“Terima Kasih Untuk 42 Tahun Penuh Kehangatan. Kami Mohon Pamit.”

Saya membayangkan bila poster Star Wars: The Rise of Skywalker disematkan pesan layaknya yang terdapat di poster film Akhir Kisah Cinta Si Doel, rasanya mungkin akan sangat emosional sekaligus terlihat sangat konyol. Kedua film ini punya kesamaan dari segi deretan karakter yang memiliki ikatan mendalam dengan fans militannya. Dan kedua film tersebut pun akhirnya menuntaskan saganya pada jarak waktu yang berdekatan setelah puluhan tahun lamanya.

Poster courtesy of Lucas Art and Disney

Teknis pada film memang penting, namun bagi saya, terkadang yang bisa meraih hati penonton adalah character bonding yang mampu membangkitkan segala jenis emosi dalam diri. Inilah yang secara personal tidak bisa saya dapatkan di Star Wars: The Rise of Skywalker yang berjalan emotionless.

No hard feeling terhadap trilogy ini, karena saya sangat menyukai The Force Awakens, serta The Last Jedi yang mengundang banyak kritik dari berbagai pihak. Tapi berbagai adegan (yang seharusnya) lucu dan menyedihkan di Star Wars: The Rise of Skywalker terasa sangat hampa. Kematian Kylo Ren, dan Princess Leia terkesan datar. Berbeda halnya saat Han Solo ditikam Ren di The Force Awakens. Air mata pun seketika menggenang, walaupun hari sebelumnya saya sudah mengetahui adegan tersebut dari ranjau spoilers yang bertebaran di social media. Sh*t, Bahkan saya masih bisa merasakan kekesalan karena kejadian tersebut.

Mungkin rasa-rasanya semua fan boy Star Wars sudah tau kematian Carrie Fisher sebagai pemeran Leia Organa beberapa tahun lalu, sehingga mau tak mau meyakini kalau yang tampil di film ini hanyalah CGI belaka. Tapi sepertinya bukan itu yang membuat kematian Leia menjadi tanpa haru. Tapi cara ia ‘dibuat’ mati yang rasanya terasa datar. Saya jadi berandai-andai, coba saja bila Leia tak selamat saat cockpit kapalnya diledakan di The Last Jedi, maka emosinya akan terasa berbeda. Tapi kan nggak mungkin juga, karena perannya di sisa film tersebut cukup banyak. (ini mah kan penginnya)

Hubungan  trio Rey-Fin-Poe pun terasa demikian pula datarnya. Masing-masing menunjukan akting yang sangat baik. Tapi itu dia, aktingnya hanya “masing-masing” baiknya. Entah kenapa ketiganya terasa tidak menyatu secara chemistry. Mau nggak mau, saya kan jadi membandingkan chemistry yang dirasa lebih dapet, saat trio Luke-Han-Leia, dan Anakin-Obi Wan-Padme menjadi karakter utama.

Kendati banyak fans di berbagai belahan dunia yang mengritik pengulangan-pengulangan garis cerita yang terjadi di franchisee film ini sejak diakuisi oleh Disney, saya sebetulnya tidak begitu mempedulikannya. Kalaupun mirip-mirip sikit, seperti Rey yang diceritakan berasal dari planet yang agak dusun seperti Luke, yang pada sekuel keduanya ia kemudian dilatih oleh seorang Jedi Master, serta seri ketiga dari setiap triloginya yang selalu berbau kebangkitan (RETURN of the Jedi, REVENGE of the Sith, the RISE of Skywalker), rasanya semua masih baik-baik saja, hingga adegan moment of truth yang mengungkap Rey adalah cucu dari Palpatine. “Waw..aku terkejut,” tapi rasanya pernah liat di mana gitu adegannya.

By the way, di Star Wars: The Rise of Skywalker, saya lebih menyukai Ben Solo a.k.a Kylo Ren yang tumbuh secara manusia, ketimbang Rey yang berkembang pesat secara kemampuan bertarung. Walaupun proses Ren menuju tobat, agak sedikit terlalu cepat.

Memang, Luke pun saat menyelesaikan masa pelatihannya bersama Yoda dan bertempur di Return of the Jedi, kemampuannya pun meningkat. Bedanya, si Rey ini jadinya keliatan jago banget. Ya kemampuan healing, ya kemampuan mempengaruhi pikiran, ya kemampuan menggerakan benda. Ia bagaikan Magneto yang jogres bersama Professor X. Bahkan di salah satu adegannya, ia benar-benar mengingatkan saya akan magneto. Tapi, dengan kemampuan serba bisanya yang bercampur dengan karakter penokohannya, ia tampak seperti seorang juara kelas yang pintar, tapi kaku dalam pergaulan. Padahal banyak adegan emosional di mana Rey harus menangis, tapi entah kenapa kok saya nggak merasa terharu ya.

Rasa emosional justru datang ketika tokoh-tokoh pada kisah trilogy klasik bermunculan, hantu Han Solo yang walau cuma tampil beberapa menit, cukup memberi rasa gembira sekaligus waas, bahkan melihat kehadiran Ewok di akhir film pun terasa menyenangkan. Dari situ saya menyadari kalau karakter-karakter pada trilogy ini tidak memberikan bonding yang cukup kuat di akhir saganya. Padahal baru di Star Wars: The Rise of Skywalker, trio Rey, Fin, dan Poe lebih banyak tampil berbarengan.

Saat awal kemunculan Fin di Force Awakens, saya malah sempat merasa Fin yang tampil agak kocak ini dapat menonjol sebagai karakter baru yang menjanjikan bersama BB8. Penampilannya tersebut masih bisa dilihat di The Last Jedi. Namun sayangnya hal ini justru hampir tidak muncul di film penutup.

Kalau menggunakan alasan wajar bila karakter-karakter tersebut tidak memiliki emotional bonding yang kuat, dikarenakan karakter tersebut baru, dan berbeda dengan karakter lama yang sudah hidup puluhan tahun lamanya di benak para penggemar. Saya rasa tidak begitu. Karena Chirut Imwe dan K-2SO yang bahkan hanya tampil sekali di film spin-off Star War, yaitu Rogue One, justru lebih berkesan di hati.

Kalau soal visual effects, tentu Star Wars: The Rise of Skywalker ini sudah dijamin terlebih dahulu oleh nama besar Disney akan menyajikan pertunjukan yang memanjakan mata. Tapi, entah kenapa, lagi-lagi kok saya merasa tidak termanjakan. CGI canggih, dan suara jedar-jeder yang mengalun sepanjang film, malah lama-lama membuat ngantuk. Bahkan tak biasanya, sedikit-sedikit saya pun mengecek HP untuk melihat notifikasi, dan waktu yang sudah berlalu. Padahal posisi duduk saya baris ketiga dari depan, angger we tunduh. Entah di bagian mana yang salah, karena saya pun bukan movie expert. Tapi baru kali ini saya menonton adegan penuh aksi dengan rasa segera ingin menyudahi.

Setelah menonton film, dan mengunggah review angka dari aplikasi cinepoint, saya cukup banyak menerima pandangan lain dari kawan-kawan yang juga mengikuti film ini dari The New Hope. Padahal kami semua ini tak ada yang betul-betul menonton filmnya saat rilis tahun 1977. Ya gile aja bro, kami-kami ini belum setua itu.

Kebanyakan kawan yang bereaksi tentu dari pihak yang kontra tentang nilai rendah yang saya berikan pada film ini. Beberapa memberi saran agar seharusnya saya tidak membanding-bandingkan film klasiknya dulu. Sementara yang lainnya mengemukakan analisa dari sudut pandang cerita yang ia runut secara terukur, yang kemudian disampaikan dengan argumen latar belakang “why J.J Abrams do this and that, in the movie?” Namun sayangnya, saya tak merasa dan mengalami hal yang mereka sampaikan saat menonton film tersebut. Saya pun datang ke bioskop tanpa beban apapun, termasuk ulasan para reviewer yang sengaja tidak saya lihat. Wajah pun berseri-seri, karena tiket nonton didapat cuma-cuma dari giveaway Torch.id.

Saya rasa, mungkin kita semua, termasuk saya, sering lupa kalau pengalaman sinematik itu sifatnya personal, dan tak akan bisa tergantikan dengan membaca sebuah ulasan tertentu. Oleh karena itu, review bagus pada rotten tomatoes ataupun medium penilaian film lainnya tak pernah ada yang bisa mencapai nilai baik yang sempurna. Bahkan partner setia nonton saya pun acap kali memiliki pendapat yang berbeda dengan saya. Cukup dipahami, tak perlu banyak-banyak didebat. Karena sesungguhnya, mendebat perspektif dan selera, adalah sesuatu hal yang sia-sia, hehe. Adapun review yang saya tulis ini adalah kebutuhan psikologis saya untuk dapat menguraikan kata-kata yang memuncak dalam kepala. Kali ini saya pinjam dulu line andalan Mas Aby dari channel Sumatran Big Foot.

“Boleh setuju, boleh tidak.”


Minggu lalu, saya mengajak kawan saya mampir di sebuah tempat kuliner fast food baru di kawasan Jl. Pelajar Pejuang. Promonya di instagram, memang tak pelak mengundang rasa penasaran saya yang memang gemar berwisata kuliner. Namanya “Ngikan Yuk”, sebuah brand resto yang dikembangkan secara franchisee, dan kini untuk pertama kalinya hadir di Bandung.
 
Ngikan Yuk Ikan Crispy Sambal Matah
Sepulang kerja, kira-kira pukul 5 sore, saya pun memacu motor bebek saya ke TKP yang letaknya tak jauh dari lokasi kantor. Namun saat saya dan kawan saya tiba di tempat, seluruh menu yang ditawarkan sudah habis terjual. Padahal langit Bandung pun belum beranjak kelabu. Sementara antrean pengunjung tak kunjung berhenti. Tambahlah rasa penasaran saya terhadap si kuliner ikan ini.  

Namun memang jodoh. Rupanya dalam waktu dekat Ngikan Yuk akan membuka beberapa cabang baru, termasuk salah satunya di Sherlock Common Space, Jl. L. L. R. E Martadinata (Jl. Riau) No. 217, Bandung, yang letaknya lebih dekat dari tempat saya bekerja. Tak perlu menunggu hari kerja pekan depan, ternyata saat acara pembukaan, saya pun diundang untuk menyicipi menu ikan nila fillet crispy yang belakangan baru saya ketahui merupakan milik dari selebgram Rachel Vennya. Sepertinya memang kekuatan engagement dia lah yang menjadi salah satu faktor sajian menu Ngikan Yuk begitu diburu orang.

Suasana pembukaan Ngikan Yuk di Sherlock Common Space Bandung

Walaupun begitu, bukan berarti rasa makanannya menjadi tidak istimewa. Karena Ngikan Yuk ini juga memang dapat menjadi santapan terbaik, terutama saat didera lapar pada jam kerja. Bikinnya cepat, harganya murah, rasanya lezat, dan porsinya mengenyangkan.

BIla biasanya hidangan fish fillet lebih sering dihidangkan dengan kentang goreng di kebanyakan resto berkonsep fish and chips. Ngikan Yuk justru menghadirkan nasi liwet sebagai pendamping menu ikannya. Nasinya dimasak menggunakan potongan cabai, dan bumbu lainnya, sehingga rasa nasinya saja sudah terasa pedas dan gurih.

Untuk saus dan sambalnya pun mereka tidak menggunakan sambal sachet olahan. Agar bisa menjadi sandingan yang tepat dengan nasi liwetnya, tim dapur Ngikan Yuk menggantinya dengan tiga pilihan jenis sambal tradisional yang pedasnya terasa lebih segar, dan nonjok. Ketiga pilihan sambal tersebut antara lain sambal matah, sambal oseng mercon, dan sambal acar kuning.

Saat acara opening yang digelar Sabtu (7/12) siang, saya berkesempatan mencoba dua varian rasa sambal, yakni sambal matah, dan sambal oseng mercon. Untuk rasa sambal matah, tentu rasanya terasa lebih segar dengan rasanya yang sedikit masam. Namun untuk sambal oseng mercon pun tak kalah sedap. Selain rasa pedasnya yang lebih nampol, saya mendapatkan kejutan juga di antara sambalnya. Beberapa irisan daging sapi, termasuk bagian lemaknya, rupanya ditambahkan pula di dalamnya.

Bagi kamu-kamu yang kebingungan cari menu makanan enak, murah, tapi nggak mau ribet, menu Ikan Nila fillet ala Ngikan Yuk bisa jadi pilihan buat di gofoodin atau grabfoodin. Harganya cuma Rp19.000 per porsi. Selain itu, tentu untuk makan dine in juga asyik, terutama di cabangnya yang di Sherlock Common Space. Karena lokasinya juga berkolaborasi dengan aneka brand cemilan dan minuman lainnya, yang bisa jadi pendamping makan di Ngikan Yuk.


“Eh, kita ke ManA yuk.”
“Ke mana?”
“Ke ManA.”
“Iya, ke ManA?
“Ih, itu lho di ManA.”
“Malah nanya balik, jadi di mana?”
(Begitu seterusnya hingga ladang gandum menjadi Koko Krunch) *krik-krik
 
Area foto di ManA Foo & Cof Bandung
Iya, ini salah satu café hits di Bandung yang acap kali memunculkan perdebatan antar sahabat dan pasangan. Di luar namanya yang cukup ngeselin, tapi memang café ini menawarkan suasana dengan desain tempat yang atraktif. Meski untuk mencapainya kita harus menempuh jalan cukup menanjak, dan jauh dari pusat kota. Lalu ada apa saja di ManA? Coba rada usaha untuk baca ulasan saya sampai beres.

Nama lengkapnya ManA Foo & Cof. Entah apa yang mendasari huruf “A” pada ManA-nya harus dituliskan capital. Sedang “foo & cof“ mungkin kependekan dari “food & coffee”. Tempat ini memang menyediakan kedua hal tersebut dengan pilihan menu standar café, dan harga sedang.
 
Salah satu menu yang disajikan di ManA Foo & Cof Bandung
Walaupun begitu, makanan dan kopi bukanlah material utama yang membuat banyak orang berbondong-bondong melipir ke ManA Foo & Cof, tapi rancangan tempatnya lah yang sangat mengundang. Coba saya cek tab tagged photos akun instagramnya. Foto-foto pengunjungnya didominasi oleh foto-foto latar dan suasananya, mulai dari sekadar foto narsis ala-ala, hingga foto pre-wedding dengan pakaian dan properti yang cukup niat. Kalau Cuma foto iseng sih masih haratis, tapi kalau foto serius dengan tools fotografi yang mumpuni sih sudah harus membayar paket senilai Rp500.000 dengan durasi tertentu.

Kalau soal desain bangunan cafenya sih sebetulnya sudah banyak yang seperti ManA Foo & Cof yang bergaya minimalis. Bedanya, ia mempunyai pemandangan city light dan ruang berfoto yang lebih luas. Yaa..maka dari itulah ‘tempat’adalah hal utama yang mereka jual di sini.
 
Salah satu area makan di ManA Foo & Cof Bandung
Saking niatnya, mereka juga sengaja menyediakan motor bebek dan Vespa jadul untuk digunakan sebagai properti foto. Tak lupa ada juga tumbuhan alang-alang yang entah mengapa memang memberikan efek dramatis lebih terhadap hasil foto dan video. Cocok menjadi sebuah foreground pose romantis, ataupun adegan lamunan solo dengan raray kegalauan, serta tatapan sok keren, dan merasa ganteng.

Salah satu spot populer yang cukup digemari pengunjung untuk berfoto adalah area cottage yang bentuknya unik. Dari penjelasan yang dipampang di sekitarnya, bentuk cottage inilah yang disebut dengan ManA, entah asalnya dari bahasa apa.

ManA ini ditata berderet layaknya sebuah komplek pemukiman yang menghadap ke arah barat. Saat matahari mulai tenggelam, cahaya keemasan pun jatuh di muka cottage yang hampir keseluruhannya adalah kaca. Karena rancangannya tersebut, saya pun bisa mengintip bagian dalamnya, yang Nampak sangat nyaman dan homey. Bahkan rumah saya pun tidak se-homey ini.
Bangunan Cottage di ManA Foo & Cof Bandung

Akan tetapi ada pertanyaan lain muncul, bila nantinya bangunan cottage ini ditempati, apakah pengunjung café yang berfoto ini tak akan mengganggu kenyamanan tamu cottage. Karena bila saya menjadi tamunya sih, akan risih dengan kehadiran para pengunjung yang berfoto, sementara ruangan tempat saya menginap seperti aquarium. Rasanya seperti sedang dieksibisikan.

Di bagian ujung barat setelah area cottage, terdapat pula sebuah lapangan besar terbuka yang sepertinya akan sangat cocok untuk menggelar sebuah acara seperti pesta pernikahan. Namun kembali lagi ke kenyamanan para tamu cottage. Bila kebetulan digelar sebuah acara besar dengan massa yang cukup banyak, apakah tidak akan mengganggu tamu? Kecuali bila saat acara berlangsung, area cottage ditutup saja reservasinya pada jauh-jauh hari.

Kekurangan lainnya dari tempat ini juga terletak pada musholanya yang sungguh sangat tak nyaman. Mushola ManA Foo & Cof menyatu dengan tempat penyimpanan barang staff yang penuh dengan tumpukan kardus. Ukurannya pun hanya muat sekitar dua orang, dengan sajadah yang sudah lecek. Ditambah tempat berwudhu yang di pintunya menggantung baju dan celana karyawan. Harusnya dengan tempat seluas ini, alangkah baiknya bila dibangun setidaknya sebuah mushola yang layak. Bagi pengunjung muslim, tentu hal ini akan mempengaruhi tingkat kebetahan, dan tingkat keinginan untuk kembali pada masa yang akan datang.

ManA Foo & Cof
Jl. Cibengang, Ciburial, Bandung
(akses via Jl. Bukit Pakar Timur, selebihnya disarankan menggunakan google maps)


Pekerjaan saya dulu, memang memungkinkan saya untuk berkeliling ke berbagai hotel di Bandung. Beberapa di antaranya pun memiliki desain yang sangat unik dan atraktif. Salah satunya, adalah Zest Hotel Sukajadi Bandung.

Saya masih ingat betul saat pertama kali mampir ke hotel ini beberapa tahun lalu. Warnanya yang segar, dan bentuk desainnya yang catchy memang membuat bola mata tak hentinya bergerak ke sana kemari, menyisir tiap lekuk keunikan yang ditawarkannya.

Tanpa terasa, ingatan saya tersebut rupanya berasal dari memori yang sudah hampir empat tahun silam usianya. Hanya terpaut beberapa bulan saja dari kelahiran hotel bernuansa hijau lemon ini.

Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, secarik undangan digital pun mampir ke dalam sebuah pesan whatsapp pada bulan November. Zest Hotel Sukajadi Bandung yang akan merayakan hari jadinya yang ke-4, tak lupa meminta saya ikut serta ke dalam kemeriahan acara yang diadakan pada Minggu, 1 Desember 2019.

Peserta Zumba yang mendapatkan Bibit Pohon Jeruk di acara perayaan ulang tahun Zest Hotel Sukajadi Bandung

Namun kali ini, konsepnya sedikit berbeda dari tahun lalu. Selain karena venue-nya yang mengambil tempat di depan factory outlet Blossom pada momen Car Free Day Dago, agenda acaranya pun cukup menarik. Mulai dari Zumba, hingga pembagian 100 bibit pohon jeruk. Idenya betul-betul pas dengan vibe yang dibangun Zest Hotel Sukajadi Bandung yang fresh, dan healthy. Bagi yang belum pernah datang langsung ke hotelnya, cobalah sekali-kali mampir, di sini semua karyawan tampil berbeda dengan sporty look.
  

Zestree, Heal the Earth, Heal the Future.” Begitu bunyi tema yang diusung oleh Zest Hotel Sukajadi Bandung pada perayaan tahun ini. Rasanya terdengar sangat tepat dengan konsep yang digelar. Tentunya, bukan tanpa alasan tema tersebut mereka angkat. Karena bulan hari jadi Zest Hotel Sukajadi Bandung sendiri bertepatan dengan hari pohon sedunia.

Minggu pukul enam pada hari yang dijanjikan, saya pun sudah berada di sekitaran Car Free Day Dago. Rasanya sudah lama sekali saya tidak mendapat kesempatan ber-zumba. Mungkin terakhir kali itu enam tahun silam saat masih berstatus sebagai seorang bankir. Dengan sedikit malu-malu, saya ikut menggerakkan tubuh yang sudah lama kaku. Walau setelahnya pegal-pegal, tapi badan menjadi terasa sangat ringan.

Seusai sesi zumba, saya dan peserta lainnya mendapat masing-masing satu bibit pohon jeruk. Kini PR saya adalah merawat bibit pohon jeruk yang sudah langsung saya tanam kemarin di kebun belakang rumah. Semoga pohon jeruk ini dapat tumbuh dengan baik, seiring dengan Zest Hotel Sukajadi Bandung yang juga terus berkembang menjadi salah satu elemen supporting pariwisata di Bandung.

Selamat ulang tahun Zest Hotel Sukajadi Bandung!



Memang secara pemahaman umum, sebuah tempat yang menyajikan kopi, acap kali disebut coffee shop. Walaupun begitu, khusus dalam artikel ini, saya paksa pembaca untuk bersepakat bahwa coffee shop yang saya maksud di sini adalah yang secara bahasa betul-betul diartikan sebagai toko kopi non-café. Artinya, coffee shop jadul yang akan saya ceritakan adalah toko-toko yang hanya fokus menjual kopi secara raw, baik grinded ataupun masih dalam bentuk beans. Di Bandung sendiri, ada beberapa nama yang cukup termahsyur yang pernah saya datangi, dan menarik untuk dibahas. Berikut adalah nama-namanya:

 
Kopi Kapal Selam
1   Kopi Kapal Selam

Coffee shop ini tidak memiliki plank, tapi tak sulit menemukannya. Bangunan tokonya terletak di samping Toko Jamu Babah Kuya yang legendaris di kawasan belakang Pasar Baru Bandung. Saat akan diajak kemari oleh seorang kawan, awalnya saya kurang begitu mengenal merek kopi ini, hingga saya melihat langsung kemasan plastik bersablon tinta kuning yang rasa-rasanya sangat familiar. Rupanya Kopi Kapal Selam ini yang sering saya lihat kemasannya saat kecil dulu. Almarhumah uyut cukup sering membeli stock kopi ini untuk kebutuhan pribadi, dan menjamu tamu.

Saat saya menggunggah foto coffee shop ini di feed instagram, rupanya cukup banyak pula kawan yang mengenal merek kopi ini sebagai kopi langganan turun temurun di keluarganya.

Bukan cuma pelanggannya yang turun temurun, tentu kepemilkan dari Kopi Kapal Selam pun sudah diwariskan antar generasi, hingga dapat bertahan hingga saat ini. Pengelolanya sekarang, yakni Koh Chandra, merupakan generasi ketiga pemilik bisnis Kopi Kapal Selam.

Suasana toko yang ia jalankan ini sangat terasa khasnya sebagai coffee shop jadul, mulai dari bangunan kunonya, kalender kertas yang tampak telaten ia sobek lembar demi lembar setiap harinya, dan kopi yang disimpan berkarung-karung besar seperti beras. Selain itu, peralatan yang ia gunakan juga tak kalah menarik. Seperti sebuah timbangan manual yang harus dipindah-pindahkan batuan bobot ukurannya agar seimbang itu mengingatkan saya akan  serta sebuah coffee grinder klasik.

Kopi Kapal Selam
Jl. Pasar Barat (Belakang Pasar Baru)

Kopi Javaco

Kopi Javaco

Selain Kopi Kapal Selam, ada satu brand kopi lain yang kemasannya familiar bagi saya. Kopi tersebut adalah kopi Javaco yang tokonya berada di sekitaran Kebon Jati, tak jauh dari bangunan ex-Hotel Surabaya. Kemasannya sendiri menggunakan bahan kertas sampul yang biasa digunakan saat sekolah dulu. Saya sering mendapati om yang juga tinggal satu rumah dengan saya yang sering membawanya pulang. Katanya, Javaco ini banyak mengambil biji kopi dari Jawa Timur, seperti Jember.

Berbeda dengan Kopi Kapal Selam, Toko Kopi Javaco terlihat lebih rapi. Semua stock kopi yang mereka miliki, tidak dipajang di meja konter. Sebagai gantinya, daya tariknya bisa dilihat dari segi bangunannya yang kuno, serta benda-benda vintage yang beberapa di antaranya bertuliskan kata-kata dalam Bahasa Belanda. Seperti sebuah lubang bersekat besi di pintu masuk yang bertuliskan brieven (surat), dan sebuah benda berbentuk kotak yang tertera kalimat versche koffie (kopi segar). Lalu ada juga ada deretan empat alat penggiling kopi seperti yang bisa saya temukan di Kopi Kapal Selam, serta sebuah motor Vespa jadul di dekatnya.

Produk Kopi Javaco ini juga bisa dibeli di beberapa toserba, dan supermarket besar seperti Yogya, Griya, dan Borma.

Kopi Javaco
Jl. Kebon Jati No. 69


Kopi Malabar

     Kopi Malabar

Saat saya mendengar kalau letak Kopi Malabar berada di seberang SMAN 4 Bandung di Jl. Gardujati, rekaman visual di kepala saya berusaha keras menggambarkan dan mengingatnya. Karena rute tersebut cukup sering saya lewati sejak kecil dulu. Tapi saya sama sekali tak bisa mengingat kalau di sekitaran situ ada sebuah coffee shop jadul. Barulah ketika diajak oleh Mang Alexxx dari Komunitas Aleut, saya baru ngeuh tempatnya.

Tak heran sebetulnya bila saya dan mungkin banyak orang lainnya tidak menyadari keberadaan Kopi Malabar. Hal ini dikarenakan dari luar coffee shop ini terlihat seperti bangunan terbengkalai. Apalagi pintunya pun selalu tertutup. Padalah dibandingkan dengan dua coffee shop yang sebelumnya saya ceritakan, bangunannya memiliki plank nama dengan tulisan yang cukup besar.

Saat pintu tokonya diketuk oleh Mang Alexxx, saya pun masih ragu kalau toko tersebut masih ada yang menempati. Namun ternyata, betul-betul masih ada orang yang keluar dari dalamnya. Seperti yang sudah saya intip dari etalase besar dari luar, kondisi di dalamnya sangatlah berantakan. Saya pun dilarang mengambil gambar saat berada di dalam. Dari pengelolanya sendiri (yang saya lupa namanya), Kopi Malabar ini masih tetap didatangi oleh pelanggan tetapnya. Bila yang sudah terbiasa berbelanja kopi di sini, mereka sudah tahu sendiri tata caranya. Walau tokonya terlihat selalu tutup, tinggal ketuk pintu saja, maka sang empunya akan siap sedia melayani keperluan kita.

Kopi Malabar
Jl. Gardujati No. 17


Kopi Aroma

4   Kopi Aroma

Di antara coffee shop jadul yang ada di Bandung, mungkin Kopi Aroma adalah yang paling populer di kalangan wisatawan. Selain karena memang planknya di Jl. Banceuy yang sangat menyolok, sesuai dengan namanya, aroma kopinya sangat harum semerbak begitu kita melintas di sekitaran sini. Ditambah, antrian pembeli kopi yang memanjang hingga ke jalan, sangat menarik rasa penasaran untuk merapat. Beberapa kali saat mampir, seringkali saya juga mendapati si pemilik sedang menjelaskan tentang kopi ini kepada beberapa turis asing.

Seperti yang tertulis pada plank namanya, yakni Koffie Fabriek Aroma, seluruh proses pemanggangan, hingga penggilingan juga dilakukan di tempat ini. Oleh karena itulah harum aroma kopi saat proses roasting dapat tercium dari luar. Hal ini pula yang menjadikan ruang pembeli saat mengantri tak begitu luas. Sebagian besar ruang pada bangunannya digunakan untuk proses produksi. Saya pun sempat melihat kondisi ruang produksinya yang terlihat luas dan sibuk, dari foto-foto kawan yang dulu sempat diizinkan untuk masuk ke dalamnya. Sayangnya kini agak sulit untuk bisa mendapat akses melihat ke dalam pabriknya.

Kopi Aroma punya keistimewaan dari rasanya yang tak terasa asam. Hal ini dikarenakan oleh proses pengolahannya yang panjang. Setiap biji kopi yang mereka hasilkan akan disimpan dan direndam terlebih dahulu hingga waktu 5-8 tahun lamanya. Untuk menjaga keaslian cita rasa dan eksklusivitasnya, mereka hanya menjual produknya di toko mereka saja. Walaupun ada saja, orang yang memborong kopi tersebut, lalu menjualnya kembali lewat toko online.

Kopi Aroma (Koffie Fabriek Aroma)
Jl. Banceuy No. 51


"Kuliahnya di mana?"

Denger Bu Eha nanya gitu aja udah bahagia. Ternyata tampang saya ini masih terlihat segar untuk jadi mahasiswa.
 
Bu Eha dan Warung Nasinya
Ini kali kedua saya mampir makan di Warung Bu Eha yang berlokasi di dalam area Pasar Cihapit. Bila kali pertama dulu saya hanya datang untuk makan siang bersama beberapa kawan, namun kali ini saya berkesempatan untuk berbincang dengan si empunya warung. Wajahnya sedikit mengingatkan saya dengan wajah almarhumah uyut saya, tapi bedanya, dengan tampilan Bu Eha yang nampak sudah cukup berumur, kemampuan berkomunikasinya masih sangat baik. Kata demi kata yang pelan saja saya lontarkan, masih dapat direspon dengan tepat dan cepat.

Bukan cuma soal cara komunikasinya, Bu Eha juga masih cukup sigap bekerja di belakang meja kasir melayani para pembeli yang hendak membayar pesanan. Daya ingat akan harga dari setiap jenis masakan yang diambil pelanggannya pun masih sangat presisi. Hanya butuh kurang dari lima detik untuk mengalkulasikan seluruh makanan yang saya tambahkan ke piring dengan berhitung di luar kepala.
Beberapa pengunjung menyantap makanan yang dihidangkan di Warung Nasi Bu Eha
“Ah enggak, Pak Karno mah gak pernah ke sini. Cuma anaknya itu, Guntur sama Guruh yang sering dateng ke sini. Atau terkadang istrinya yang ke-4, Ibu Hartini yang datang,” begitu jawabnya saat saya mulai bertanya mengenai kisah Bung Karno yang berlangganan makan di kedainya dulu. Beliau juga mengaku mengenal juga istri ke-2 Bung Karno yaitu Bu Inggit Garnasih. Katanya, Bu Inggit ini teman baiknya Ibu mertua beliau. Walaupun Bung Karno tidak pernah mampir, foto Presiden pertama Republik Indonesia tersebut terpampang di salah satu sudut warungnya. Tentunya hal ini dapat menjadi daya tarik tersendiri untuk pegunjung Pasar Cihapit untuk mampir. Ditambah, terdapat pula beberapa kliping koran yang pernah memuat berita tentang warungnya tersebut.
 
Salah satu dinding Warung Nasi Bu Eha yang dipenuhi oleh foto Presiden Sukarno
Dari segi menu dan rasa, Warung Nasi Bu Eha ini punya ragam dan taste-nya sangat menyirikan makanan rumahan. Yang pasti terasa berbeda dengan cita rasa menu-menu warteg yang dari satu kedai ke kedai lainnya rasanya seperti sudah seragam. Selain itu porsinya pun melimpah. Dijamin cukup dapat memuaskan perut para pekerja yang kelaparan pada siang bolong. Sambil menyantap hidangan di piring, kita juga dapat melihat bagaimana para juru masak andalan Bu Eha mengolah bahan-bahan segar dari Pasar Cihapit menjadi masakan sedap beraroma memikat.
Beberapa masakan yang dihidangkan di Warung Nasi Bu Eha

Warung Nasi Bu Eha
Pasar Cihapit
Jl. Cihapit No. 8A, Bandung


Semenjak mulai populer empat tahun lalu, terhitung sudah tiga kali saya mengunjungi Curug Cisanggarung atau yang lebih dikenal dengan Batu Templek. Padahal Batu Templek itu adalah nama jenis batuan yang banyak ditemukan di kawasan wisata alam tersebut. Mungkin karena itulah, pengelola dan warga sekitar mulai mengedukasi melalui plank penunjuk lokasi bahwa nama tempat ini adalah Curug Cisanggarung.
Jembatan gantung menjadi atraksi baru di Curug Cisanggarung Batu Templek
Selain beberapa plank bertuliskan Curug Cisanggarung yang mulai dapat terlihat di sekitar lokasi, rupanya tempat ini mengalami banyak perubahan lain dari sejak saya mampir untuk menyaksikan acara penutupan Bandung International Art Festival (BIAF) yang digelar di sini tahun lalu.
 
Curug Cisanggarung Batu Templek menjadi venue penutupan Bandung International Art Festival 2018
Untungnya, Curug Cisanggarung tidak didandani sampai terlalu menor. Setidaknya, tidak ada ornamen berbentuk jantung hati, ataupun dekorasi warna-warni yang justru dapat merusak wajahnya. Spot selfie sih ada, tapi tidak berlebihan. Hanya sebuah papan kayu bergambar tubuh manusia purba, patung dinosaurus, dan sebuah jembatan gantung yang panjangnya mungkin tak lebih dari 300 meter.

Keberadaan jembatan gantung tentu paling menarik perhatian saya. Mungkin idenya dari Jembatan Situ Gunung, Sukabumi, yang sedang hits belakangan. Saya pun mencoba menyeberangi jembatan ini dengan perasaan sedikit was-was, terutama saat mencapai kayu di bagian tengah jembatan yang mengeluarkan bunyi cukup nyaring saat diinjak. Memang keberadaan tanda di mulut jembatan yang mengatakan “untuk keselamatan bersama, gunakan 3 orang” cukup menjadi sebuah peringatan. Akhirnya ketika kembali menuju ke tempat parkir motor pun, saya lebih memilih untuk menyeberangi sungai saja.

Sama seperti saat pertama kali mampir ke sini tiga tahun silam, sungainya kotor bak bajigur. Tapi saya rasa warna air sungai yang kecoklatan ini dihasilkan oleh kandungan warna batuan di sini. Karena bila melihat air yang mengalir di atas curug, warnanya lebih bening. By the way, Curug Cisanggarung ini memang tidak seperti Curug Cimahi, atau Curug Malela yang berarus deras. Air yang jatuh dari puncak lebih tepat disebut percikan. Apalagi bila saat dulu mampir ketika musim kemarau, air terjun ini menjadi tetesan.
Curug Cisanggarung Batu Templek Bandung

Batu Templek di Curug Cisanggarung ini dikenal sebagai jenis batuan yang sering dipakai untuk dekorasi rumah. Selain karena kekuatannya, teksturnya pun sangat unik. Bahkan menurut Haryoto Kunto, sang kuncen Bandung dalam salah satu bukunya, Batu Templek inilah salah satu material yang digunakan untuk membangun Gedung Sate pada masa pemerintahan Kolonial Belanda.

Untuk ukuran tempat wisata, Curug Cisanggarung ini memang terbilang sangat sepi. Dari beberapa kali kunjungan saya ke tempat ini, saya tidak pernah bertemu dengan pengunjung lainnya. Tempat parkir dan pos ticketing­-nya pun tak pernah ada yang menjaga, meski ada harga tertera. Alhasil, kunjungan saya ke tempat ini selalu haratis.
 
Salah satu gimmick yang ditambahkan di kawasan wisata Curug Cisanggarung Batu Tempkek Bandung
Bagi yang ingin mengunjungi Curug Cisanggarung Batu Templek Bandung ini, sebaiknya menggunakan kendaraan roda dua yang kondisinya cukup prima. Selain karena banyak jalan yang menanjak, lebar jalan pun agak sempit untuk menampung kendaraan roda empat. Jalan menuju lokasi cukup mudah ditemukan di seberang Lapas Sukamiskin. Namun pastikan untuk mengikuti plank petunjuk arah yang baru, karena ia akan mengarahkan akses jalan yang lebih aman untuk dilintasi. Karena sebelum ada plank-plank tersebut, saya selalu mengikuti jalur lurus melewati jalanan berbatu  dengan turunan tajam.


Tanda dari Wildan untuk saya bergerak sudah muncul melalui pesan singkat di whatsapp, padahal angka di sudut layar gawai sudah menunjukkan pukul 22.30. Saya ragu, masih adakah tempat makan yang buka pada jam tersebut. Tak berapa lama kemudian, Wildan pun membagikan lokasi tempat tujuan wisata kuliner mala mini yang ternyata tak jauh dari rumah saya, yaitu di kawasan Cibadak. Ya, pantas saja kalau Cibadak, jalanan yang dikemas sebagai wisata Pecinan di Kota Bandung ini memang masih sangat hidup bahkan hingga lewat tengah malam nanti.
Kobe Teppanyaki Cibadak yang selalu ramai pengunjung.
Kobe Teppanyaki adalah tujuan kami malam itu. Ironisnya, saya yang notabene merupakan penduduk setempat, belum pernah mendengar nama tersebut, sehingga saya sempat meragukan kualitas menu yang akan dihidangkannya. Apalagi, kawasan Cibadak ini juga dikenal juga sebagai kawasan wisata kuliner yang banyak menyajikan makanan non-halal. Kekhawatiran tersebut dengan segera ditepis Wildan ketika bertemu di pertigaan Jl. Cibadak dan Jl. Pajagalan yang merupakan lokasi dari lapak Kobe Teppanyaki. Ia mengaku sudah memastikannya sebelumnya, karena ia sendiri pun cukup sering mampir ke tempat tersebut bersama kawan-kawan Muslim lainnya.

Setelah sampai di Kobe Teppanyaki, barulah saya langsung mengenali tempat ini. Tempatnya sebetulnya cukup menyolok karena keramaian pengunjungnya, namun plank namanya sendiri kurang dapat terlihat karena posisinya terlalu tinggi dengan kondisi penerangan yang lebih condong ke gelap. Saya sendiri hampir setiap hari selalu melewatinya saat pulang kerja.

Dapur Kobe Teppanyaki ini bisa dibilang dapur tersibuk sepanjang kawasan kuliner Jl. Cibadak. Lima sampai enam pegawai hampir selalu terlihat non-stop memasak di dapur yang sepertinya sengaja ditaruh di luar. Pelayan yang hilir mudik, pengunjung yang keluar masuk, serta atraksi api yang sesekali muncul dari penggorengan, seolah semakin ingin mendapat kepastian lirikan setiap pejalan kaki, serta pengguna kendaraan yang melintas.

Satu jam setengah menjelang pergantian hari, namun nampaknya tempat ini enggan dikalahkan waktu. Suasana keramaiannya masih sama seperti pukul 8 malam. Karena kali ini saya dijanjikan traktir oleh Wildan, maka saya hanya memindai buku menu hanya sekilas mata. Cukup banyak, dan lengkap sepertinya hidangan Jepang yang disajikan di sini. Mulai dari sushi, sukiyaki, ramen, dan tentu saja teppanyaki yang kemudian dipilh Wildan untuk kami bertiga, termasuk salah seorang rekan kantornya yang ikut serta. Selain masakan Jepang, Kobe Teppanyaki juga menyediakan aneka menu-menu Asia lainnya. Harganya kebanyakan berkisar di antara Rp40.000-Rp60.000-an. Cukup tinggi memang harganya. Tapi itu hanya  kesan pertama saja, hingga tiga porsi teppanyaki mendarat di meja kami.

Porsi teppanyaki yang dihidangkan sangat banyak dengan komponen yang lengkap. Ada udang, cumi, daging sapi, daging ayam, jamur, dan aneka sayur. Penyajiannya yang menggunakan hotplate juga menjadi daya tarik tersendiri. Tadi kami sempat melihat kobaran api yang sangat besar, hingga seolah akan membakar habis tempat ini. Namun rupanya, atraksi kobaran api tersebut adalah finishing movement dari proses masak teppanyaki, sekaligus sebagai tanda bahwa harus ada pelayan yang segera membawakan hidangan tersebut ke meja sang pemesan. Hal ini untuk menjaga kehadiran asap, aroma, serta gelembung-gelembung didih yang masih muncul di permukaan pada lima menit pertama setelah dihidangkan. Secara visual, hal ini memang menjadi sasaran para pengabdi instastory yang tentu juga merupakan sebuah promosi cuma-cuma bagi restoran.
Satu porsi teppanyaki di Kobe Teppanyaki
Tentunya, bukan cuma soal tampilan. Karena dari segi rasa pun, saya rasa Kobe Teppannyaki ini masakan Jepang terenak yang pernah saya makan. Racikan bumbu, serta kuahnya menjadi pembeda. Rasanya tidak terlalu asin, ataupun kemanisan. Pas. Kuahnya tidak encer, dan tidak terlalu kental, tapi bisa membuat seluruh komponen makanan di dalamnya terasa lezat. Bahkan saat hotplate sudah hampir kosong pun, saya masih mengumpulkan sedikit kuah yang masih tersisa untuk disuapkan ke mulut.

Pengalaman kuliner yang berkesan di Kobe Teppannyaki ini cukup menjadi alasan untuk mampir beberapa kali ke tempat ini dengan sobat lainnya, keluarga, dan si calon istri. Dalam total empat kali kunjungan berikutnya ke sini, saya tetap memilih Teppanyaki, sementara orang-orang yang saya ajak kemari direkomendasikan untuk menyicipi menu yang lain. Tentu saja hal ini agar saya bisa menjajal rasa menu yang lain, tanpa harus kehilangan kenikmatan menyantap teppanyaki yang segera sudah langsung menjadi salah satu hidangan paling digemari.

Sama seperti teppanyaki, menu-menu lainnya seperti nasi goreng, kwetiauw, sukiyaki, tomyam, dan steamboat juga memiliki ukuran porsi yang sangat besar. Bahkan saat saya membawa kedua orang tua untuk makan di sini, keduanya hanya mampu makan sepertiga dari makanan yang mereka pesan. Untung saja, sisa makanannya dapat mereka diminta untuk dibawa pulang. Tak butuh waktu lama untuk ibu mencintai makanan di sini. Hanya selang hitungan beberapa hari, Ia sudah minta untuk diantar ke Kobe Teppanyaki untuk membeli Tomyam secara take away, dengan alasan sedang malas masak. Satu porsi Tomyam tersebut sudah bisa dibagi ke dalam empat porsi untuk makan malam.

Bila mencari makanan enak di Bandung, saya tentu akan merekomendasikan Kobe Teppannyaki sebagai salah satu tempat tujuan rekomendasi di Bandung. Walaupun memang dari segi tempat agak kurang nyaman. Tempatnya sebetulnya luas, namun selalu dipadati oleh pengunjung. Hal ini membuat udara di dalamnya terasa sangat gerah. Antrian yang selalu terlihat mengular, membuat kita merasa tidak enak kalau harus terlalu lama diam di sana. Anyway, poin plus lainnya adalah pelayanan yang tidak hanya cepat, tapi juga sangat ramah. Di tengah ke-hectic-an suasana di Kobe Teppannyaki, kita dapat melihat seorang ibu yang dapat mengatur flow pelayanan dengan sigap, serta memberikan semangat, dan senyuman yang menular.
 
Suasana di Kobe Teppanyaki
Kobe Teppanyaki
Jl. Cibadak No. 101
Bandung


Ini kali kedua saya mendapatkan privilege untuk bermalam di Verona Palace Bandung. Bila tiga tahun lalu saya datang dengan status sebagai peliput newbie di sebuah media, kali ini kesempatan itu datang saat saya telah ‘lulus’, dan tengah gencar membangkitkan nyawa laman pribadi yang sempat tertidur lama.

Selang tiga tahun, Verona Palace Bandung masih sama seperti yang dulu saya ingat ketika menginjakkan kaki pertama kali di ­lobby. Kesan tentram, dan elegan, masih melekat pada desain dan dekorasi ruangannya. Tidak ada yang berkurang, namun bertambah dengan kehadiran beberapa hiasan, seperti miniatur kapal phinisi yang sebetulnya ukurannya tidak mini-mini amat yang berada di lantai M. Lalu ada Venesia Restaurant dengan open barnya, serta Sugarush Café yang intim, dengan warnanya yang masih identik dengan merah menyala.
Sugarush Cafe di Verona Palace

Selain Venesia, Verona Palace Bandung juga menggunakan nama-nama kota di Italia lainnya, seperti Florence, dan Milan sebagai nama meeting room yang mereka tawarkan kepada customer-nya. Mulai dari yang berukuran 10, hingga 300 orang. Dengan keragaman fasilitas meeting yang dimiliki, mereka bisa dikategorikan juga ke dalam conventions hotel. Lokasinya yang strategis yang dekat dengan pintu keluar Tol Pasteur, saya rasa membuat mereka kemudian menjadi salah satu hotel favorit untuk melakukan perjalanan bisnis.
Florence meeting room di Verona Palace
Bila dulu saya mendapatkan kamar tipe superior, kali ini saya berkesempatan mencoba bermalam di tipe kamar executive-nya. Tipe kamar ini tentu lebih luas. Apalagi ada beberapa cermin besar yang menempel di sisi-sisinya yang makin menambah kesan luas pada kamar. Istimewanya lagi, kamar ini memiliki ruang baca yang menjorok ke luar. Bila malam suasananya akan terasa temaram, dan saat pagi akan sangat terasa hangatnya mentari. Di dalam ruangan ini juga terdapat peralatan untuk membuat kopi, dan teh, yang rasanya menjadi pelengkap sejati kualitas waktu saat sedang ingin menyendiri.
Executive Room di Verona Palace Bandung

Dari keseluruhan hal yang ditawarkan oleh Verona Palace Bandung, sebetulnya sejak dulu saya paling menyenangi cita rasa makanannya. Walau Verona Palace Bandung adalah hotel bernuansa Italia, namun hidangan lokal tak luput menjadi perhatiannya. Pilihannya sederhana, namun terasa istimewa. Seperti saat sarapan pagi, ada dua makanan yang menjadi favorit saya, yaitu cap cay dan bakso. Padahal dua masakan ini dapat dengan mudah saya jumpai di luar, tapi rasa keduanya belum ada yang seenak ini.

Pada malam sebelumnya, saya juga berkesempatan mencoba sebuah hidangan yang bahkan baru akan diperkenalkan pada bulan depan. Hidangan tersebut diberi nama Grilled Chicken with Heavenly Angel Sauce. Nama Heavenly Angel ditambahkan sebagai tema yang diangkat oleh Verona Palace Bandung untuk merayakan hari jadinya yang jatuh pada setiap bulan November. Menu ini dapat dihidangkan pula dengan pilihan telur setengah matang yang memang saya sukai. Mungkin telur inilah yang digambarkan sebagai angel pada hidangan ini. Kuning telur ini kemudian melebur dengan saus racikan khusus yang dibuat tim dapur Verona, sehingga menjadi rasa saus yang benar-benar terasa baru di lidah. Sangat cocok dengan potongan fillet ayam, sayur, dan jamur yang menjadi pemain utama di menu ini.
 
Grilled Chicken with Heavenly Angel Sauce ala Verona Palace
Buat yang penasaran dengan rasa Grilled Chicken with Heavenly Angel Sauce ini, kalian bisa datang langsung ke Verona Palace Bandung pada bulan November mendatang. Verona Palace Bandung juga dapat menjadi tujuan staycation untuk kalian yang ingin berlibur bersama keluarga, tapi tidak ingin pergi terlalu jauh dari pusat Kota Bandung. Harga kamarnya pun sangat terjangkau, lho.

Undangan dari Verona Palace ini terasa sangat istimewa, karena ini merupakan salah satu bentuk apresiasi Verona Palace Bandung kepada blogger dalam rangka perayaan Hari Blogger Nasional. Artinya, walaupun titel blogger yang saya pegang terbilang masih bersifat sampingan suka-suka, tetapi ternyata saya telah mendapatkan sebuah apresiasi yang luar biasa dari Verona. Oleh karena itu, saya berterima kasih sekali pada Verona Palace atas undangan ini, dan saya ucapkan selamat ulang tahun untuk Verona Palace Bandung. Semoga semakin jaya, dan tetap menjadi favorit wisatawan saat singgah di Bandung.

Verona Palace
Jl. Surya Sumantri No. 36 Bandung
(022) 2020 825

Tujuan terakhir saya di Tasik ini paling tak lazim dibandingkan dengan tempat-tempat yang sebelumnya dikunjungi. Mentari Hati bukanlah sebuah kedai kopi, ataupun taman kanak-kanak, apalagi judul lagu ciptaan Bung Fiersa. Nama tersebut melekat kepada sebuah yayasan yang berfungsi sebagai mental hospital bagi para penderita gangguan kejiwaan yang terlantar di Tasikmalaya. Dan tempat inilah yang kemudian direkomendasikan Wildan untuk saya datangi pada hari pamungkas liburan saya April tahun lalu.
Mentari Hati didirikan lebih dari satu dekade lalu oleh Pak Dadang Heryadi yang merupakan mantan pegawai PLN. Melihat wajah dan perawakannya, ia masih terlihat cukup muda, mungkin masih sekitar 40 tahunan. Itu artinya, saat dia memutuskan untuk resign dari PLN, usianya sangatlah muda. Pagi itu pun kami berbincang, berkenalan, sekaligus mendapat banyak insight baru dari beliau.

Jangan bayangkan sebuah rumah sakit layaknya seperti yang kalian lihat di film Joker. Karena Yayasan Mentari Hati hanyalah sebuah rumah berukuran sedang, dengan halaman yang sangat luas. Semua pasien di sini sama sekali tidak diketahui keberadaan keluarganya, sehingga tidak memungkinkan bagi Pak Dadang sebagai pengelola mendapatkan biaya perawatan. Ia mengaku bahwa pengelolaan yayasannya tersebut betul-betul mengandalkan donasi dari relawan.
 
Pak Dadang Heryadi, Founder, dan Pengelola Yayasan Mentari Hati
Setelah sowan, kami pun diizinkan untuk masuk ke dalam lapangan. Dari gesturnya yang santuy, nampaknya ini bukan kali pertama bagi Wildan berkunjung kemari. Sedangkan saya. Saya berjalan mengendap dengan perasaan was-was, layaknya maling yang hendak menggondol perhiasan emas dari lemari rumah orang. Ya, mau gimana lagi, ketemu satu orang di jalan pun sudah ngeper duluan. Nah ini harus berhadapan dengan 120 orang sekaligus dalam satu tempat yang dibatasi pagar. 

Tapi rupanya, perasaan hati dag dig dug itu hanya muncul 30 menit pertama saja. Detik, dan langkah selanjutnya yang ditempuh kemudian terasa lebih lepas, ketika saya menyadari bahwa tak ada hal yang perlu ditakuti dari mereka. Mereka pun manusia biasa. Awalnya, memang mungkin saya takut akan ada tindakan-tindakan yang tak diduga. Tapi justru, tindakan yang diduga dari mereka itu sangatlah hangat, dan manis. Saat mereka melihat kamera yang dikalungkan di leher saya, dengan spontan mereka meminta foto, sambil saling berlomba berpose dengan gaya paling gokil. Semakin lama saya berdiri di sana, saya semakin merasa biasa saja, dan sedikit lebih bisa mendalami apa yang mereka rasakan. Walau kadang, gerakan mereka tuh aneh, bagai hidup masing-masing, seperti terlihat tidak terkoneksi satu sama lain dengan orang, ataupun benda di sekelilingnya.

Suasana sarapan di Yayasan Mentari Hati

Dari seluruh kawan-kawan Mentari Hati, tentu tingkah polahnya tak semuanya sama. Sama saja seperti kita di dalam sebuah lingkungan sekolah atau kantor. Ada yang bawel, lincah,  pendiam, atau bahkan terlihat seperti seorang pemimpin bagi kawan-kawannya yang lain. Tapi memang, beberapa di antaranya ada yang terlihat agak lebih parah sakitnya, sehingga ketika ia diberi makan di atas piring plastik, ia sengaja menumpahkannya ke tanah, lalu memungut butiran-butiran nasi tersebut dari tanah untuk baru kemudian ia makan. Foto-foto yang saya pilih untuk ditampilkan di sini memang lebih memperlihatkan kawan-kawan yang secara gaya berpakaian, dan aktivitas, tampak lebih sehat. Tak tega rasanya untuk menampilkan foto yang terlalu ekstrim.

Setelah hampir dua jam berada di area lapangan, saya dan Wildan pun keluar pagar. Setelah saya keluar, ada seorang bapak dari dalam yang memanggil saya kembali. Rupanya ia meminta diambilkan beberapa puntung rokok yang berada di sekitar kaki saya. Padahal dia sendiri sedang merokok. Pak Dadang yang melihat kejadian tersebut, melarang saya untuk memberikannya. Sepertinya bapak tadi mencoba untuk memperpanjang kenikmatan dari menyesap rokok yang sebetulnya sudah sangat pendek pula di jarinya. Namun, saya heran juga, kenapa ada banyak sekali puntung rokok di sini. Apakah kawan-kawan Mentari Hati ini memang diizinkan ke warung untuk beli garfit? Pak Dadang pun berkilah mendengar dugaan saya. Ia bercerita hal ini dikarenakan banyak supir-supir truk antar kota yang mangkal tepat di belakang yayasan ini. Saat malam, mereka sering sekali menjadikan area depan yayasan ini untuk merokok, dan mabuk-mabukan. Ia pun kemudian menunjukkan beberapa botol kaca yang tergeletak beberapa meter dari tempat kita berbincang.
 
Beberapa Kawan Mentari Hati berpose dan minta untuk dipotret
Karena matahari sudah semakin tinggi, dan udara semakin panas, saya dan Wildan pun kemudian mengucapkan terima kasih, dan berpamitan dengan Pak Dadang. Sungguh sebuah pengalaman yang luar biasa bagi  saya  pribadi. Kunjungan saya ke Mentari Hati berhasil mengubah stigma yang saya pendam terhadap kawan-kawan dengan gangguan kejiwaan, bahwa mereka sebetulnya bukan untuk ditakuti, tapi untuk dibantu. Sebetulnya, saya sempat diberi saran oleh seorang kawan di komunitas street photography di Bandung, untuk membuat sebuah project foto mengenai hal ini. Dengan tujuan, dapat menularkan stigma saya yang sudah berubah terhadap mereka ke lebih banyak orang. Namun hal ini, belum dapat terwujud, dikarenakan keterbatasan waktu, energi, dan biaya. Mau bagaimanapun, memang fotografi bukan pekerjaan utama saya. Tapi, semoga suatu saat nanti, ide yang disarankan ini bisa saya perjuangkan.


Baca juga: Explore Tasikmalaya Part 2: Santri, Masjid, dan Cirahong

Yayasan Mentari Hati
Jl. K. H. E. Z. Muttaqin, Mangkubumi
Tasikmalaya
Donasi:
Bank Mandiri a/n Yayasan Mentari Hati Tasikmalaya 131.00.1199.7642
Contact Person: 0852 2322 3239 / 0852 2236 6615 (Dadang Heryadi)