Sebuah kamera film seukuran saku tak pernah lepas saya
pegang dari satu acara ke acara yang lain dengan 36 peluru di dalamnya. Jangan
tanya keberadaan kamera smartphone 15 tahun silam, bahkan kamera besar yang
dijual di pasaran pun masih banyak menggunakan roll film. Jaman dimana hobi
memotret butuh strategi, usaha dan uang saku yang lebih.
Dengan peluru yang terbatas, artinya menekan tombol rana
tidak bisa asal-asalan apalagi saat mendokumentasikan suatu acara, segalanya
harus diperhitungkan. Saya selalu menyiapkan daftar objek foto untuk diambil
agar peluru tak terbuang sia-sia. Mulai dari sambutan Kepala Sekolah hingga
sesi foto bersama panitia harus diperhitungkan.
Satu buah roll film paling banyak berisikan 36 peluru seharga
kurang lebih Rp. 30.000, ditambah dengan 1 bonus peluru yang biasanya diberikan
sehingga total amunisi yang saya bawa berjumlah 37. Untuk anak SMA pada tahun
2002, harga tersebut sudah cukup mahal, kira-kira setara dengan uang saku 7-10
hari sekolah, belum lagi untuk mencetak foto butuh sekitar Rp. 27.000 untuk
cuci dan afdruk foto.
Cuci cetak sudah mandatory hukumnya karena dokumentasi foto
cukup ribet untuk disimpan dalam bentuk softfile
kala itu. Kini orang sudah jarang sekali meng-afdruk foto karena lebih senang membiarkannya abadi di dalam tempat
penyimpanan digitalnya. Bahkan istilah afdruk
sudah jarang saya dengar kecuali dari orang tua saya. Sebagai gantinya, istilah
print kini menjadi lebih umum digunakan.
Selain istilah afdruk,
istilah “foto terbakar” menjadi kata yang populer untuk dijadikan joke di jaman tersebut. “Kade ah bisi
kabakar mun si eta ngiluan difoto”, sebuah candaan yang sudah punah berikut
dengan jaman keemasan kamera film. “Foto terbakar” merupakan sebuah kondisi di
mana kamera terlalu banyak menangkap cahaya matahari, sehingga hasil foto akan
ter-expose warna jingga. Uniknya kini “foto terbakar” menjadi sebuah trend foto
yang dicari di kalangan penggemar foto vintage, bahkan beberapa aplikasi
editing di smartphone menyediakan fitur untuk membuat hasil jepretan kamera
digital memiliki sentuhan seperti “terbakar”.
Jaman tersebut merupakan jaman di mana hobi memotret butuh
strategi, usaha dan uang saku yang lebih. Satu buah roll film paling banyak
berisikan 36 peluru seharga kurang lebih 30.000 rupiah, untuk anak SMA di tahun
2002, harga tersebut sudah cukup mahal, kira-kira setara dengan uang saku 7-10
hari sekolah, belum lagi untuk mencetak foto butuh sekitar 27.000 Rupiah untuk
cuci dan afdruk foto. Cuci cetak sudah mandatory hukumnya karena dokumentasi
foto cukup ribet untuk disimpan dalam bentuk softfile kala itu.
Jelang kelulusan dari SMA, saya masih belum memiliki kamera
film sendiri, namun sudah dibuat terpukau dengan kehadiran teknologi digital
kamera yang sudah merambah dunia saat itu. Acara perpisahan SMA di Gedung
Nurtanio Bandung menjadi pengalaman pertama saya menggunakan kamera digital.
Tak perlu takut “terbakar” hasil fotonya, karena setiap gambar yang sudah
diambil dapat dilihat hasilnya langsung pada kamera. Lebih hemat sudah pasti,
karena tak perlu melalui proses cuci cetak, hasilnya pun dapat dengan mudah
disimpan di komputer. Di tahun yang sama telepon genggam yang memiliki
kemampuan menangkap gambar pun hadir di Indonesia dan langsung menjadi trend
anak muda saat itu. Teman-teman sekelas yang sudah dapat memiliki telepon
berkamera langsung dicap sebagai anak orang yang cukup berada, karena harganya
yang di luar daya beli rata-rata masyarakat saat itu.
Tahun 2017, saya masih tak bosan melihat dunia dari belakang
jendela bidik, bahkan seringkali mendapat penghasilan tambahan dengan menjadi
juru potret. Saya pun beberapa kali berganti pekerjan di beberapa perusahaan
yang sebenarnya tak ada hubungannya dengan fotografi, namun saya tetap
ditempatkan sebagai juru tembak bersenjatakan kamera dalam hampir setiap
acaranya. Bahkan dalam sebuah acara family gathering kantor, saya sama sekali
tak mendapatkan foto diri saya tersimpan dalam folder dokumentasi acara, karena
sepanjang acara selalu saya yang berada di belakang jendela bidik, bergerak
liar di luar lingkaran kelompok. Bisa jadi gerakan saya sama sekali sudah tak
disadari orang. Melihat hasil foto bersama di akhir acara, saya jadi berpikir,
apakah mereka akan ingat saya saat 10 tahun kemudian melihat kembali foto
tersebut?