“Nguuuuuuuuuuuuuungggg”, terdengar sirine panjang pukul
setengah lima pagi, berbunyi bukan karena kebakaran, bukan pula karena ada
maling masuk komplek. Suara panjang yang terdengar nyaring merupakan tanda bahwa
waktu imsak sudah tiba, setidaknya begitulah tandanya di Gg. Pepaya No. 109
Cijerah Bandung.
Foto Ilustrasi |
Separuh masa kecil saya dihabiskan di tempat tersebut,
begitu hari libur tiba hampir pasti saya menginap di kediaman Nenek saya di
Cijerah. Bukan tanpa alasan, tempat tinggal saya yang mendiami rumah orang tua
dari Ibu saya di Pagarsih tidak memiliki sepupu yang sepantar dengan saya.
Seperti banyak anak-anak kebanyakan, saya dan para sepupu
selalu menyambut gembira datangnya Bulan Ramadhan, selain karena kegiatannya
yang selalu ramai dengan berbagai pernak-pernik, tentunya datangnya Ramadhan
berarti tak jauh dengan datangnya hari raya Idul Fitri dimana anak-anak sebaya
dalam keluarga ‘nagih THR’ kepada orang dewasa.
Tak jauh dengan anak-anak lainnya, berbagai macam petasan
dan kembang api pun menjadi favorite permainan saya dan sepupu, selain daripada
kartu bergambar dan ‘tazoos’ yang
merupakan hadiah langsung makanan ringan ‘chiki ball’, kadang board game macam monopoli, halma dan
ular tangga pun menjadi alternatif.
Tak lupa buku agenda kegiatan ramadhan yang ikut menemani
Ramadhan saya di Cijerah yang tampaknya seluruh anak-anak di nusantara
memilikinya sebagai PR untuk dikerjakan selama masa libur Ramadhan-Lebaran
tiba. Dan disinilah kreatifitas anak-anak tahun 90-an diuji, 30 khutbah dalam
sebulan untuk dihadiri cukup berat buat kebanyakan orang, apalagi bila sobat
akrab berada disisi, senda gurau yang ada, khutbah terlupa. Saya pribadi
berhasil mengisi penuh isi khutbah pada agenda kegiatan penuh dengan jujur,
jujur mencatat dari TV dan Koran, dan meminta ayah dan paman untuk mengisi
kolom tanda tangan Ustadz secara selang-seling, sementara teman saya yang lain
sampai memalsukan cap masjid.
Bila cuaca cukup cerah saya dan sepupu berkeliling komplek
buah-buahan di Cijerah, disebut komplek buah-buahan karena nama gangnya dinamai
nama buah, dari mulai manggis sampai durian. Sampai di suatu hari kami pernah
menemukan seekor burung dengan bulu warna sangat indah tergeletak tak bernyawa
di pinggir jalan, tak begitu tau jenis burung tersebut tetapi kami beri nama ‘Irun’
pada nisan yang kami buat, yang merupakan kebalikan ejaan dari Nuri. Nisan yang
terbuat dari sebatang kayu berwarna putih tertancap di samping jalan, dan luar
biasanya sampai sekitar 7-8 tahun waktu terlewat, nisan tersebut masih ada di
titik yang kami tinggalkan dan masih berukir nama burung yang kami beri.
Dalam satu bulan Ramadhan, ada sekitar waktu dua minggu kita
masih harus bersekolah namun tak bisa jajan makanan, karena para pedagang
jajanan di depan sekolah berganti barang jualan menjadi yang tak dapat dimakan.
Tukang sirop yang biasa berjualan pun memilih menjadi tukang sewa Game Bot, yang masing-masing alatnya diikat
dengan sebuah tali agar tidak dibawa pulang. Mamang yang biasa berjualan
martabak mini kini berjualan lotre berhadiah mainan, yang bila dipikirkan
kembali aneh juga mengajarkan anak-anak untuk menahan lapar, akan tetapi
mengajarkan juga anak-anak untuk (sejenis) berjudi.
Waktu bergerak cepat, dari SD ke SMP sampai SMA dan kuliah,
saya mulai jarang menghabiskan masa liburan saya di rumah nenek di Cijerah. Di
masa ini jangkauan bermain saya makin luas, jaringan pertemanan saya makin
banyak. Ramadhan sudah bukan soal menghabiskan waktu dengan keluarga, tapi
dengan teman-teman. Hampir setiap akhir pekan undangan berbuka puasa bersama
dari kelompok pertemanan yang berbeda selalu datang mengajak saya untuk selalu
berbuka puasa di tempat yang cukup hedon bila dibandingkan dengan tempat dan
hidangan buka puasa saya setiap harinya di rumah, kadangkala rumah benar-benar
dijadikan tempat singgah untuk tidur saja. Shalat Tarawih di Masjid yang
dikerjakan untuk mengisi agenda kegiatan ramadhan, kini hanya dikerjakan sekali-kali,
bahkan pernah di beberapa tahun ke belakang, saya benar-benar tidak mengerjakan
shalat tarawih selama 2 x Ramadhan.
Beranjak ke dalam lingkungan pekerjaan, bulan Ramadhan tak
ayalnya hanya menjadi sebuah kegiatan menahan nafsu makan belaka. Tak ada
keceriaan berlebih saat Ramadhan tiba kecuali saat THR (Tunjangan Hari Raya)
mulai terlihat hilalnya, sedikit berbeda ketika saya mulai bekerja lapangan
yang menuntut saya untuk bergerak cepat dari satu tempat ke tempat lainnya
dalam keadaan berpuasa. Seringkali saya bertemu dengan client yang membawa putranya ketika kami berjanji dalam sebuah
pertemuan, putranya tampak sangat excited
menghadapi puasa di tahun pertamanya walau tidak penuh. Ia tampak senang
dan meminta ayahnya berjanji untuk membelikan gadget terbaru sebagai syarat bila ia berhasil menamatkan seluruh
hari dalam puasanya. Tak ada kembang api, tak ada kartu bergambar, adapun
permainan monopoli namun diakses pada sebuah smartphone. Keceriaan yang sama, namun rasa yang berbeda.
Bila kita lihat kembali, Bulan Ramadhan akan selalu sama
setiap waktunya, Ibadah Shaum sebulan penuh, shalat tarawih setelah berbuka,
serta berbagai keceriaan murni ketika menyambut datangnya Ramadhan. Rasa yang berbeda
bukan datang dari Bulan Ramadhan, tetapi dari kita sendiri yang setiap
tahun tumbuh, dan mulai memperlakukan Ramadhan dengan cara yang berbeda.