Sejak menonton trilogy Back to The Future di program Layar Emas RCTI sekitar dua dekade silam, saya mulai ketagihan nonton film-film sci-fi bertema time traveling. Sebut saja About Time, Time Traveller’s Wife, Looper, dan Predestination. Alasannya, film-film seperti ini kerap memiliki alur cerita yang sangat liar, dan tidak tertebak, bahkan beberapa di antaranya cukup mind blowing. Tak usahlah bicara film-film Hollywood nan jauh di sana, di Indonesia sendiri, sinetron Lorong Waktu besutan Deddy Mizwar saja bisa sangat digemari, hingga bertahun-tahun rutin tayang setiap Ramadan datang. Lalu yang terbaru, ada Tunnel, film seri yang baru saja saya temukan di layanan streaming GoPlay beberapa hari lalu. 

 

Poster publikasi Tunnel tampak sangat menjanjikan dengan memajang foto Donny Alamsyah sebagai pemeran utama, ditambah dengan penempatannya yang berada di deretan rekomendasi paling atas. Mumpung durasi berlangganan GoPlay saya masih empat hari lagi, langsung saja saya hantam serial 16 episode ini. Padahal asal mula saya berlangganan aplikasi keluaran GoJek ini karena hanya ingin menonton Pretty Boys saja.

 

Sebetulnya, serial Tunnel ini diadaptasi dari sebuah serial Korea berjudul sama. Tak pernah sebelumnya saya mendengarnya, apalagi menontonnya. Jadi, entah berapa besar persentase kesamaan ceritanya, saya tak tahu, dan tak mau ambil pusing. Yang pasti, saya yakin tokoh utama serial originalnya di Negeri Ginseng sana, tidak akan berbicara dengan logat batak yang kental, seperti yang dilakukan Donny yang berperan sebagai Tigor Sintong Siregar di versi Indonesianya ini.

 

Untuk latarnya sendiri, Tunnel Indonesia mengambil lokasi pengambilan gambar 100% di Yogyakarta. Pilihan ini terasa cukup unik juga sih, karena film aksi polisi beraroma suspend-mystery kan biasanya mengambil tempat di Jakarta yang padat. Tapi mungkin, selain memang sedikit disinggungkan dengan benang merah cerita, alasannya untuk lebih menonjolkan sisi budaya Jawa yang kental. Ya.. sepertinya pihak rumah produksi ingin mempertegas “rasa” pada edisi Indonesianya. Maka dari itulah, walaupun di tanah Jawa, pemeran utamanya pun dibuat berlogat Batak, dan ada juga karakter pendukung lainnya yang berasal dari Indonesia Timur.

 

Dalam serial ini, untuk pertama kalinya saya melihat Donny Alamsyah mendapatkan screen time sangat banyak, hingga karakter Tigor yang diperankannya dengan baik tersebut bisa sangat menempel di kepala, bahkan setelah saya menamatkan keseluruhan episodenya. Mulai dari cara berbicaranya, hingga ke kata-kata yang sering diucapkannya. Di samping Donny, saya sebetulnya hanya mengenal Putri Ayudya, dan Verdi Soelaeman yang juga banyak bermain di film-film besar. Selain ketiganya, pemain lainnya yang sebenarnya memerankan tokoh cukup sentral seperti Andri Mashadi, dan Hana Malasan, baru saya ketahui di film ini. Padahal, Hana Malasan memiliki portofolio cukup mentereng di sitcom OK-Jek yang pernah tayang di NET TV. Ya, tapi sayangnya, memang saya sudah jarang sekali nonton program televisi, selain dengan pertandingan Persib Bandung.

 

Tunnel mengisahkan seorang anggota kepolisian bernama Tigor yang menyelidiki kasus pembunuhan berantai di Yogyakarta. Dalam sebuah aktivitas penyelidikannya di tempat kejadian perkara yang merupakan sebuah terowongan buntu, ia berkonfrontasi dengan seseorang yang diduga sebagai pelaku pembununah tersebut, dan entah bagaimana caranya terlempar ke masa 30 tahun yang akan datang, yaitu tahun 2020. Pada tahun tersebut, ia menemukan fakta bahwa kasus yang ditanganinya dulu, belum terselesaikan hingga berpuluh-puluh tahun yang akan datang. Berbekal data penyelidikannya dari tahun 1990, ia kemudian meneruskan untuk menemukan pelaku yang dicari bersama rekan lamanya di kepolisian yang ia temui di masa depan.

 

Untuk ukuran film aksi berbalut misteri dengan bumbu penjelajahan waktu, film ini masih terasa relatable dengan kondisi di Indonesia. Padahal film-film bertipe seperti ini masih dapat dihitung jari, dan terkadang masih lebih sering terasa berjarak dengan kehidupan masyarakat lokal. Hubungan sebab-akibat antara masa lalu-masa depan yang disisipkan ke dalam cerita pun masuk akal. Sama seperti ketika saya pertama kali dibuat terkagum-kagum oleh cerita Back to The Future.

 

Menonton film ini memunculkan juga rasa yang sama seperti nonton web series “Sore” karya Yandy Laurens. Serasa membuat perjalanan waktu menjadi mungkin dan masuk akal.


Baca juga: Yandy Laurens Dan Roman Fantasi Yang Dibalut Dialog Hati


Tak lupa, sisi suspend yang dibangun oleh sang sutradara pun cukup berhasil membangkitkan ketegangan. Saya sendiri saat menonton episode serial ini malam-malam dengan menggunakan headset, spontan menunda watch time saya ke pagi hari, ketika adegan suspend-nya mulai masuk. Karena takut ada jump scare-nya bro. Padahal sih nggak ada tuh adegan macam itu. Tapi tegangnya tetep puoll.

 

Tema penjelajahan waktu sudah tentu bersifat fiktif. Namun sebetulnya, saya rasa tema ini cukup dekat dengan pikiran manusia. Karena tak jarang benak kita berandai-andai untuk dapat pergi menjelajah waktu. Baik untuk memperbaiki kesalahan, ataupun memuaskan imajinasi akan masa depan.

 

Karena belum pernah menyaksikan serial original dari Koreanya, serial Tunnel Indonesia jelas sangat berkesan bagi saya. Namun entah bagi yang sudah terlebih dahulu tahu cerita aslinya. Kalaupun misal sama persis alur ceritanya, bagi saya penyajian serial versi Indonesia ini sangat baik. Mengingatkan saya dengan kualitas Sinetron Dunia Tanpa Koma yang dibintangi Dian Sastro pada 2006 silam. Keduanya pun memiliki tema yang tak berbeda jauh. Seandainya saja standar film seri Indonesia dapat seperti keduanya, bukan tidak mungkin dunia pertelevisian Indonesia bisa bangkit. Kalau masih seperti kondisi sekarang ini, jangan heran bila aplikasi layanan streaming online, menjadi solusi hiburan visual masa depan.



Baca juga: Kritik Budaya Patriarki Lewat Komedi Kocak Ala Saiyo Sakato

Baru minggu lalu saya menonton film dengan latar belakang cerita usaha Rumah Makan Padang lewat “Tabula Rasa”. Lalu minggu ini, saya menjumpai cerita berlatar sejenis lewat serial yang tayang terbatas di layanan streaming GoPlay, yakni “Saiyo Sakato”. Tabula Rasa sendiri sebetulnya film yang sudah tayang tujuh tahun silam. Raihan empat Piala Citra pada ajang FFI (Festival Film Indonesia) 2014, tentu menjadi daya tarik lebih saat film ini mulai terpajang di menu Netflix.

 

Kedua judul ini memiliki nuansa dan karakter yang bagi saya luar biasa sangat mirip. Walaupun, dari segi cerita tentu berbeda jauh. Tapi dengan menonton keduanya, saya jadi dapat membayangkan kehidupan keluarga yang menjalankan usaha Rumah Makan Padang yang jauh dari kampuang halamannya. Mereka sungguh teliti soal rasa, dan begitu disiplin menjaga warisan budayanya. Di samping itu, saya pun menjadi mengenal lebih banyak masakan Padang selain Rendang, Daging Cincang, Ayam Pop, dan Talua Dadar, yang biasa menjadi template menu yang saya pilih saat menyantap Nasi Padang. Karena banyak visual adegan memasak, keduanya pun dijamin dapat membuat penontonnya ngidam masakan Padang usai menyaksikannya. 

 

Tabula Rasa dan Saiyo Sakato sebetulnya sama-sama menggambarkan kehidupan orang awak secara nyata, dan sederhana di perantauan. Keduanya pun memiliki bumbu konflik antar saudara dalam menjalankan bisnis rumah makan. Namun di samping bercerita soal rasa, dan usaha, Saiyo Sakato mencoba juga mengirimkan kritik atas budaya patriarki yang secara gamblang disampaikannya dalam setiap lembaran episodenya.

 

Alkisah diceritakan di awal cerita, Uda Zul yang merupakan pemilik Rumah Makan Padang Saiyo Sakato yang diperankan oleh Lukman Sardi meninggal dunia karena serangan jantung, dan mewariskan bisnisnya ini kepada istrinya Uni Mar yang diperankan oleh Cut Mini Theo. Hmm..oke, mungkin ada yang merasa pernah mendengar cerita ini? Yak, cerita Lukman Sardi sebagai suami, dan ayah yang meninggal di awal film yang meninggalkan Cut Mini yang berperan sebagai istri ini persis seperti awal cerita film “Orang Kaya Baru” besutan Ody C. Harahap yang tayang tahun 2019 lalu. Di dalam kedua film tersebut, praktis Lukman Sardi hanya tampil seiprit di awal, dan di hanya beberapa adegan flash back saja. Lalu sisanya ia tetap menjadi tokoh sentral yang terus disebut sepanjang film. Enak bener nih Om Lukman. :D

 

Tak lama setelah kepergian Uda Zul, Uni Mar yang tinggal dengan anak-anak, serta adik iparnya, kedatangan seorang perempuan muda bernama Nita yang mengaku telah diperistri juga oleh Uda Zul delapan tahun silam. Pernikahannya tersebut telah melahirkan seorang anak yang diberi nama Budi. Ternyata, Uda Zul terungkap telah berpoligami tanpa izin Uni Mar sebagai istri pertama. Adegan inilah yang memulai rangkaian pesan soal sisi negatif budaya patriarki di Indonesia yang disisipkan dengan begitu smooth ke dalam cerita seri sepuluh episode Saiyo Sakato.

 

Di samping soal Uda Zul yang berpoligami dengan berbohong kepada kedua istrinya, kritik mengenai patriarki juga disampaikan Sutradara Gina S. Noer melalui cerita kedua anak Uni Mar yang juga terkena dampaknya. Annisa yang merupakan anak sulung di keluarga, selalu terhalang keinginannya untuk menjadi penerus Saiyo Sakato karena posisinya sebagai perempuan. Di hampir setiap episodenya, ada saja adegan di mana Annisa dinasihati untuk segera mencari calon suami, dan menikah. Dalam salah satu adegan flash back, Uda Zul bahkan terang-terangan menyuruh Annisa untuk menikah, agar suaminya yang dapat menjadi penerus Saiyo Sakato. Kursi panas kepemilikan Saiyo Sakato yang tak dapat diteruskan Annisa akhirnya bergulir ke adik lelakinya Zaenal, yang justru sama sekali tidak menginginkannya. Alasan satu-satunya Zaenal dipilih oleh Uni Mar untuk meneruskan usaha keluarga, adalah hanya karena dia keturunan laki-laki satu-satunya dari Uda Zul. Di berbagai kesempatan, Uni Mar pun seringkali meremehkan kemampuan Annisa, dan ujung-ujungnya selalu meminta Annisa agar cepat menemukan pendamping.

 

Walaupun kental dengan kritik tentang budaya patriarki, Saiyo Sakato menyampaikannya secara ringan, santai, penuh dengan komedi kocak. Selain itu, dialog, serta pembawaan Cut Mini, dan juga Nirina Zubir yang memerankan Nita juga membuat konflik yang terjadi antara keduanya justru menjadi terasa lucu, ketimbang menegangkan. Tapi tentunya, tetap ada adegan-adegan menyentuh dari keduanya yang merupakan curhatan sedu istri-istri yang terluka. Saya rasa akting keduanya tak pernah mengecewakan. Apalagi salah satunya merupakan aktris langganan Piala Citra. Sejak Laskar Pelangi, hingga Dua Garis Biru tahun lalu, Cut Mini selalu menampilkan yang terbaik.

 

Kesimpulannya, Saiyo Sakato merupakan film seri yang enjoyable, dan akan disukai oleh penggemar tontonan yang menyajikan kesederhanaan hidup sehari-hari. Bagi yang menyukai Bajaj Bajuri, Suami-Suami Takut Istri, Get Married, dan Preman Pensiun, mungkin akan menyukai juga menonton Saiyo Sakato. Hal menarik lainnya juga hadir dari sisi penyajian teknik pengambilan adegan break the fourth wall (ala-ala Deadpool, di mana aktor berperan sekaligus menjadi narator yang bercerita ke kamera langsung, seolah-olah sedang berbicara dengan penonton). 

 

Penasaran kelanjutan ceritanya? Sila dapat mengunduh dulu layanan streaming GoPlay di smartphone-nya. Tarifnya tak menguras saldo kok. Untuk menonton kesepuluh episode Saiyo Sakato, saya cukup membayar paket hemat berlangganan satu minggu saja seharga Rp29.000. Yang pasti tulisan ini bukan endorse, tapi kalau pihak GoPlay ada sebuah niatan, tentu hamba tak menolak. Sila hubungi nomor telepon atau e-mail yang tertera di bio profile blog ini. :D

Baca juga: Tunnel, Serial Indonesia Adaptasi Korea Bertemakan Time Travel Yang Wajib Ditonton!