Gunung Nini di Perkebunan Teh Malabar, Pangalengan |
Sebuah plank bertuliskan “selamat datang di kawasan Pabrik
Teh Orthodoks PTPN VIII” berhasil melempar ingatan saya ke masa empat tahun
yang lalu. Saat itu saya sedang berjuang melalui satu per satu tes dari
perusahaan berlabel BUMN tersebut. Siapa sih fresh graduate yang nggak
kesengsem menjadi karyawan BUMN? Setidaknya itu pikiran saya dulu. Gaji besar
dan raut bahagia orang tua jadi impian. Tak berapa lama keluar seorang lelaki
dari sebuah ruangan, yang mungkin umurnya sama ataupun tidak lebih tua dari
saya dengan menggunakan jaket agak tebal. Wajar saja, suhu Pangalengan hari itu
cukup membuat pundak dan leher bergidik. Hari yang diwarnai hujan hampir
sepanjang hari tersebut saya habiskan untuk menyusuri jejak seorang Belanda
yang lama tinggal di area perkebunan teh Malabar bernama Karel Albert Rudolf Bosscha.
Di Pabrik Orthodoks inilah salah satu tempat di mana ia pernah meninggalkan
jejak sebagai administratur perkebunan selama 32 tahun. Namanya bertengger di
urutan pertama pada sebuah papan daftar administratur yang pernah menjabat di
Perkebunan Malabar.
Kunjungan ke Pabrik Teh Orthodoks Perkebunan Teh Malabar |
Dalam perjalanan susur jejak Bosscha ini saya tidak
sendirian. Saya ditemani juga beberapa kawan lainnya yang memang berpartisipasi
dalam sebuah tour yang diadakan oleh Mooi Bandoeng. Setelah melalui sedikit
ucapan perkenalan dari lelaki yang merupakan pemandu kami di pabrik ini, kami
pun diajak untuk memasuki ruangan produksi dengan aroma teh yang sangat
menyengat. Sayangnya kami tidak diperkenankan untuk mengambil gambar dengan
kamera. Aktivitas produksi di Pabrik Teh Orthodoks terlihat sangat padat, para
pekerja pabrik pun nampak hampir tak memiliki jeda untuk berleha-leha. Kemudian
kami sampai di ruang tester dengan beberapa sofa tersedia di salah satu pojok.
Sepertinya ruangan ini memang sering digunakan untuk menerima tamu.
Produk yang menjadi fokus dan andalan dari Pabrik Teh
Orthodoks ini rupanya adalah teh hitam. Kami pun berkesempatan mencicipi hasil
produksinya langsung, serta membeli beberapa produk teh untuk dibawa pulang
sebagai souvenir. Goalpara dan Gunung Mas merupakan dua buah merek yang
diproduksi pabrik ini. Saya pun tak asing saat mendengar dua nama tersebut.
Sebuah makalah analisa pasar tentang dua merek tersebut pernah saya buat pada
perkuliahan Manajemen Pemasaran Lanjutan, semester 5. Kedua merek tersebut
dipasarkan di pasar lokal dengan harga cukup murah, Rp.7.000 untuk Teh Goalpara
dan Rp. 10.000 untuk Teh Gunung Mas.
Setelah mendengarkan penjelasan mengenai berbagai macam hal
mengenai teh. Kami pun beranjak ke arah Gunung Nini. Walaupun namanya gunung,
tapi ketinggiannya hanya setingkat dengan bukit. Konon katanya, Bosscha
meninggal karena terjatuh dari kuda saat akan menuju ke Gunung Nini. Perjalanan
kami hari itu pun memang dalam rangka memperingati hari meninggalnya juragan
perkebunan yang semasa hidupnya sering dipanggil dengan sebutan Ru tersebut.
Sebelum mengunjungi Pabrik Teh Orthodoks, kami sempat berziarah ke makamnya
yang rancangan arsitekturnya sangat unik dan bergaya Eropa. Selain ke makamnya,
kami juga berkesempatan mengunjungi rumah yang ditinggalinya dulu dan menjadi
titik yang paling ramai dikunjungi oleh wisatawan. Beberapa ruangan di rumah
ini rupanya telah disulap menjadi sebuah kamar yang dapat disewa pengunjung
dengan tipe yang hampir setara kamar president suite hotel-hotel berbintang. Sementara
itu, beberapa wisma dibangun di sekeliling rumah khusus untuk yang ingin
sedikit berhemat ataupun untuk yang merasa takut untuk langsung tidur di
ruangan kamar dalam rumah. Kami juga sempat menggunakan meeting room di sini
untuk makan siang sambil menyaksikan pemandangan Gunung Nini dari balik
jendela. Terlihat dekat di mata, namun cukup jauh ternyata.
Kunjungan Ke Makam Bosscha |
Curam, sempit, licin dan berkabut, begitulah gambaran jalur
menuju Gunung Nini. Tak heran mengapa Bosscha sampai celaka di sini, itu yang
ada dalam pikiran saya. Kami sendiri melakukan perjalanan ini dengan sebuah
kendaraan elf dengan kapasitas lumayan besar, sehingga saat kendaraan kami
mulai naik ke tanjakan super terjal, rasanya jantung seperti hendak melompat
dari rongga dada. Tak lama, samar-samar dari balik kabut terlihat sebuah gazebo
yang menjadi ciri khas puncak Gunung Nini. Kami pun bergegas menuju gazebo
tersebut, karena langit Pangalengan mulai menurunkan tetes demi tetes
saripatinya. Di dalam gazebo kami berbagi ruang dengan beberapa orang yang
sedang menghangatkan diri dengan memasak sesuatu dengan kompor portable. Kami
pun tak kalah sigap, Agus, seorang kawan yang saya duga merupakan seorang time traveler, sudah langsung menawarkan
minuman hangat kepada para peserta tour dalam beberapa detik saja.
Gunung Nini memiliki ketinggian sekitar 1.616 mdpl. Saat
selimut kabut perlahan mulai tersingkap, beberapa lanskap yang cukup ikonik
mulai tampak wujudnya. Salah satunya adalah Situ Cileunca. Danau yang menjadi
salah satu primadona pariwisata Bandung Selatan ini cukup jelas terlihat
bentuknya. Sementara itu, Gunung Tangkuban Perahu dan Gunung Burangrang yang
ratusan kilometer jauhnya di sebelah utara itu rupanya dapat terlihat juga dari
tempat ini. Selain tiga nama lokasi wisata tersebut, perkebunan teh Pangalengan
dengan motif garis-garis bergelombangnya yang unik mendominasi pemandangan dari
Gunung Nini.
Pemandangan Situ Cilenca Yang Terlihat Dari Gunung Nini |
Saat kami asyik berbincang mengenai pengalaman menarik sepanjang
hari ini, “rekan berbagi ruang” kami di gazebo pamit pulang duluan. Saat
ditanya mengenai daerah asal, rupanya mereka merupakan warga sekitar
Pangalengan. Lucunya, ketika diajak ngobrol dalam bahasa Sunda, mereka tak
menjawab, makanya kami sempat mengira mereka berasal dari luar daerah priangan.
Padahal di awal perjalanan, Bang Ridwan yang menjadi pemateri tour ini sempat
bercerita mengenai Bosscha yang sangat piawai berbahasa Sunda. Bahkan Bahasa
Sunda yang diucapkannya termasuk sangat lancar dan halus. Seharusnya mereka
yang warga lokal zaman now tidak kalah dengan semangat Bosscha dalam ngamumule budaya Sunda.
Satu jam menjelang Adzan Maghrib, kami memutuskan untuk
segera berkemas dan menutup perjalanan kami sampai di Gunung Nini. Selain itu,
Erna yang merupakan peserta tour yang berasal dari Cicalengka harus mengejar
jadwal keberangkatan kereta api dari Stasiun Bandung. Banyak hal yang saya
dapatkan dari trip kali ini untuk mengenal sosok seorang Karel Albert Rudolf
Bosscha dari jasanya terhadap Bandung dan Bumi Priangan. Kalau dulu saya hanya
mengenal Bosscha hanya dari tempat peneropongan bintang di Lembang, kini saya
tahu bahwa orang ini lebih besar dari itu. Maka dari itu, sampai sekarang
Bosscha menjadi salah seorang Belanda yang dikenang jasanya. Saat perkampungan
masih gelap gulita, ia buat listrik menerangi setiap rumah. Saat pendidikan
belum menyentuh masyarakat, ia bangun sebuah sekolah di tengah perkebunan
Malabar. Dan lewat tangan dinginnya,
perkebunan Teh Malabar yang dirintisnya kini memproduksi salah satu
komoditas ekspor terbaik di Jawa Barat.
Para Peserta Trip di Rumah Bosscha |