“Liefde Is Bliend” artinya
cinta itu buta, entah sudah berapa banyak film dan buku yang mengambil tema
tersebut. Demi cinta, Romeo bahkan berani menenggak racun karena ingin menyusul
Juliet yang berpura-pura mati demi dirinya. Tak perlu jauh-jauh datang ke
Verona untuk menelusuri kisah cinta buta yang melegenda itu, karena Bandung pun
memiliki kisah cinta yang serupa, bahkan pernah hadir secara nyata. Kisah
tersebut terangkum dalam novel berjudul “Rasia Bandoeng” yang terkubur 100
tahun lamanya.
Rasia Bandoeng menceritakan kisah seorang Hilda Tan, gadis
belia putri kesayangan pengusaha kaya yang tersohor di Kota Bandung yaitu Tan
Djia Goan. Pada usianya yang menginjak masa remaja, rupanya ia telah jatuh
cinta pada seorang pemuda bernama Tan Tjin Hiauw. Percintaannya tak berjalan
dengan mulus, karena sang pemuda berasal dari marga yang sama dengan dirinya,
sehingga mendapat pertentangan dari sang Ayah. Pertentangan inilah yang
menjadikan kisah cinta mereka menarik untuk diikuti. Dan dari kisah mereka inilah
terungkap bahwa ternyata di jaman dahulu percintaan antara sesama marga dalam
etnis Tionghoa itu tidak diperbolehkan.
Buku Rasia Bandoeng |
Latar waktu dan tempat yang diceritakan di Rasia Bandoeng
adalah nyata terjadi di Kota Bandung pada tahun 1912-1917. Berbagai tempat
kejadiannya diceriterakan dengan sangat detail oleh sang penulis, bahkan
sebagian foto tempat serta beberapa foto tokohnya dilampirkan di beberapa halaman.
Dari penuturan si penulis ini mengenai
latar tempat, kita dapat mencoba menelusuri jejak cerita dalam novel, dan
membandingkannya dengan kondisi saat ini.
Awalnya saat membaca sekilas Novel Rasia Bandoeng ini, saya
sempat khawatir bahasanya yang menggunakan bahasa melayu klasik akan menyulitkan
dalam mencerna isi cerita, namun ternyata penggunaan bahasa melayu jadul itu
menjadi aspek menarik dalam buku ini. Dalam percakapan antar tokoh dalam novel terdapat
pula celetukan berbahasa Sunda yang bagi saya memperpendek jarak waktu 100
tahun cerita tersebut, karena pada dasarnya bahasa Sunda yang digunakan tak
terlalu jauh berbeda dengan yang saya gunakan pada jaman sekarang.
Rasia Bandoeng ini memuat banyak sekali kosa kata lama yang menjadi
pengetahuan baru karena sudah tak dipergunakan lagi di jaman sekarang. Footnotes yang dibuat oleh Komunitas
Aleut! sebagai pihak yang menyalin ulang isi buku ini sangat membantu dalam
proses pemahaman cerita. Selain itu Komunitas Aleut! juga melampirkan beberapa
peta Kota Bandung Tempo Dulu serta 11 artikel yang dimuat oleh Harian Umum
Pikiran Rakyat pada tahun 2015. Dan menurut saya, artikel-artikel yang membahas
mengenai Rasia Bandoeng dan tokoh-tokoh dibalik isi dan pembuatannya memiliki
peranan sangat penting. Kesebelas artikel tersebut ditulis oleh Lina Nursanty
dan menceritakan tentang kelanjutan cerita dari berbagai tokoh tersebut setelah
novel diterbitkan tahun 1918, serta berbagai fakta menarik mengenai keturunan
tokoh dan kondisi lokasi saat ini.
“Siapakah Chabanneau?”, begitu bunyi salah satu artikel yang
ditulis oleh Lina Nursanty. Artikel yang satu ini memang dibuat untuk
mempertanyakan profil sang penulis Novel Rasia Bandoeng, yakni Chabanneau
*******. Karena belakangan diketahui bahwa Chabanneau ******* bukan merupakan
nama asli si penulis, ia menulis cerita dari surat-surat antar tokoh yang ia
dapatkan secara diam-diam. Saya sendiri menyadari beberapa kali si penulis menempatkan
dirinya dalam beberapa adegan yang ia ceritakan, itu artinya ia mengenal dekat
beberapa karakter dalam novel, atau bisa saja ia merupakan salah satu karakter
dalam “Rasia Bandoeng”.
Saya pun sedikit menemukan beberapa kejanggalan dalam surat
asli tulisan tangan Hilda Tan untuk karakter Lie Tok Sim yang dilampirkan
Chabanneau*******. Dalam “Rasia Bandoeng”, nama-nama tokoh nyata itu disamarkan
oleh Chabanneau *******, seperti Tan Tjing Hu yang disamarkan menjadi Tan Tjin
Hiauw, dan Hermine Tan yang disamarkan menjadi Hilda Tan. Dan di dalam surat asli
yang dilampirkan Chabanneau*******, Hermine Tan jelas menuliskan namanya
sebagai Hilda Tan di bagian tandatangan. Muncul sebuah pertanyaan dalam benak
saya, apakah Hilda Tan merupakan nama buatan sendiri yang Hermine buat? Ataukah
Chabanneau ******* telah berbohong dengan mengatakan telah melampirkan surat
tulisan tangan asli Hermine di dalam novel.
“Liefde Is Bliend artinya cinta itu buta,Begitulah satu pepatah Ollanda ada berkata,Bukti yang benar dan kalihatannya nyata,Banyak terdapat dalam ini buku cerita.”
Begitu petikan salah satu sajak yang selalu hadir menghiasi
bagian awal dari bab Rasia Bandoeng. Intrik, rahasia dan sejarah yang
dihadirkan dalam buku ini menjadi daya tarik tersendiri. Memunculkan asumsi,
dan menggelitik rasa ingin tahu. Tertarik memecahkan salah satu rahasia
terbesar di Bandung? Coba saja Anda baca
perlahan ceritera yang dituangkan secara apik dalam lembaran buku “Rasia
Bandoeng”.