“Laskar Bandung Lautan Api”
Begitu sebuah tulisan dari sebuah mini bus yang teronggok kusam di pelataran Pasar Ulekan Pagarsih Bandung. Kaca jendelanya nampak sangat berdebu tak terurus, sementara spionnya yang patah dibiarkan menggantung dengan sedikit retakan pada cerminnya. Dari ukurannya terlihat kapasitas bus ini hanya dapat menampung sekitar 20 orang saja. Namun siapa mengira kalau mini bus terbengkalai ini pernah menjadi saksi kejayaan sebuah tim sepakbola bernama Pro Duta FC.
Bangkai Bus Pro Duta FC di Bandung

Mendengar nama Pro Duta FC, saya menjadi teringat pada jaman kuliah dulu saat rajin membeli tabloid Maung Bandung dua minggu sekali. Pada jamannya, tabloid cetak Persib Bandung memang banyak bermunculan sampai akhirnya mati tergilas media online. Selain Maung Bandung, sempat juga beredar tabloid sejenis dengan nama “Bobotoh” serta “Persib +” yang tak hanya memberitakan tentang Persib Bandung saja, namun juga memberitakan tentang pernak-pernik Sepak Bola di Bandung. Salah satunya materi pemberitaannya adalah Pro Duta FC.

Pro Duta FC, klub sepak bola kelas gurem yang sempat populer pada periode tahun 2005-2009. Berkat sentuhan tangan pelatih yang juga legenda hidup Persib Bandung Robby Darwis. Pro Duta FC perlahan menanjak dari Liga Amatir internal Persib menuju Divisi 3 Liga Indonesia hingga pernah mencicipi laga bersama saudara tuanya Persikab Kabupaten Bandung di Divisi Utama Liga Indonesia.

Sepeninggal sang pelatih yang kembali ke tim Maung Bandung sebagai asisten pelatih dari pelatih kepala Jaya Hartono kala itu membuat pamor dan performa tim Pro Duta FC semakin menurun, hingga akhirnya kepemilikannya harus berganti dan terdepak dari Bumi Priangan. Kota pelajar Yogyakarta sempat menjadi persinggahan klub ini, sampai akhirnya kini menetap dan Berjaya di Medan.

Kini julukan “Laskar Bandung Lautan Api” tentunya sudah tak disandang Pro Duta FC dengan kandangnya yang sudah berganti ke tanah Sumatra. Sesosok kuda bersayap dari negeri fantasi kini melekat pada lambang di dadanya yang menjadikannya tim berjuluk “Kuda Pegasus”. Dihentikannya kompetisi PSSI pada tahun 2015 lalu sempat membuat tim yang satu ini belum dapat menunjukkan taringnya kembali di kancah persepakbolaan Indonesia. Kita lihat saja bagaimana kini aksi mereka di kompetisi divisi utama 2017 yang telah berganti nama menjadi Liga 2. Semoga saja tahun berikutnya dapat naik ke Liga 1 dan berhadapan dengan Persib Bandung.
                                                                                                       
Rengganis, dikenal sebagai nama jenis burung bersuara sangat merdu dan memiliki harga yang mahal. Rengganis juga merupakan nama yang kini disematkan pada sebuah kawah yang terletak di Kampung Cibuni, Ciwidey Bandung. Memang, nama Dewi Rengganis muncul sebagai tokoh utama dalam legenda Situ Patengan yang lokasinya tak jauh dari kawah tersebut. Namun nama Dewi Rengganis tak hanya memiiki sebuah cerita bagi warga Ciwidey saja, karena nama ini juga muncul dalam sebuah cerita rakyat yang berkembang di daerah Pangandaran serta jauh ke sebelah timur pulau Jawa, tepatnya di kawasan Gunung Argapura.

Kawah Rengganis

“Kirain nama Rengganis cuma ada di Jawa ajaa”, sahut Manda mengomentari foto kawah Rengganis yang saya unggah melalui akun instagram yang saya miliki. Kawan saya yang satu ini memang berasal dari Jawa Timur, di mana cerita tentang Dewi Rengganis cukup lekat dengan masyarakat di sana. 

Dikisahkan bahwa Dewi Rengganis merupakan putri cantik jelita dari Raja Brawijaya V yang merupakan raja terakhir dari Kerajaan Majapahit. Dewi Rengganis lahir dari rahim salah satu selir sang raja, sehingga kedudukannya di kerajaan tidak diakui. Namun versi lain juga menyatakan bahwa selain karena merupakan anak dari selir sang raja, Dewi Rengganis juga diasingkan oleh keluarga kerajaan karena pada saat lahir diketahui berkelamin dua. Hingga pada saat diasingkan di Gunung Argapura, kelamin satunya dibuang menggunakan ilalang oleh seorang kyai yang menemukannya. Setelah menjadi wanita seutuhnya, Dewi Rengganis membangun sebuah kerajaan di puncak Gunung Argapura. 

Sampai sekarang bekas reruntuhan dari kerajaan yang dibangun Dewi Rengganis dapat ditemukan di Puncak Gunung Argapura. Bahkan salah satu dari tiga puncak di Gunung Argapura dinamakan Puncak Rengganis. Salah satu kisahnya menyebutkan bahwa pada suatu hari Dewi Rengganis diketemukan hilang dari kerajaan yang telah dibangunnya untuk menjadi pengikut Nyi Roro Kidul. Beberapa foto yang saya temukan saat Situbondo menggelar pawai budayanya memang menggambarkan Dewi Rengganis memiliki gaya yang mirip dengan Nyi Roro Kidul, hanya saja pakaian yang dikenakannya berwarna merah sambil memegang sebuah trisula dan payung emas. Tak hanya itu, setiap malam satu suro, masih ada warga salah satu desa yang naik ke puncak Rengganis untuk melakukan ritual persembahan.

Ilustrasi Dewi Rengganis dalam pawai budaya di jawa Timur

Source foto : https://argopurojatim.blogspot.co.id/2016/08/legenda-dewi-rengganis.html

Menarik memang bila ternyata Dewi Rengganis yang mendirikan kerajaan di Gunung Argapura Jawa Timur dikaitkan dengan sosok Nyi Roro Kidul dari pantai selatan Jawa Barat, yaitu Pantai Pangandaran. Di Pangandaran pun nyatanya memang ada sebuah tempat wisata yang dinamakan Goa Rengganis. Konon katanya di Goa Rengganis inilah tempat yang dijadikan pemandian oleh Dewi Rengganis. Namun, lain dengan di Gunung Argapura, Pangandaran punya kisah tersendiri tentang Dewi Rengganis yang memiliki kaitan erat dengan kesenian tari Ronggeng Gunung.

Dalam kisah Dewi Rengganis di Pangandaran, ia merupakan putri ke-38 Prabu Siliwangi yang menikah dengan putra Prabu Haur Kuning dari kerajaan Galuh yaitu Pangeran Anggalarang. Awalnya Dewi Rengganis dikenal bernama Dewi Siti Samoja. Ia mengganti namanya menjadi Dewi Rengganis ketika ia mencoba menyamar menjadi seorang penari Ronggeng Gunung demi membalaskan dendam suaminya yang tewas oleh seorang perompak bernama Kalasamudra. Tarian Ronggeng Gunung memang diperagakan dengan menutup wajahnya dengan sarung untuk memancing musuh. Di saat target mendekat dan ikut menari, tanpa sadar sebilah pisau belati akan siap menghabisi nyawanya.

Saya juga sempat menemukan beberapa tulisan dari versi lain yang menyebutkan bahwa Dewi Rengganis yang berada di Pangandaran merupakan sosok Dewi Rengganis  yang sebelumnya merupakan putri yang mendirikan kerajaan di atas Gunung Argapura. Jadi ia meninggalkan kerajaannya bukan untuk menjadi pengikut Nyi Roro Kidul tapi karena menikah dengan seorang Pangeran Galuh di Pangandaran. 

Lalu bagaimana dengan kisah Dewi Rengganis di Ciwidey Bandung? Andri, seorang kawan yang cukup banyak tahu tentang Situ Patengan memaparkan sepenggal kisah dalam kunjungan kami Desember lalu ke tempat wisata terpopuler di Bandung Selatan tersebut. Sebaliknya dari cerita dua tempat sebelumnya yang menceritakan sosok Dewi Rengganis sebagai sosok seorang putri, dalam Legenda Situ Patengan Dewi Rengganis diceritakan sebagai seorang gadis cantik jelita yang berasal dari kalangan rakyat jelata. Selain itu ada juga versi yang mengatakan bahwa Dewi Rengganis ini adalah titisan seorang dewi yang menjelma dalam rupa manusia biasa. Ia kemudian jatuh cinta kepada Kian Santang yang merupakan putra dari Prabu Siliwangi. 

Setelah menikah, Kian Santang harus pergi meninggalkan Dewi Rengganis ke medan perang untuk membela Kerajaan Siliwangi yang tengah diserang lawan. Mereka berdua berjanji untuk mempertahankan cintanya walau harus terpisah jauh. Waktu terus bergulir, namun Kian Santang belum kembali juga. Akhirnya Dewi Rengganis bertapa untuk mencari petunjuk mengenai kabar suaminya. Mungkin adegan ini kalau dalam istilah bahasa Sundanya itu adalah pasalingsingan, saat Kian Santang pulang ke rumah, ia pun tak dapat menemukan Dewi Rengganis yang sedang bertapa mencari petunjuk keberadaannya. Ia pun pergi menyusul ke tempat pertapaan istrinya setelah mendapat informasi dari orang kepercayaannya. Namun saat ia tiba di tempat pertapaan istrinya, istrinya rupanya sudah bergerak pulang ke rumah karena telah mendapat kabar bahwa Kian Santang telah pulang dari peperangan. Akhirnya mereka berdua saling mencari keberadaan satu sama lain atau dalam bahasa Sunda disebut pateang-teangan. Setelah mereka sekian lama silih teangan, akhirnya mereka dapat bertemu di sebuah tempat yang kini dinamakan dengan Batu Cinta. Sebuah pulau yang terletak di tengah-tengah lokasi Situ Patengan sekarang. Air mata bahagia dari Dewi Rengganis saat bertemu sang suami mengalir deras hingga mengalir membentuk sebuah danau yang kini dikenal bernama Situ Patengan. Nama Patengan diambil dari kejadian dimana mereka pateang-teangan. Untung saja namanya bukan jadi Situ Pasalingsingan, terdengar lucu rasanya kalau namanya begitu.

Situ Patengan

Dewi Rengganis di Patengan menikah dengan seorang putra dari Prabu Siliwangi, namun bukankah Dewi Rengganis yang menjadi ronggeng di Pangandaran pun merupakan putri dari Prabu Siliwangi? Apakah mereka ternyata berhubungan sebagai saudara ipar, atau malah orang yang sama pula. Setidaknya ada satu pelajaran yang dapat diambil dari kisah Dewi Rengganis di Situ Patengan, yakni tidaklah mudah membina hubungan jarak jauh saat BBM dan Whatsapp belum ditemukan seperti sekarang ini.

Selain 3 kisah tadi, Dewi Rengganis pun diceritakan dalam sebuah kisah pewayangan. Dari latar cerita tempatnya, dapat disimpulkan bahwa kisah tersebut merupakan pengembangan cerita dari kisah Dewi Rengganis dari Gunung Argapura.

Terlepas dari kesamaan tokoh yang menggunakan nama Dewi Rengganis pada cerita di berbagai tempat. Entah mereka saling berkaitan atau tidak, atau ternyata orangnya itu-itu juga, perlu diingat bahwa kisah ini merupakan cerita rakyat yang turun-temurun di tempatnya masing-masing. Memang kisah yang muncul dalam beragam versi ini akan sulit diketemukan garis cerita resminya, karena kadang ada saja bumbu yang ditambahkan untuk memperkaya isi cerita demi menarik minat wisatawan untuk berkunjung. Namun ada satu hal yang saya dapat dari nama Dewi Rengganis. Nama Rengganis disematkan pada sang putri karena ia tumbuh cantik jelita karena dibesarkan dari sari sejuta bunga.