“Belum kenalan nih sama tetangga,” tiba-tiba suara berat di sebelah saya menegur sambil menyodorkan tangannya. “Rico,” lanjutnya memperkenalkan nama. “Irfan,” balas saya menyebutkan nama dengan nada sedikit gugup bercampur kaget. Tanpa ia menyebutkan namanya, sebenarnya saya sudah tahu persis siapa orang di sebelah saya ini saat  ia pertama kali masuk ke dalam ruangan. Dialah Rico Tampatty, aktor senior yang namanya sudah malang melintang di dunia persinetronan Indonesia. Oke, saya dulu memang pernah menjadi penonton sinetron pada akhir dekade 90-an sampai awal 2000-an. Bukan tanpa alasan tentunya bila saya dulu pernah betah saat cerita seri yang ditayangkan di televisi Indonesia itu muncul di layar kaca. Perangkat pesawat televisi yang hanya ada satu-satunya di rumah memaksa saya menonton apa saja yang disetel oleh orang tua sebagai hiburan kala malam hari tiba. Ibu, sang penguasa remote lah yang kemudian mengarahkan akan ke mana jalan pandangan ini. Kalau sekarang sih, mesin pintar portable bernama laptop sudah sedia menemani saat selera tontonan saya dengan ibu sudah berbeda jalan.

Bung Rico Tampatty ini memang menjadi salah satu aktor yang tampil di film lokal indie berjudul “KaWe 2” yang ditayangkan di Bioskop De Majestic Bandung malam hari itu. Di film tersebut, ia berperan sebagai seorang ayah dari pemeran utama wanita. Sejujurnya, poster film yang dipajang sejak seminggu ke belakang di pelataran depan Gedung De Majestic ini sama sekali tak menarik. Namun karena tuntutan pekerjaan serta penasaran ingin merasakan kembali suasana nonton film di bioskop legendaris Bandung ini, akhirnya saya hadir pada minggu malam hari itu. Ketemu Bung Rico-nya sih hanya bonus saja, karena tanpa disangka-sangka ia menolak duduk di kursi VIP yang sudah disediakan berbagai macam cemilan di tribun atas. Ia kemudian memilih kursi tepat di samping saya yg duduk di tribun tengah.

Gedung Bioskop ini tidak seperti bioskop masa kini pada umumnya, bagian tempat duduk paling atas diberi pagar dan meja-meja untuk meletakkan hidangan. Jaman dulu pun memang bioskop ini menjual tiket dengan harga yang berbeda pada pengunjung. Semakin atas posisi kursinya, semakin mahal harga tiketnya, terutama tiket kursi yang terletak di balkon. Namun sayangnya, setelah direvitalisasi, balkonnya kini tidak dapat digunakan untuk pengunjung menyaksikan film. Area ini kini hanya dapat diakses oleh crew yang mengatur jalannya pertunjukkan.

Setelah film mulai diputar, saya langsung mengetahui kalau dugaan saya mengenai kualitas film yang mungkin kurang menarik saat dilihat dari segi poster itu benar. Jalan cerita yang membosankan ditambah sinematografi yang buruk membuat saya ragu akan keberhasilan film tersebut untuk dapat   menarik massa hadir ke dalam gedung bioskop. Pada film tersebut, seringkali adegan si pemeran tiba-tiba gerakannya menjadi slow motion pada waktu yang tak tepat. Ada pula adegan saat salah satu tokoh utama sedang dikerok punggungnya, tiba-tiba warna merah hasil kerokannya hilang saat kamera berganti angle, tokoh wanita yang mengetik di laptop yang belum dinyalakan pun membuat seorang kawan yang saya ajak malam itu tersenyum geli dan tak dapat menahan diri untuk berkomentar. Dapat dibilang film “KaWe 2” ini hanya menjual nama-nama besar artis senior seperti Rico Tampatty dan Sarah Vi, serta beberapa pemain sinetron Preman Pensiun yang sempat booming beberapa tahun lalu.

Setelah film selesai, kawan saya yang duduk di samping kanan saya menyuruh untuk memberikan ucapan selamat kepada Bung Rico Tampatty yang duduk di sebelah kiri saya. Walau cerita dan editing film tersebut sangat buruk, di film tersebut Bung Rico tetap melakukan actingnya dengan baik. Lampu ruangan yang kemudian dinyalakan oleh petugas, membuat saya menyadari bahwa sudah sangat lama sekali saya melihat actingnya di televisi. Rambutnya kini mulai memutih dan kulit wajahnya sudah sedikit mengkerut. Sebelum memerankan peran seorang ayah seperti sekarang ini, saya ingat sebuah sinetron yang ia bintangi sekitar awal tahun 2000-an. Saya hampir lupa judulnya, hingga rasa penasaran membuat saya meng-googling profil beliau di Wikipedia dan menemukan judul “Jangan Ada Dusta.” Saya langsung yakin bahwa itu judul sinetron yang saya tonton dulu setelah membayangkan nada lagu soundtracknya yang berjudulkan sama persis dengan judul sinteron tersebut. Suara vokal Broery Marantika dan Dewi Yull yang khas selalu mengalun saat menjelang dan setelah iklan komersial ditayangkan. Dalam sinetron tersebut Rico Tampatty berperan sebagai seorang suami yang berselingkuh terhadap istrinya yang diperankan Inneke Koesherawaty, saat itu Mba Inneke pun belum berhijab seperti sekarang.

Sedikit kesan dari nonton film di Gedung De Majestic yang baru ini, ternyata tempatnya menjadi sangat mewah. Saya ingat terakhir kali masuk ke dalamnya adalah pada saat masih berstatus pelajar SMA. Salah satu tugas sekolah yang diberikan adalah menulis resensi pertunjukkan kabaret yang disaksikan di Gedung De Majestic yang saat itu masih bernama AACC (Asia Africa Cultural Centre). Lampu ruangan sangat redup, tidak seterang seperti saat ini. Bagian lantainya diselimuti oleh karpet, sehingga para penonton yang datang untuk menyaksikan pertunjukkan harus duduk lesehan. Peralatan lighting dan layar yang dipasang di panggung kini sudah sangat baik kualitasnya untuk digunakan menggelar pertunjukkan. Bahkan saat saya bertanya kepada pihak pengelola, layar yang dipasang pada bioskop ini telah menggunakan layar standar seperti yang digunakan oleh bioskop komersil yang ada di mall-mall ternama di Bandung. 

Sebagai agenda pamungkas, kemudian konferensi pers pun digelar di panggung De Majestic, Bung Rico pun ikut maju ke atas panggung. Dengan deretan artis yang duduk di panggung yang disorot peralatan lighting canggih ini memang membuat acara tersebut terlihat sangat mewah. Namun sayangnya hal ini belum diimbangi dengan kualitas film yang memadai. Setelah konferensi pers selesai, saya pun lalu bergegas pulang. Sambil berjalan gontai saya melintasi sebuah poster yang nampaknya akan menjadi film berikut yang akan ditayangkan di sini. Dari beberapa pemerannya dan nama rumah produksinya yang sama dengan film “KaWe 2”, saya sudah suudzon terlebih dahulu kalau kualitas film yang ditampilkannya takkan jauh berbeda dengan film perdananya. Gedung ini boleh bangga punya paras cantik mempesona yang enak dipandang mata. Namun tanpa adanya sebuah jiwa, kebangkitan hanya menjadi impian belaka.