayang sekali kan, sudah jauh-jauh kemari hanya digunakan untuk duduk-duduk saja. Apalagi, sesi foto berikutnya baru akan dimulai pukul 4 sore.

Salah satu perahu nelayan yang tertambat di Pantai Ujung Genteng
Sambil melawan panas, dan sebetulnya serangan kantuk. Saya pun mulai menyusuri pantai Ujung Genteng ke arah selatan. Cukup banyak kok objek menarik yang bisa dipotret. Seperti kegiatan sehari-hari warga setempat yang gemar makan bakso ikan, nelayan yang sedang memancing ikan, atau beberapa lainnya yang sedang membersihkan perahu. Daya tarik utama dari pantai ini sebetulnya adalah penangkaran penyunya, namun sejauh saya jalan berkeliling, saya tak dapat menemukannya. Sedang terik mentari yang semakin lama semakin kuat, semakin pula melemahkan niat saya untuk terlalu jauh berjalan. Kalau sampai tidak kuat berjalan di tengah jalan kan nanti bingung juga pulangnya.

 
Tiga nelayan yang terlihat sedang memancing di batas ombak Pantai Ujung Genteng
Jelang waktu pemotretan sore, cuaca masih cukup aman untuk mengambil foto hingga kami beranjak pulang ke Bandung pada pukul 7 malam. Langit biru yang sedari pagi menunjukan wajahnya yang tanpa cela, menjadi sebuah berkah yang sangat kami syukuri. Yang kami tidak syukuri adalah fee pemotretan foto pre-wedding ini. Si make-up artist ternyata banyak memangkas komisi untuk kami, sehingga biaya ia minta dengan biaya satu juta sudah bisa mendapatkan seluruh file foto, dengan beberapa pilihan foto untuk dicetak besar. Tentu saja kami murka dengan permintaan tersebut. Karena dengan nominal itu, keringat dan waktu kami yang terbuang selama dua hari, hanya dihargai tak lebih dari Rp100.000/orang. Sisa biayanya akan banyak habis untuk menyetak foto. Kami pun akhirnya menolak memberikan seluruh file foto pemotretan ini. Kami anggap tindakan kami ini sebagai sebuah bentuk edukasi kepada masyarakat umum, yang kurang bisa menghargai jerih payah profesi fotografer. Dikiranya fotografi itu hanya soal menekan tombol shutter saja apa? Memang salah kami awalnya, seharusnya kami melakukan deal harga terlebih dahulu di awal sebelum berangkat. Namun sisi positifnya, saya tentunya bersyukur bisa mendapatkan kesempatan menjelajahi salah satu tempat dalam bucket list saya ini tanpa keluar biaya, dan bisa sekaligus menjajal kamera Canon EOS M3 pinjaman yang memang sempat menjadi incaran kala itu. Walaupun pada akhirnya, saya kemudian menjatuhkan pilihan kepada Fujifilm X-M1 sebagai kamera interchangeable lens pertama untuk dimiliki.
 
Senja di Pantai Ujung Genteng
Perjalanan yang saya alami ke Ujung Genteng tahun 2017 lalu ini merupakan kali terakhir saya mengerjakan proyek foto pre wedding, sekaligus pantai terakhir yang saya kunjungi. Bukan tak ingin melakukannya lagi, tapi memang kini cukup sulit menemukan waktu yang cocok untuk menekuninya kembali. Mungkin suatu saat akan sangat menyenangkan bila mendapat kesempatan untuk ke tempat ini lagi. Bukan untuk bekerja tentunya, tapi benar-benar liburan.



Biasanya, orang yang bicaranya banyak itu ada dua tipe. Entah dia memang sedang sombong, atau memang karena dia sangat antusias dengan topik yang dibicarakan. Nah, Pak Tatang yang saya temui di Jalan Pangarang ini adalah tipe yang kedua. Saat saya berkunjung ke bengkel wayang miliknya, Ia bercerita hingga dua jam lamanya, seakan tak merasa lelah. Saya mengetahui kisah tentang beliau dari kawan-kawan di Komunitas Aleut yang pernah berkunjung ke tempatnya saat menjelang gelaran peringatan Konferensi Asia Afrika ke-60 pada tahun 2015 lalu. Mengingat sudah jarangnya pengrajin wayang saat ini, kaki saya pun akhirnya melangkah menelusuri gang-gang kecil di kawasan belakang Hotel Savoy Homann ini sendirian. Walau letaknya tersembunyi, tak sulit ternyata menemukannya. Hanya dengan kata kunci ‘wayang’, penduduk sekitar sudah dapat langsung menunjukkan arah pastinya. Ditambah, keberadaan mural-mural bergambar karakter wayang pun hadir sebagai penanda bahwa saya sudah hampir sampai di lokasinya.
Pak Tatang, dan koleksi wayangnya.

Kecintaan Pak Tatang akan wayang dapat terlihat dari ratusan karakter wayang yang ia pajang di workshop yang sebetulnya diwariskan oleh ayahnya, yakni Pak Ruhiyat. Saya menjumpai beliau sedang duduk dan mengukir sebuah kepala wayang dengan tekun. Begitu saya mulai ajak berbincang, ia pun masuk ke dalam rumah tanpa diminta, dan membawa foto-foto perjalanan workshop yang ia kelola , yang hingga saat ini masih bernama Ruhiyat Wooden Puppet & Mask.
Album foto yang ditunjukan Pak Tatang ke saya yang menggambarkan perjalanan Ruhiyat Wooden Puppet & Mask

Cukup banyak insight baru tentang wayang yang saya dapat dari beliau. Seperti adanya perubahan bentuk dan gaya rancangan wayang golek, seiring dengan perkembangan zaman. Hal yang cukup menyolok dapat terlihat dari bagian mata wayang golek yang dibuat terbuka. Ternyata sebelum memasuki era akhir tahun 60-an, wayang-wayang ini dibuat dengan mata tertutup. Selain itu, bentuk ukiran pada wayang tempo dulu jauh lebih rumit dibandingkan dengan sekarang. Dulu pengerjaan satu buah wayang golek saja dapat menghabiskan waktu hingga empat hari dengan dibantu oleh anggota keluarga lainnya.
Design wayang sebelum era 60-an
Hingga awal tahun 2000-an, sebetulnya Ruhiyat Wooden Puppet & Mask cukup berhasil berbicara banyak sebagai salah satu wajah pariwisata Indonesia. Tak jarang Pak Tatang ini diundang, ataupun diminta untuk mengerjakan wayang dengan bentuk custom oleh berbagai negara di dunia. Salah satu yang paling memorable, dan karyanya masih terpajang rapi di workshop-nya ini adalah sebuah kepala wayang yang dibuat polos, tak berwarna, dan memiliki dua sisi wajah. Salah satunya adalah patung Rama yang kemudian saya beli dengan harga Rp200.000 dari beliau. Wayang Rama yang saya beli ini memiliki wajah ‘buta/monster’ di belakang kepalanya. Hal ini dapat diartikan bahwa setiap manusia memiliki sisi-sisi buruk yang disembunyikan dalam jiwa, seperti keserakahan, keangkuhan, dan angkara murka.
Wayang pesanan dari Prancis yang memiliki dua wajah
Perjalanan bisnis wayang Pak Tatang dan Ruhiyat Wooden Puppet & Mask mulai berubah setelah terjadinya tragedy bom Bali I. Walaupun terjadi ribuan kilometer jauhnya dari Pulau Dewata, rupanya tetap berpengaruh terhadap pesanan wayangnya. Karyawan yang dulu ada belasan orang pun satu per satu mengundurkan diri, dan bekerja di bidang lain. Sedangkan keturunan dari Pak Tatang sudah lebih memilih jalur kehidupan yang lain.
Salah satu wayang dengan bentuk custom buatan Pak Tatang
Saat ditanya mengenai total harga dari seluruh wayang-wayang yang beradai di bengkelnya tersebut, Pak Tatang menjawab bahwa koleksinya tak ternilai harganya. Bahkan ia mengaku bahwa pernah ditawar 2 milliar untuk itu, dan menolaknya. Koleksi wayangnya ini baginya bukan hanya benda mati yang menghiasi tempat kerjanya, namun juga senilai dengan kehidupan yang telah ia jalani hingga kini. Terdapat kenangan, dan juga sejarah, dari setiap karakter wayang yang bertengger di workshop-nya. Bila ada wisatawan yang ingin membeli wayang, sudah ada area khusus, atau bisa membeli by order terlebih dahulu.
Area khusus penjualan di Ruhiyat Wooden Puppet & Mask
Bagi yang penasaran ingin mendengar cerita dari Pak Tatang langsung, dan melihat, ataupun membeli hasil karyanya, kamu bisa datang langsung ke Jl. Pangarang Bawah III No. 78/17B. Namun untuk kunjungan rombongan, ada baiknya untuk menghubungi dulu Pak Tatang di nomor 0813 9460 5012. Workshop-nya ini bisa menampung hingga 30 orang, lho. Bahkan tak jarang, kesenian lainnya seperti pencak silat, dan jaipong pun ditampilkan ke tamu-tamunya yang datang bertandang.


“Let it be ..let it be.. Let it be.. ooh let it be.. There will be an answer Let it be..”

Suara merdu Paul Mccartney yang menyanyikan lagu emosional tentang ibunya tersebut, menggema di sebuah ruang berukuran 3x3 meter itu, dengan sesekali harus terselang suara kereta yang terasa seperti persis melintas di samping wajah. Itulah gambaran suasana kedai Kue Balok Kang Ade yang berlokasi di kawasan Jl. Garuda (Maleber), Bandung.
Suasana di Kedai Kue Balok Kang Ade di Bandung, In frame: bukan Kang Ade-nya
Kedai Kue Balok Kang Ade ini menjadi tempat singgah saya setiap pagi, pada medio lima tahun silam ketika masih menjadi bankir sebuah bank syariah swasta nasional. Selain kue balok, biasanya saya memesan secangkir kopi susu, dan dua butir telur bebek setengah matang, dengan dalih untuk menambah stamina tubuh yang harus bergelut dengan target pencairan kredit nasabah.

Kegemaran Kang Ade dengan The Beatles ini terpancar bukan hanya dari musik yang diputarnya, tapi juga dari beberapa poster group band asal Liverpool tersebut yang melekat di dinding kedai. Tapi tentunya, tak mungkin Ia menyiarkan lagu tersebut pada pengunjungnya sepanjang hari. Lagu lokal modern macam Gigi, dan Ungu pun tak lepas menghiasi playlist kedainya.

Bila melihat maraknya kedai kue balok yang kini menawarkan keragaman varian rasa dan topping, Kue Balok Kang Ade ini justru tidak mau neko-neko. Rasa original menjadi satu-satunya menu kue balok yang ditawarkan di sini. Variasinya hanya berada di seputaran matang atau setengah matang. Dengan orisinalitas rasanya, bagi saya Kue Balok Kang Ade masih menjadi kue balok terbaik di Bandung. Entah apa saja yang menjadi komposisinya. Tekstur kuenya lembut, dengan rasa manis yang cukup.

Untuk saya yang bertahun-tahun bekerja “lapangan”, entah kenapa suasana kedai seperti ini masih menjadi tempat nongkrong terbaik. Sekadar berbagi lembar surat kabar, atau berbagi jorowok saat menonton Persib di layar kaca pun bisa menjadi sangat menyenangkan.

Layaknya “Let It Be” yang walau sudah melintasi banyak dekade selalu memiliki tempat di telinga dan daftar putar Kang Ade. Kedai-kedai kue balok sederhana seperti ini pun selalu memiliki rasa dan suasana yang punya tempat di hati sebagian orang, termasuk saya.


Kampung Wisata Quran ini sebetulnya lama sudah saya dengar keberadaannya di kawasan Kiaracondong Bandung, namun, baru kali ini saya berkesempatan mengunjunginya. Peluncuran yang dilakukan minggu lalu oleh Kang Yana Mulyana sendiri sebetulnya merupakan sebuah re-launch dari yang sebelumnya dilakukan oleh Kang Emil beberapa tahun lalu. Karena sebelumnya, tempat wisata tersebut belum begitu berkembang. Padahal, bagian dalamnya sendiri sangatlah menarik. Bukan hanya dapat melihat proses pembuatan Al-Quran semata, di sini saya pun bisa melihat isi sebuah kantor kekinian yang nyaman untuk berkreasi sekaligus beribadah. Tak kalah dengan kantor google, ataupun kantor-kantor start­-up berbasis teknologi lainnya.
Proses pengecekan mushaf Quran yang telah dicetak
Kedatangan saya ke Kampung Wisata Quran ini sebetulnya adalah sebuah kunjungan kerja ke Madina Quran yang kebetulan bernaung juga di group perusahaan yang berlokasi di Jl. Babakan Sari I No. 71, Bandung. Madina Quran ini memiliki keistimewaan dari segi sampulnya yang dibalut dengan kain. Nah, Torch, perusahaan tempat saya bekerjalah yang bekerjasama dengan Madina Quran membuat sebuah Al-Quran bersampul kain yang tak hanya berdesain trendy, tapi juga kuat, dan anti air. Sesuai dengan pilihan material, dan kegunaannya ini, maka produk tersebut diberi nama Quran Travel. Di samping produk kolaborasi dengan Torch, Quran Madina juga memiliki beragam produk Quran dengan sampul dari jenis kain lainnya, mulai dari bahan katun bermotif, jeans, kulit, hingga ukiran kayu. Selain Madina Quran, tempat ini juga berbagi fungsi dengan saudaranya, yakni Syaamil Quran yang dikenal dengan teknologi e-pen.
 
Quran Travel, produk Madina Quran yang sampulnya dibuat oleh Torch
Sebetulnya, untuk rombongan wisata hanya dapat mengikuti tour Kampung Wisata Quran ini hanya pada hari rabu dan kamis. Namun karena kedatangan saya sifatnya partnership visit, dan waktunya jatuh pada hari Jumat, maka saya mendapatkan exclusive tour sendiri yang langsung dipandu oleh Kang Trias, Junior Manager di Madina Quran.

Tour diawali di ruangan tim konten yang desainnya cukup unik. Terdapat sebuah panggung di mana para pegawai tidak bekerja dengan duduk di kursi, tapi lesehan di karpet yang diberi semacam bantal duduk bersandar. Lalu di dinding sekelilingnya, terdapat beberapa quotes positif yang dapat menjadi motivasi pegawai dalam bekerja dan beribadah.
Ruangan tim konten di Kampung Wisata Quran
Beranjak ke ruangan selanjutnya, saya sampai di ruangan display produk yang bersebelahan langsung dengan ruangan admin, dan ruangan tim research & development (R&D), yang kurang lebih sama lah dengan meja R&D di kantor saya, berantakan. Tapi begitulah meja orang kreatif, banyaknya barang di mejanya digunakan untuk mengembangkan ide menjadi sebuah bentuk baru yang disukai pasar. Sementara di ruangan display produk ini, saya dapat langsung melihat beragam Quran bersampul kain kreasi Madina Quran yang hits di pasaran, termasuk salah satunya Quran Travel yang kece. Produk Quran Travel ini terasa sangat khas dengan penggunaan material kain yang biasa digunakan Torch di produk-produk tasnya yang bernama Duralite Nylon. Di sekitarnya, terdapat foto-foto yang menggambarkan bagaimana Quran Travel ini telah menjelajahi berbagai negara di dunia, seperti Malaysia, Turki, hingga Saudi Arabia. Hal ini digambarkan pula dengan dekorasi yang membentuk peta dunia di salah satu dindingnya. Karena dekorasinya ini, spot ini menjadi salah satu spot favorit pengunjung untuk berfoto. 
 
Ruangan display produk dari Madina Quran
Dari display room, saya kemudian diajak oleh Kang Trias untuk turun langsung ke pabrik, dan melihat sendiri bagaimana proses pembuatan Quran dari hulu ke hilir. Mulai dari proses cetaknya, pelipatannya, penyampulannya, hingga proses quality control-nya. Yang menarik di sini adalah bagaimana para pegawainya mengerjakan setiap tugasnya sendiri dengan sangat cepat, namun teliti. Saya rasa dengan cara kerja seperti itu, akan ada ribuan Quran yang bisa dihasilkan di sini setiap harinya. Semua orang begitu fokus menjalankan tugasnya, hingga bel peringatan waktu Salat Jumat tiba. Ketika bel bordering, tak ada satu pun ikhwan yang masih diam di pos mereka untuk bekerja, semua berangkat untuk beribadah.

Saya pun kemudian mengikuti langkah-langkah para karyawan untuk Salat Jumat di masjid yang berada di dalam komplek Kampung Wisata Quran ini. Waktu menuju adzan Dzuhur masih ada sekitar dua puluh menit lagi. Tapi, nampak di dalamnya sudah terisi penuh dua shaf, dan saya pun mengisi shaf yang ketiga. Hal luar biasa yang baru kali ini saya alami adalah semua orang yang hadir di sana mengisi waktunya dengan bertadarus Al-Quran, tanpa terkecuali. Bagi saya sih ini di luar kebiasaan. Sepanjang pengalaman saya jumatan, baru kali ini semua orang yang sudah masuk ke dalam masjid, tampak khusyu beribadah, tanpa terkecuali. Karena biasanya hanya segelintir orang saja yang melakukan hal tersebut. Sementara yang lainnya ada yang masih mengutak-atik HP-nya, ada yang bersenda gurau, dan ada pula yang tertidur pulas. Saya pun merasa malu saat khotbah jumat saat itu membahas mengenai hal tersebut. Dalam salah satu bagian khutbahnya, khotib menyampaikan bahwa “Ia yang menikmati bersama dengan Allah, saat melangkahkan kakinya ke masjid, ia tinggalkan pikiran akan pekerjaannya, ia lepaskan masalah utang yang membelenggunya, ia letakkan gadget-nya, penuh kekhusyuan karena senang dapat bertemu kembali dengan Allah”. Saya yang saat itu sedang memegang gadget (walaupun tidak sedang dibuka), langsung melepaskan benda tersebut ke karpet, dan menyingkirkannya ke sudut dengan penuh rasa malu. Padahal sebetulnya khotib berada di posisi yang tak mungkin melihat saya saat itu. Tapi ya, saya anggap itu sebuah peringatan yang jleb banget yang disampaikan Allah melalui kedatangan saya ke Madina Quran.

Selesai salat jumat, saya pun meneruskan misi utama saya dengan Kang Trias, dan Madina Quran, yang kemudian dilanjut dengan ucapan pamit, tanda kunjungan berfaedah ini berakhir.
Proses cetak mushaf Quran di Kampung Wisata Quran
Kampung Wisata Quran ini sepertinya akan sangat cocok untuk sebuah wisata edukasi masyarakat untuk memaknai betapa rumitnya sebuah proses pembuatan Al-Quran hingga sampai menjadi mushaf-mushaf Quran yang kita baca, atau dipajang di rumah setiap harinya. Jadi saya, kamu, dan kalian ini golongan yang membaca, atau hanya memajang Quran?

Kampung Wisata Quran
Jl. Babakan Sari I No.71, Kiaracondong, Bandung
0813 2323 4333/0812 2041 2173

Setelah melewati puluhan purnama, sebuah ruang publik yang saya rasa sekarang menjadi yang terbesar yang pernah dibangun di Bandung sejak era taman-taman hits pada 2013 lalu diperkenalkan dengan nama Kiara Artha Park. Agak terkejut sebenarnya saat mendengar nama ini, karena semula taman ini direncanakan akan bernama Asia Afrika Park. Belakangan baru saya ketahui alasannya, bahwa Kiara Artha Park ini diteruskan pengembangan, dan pengelolaannya kepada pihak swasta. Kalau sedikit lebih jeli, nama Kiara Artha yang melekat padanya pun merupakan tanda dari sebuah perusahaan yang membiayainya.Walaupun secara konsep, jelas taman ini masih mempertahankan tema Asia Afrikanya. Hal ini dapat terlihat dari keberadaan monumen patung dada lima tokoh pencetus KAA (Konferensi Asia Afrika), serta hadirnya Kampung Korea sebagai tempat wisata bertemakan Asia di salah satu sudutnya.
Suasana di Kampung Korea Bandung menjelang malam hari di Kiara Artha Park
Kampung Korea jelas menjadi hal yang paling ditunggu publik, bahkan sejak saat saya masih bekerja di sebuah media pariwisata beberapa tahun lalu. Entah itu kawan dekat, ataupun followers social media dari akun media tersebut, selalu menanyakan hal itu, “min, Kampung Korea teh ada di mana, udah buka belum?”. Postingan Kang Emil yang saat itu masih menjadi walikota menjadi pemicunya. Akhirnya Kampung Korea pun baru resmi dibuka bahkan saat setelah beliau menjabat sebagai Gubernur. Naluri media person yang masih melekat di diri saya kemudian bergejolak, ketika seorang kawan meng-update existensinya di tempat ini via whatsapp story, yang kemudian memicu saya untuk langsung memacu kendaraan ke TKP. Kendati saya bukan K-Lovers, tapi saya tahu persis, kalau ini akan menjadi vitamin yang bagus untuk mem-boosting visitor blog ini, hehe. :p

Baca juga: Roadshow Festival of Light di Kiara Artha Park Bandung, Salah Pilih Kota!
Suasana di Kampung Korea Bandung
Konsep Kampung Korea ini sebetulnya sama dengan Chinatown Bandung. Hanya saja, yaa …, temanya Korea, mulai dari bangunan, souvenir, photo booth, hingga jajanannya. Walaupun untuk jajanan, ada juga menu western, dan hidangan tradisional Indonesia, seperti mie tek-tek. Namun berbeda dengan Chinatown Bandung yang meluas, area Kampung Korea ini dibuat memanjang ke samping, dengan sebuah kolam di sisi utara. Selain menjual makanan dan souvenir, ada juga booth komunitas yang membuka obrolan tentang berbagai hal tentang Korea, termasuk dari segi Bahasa, dan dari segi wisata. Pada masa pembukaannya ini, masuk ke Kampung Korea tidak berbayar. Entah kalau besok lusa. Tapi sebetulnya suasananya tidak jauh berbeda dengan yang dihadirkan oleh Chingu Café jauh-jauh hari sebelumnya.
 
Area Kuliner di Kampung Korea Bandung
Di luar Kampung Korea, sebetulnya Kiara Artha Park ini cukup menarik untuk dijelajahi. Kampung Korea ini mungkin hanya memakan sekitar 2% luas dari tempat ini. Asal jangan sampai ada terlalu banyak pedagang liar yang masuk ke dalamnya, apalagi kalau sampai ada odong-odong ataupun cosplayer. With all due respect, cukup di Alun-Alun Bandung, dan Alun-Alun Cicendo saja yang begitu. Sayang soalnya, tempatnya udah keren. Berasa di Merlion Park Singapore (padahal belum pernah ke sana) lengkap dengan dancing fountain, tapi tanpa patung singanya. Sebagai gantinya, patung dada Bapak Ali Sastroamidjojo bersama empat sobat founder KAA pun sudah keren, kok. Ditambah sebuah monumen tangan besar yang sedang menjabat, yang saya rasa sangat menggambarkan goals dari KAA. Cuma tetap saja, sepertinya publik kita tuh memang masih harus diedukasi soal cara memberlakukan public monument. Karena saya sendiri menjadi saksi mata dan telinga, bagaimana para orang tua yang membawa anaknya kemari memperbolehkan membawa anaknya teterekelan ke atas monumen, hanya untuk berfoto.
Suasana sore di Kiara Artha Park
Hal menarik lain yang bisa dilakukan pengunjung di sini adalah naik sebuah bus wisata mengelilingi Kiara Artha Park yang sangat luas. Bus wisata ini bukan “Bandros” yang biasa dinaiki untuk keliling pusat kota. Rancangannya lebih ramping, dan tak memiliki pintu dan dinding samping, sehingga wajib hukumnya untuk berhati-hati saat mengajak anak mengendarai bus yang satu ini. Tapi kurang lebih vibe design-nya masih terasa sama lah dengan Bandros. Hanya saja saat bus berjalan, ada petugas yang harus nangkel, dan menghalau jalur agar tetap clean dari pengunjung. Rasanya seperti melihat DAMRI zaman kuliah dulu.
Bus wisata di Kiara Artha Park
Kehadiran Kiara Artha Park ini tentu merupakan sebuah hal positif bagi warga dan wisatawan Bandung. Terlebih, area parkirnya pun luas, tidak seperti taman yang sudah-sudah yang kemudian mendorong keberadaan parkir liar. Saya rasa tempat ini pun bisa menjadi ‘rumah’ untuk banyak event besar di Bandung. Namun hal yang perlu diingat, tentu saja soal pengelolaannya. Jangan sampai seperti public space lainnya di Bandung yang kemudian toiletnya tidak ada air, monumennya rusak, dan coretan di mana-mana. Pengunjung, dan pengelola harus sama-sama merawat.
Salah satu monumen di Kiara Artha Park
Patung dada Ali Sastroamidjojo


Kiara Artha Park
Perempatan Jl. Ibrahim Adjie (Kiara Condong) dan Jl. Terusan Jakarta, Bandung.


Jadwal Dancing Fountain:
Senin-Jumat: 18.30 dan 19.30
Sabtu-Minggu: 18.30, 19.30, dan 20.30


Sebetulnya, secara komposisi, ice cream dan gelato memiliki karakteristik yang berbeda. Kalau ice cream lebih banyak menggunakan krim, dan kuning telur, kalau gelato tak mengandung kuning telur sama sekali, tapi lebih banyak menggunakan susu. Ya, begitu kalau menurut konsep dari keduanya. Namun bagi saya, rasa di lidah tak begitu jauh berbeda, bedanya hanya ada enak, dan nggak enak, serta manis, creamy, atau giung. Tapi secara bentuk fisik, saya cukup bisa membedakan gelato dengan ice cream. Biasanya kalau melihat di kedai gelato, teksturnya tampak lentur, mirip seperti adonan kue. Nah, kalau kuliner yang akan saya ulas ini justru menggabungkan keduanya, istilahnya semi gelato katanya. Ya sudah saya sebut saja ice cream gelato. Nama kedai Ice Cream Gelato ini adalah Scoop & Skoops. Belakangan baru saya tahu kalau ternyata brand ini merupakan ‘anak’ bungsunya Amanda Brownies Group. Pantas saja begitu pertama muncul, tempatnya sudah langsung besar, dengan system operasional yang sudah tertata rapi.
Pilihan rasa ice cream gelato di Scoop & Skoops Bandung
Scoop & Skoops ini pertama kali berdiri di kawasan Ciwastra Bandung yang termahsyur berkat kegersangan dan kemacetan lalu lintasnya. Bagi saya yang orang Bandung, Ciwastra itu merupakan opsi terakhir dari tempat tujuan untuk dikunjungi di Bandung. Kalau tidak urgent, saya malas melintasi jalan tersebut. Maka dari itu, saya baru mencoba Scoop & Skoops ini saat mereka membuka gerai keduanya di Dago yang jauh lebih strategis. Biarkan saja gerai pertamanya di Ciwastra exclusive untuk warga Margahayu dan sekitarnya.

Terdapat 12 pilihan rasa yang ditawarkan setiap harinya di Scoop & Skoops. Beberapa pilihan rasa tersebut akan diganti secara bergilir agar pengunjung tidak bosan. Sudah dua kali terhitung saya berkunjung kemari, komposisi pilihan rasanya memang berbeda. Beberapa rasa standar ice cream seperti coklat, vanilla, strawberry, dan green tea, tentu dapat dijumpai di sini. Namun yang menarik tentu rasa-rasa yang tak umum terdapat dalam ice cream, seperti keju, red velvet, madu, dan charcoal yoghurt. Dari beragam rasa yang disediakan, rasa keju lah yang menjadi favorit saya. Selain rasanya unik, ia juga memiliki semacam parutan keju kering dalam adonannya. Untuk segi rasa pun rasanya tak terlalu manis. Cukuplah. Tidak sampai bikin giung. Tapi saya agak kurang menyukai beberapa rasa yang memiliki taste asam seperti madurasa, charcoal yoghurt, ataupun red velvet.

Untuk penyajiannya, menu-menu ice cream gelato di Scoop & Skoops ini memiliki tiga pilihan penyajian, yaitu cup, cone, dan waffle. Ketiganya pernah saya coba, tapi cone adalah favorit saya, karena rasa ­­cone-nya tidak sekadar menjadi wadah dan pelengkap saja. Rasanya benar-benar enak. Bahkan tetap nikmat bila nyemil cone-nya saja. Untuk cup dan cone, harganya sama, Rp24.000 (tax include) untuk tiga scoop es krim dengan pilihan rasa yang mana saja. Sedangkan untuk penyajian yang di waffle, harga tersebut hanya mendapat dua scoop es krim. Tapi kan scoop yang terakhir diganti dengan waffle.
Ice Cream Gelato Cone di Scoop & Skoops Bandung

Di samping ice cream gelato, Scoop & Skoops juga menghidangkan menu makanan berat dan juga cemilan, seperti French fries, fish & chips, dan nasi ayam geprek. Harganya termasuk cukup murah untuk kelasnya. Namun bagi saya, daya tarik dari tempat ini hanya ice cream gelato-nya. Untuk di Bandung, konsep tempat ice cream ala resto besar seperti ini mungkin baru yang pertama. Kalau dari konsep produk, cara branding, dan antusiasmenya sih, mungkin akan berkembang menjadi salah satu restaurant franchisee besar di Indonesia.
Suasana area indoor di Scoop & Skoops Bandung Dago
Scoop & Skoops 
Jl. Ciwastra No. 184A, Bandung
Jl. Ir. H. Djuanda (Dago) No. 167, Bandung