Ada satu hal yang terlarang dilakukan di Bandung. Nyebut bala-bala pake istilah “bakwan”. Ibaratnya what happened in Jakarta, stay in Jakarta atau dari kota lainnya yang juga menyebut mix vegetable fritters sebagai bakwan. This is Bandung, bung! Berasa aneh aja ketika disebutkan bersanding dengan gehu, leupeut, dan cireng.

 

Menu sarapan khas Pontianak di Kopi Saring Sinar Pagi Bandung


Namun sepertinya ada pengecualian untuk jenis gorengan yang satu ini, Bakwan Pontianak. Bentuknya rapih bener, bulat sempurna, karena pake cetakan juga. Tanpa kol, tanpa wortel. Sehingga orang Bandung pun segan menyebutnya bala-bala, karena tampilannya sama sekali tidak bala. Ditambah taburan ikan teri di atas seolah ingin mempertegas identitas. Bakwan Pontianak lebih lembut, tebal, dan terasa sekali taste ikan teri yang membuatnya semakin jauh dari pakem bala-bala. Cemilan ini baru saya temukan beberapahari lalu Bersama deretan menu sarapan khas Pontianak lainnya di Kopi Saring Sinar Pagi yang berlokasi di Jl. Lombok No.30, Bandung (iya, ini tiga nama daerah dalam satu lokasi).

 

Sebelumnya, saya blank tentang menu sarapan di Pontianak seperti apa, tapi sepertinya cukup dipengaruhi budaya Melayu seperti berapa kawasan di Sumatra. Contohnya, Kopi Saring seperti yang ada di Aceh, dan Kopi Tiam lainnya. Tiam sendiri berasal dari Bahasa Hokkien, yang artinya kedai, dan biasanya punya hidangan pendamping yang khas pula, bukan croissant atau mille crepes tentunya, tapi seperti roti srikaya atau pisang goreng, yang memang kedua menu tersebut tersedia pula di Kopi Saring Sinar Pagi. Tapi kali ini, srikayanya saya pilih berada di atas pisang goreng crispy yang hangat. Sedang di rotinya, saya pilih Roti Nougat yang luar biasa empuk. Rasanya yang creamy manis Cocok dengan kopi saringnya yang pekat.

 

Selain dari kopinya, pengaruh Hokkien juga terasa di menu bakmie, choipan, dan wontonnya. Buat saya yang pecinta bakmie, Bakmi Ayam asinnya worth buy banget tuh. Cuma 15ribu, udah bisa dapet seporsi bakmie, dengan 2 pcs wonton yang beneran full ayam di balik pangsitnya. Bakmienya sendiri tipenya tipe yang tipis dan kenyal, sehingga terasa ringan di mulut, dan semakin gurih dengan kuah kaldunya.

 

Wontonnya pun dapat dinikmati secara terpisah dari mie, dan bisa disantap Bersama chili oil yang super pedas. Dengan harga yang sama dengan bakmie, kita bisa dapat 5 pcs wonton. Namun buat yg nggak kuat pedas, harus waspada nih, lebih baik minta chili oil-nya terpisah dihidangkannya. Tapi kalau kepedesan, nggak perlu takut juga, teh tarik dingin siap mengademkan.

 

Nah, buat temen-temen yang berprinsip kalau tidak makan nasi sama dengan tidak makan, di Kopi Saring Sinar Pagi juga punya beberapa pilihan dengan nasi dan telur, ada Nasi Telur Pontianak, Nasi Telur Tuna, dan Nasi Ebi Daun Jeruk. Dari tiga menu ini, jelas Nasi Telur Pontianak pilihan menu yang paling bikin penasaran. Kalau sudah pakai nama daerahnya, itu berarti signaturenya dong. Nah dan ternyata, Nasi Telur Pontianak ini dihidangkan dengan ikan teri, sehingga aroma dan citarasanya khas didominasi asin gurihnya ikan teri, dikombinasikan dengan kecap manis. Sepertinya, ikan teri ini menjadi salah satu ciri khas kuliner Pontianak juga.

Suasana Sarapan di Kopi Saring Sinar Pagi

 

Dari harga menunya yang rata-rata di angka 10-20 ribuan, Kopi Saring Sinar Pagi bisa menjadi pilihan tempat sarapan di tengah kota Bandung yang sangat terjangkau, terutama buat para wisatawan lokal yang sedang bertandang bisa mampir. Karena dari Braga dekat, dari Dago dekat, apalagi dari Jl. Riau, bahkan dengan berjalan kaki pun 2-10 menit bisa sampai. Tapi saran aja nih buat temen-temen yang mau sarapan di sini, coba datang di sekitar pukul setengah 8 pagi, agar kondisinya tidak terlalu padat, juga agar suasana sarapan kita ditemani dengan hangatnya sinar mentari pagi yang menembus dari sela-sela gedung tinggi.

 

 

 

 


Nonton di hari premier, keluar bioskop, pulang ke rumah, buka laptop, gas nulis, upload sebelum tengah malam, spam postingan di socmed akun-akun film.

 

Begitu idealnya kalau ingin mendapat engagement & page view minimal seribu. Setidaknya empat tahun silam masih bisa begitu. Kini bisa posting setahun satu saja sudah syukur. Domainnya dibayar terus, blognya nggak keurus. Definisi real dibuang sayang.

 

Eh, jangankan nulisnya deng, nontonnya saja jarang-jarang. Tahun ini pun rasanya hanya tiga judul saja yang berhasil ditonton di bioskop, sisanya streaming via OTT, itu pun satu judul bisa dicicil sampai lima hari.

 

Dan akhirnya, di penayangan hari ke-17 film “Jatuh Cinta Seperti di Film-Film” atau katanya bisa disingkat  saja jadi #jesedef, ulasan ini bisa rampung juga. By the way, saya akan tetap menggunakan “Jatuh Cinta Seperti di Film-Film”, karena itu salah satu bagian penting dalam menulis ulasan seperti di akun-akun film, yaitu memanfaatkan SEO (Search Engine Optimization). Iya menulis kepanjangan SEO salah satu usaha SEO itu sendiri. Namun sebelum beranjak ke SEO, hal pertama yang harus dilakukan adalah membuat hook pada judul.

 

Baik ulasan tertulis, audio, maupun video, hook atau umpan, atau di dunia penulisan media populer zaman sekarang sering disamaartikan dengan “click bait” menjadi sangat penting agar audience mau melakukan action-nya dengan menekan tombol klik. Mau menyimak ulasannya sampai tuntas, itu perkara lain, yang penting mau baca dulu.

 

Apakah judul artikel ini cukup dapat menjadi hook yang menarik?

Buat saya, Iya.

Setidaknya, ketika judul ini terbesit dua pekan lalu, bahkan saat masih berada dalam studio bioskop.

 

Kalau sekarang?

Belum tentu. Belum diriset sih, tapi saya rasa akan ada satu atau dua reviewer yang akan menggunakan judul seperti ini untuk mengulas Jatuh Cinta Seperti di Film-Film setelah lebih dari dua pekan tayang.

 

By the way, tujuh paragraf lebih terlewati, marilah kita mulai ulasannya.

 

Iya, saya sengaja melakukan ini agar ada sedikit resemblance dengan salah satu scene film ini ketika judul film baru muncul di menit ke-20, lalu dibahas langsung pula dalam adegan oleh Bagus (Ringgo Agus Rahman) dan Pak Yoram (Alex Abbad). Jelas lah ini spoiler, tapi masalahnya tidak ada cara lain untuk mengulas film ini dengan baik tanpa spoiler sedikit pun. Mudah-mudahan kamu yang sudah baca sampai sini sudah membaca peringatannya dulu di judul. Jadi gimana? Ganggu nggak? :D

 

Sama dengan yang saya coba lakukan di artikel ini yang entah berhasil atau tidak tapi jelas sulit untuk menyamai, Jatuh Cinta Seperti di Film-Film memuat dialog yang seolah pikiran penonton tentang film ini dikuliti dan dijabarkan dengan gamblang, hingga komentar seperti “iya, lagi”, “kok bisa ya”, pun bermunculan di kepala. Nggak salah kalau katanya film ini disiapkan hingga delapan taun lamanya sampai bisa diproduksi. Selain naskahnya yang perlu dimatangkan, produser pun perlu diyakinkan. Dan hal itu tercermin pula dalam adegan-adegan diskusinya Pak Yoram dan Bagus yang berlapis-lapis bak Inception, sampai dibuat berpikir, “filmnya jadi yang mana?”. Diperkuat signature line Dion Wiyoko yang kerap berkata, “jadi ini beneran?” yang justru makin membuat berpikir yang mana adegan film ini yang sebenarnya. Lama-lama nyari gasing juga nih, buat mastiin Limbo atau bukan.

 


Soal cerita, kayanya justru nggak perlu diceritain, karena kalau diceritain jadinya sinopsis bukan ulasan. Tapi yang gila sih ternyata ada sekilas pre-story yang dimunculkan di music video Yura Yunita – Sudut Memori dan Donne Maula – Bercinta Lewat Kata yang memang menjadi original sound track Jatuh Cinta Seperti di Film-Film. Kedua music video ini sudah terlebih dahulu diluncurkan sebulan sebelum penayangan film. Entah bagaimana perasaan orang yang sudah menonton video klipnya duluan, tapi saya yang baru tau seminggu setelah nonton filmnya kerasa banget magisnya film ini. Bisa-bisanya bikin film yang nyelipin cerita penting justru di luar filmnya. Yakin deh, 500.000+ penonton filmnya belum semua juga nonton MV tersebut. Ditambah kalau nonton music video “Tenang” dari Yura Yunita juga yang tayang sejak dua tahun lalu. BOOM. Pemeran masih Ringgo Agus dan Nirina Zubir dengan potongan rambut seperti di film. Kalau yang ini nggak langsung nyambung sih, tapi tetep berasa terkoneksi dengan #jesedef, layaknya seperti melihat sequel filmnya, dan cukup membuat tersenyum.

 

Film hitam putih nggak pernah jadi masalah buat saya, Pleasantville dan Schindler’s List saja bisa dibabat habis. Tapi tanpa sinopsis jelas yang tercermin di dalam trailernya, sebetulnya nama Yandy Laurens di jajaran naskah dan sutradara sudah menjadi premis yang menarik buat saya. Fantasi dan hati menjadi dua aspek yang hampir selalu ada di film dan series besutannya, selain Dion Wiyoko dan Sheila Dara tentunya. Dua hal yang sepertinya sulit disatukan, tapi bisa-bisanya sukses ia leburkan. Time travel lah, bisa telepati, jadi transparan, hingga sebuah cerita yang story-ception berlapis-lapis seperti Jatuh Cinta Seperti di Film-Film.

Baca juga: Yandy Laurens Dan Roman Fantasi Yang Dibalut Dialog Hati

Namun fantasi baginya nampaknya hanya sebuah packaging untuk cerita intinya yang selalu bicara soal hati dan perasaan yang mendalam. Itulah mengapa di dalam karya-karyanya selalu ada take yang dibangun dengan dialog antar karakter yang lumayan panjang. Pelan, dan sesekali diberi jeda, tapi cukup membuat kita menarik nafas dan hanyut. Karakter Hana yang diperankan Nirina Zubir cukup banyak memperlihatkan momen-momen seperti ini, sampai berasa ikutan nyesek dengan kehilangan dan kekesalannya. Dan Ringgo just being Ringgo, entah kenapa seperti melihat kembali Agus di Jomblo (2006). Polos dan komedik. Sama-sama berjuang untuk cinta, tapi tidak dengan dialek Sunda.

 

“Ini film komersil kan, Gus?”, begitu tanya Pak Yoram. Dan memang komersil, makanya bisa mencapai setengah juta penonton. Namun sepertinya agak berat untuk mendapat enam angka nol di belakang angka satu, karena sulitnya unique selling point yang bisa diceritakan dalam trailer tanpa memberi spoiler, juga sulitnya mengedukasi pasar yang lebih menyukai film horror, juga memang pada pertengahan Desember ini mulai digempur Siksa Neraka. Lucunya, waktu keluar dari bioskop, memang realita memperlihatkan poster film ini bersanding secara head to head dengan sebuah film horror yang kemungkinan akan mencapai satu juta penonton.

 

Tapi segini juga udah uyuhan. Kalau kata bos saya, “good product sell itself”. Saya menyimak sendiri bagaimana film ini kemudian jadi perbincangan di social media dan memberi pengaruh word of mouth yang kuat, setidaknya di lingkaran saya, namun memang tetap tidak bisa merayu pasar mayoritas. Padahal, seandainya tipe film seperti ini bisa lebih banyak ditonton, bisa dibayangkan bagaimana makin beragam dan kreatif film-film Indonesia yang tayang dalam satu waktu.