“Wakil Ketua OSIS teh malu-maluin ih, kerjanya Cuma jadi seksi dokumentasi aja tiap acara”, begitu sindir Niken, Sekretaris Umum OSIS di sekolah,  ditambah nada sedikit kesal. Percakapan ini terjadi sekitar tahun 2003/2004 saat saya sedang gemar mengikuti organisasi dan berbagai kegiatan ekstrakurikuler di Sekolah Menengah Atas. Tak salah memang apa yang dikatakan Niken, dalam hampir setiap acara yang dibuat oleh kami di sekolah, menekan tombol rana dibalik jendela bidik menjadi peran favorite saya dalam sebuah susunan kepanitiaan acara. Peran di luar tukang jepret jarang saya lakukan dalam acara-acara yang digelar organisasi, padahal saya menyandang posisi sebagai orang nomor 2 di OSIS setelah dikalahkan telak oleh Ardi, sang Ketua OSIS dalam pemungutan suara karena tak dapat bersaing secara popularitas.

Sebuah kamera film seukuran saku tak pernah lepas saya pegang dari satu acara ke acara yang lain dengan 36 peluru di dalamnya. Jangan tanya keberadaan kamera smartphone  15 tahun silam, bahkan kamera besar yang dijual di pasaran pun masih banyak menggunakan roll film. Jaman dimana hobi memotret butuh strategi, usaha dan uang saku yang lebih.
Dengan peluru yang terbatas, artinya menekan tombol rana tidak bisa asal-asalan apalagi saat mendokumentasikan suatu acara, segalanya harus diperhitungkan. Saya selalu menyiapkan daftar objek foto untuk diambil agar peluru tak terbuang sia-sia. Mulai dari sambutan Kepala Sekolah hingga sesi foto bersama panitia harus diperhitungkan.

Satu buah roll film paling banyak berisikan 36 peluru seharga kurang lebih Rp. 30.000, ditambah dengan 1 bonus peluru yang biasanya diberikan sehingga total amunisi yang saya bawa berjumlah 37. Untuk anak SMA pada tahun 2002, harga tersebut sudah cukup mahal, kira-kira setara dengan uang saku 7-10 hari sekolah, belum lagi untuk mencetak foto butuh sekitar Rp. 27.000 untuk cuci dan afdruk foto. 

Cuci cetak sudah mandatory hukumnya karena dokumentasi foto cukup ribet untuk disimpan dalam bentuk softfile kala itu. Kini orang sudah jarang sekali meng-afdruk foto karena lebih senang membiarkannya abadi di dalam tempat penyimpanan digitalnya. Bahkan istilah afdruk sudah jarang saya dengar kecuali dari orang tua saya. Sebagai gantinya, istilah print kini menjadi lebih umum digunakan.
Selain istilah afdruk, istilah “foto terbakar” menjadi kata yang populer untuk dijadikan joke di jaman tersebut. “Kade ah bisi kabakar mun si eta ngiluan difoto”, sebuah candaan yang sudah punah berikut dengan jaman keemasan kamera film. “Foto terbakar” merupakan sebuah kondisi di mana kamera terlalu banyak menangkap cahaya matahari, sehingga hasil foto akan ter-expose warna jingga. Uniknya kini “foto terbakar” menjadi sebuah trend foto yang dicari di kalangan penggemar foto vintage, bahkan beberapa aplikasi editing di smartphone menyediakan fitur untuk membuat hasil jepretan kamera digital memiliki sentuhan seperti “terbakar”.

Jaman tersebut merupakan jaman di mana hobi memotret butuh strategi, usaha dan uang saku yang lebih. Satu buah roll film paling banyak berisikan 36 peluru seharga kurang lebih 30.000 rupiah, untuk anak SMA di tahun 2002, harga tersebut sudah cukup mahal, kira-kira setara dengan uang saku 7-10 hari sekolah, belum lagi untuk mencetak foto butuh sekitar 27.000 Rupiah untuk cuci dan afdruk foto. Cuci cetak sudah mandatory hukumnya karena dokumentasi foto cukup ribet untuk disimpan dalam bentuk softfile kala itu. 

Jelang kelulusan dari SMA, saya masih belum memiliki kamera film sendiri, namun sudah dibuat terpukau dengan kehadiran teknologi digital kamera yang sudah merambah dunia saat itu. Acara perpisahan SMA di Gedung Nurtanio Bandung menjadi pengalaman pertama saya menggunakan kamera digital. Tak perlu takut “terbakar” hasil fotonya, karena setiap gambar yang sudah diambil dapat dilihat hasilnya langsung pada kamera. Lebih hemat sudah pasti, karena tak perlu melalui proses cuci cetak, hasilnya pun dapat dengan mudah disimpan di komputer. Di tahun yang sama telepon genggam yang memiliki kemampuan menangkap gambar pun hadir di Indonesia dan langsung menjadi trend anak muda saat itu. Teman-teman sekelas yang sudah dapat memiliki telepon berkamera langsung dicap sebagai anak orang yang cukup berada, karena harganya yang di luar daya beli rata-rata masyarakat saat itu.

Tahun 2017, saya masih tak bosan melihat dunia dari belakang jendela bidik, bahkan seringkali mendapat penghasilan tambahan dengan menjadi juru potret. Saya pun beberapa kali berganti pekerjan di beberapa perusahaan yang sebenarnya tak ada hubungannya dengan fotografi, namun saya tetap ditempatkan sebagai juru tembak bersenjatakan kamera dalam hampir setiap acaranya. Bahkan dalam sebuah acara family gathering kantor, saya sama sekali tak mendapatkan foto diri saya tersimpan dalam folder dokumentasi acara, karena sepanjang acara selalu saya yang berada di belakang jendela bidik, bergerak liar di luar lingkaran kelompok. Bisa jadi gerakan saya sama sekali sudah tak disadari orang. Melihat hasil foto bersama di akhir acara, saya jadi berpikir, apakah mereka akan ingat saya saat 10 tahun kemudian melihat kembali foto tersebut?