“Ka Ujung Genteng, yuk!”“Hayu atuh, iraha?”“Ayeuna weh, kela urang nyokot taraje heula.”“Euh..”
Candaan
standar seperti ini lumrah terjadi dalam sebuah perbincangan dengan kawan
kuliah dulu, mengingat jadwal kuliah, bimbingan, dan berorganisasi yang sedang padat-padatnya.
Pada saat rencana tersebut benar-benar diwujudkan, giliran kocek pribadi yang
tak mendukung. Alhasil saya pun menikmati Ujung Genteng dari foto-foto kawan
saya yang diunggah secara masif ke Facebook. Selang hampir sepuluh tahun
setelahnya, barulah saya bisa mengunjungi tempat-tempat yang menjadi latar foto
kawan-kawan saya dulu. Tak tanggung-tanggung, perjalanan saya ke Ujung Genteng
ini pun bisa saya tempuh secara gratisan. Yaa.. tidak benar-benar gratis sih,
tapi harus dibayar oleh keringat dan file.
Kawan saya Kang Dadan tiba-tiba saja mengajak saya traveling dadak ke pantai yang berada di sebelah barat daya Kabupaten
Sukabumi tersebut, untuk mengerjakan sebuah job
foto pre wedding.
|
Salah satu sudut keindahan pagi hari di Pantai Ujung Genteng |
Hanya
berselang waktu dua jam, saya pun sudah berada di depan pintu rumah Kang Dadan
untuk pergi bersama ke lokasi meeting
point di kawasan Cihanjuang, Cimahi. Rupanya, tempat pertemuan kami ini
adalah markas dari sang make up artist calon
mempelai yang juga rekanan dari Kang Dadan yang sesekali ia bantu mengerjakan
dekorasi pernikahan client-nya. Hal
yang paling mengejutkan dari perjalanan ini sebetulnya adalah personil yang
akan berangkat ke lokasi pemotretan pre-wedding.
Masing-masing calon mempelai rupanya membawa anggota keluarganya juga,
sehingga kami pun berangkat dengan dua kendaraan penuh sesak. Katanya sih,
memang kedua keluarga tersebut ingin sekalian berlibur.
Kami berangkat pukul delapan malam. Saya dan Kang Dadan
ditempatkan di kursi paling belakang sebuah mobil berkapasitas sembilan orang.
Bagian kursi belakang mobil tersebut agak besar karena sering digunakan untuk
mengangkut barang-barang keperluan rias pernikahan. Jok yang sebelumnya
menghadap ke arah depan, dibuat menyamping layaknya angkot, sehingga kapasitas
kursi yang asalnya hanya dapat menampung 3 orang, kini dapat menampung 4 orang.
Sampai sekitar Jl. Raya Pelabuhan Ratu, Sukabumi, sebenarnya
rute jalan yang diambil sama dengan saat saya berangkat ke Geopark Ciletuh
bulan Desember 2016 lalu. Perbedaannya bila saat ke Ciletuh dulu saya dan
rombongan mengambil jalan lurus ke arah Pantai Pelabuhan Ratu untuk kemudian
berbelok menyusuri sisi laut. Kali ini sang driver
membawa kami melalui jalur Pedalaman Surade-Jampang Kulon yang mencekam.
Mencekam, karena jalur ini nyaris tak memiliki penerangan jalan dengan jalan
berbatu yang luar biasa aduhai. Hujan gerimis yang turun pada malam tersebut
membuat perjalanan semakin menegangkan. Beberapa kali mobil yang tentunya
dirancang bukan untuk kegiatan offroad ini
kemudian slip ditengah jalan atau sampai tak bisa melaju di tanjakan berbatu
yang licin. Kadang-kadang kami pun harus turun untuk mengurangi beban sekaligus
mendorong mobil agar dapat melalui jalur tersebut.
Sepanjang perjalanan, praktis kami hampir tidak dapat
menikmati istirahat berkualitas di dalam mobil, Hanya anak-anak saja yang
nampak tertidur lelap tanpa merasa terganggu dengan jalanan yang buruk. “Geus kaambe yeuh bau pantai,” sahut
Kang Dadan, “mana?? Mana?? ” keluarga sang penganten yang sejak tadi diam saja
kemudian menimpali dengan tidak sabar. Lautnya sama sekali belum terlihat
karena langit masih gelap dan tak ada penerangan di sepanjang jalan. Namun
jalan yang dilalui mobil sudah terlihat banyak sekali butiran pasir ketika
lampu depan menyorot jalanan.
Situasi perkampungan masih sangat sepi sekali, jam digital
pada smartphone pun masih menunjukkan
angka 4.05, nampaknya penduduk sekitar pun belum ada yang terbangun. Kami dikejutkan
oleh sebuah motor yang dikendarai laki-laki paruh baya melintas tepat di depan
mobil. Ia pun kemudian bertanya, “mau pada ke mana ini kang?”. “Ke pantai,
”jawab driver kami dengan polos. “Iya
ini udah pantai, kalau perlu penginapan bisa saya bantu,” timpal laki-laki
tersebut. Ah ternyata laki-laki tersebut memang punya maksud tertentu, maksud
untuk menawarkan bisnisannya maksudnya. Tapi wajar saja sih bila warga yang
tinggal di sekitar tempat wisata memiliki sebuah usaha yang ditawarkan untuk
pengunjung.
Kami memesan agar diberikan penginapan yang langsung
menghadap ke pantai, karena sesi foto pre-wedding yang akan kami lakukan
semuanya berlatar di pesisir pantai. Wajar sih orang request jauh-jauh foto pre-wedding ke Ujung Genteng, ya karena
ingin foto di pantainya. Akhirnya kami menyewa penginapan ini hanya untuk
setengah hari saja, rencananya setelah mendapat foto sunset nanti, kami akan langsung pulang ke Bandung tanpa bermalam
di Ujung Genteng. Dengan menyewa kamar, setidaknya anggota keluarga calon
pengantin yang tidak ikut sesi foto dapat beristirahat, serta berguna juga
untuk mengganti pakaian kedua calon mempelai.
Dua buah kamar dengan lokasi langsung menghadap ke pantai
berhasil kami dapatkan. Kamar tersebut dilengkapi dengan masing-masing satu
ranjang besar dan satu kamar mandi di dalam. Kami menyewanya hanya dengan
Rp.150.000 saja untuk kedua kamar tersebut selama setengah hari. Harga yang
sangat murah untuk ukuran penginapan lepas pantai, apalagi tanggal saat
kunjungan tersebut termasuk ke dalam peak
season liburan.
|
Pemandangan Pantai Ujung Genteng pada siang hari |
Setelah shalat shubuh bergantian, saya dan Kang Dadan sudah
bersiap dengan peralatan fotografi sederhana yang kami bawa dari Bandung. Kami
berharap bisa mengambil adegan pada saat terjadi transisi dari langit malam ke
langit pagi yang biasa disebut dengan blue hour. Namun nyatanya rencana
hanyalah tinggal rencana, calon pengantin tumbeng,
begitupun dengan sang make-up artist.
Justru anak-anak yang sepanjang perjalanan dapat tidur nyenyak yang kemudian
bersemangat untuk menjelajahi pantai. Kami tadinya sengaja menempatkan waktu
pengambilan gambar pada pagi hari untuk jaga-jaga jikalau hujan melanda siang
atau sore harinya.
Akhirnya kami berdua berinisiatif menggunakan waktu pagi
buta tersebut untuk survey lokasi yang cocok dipakai latar foto pre-wedding. Selain
itu tentu saja kami dapat menyalurkan hobi kami pula dalam menangkap lekuk
keindahan Pantai Ujung Genteng ini. Pantai ini terbilang cukup sepi bila saya
bandingkan dengan kunjungan saya ke Pantai Santolo tahun 2011 lalu, apalagi
bila dibandingkan dengan Pantai Pangandaran yang merupakan pantai terpopuler di
Jawa Barat. Walaupun seumur hidup saya belum pernah ke Pangandaran, tapi Kang
Dadan banyak bercerita tentang bagaimana renyek-nya pantai tersebut pada waktu liburan.
Bicara soal pantai yang sepi, Pantai Palangpang yang saya
kunjungi di Geopark Ciletuh pada Desember lalu sebenarnya jauh lebih sepi dari
Pantai Ujung Genteng. Benar-benar tidak ada rumah penduduk maupun penginapan di
pesisir pantai pada saat itu. Sedangkan Pantai Ujung Genteng sudah cukup
memiliki banyak penginapan yang dapat dipilih oleh pengunjung. Mulai dari
penginapan sederhana seperti yang kami sewa, hingga penginapan mewah yang
sepertinya sangat cocok untuk berbulan madu. Mungkin saya lebih suka menyebutnya
pantai yang damai dibandingkan dengan pantai yang sepi. Saya pikir pantai ini
merupakan pantai yang sangat cocok untuk melakukan short escape. Tak cukup menghabiskan waktu hanya sehari di sini,
bahkan bila tinggal sampai seminggu pun saya rasa saya masih akan betah.
Pasir Pantai Ujung Genteng terbilang cukup bersih, hanya
saja banyak sekali pecahan karang dan cangkang hewan laut bercampur dengan
pasirnya, sehingga sebaiknya tidak berjalan dengan kaki telanjang. Menurut
penduduk setempat, nama Pantai Ujung Genteng sendiri sebenarnya berasal dari
ujung gunting, karena letaknya yang berada di ujung barat daya Pulau Jawa dan
lekuknya yang sedikit mirip gunting. Bila kita berjalan menyusuri pantai ini,
maka kita dapat melihat bahwa Ujung Genteng ini memiliki lekuk yang sangat
besar.
Sejak pukul 5 kami telah duduk di pesisir pantai menunggu
datangnya matahari dari ufuk timur. Namun 20 menit kemudian kami sadar bahwa
sisi pantai tempat kami nongkrong tersebut menghadap ke arah barat. Akhirnya kami memotret suasana apa adanya
saja dari Pantai Ujung Genteng dengan sinar matahari di belakang kepala. Kemudian
terlihat beberapa perahu nelayan mulai merapat ke pantai, dan menjadikan
foto-foto kami kini memiliki objek.
Sedikit keajaiban terjadi pada pagi hari itu, tanpa ada
hujan terlebih dahulu, sebuah pelangi tipis hadir tepat di depan mata menghiasi
langit cerah Pantai Ujung Genteng pagi itu. Tentunya kami berharap langit yang
cerah ini akan bertahan sampai sesi foto pre-weddingnya tiba. Kalau saja sampai
turun hujan cukup deras, sudahlah bubar semua rencana foto di sini. Terlalu
riskan juga bila harus memotret dengan mengorbankan kamera saat hujan, padahal pengantinnya
sih kalau disuruh hujanan mau-mau saja.
|
Pelangi Tipis yang muncul saat pagi kami tiba di Pantai Ujung Genteng |
Kami mencoba berjalan ke arah utara, dan mulai banyak
menemukan penginapan-penginapan mewah berkonsep rumah panggung. Kendaraan roda
empat pun mulai lebih banyak terlihat diparkir di pelatarannya dibandingkan
tempat kami menginap yang didominasi oleh motoris. Saya rasa memang Pantai
Ujung Genteng ini memang lebih cocok dijadikan destinasi wisata bagi yang
menggemari touring menggunakan motor secara beramai-ramai. Karena dengan
mempertimbangkan jarak dan waktu tempuh yang cukup memakan waktu, Ujung Genteng
kurang sesuai dijadikan destinasi wisata keluarga. Mengingat perjalanan kami
menggunakan mobil semalam tadi pun cukup menyiksa.
Sama halnya dengan yang saya temui di kawasan wisata
Geopark Ciletuh, banyak sekali sapi-sapi berkeliaran dengan bebas di pesisir
Pantai Ujung Genteng. Memang secara jarak, kedua pantai tersebut tak terlalu
jauh satu sama lain. Mungkin cukup sekitar 1,5 hingga 2 jam perjalanan untuk
mencapai Pantai Palangpang Geopark Ciletuh dari Ujung Genteng.
|
Seekor sapi yang berkeliaran bebas di Pantai Ujung Genteng |
Kami kembali ke penginapan pukul 8 pagi, namun ternyata
sepasang muda-mudi yang akan menjadi objek foto kita ini belum siap jua.
Barulah pada pukul 9, mereka keluar dari kamar dengan jas, dan gaun formal
lengkap. Efeknya, sengat matahari pun sudah mulai terasa membakar permukaan
kulit. Ditambah, memang cuaca di sini terasa jauh lebih panas dibandingkan
Bandung. Bayangkan saja, hawa udara pukul 9 pagi, sudah terasa seperti pukul 12
siang. Maka dari itu, kedua calon pengantin ini pun menjadi lebih mudah berkeringat,
yang berarti make-up nya akan mudah
luntur juga. Untuk mengantisipasi hal ini, akhirnya teteh make-up artist pun kami ajak juga untuk berpanas-panas ria
siang itu.
Sesi pertama pemotretan berakhir pada pukul 11 siang.
Saya pun mengambil rehat sejenak, sebelum pergi ngebolang sendirian. Sayang sekali kan, sudah jauh-jauh kemari
hanya digunakan untuk duduk-duduk saja. Apalagi, sesi foto berikutnya baru akan
dimulai pukul 4 sore.
|
Salah satu perahu nelayan yang tertambat di Pantai Ujung Genteng
|
Sambil melawan panas, dan sebetulnya serangan kantuk.
Saya pun mulai menyusuri pantai Ujung Genteng ke arah selatan. Cukup banyak kok
objek menarik yang bisa dipotret. Seperti kegiatan sehari-hari warga setempat
yang gemar makan bakso ikan, nelayan yang sedang memancing ikan, atau beberapa
lainnya yang sedang membersihkan perahu. Daya tarik utama dari pantai ini
sebetulnya adalah penangkaran penyunya, namun sejauh saya jalan berkeliling,
saya tak dapat menemukannya. Sedang terik mentari yang semakin lama semakin
kuat, semakin pula melemahkan niat saya untuk terlalu jauh berjalan. Kalau
sampai tidak kuat berjalan di tengah jalan kan nanti bingung juga pulangnya.
|
Tiga nelayan yang terlihat sedang memancing di batas ombak Pantai Ujung Genteng |
Jelang waktu pemotretan sore, cuaca masih cukup aman
untuk mengambil foto hingga kami beranjak pulang ke Bandung pada pukul 7 malam.
Langit biru yang sedari pagi menunjukan wajahnya yang tanpa cela, menjadi
sebuah berkah yang sangat kami syukuri. Yang kami tidak syukuri adalah fee pemotretan foto pre-wedding ini. Si make-up
artist ternyata banyak memangkas komisi untuk kami, sehingga biaya ia minta
dengan biaya satu juta sudah bisa mendapatkan seluruh file foto, dengan
beberapa pilihan foto untuk dicetak besar. Tentu saja kami murka dengan
permintaan tersebut. Karena dengan nominal itu, keringat dan waktu kami yang
terbuang selama dua hari, hanya dihargai tak lebih dari Rp100.000/orang. Sisa
biayanya akan banyak habis untuk menyetak foto. Kami pun akhirnya menolak
memberikan seluruh file foto
pemotretan ini. Kami anggap tindakan kami ini sebagai sebuah bentuk edukasi
kepada masyarakat umum, yang kurang bisa menghargai jerih payah profesi
fotografer. Dikiranya fotografi itu hanya soal menekan tombol shutter saja apa? Memang salah kami awalnya,
seharusnya kami melakukan deal harga terlebih
dahulu di awal sebelum berangkat. Namun sisi positifnya, saya tentunya
bersyukur bisa mendapatkan kesempatan menjelajahi salah satu tempat dalam bucket list saya ini tanpa keluar biaya, dan bisa sekaligus menjajal kamera Canon EOS M3 pinjaman yang
memang sempat menjadi incaran kala itu. Walaupun pada akhirnya, saya kemudian
menjatuhkan pilihan kepada Fujifilm X-M1 sebagai kamera interchangeable lens pertama untuk dimiliki.
|
Senja di Pantai Ujung Genteng |
Perjalanan yang saya alami ke Ujung Genteng tahun 2017 lalu ini merupakan
kali terakhir saya mengerjakan proyek foto pre
wedding, sekaligus pantai terakhir yang saya kunjungi. Bukan tak ingin
melakukannya lagi, tapi memang kini cukup sulit menemukan waktu yang cocok
untuk menekuninya kembali. Mungkin suatu saat akan sangat menyenangkan bila mendapat kesempatan untuk ke tempat ini lagi. Bukan untuk bekerja tentunya, tapi benar-benar liburan.