Catatan Ingatan dari Tanah Baduy | Part 1

"Ayo ikut, ayo ikut!!" Tiba-tiba saja ibu yang dari tadi ikut berjalan bersama kami dari Kampung Gajeboh Baduy menarik kencang tangan Imam yang baru saja memberikannya sebungkus roti dan sekaleng susu dari mini market.

Sontak saja, Imam yang terkejut pun langsung berlari ketakutan dan mencari tempat bersembunyi yang aman. Warga sekitar yang membantu menjauhkan ibu itu dari rombongan kami pun memberi tanda kepada kami dengan memutar telunjuk di samping kepalanya, mengisyaratkan ketidakwarasan. Melihat kejadian tersebut terjadi pada salah satu anggota kami, kami yang tadinya hendak menghabiskan waktu lebih lama untuk bersantai di Kampung Ciboleger pun segera bergegas naik ke kendaraan microbus yang akan membawa kami pulang ke rumah.
Pintu masuk menuju area Baduy di Kampung Ciboleger


Beberapa teman mulai menaikkan barang bawaan ke atas atap, sementara saya mencari Imam yang ternyata sudah lari jauh menunggu di jalan raya. Kejadian tersebut tentunya tak akan pernah bisa kami bertujuhbelas lupakan dalam pengalaman traveling kali ini.

Awal ketertarikan saya untuk melakukan perjalanan ke Baduy sebenarnya sudah sejak lama, namun baru awal Agustus 2018 lalu, kesempatan itu datang. Sebuah jasa open trip bernama Rumah Jauh Project yang dipromosikan seorang kawan di Instagram dengan judul 'One Day Offline', cukup mencuri perhatian saya, hingga kemudian berpikir bahwa saya harus mencoba pengalaman traveling ke Baduy. Bagi saya yang sehari-harinya bekerja dengan sosial media, perjalanan ini dapat menjadi sebuah short getaway.

Tak ingin sendirian, saya pun mengajak beberapa orang kawan untuk ikut serta. Manda dan Nurul adalah dua orang kawan yang kemudian menyanggupi untuk berpartisipasi setelah broadcast di berbagai chat group sana sini. Karena Manda sudah tinggal di Jakarta, saya dan Nurul yang berada di Bandung yang kemudian harus mengatur perjalanan tambahan untuk dapat sampai tepat pada waktunya di Stasiun Tanah Abang yang menjadi meeting point kami.


Setibanya kami berdua di Stasiun Tanah Abang pada waktu yang dijanjikan, kami pun bertemu dengan Manda yang rupanya telah bersama kawan-kawan baru dalam open trip ini. Ada Imam yang rupanya teman kuliah Nurul, lalu ada Acing, Mas Daud, Ryan, Om Edoth, Bunda Dita, Adi, Acha, Endar, Ivan, dan dua orang yang menjadi host kami yakni Uda Yogi dan Ucky Wildan.

Setelah berkumpul semua, kami pun langsung naik commuter ke Stasiun Rangkasbitung. Bagi saya pribadi, ini kali pertama saya menggunakan commuter, dan rasanya cukup takjub melihat bagaimana penumpang KRL itu selalu terlihat sangat terburu-buru, baik saat masuk, maupun saat keluar, sebuah pemandangan yang tak pernah saya lihat sebelumnya ketika berada di Bandung.
Suasana di dalam KRL menuju Rangkasbitung

Sesampainya di Stasiun Rangkasbitung, kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan microbus yang mengantarkan kami langsung ke Kampung Ciboleger yang merupakan kampung terluar dari kawasan Baduy. Namun, sedikit kaget rasanya ketika melihat sebuah minimarket berdiri di salah satu pojok area ini. Ditambah saat di dalamnya, kami berpapasan dengan orang Baduy Dalam (cirinya menggunakan baju putih) yang membeli beberapa cemilan dan membayarnya ke kasir tanpa mengantre.

Tak mau berlama-lama, kami pun langsung tancap gas menuju Kampung Gajeboh yang menjadi tempat menginap kami selama di Baduy. Awalnya sih memang tancap gas, namun mesin pada tubuh dan kaki kami yang lama sudah tak digunakan berjalan jauh pun sering ngadat selama di perjalanan, terutama setelah melewati tanjakan curam. Akan tetapi, bagaikan sudah tahu dengan kondisi kami, setiap tanjakan yang dilewati selalu saja terdapat penjual air kelapa di puncaknya. Perjalanan penuh perjuangan kami ini menghabiskan waktu sekitar 3 jam.
Rute perjalanan menuju Kampung Gajeboh di area Baduy Luar


Sebelum sampai Gajeboh, kami melintasi empat kampung lainnya yang juga cukup menarik. Karena masih di kawasan Baduy Luar, beberapa warga masih terlihat berjalan menggunakan sandal, serta pakaian di luar pakaian adat. Beberapa rumah pun tampak menjual produk-produk makanan dan minuman branded yang umumnya dapat kami temukan di warung-warung dekat rumah. Namun, pemandangan istimewa yang kami temukan selama perjalanan adalah para perempuan yang bekerja menenun kain untuk dijual sebagai souvenir.

Belakangan, saya menyadari bahwa perempuan ini tak hanya sekedar menenun, namun juga memang telah diatur agar menjadi atraksi wisata dan objek fotografi wisatawan yang berkunjung. Karena saat saya mampir ke Kampung Cicakal (masih Baduy Luar) yang notabenenya bukan merupakan jalur wisatawan, aktivitas seperti ini tidak ditemukan.
Aktivitas menenun banyak dijumpai dalam jalur menuju Kampung Gajeboh

Akhirnya kami pun tiba di Kampung Gajeboh pada sekitar pukul 4 sore dengan sebuah tanda silang di layar kanan atas smartphone. Ya, setidaknya gadget kami masih dapat berfungsi sebagai penunjuk waktu. Di Kampung Gajeboh, kami pun langsung dibuat kaget dengan pedagang bakso dan cincau keliling yang ternyata mangkal di depan homestay. Mereka sendiri bukan warga Baduy, namun saat akhir pekan tiba, mereka mengikuti jalur perjalanan wisatawan yang melelahkan untuk menambah penghasilan.
Pedagang bakso keliling yang berjualan sampai Kampung Gajeboh


Sama halnya dengan kami, beberapa warga Kampung Gajeboh pun memiliki telepon seluler untuk berkomunikasi dengan dunia luar, namun untuk dapat mengirimkan pesan, mereka harus mendaki bukit terdekat agar sinyal operator telepon dapat dicapai. Sedangkan untuk mengisi daya baterai, mereka harus pergi ke kampung terluar, karena di sini sama sekali tak ada aliran listrik.

Tak jauh dari tempat kami tinggal, ada sungai yang digunakan warga untuk melakukan kegiatan Mandi, Cuci, Kakus (MCK). Ya, salah satu tantangan besar kami di sini adalah kami pun harus melakukan hal yang sama dengan mereka. Namun untuk mandi, buang air, ataupun sekedar bermain air, kami dilarang untuk menggunakan area sungai yang ada setelah melewati sebuah jembatan. Alasan utamanya adalah agar air yang kami pakai tidak mengalir ke tempat di mana warga kampung melakukan aktivitasnya.
Jembatan bambu menjadi penyambung akses warga dari kampung ke kampung

Saat mentari mulai berganti peran dengan rembulan, kampung ini pun memperlihatkan wajahnya yang lain, gelap total, dan hanya mengandalkan benda-benda langit sebagai alat penerangannya. Mayoritas warga pun sudah tak berkeliaran di luar rumah. Awalnya, saya dan kawan-kawan lain yang sudah sangat terbiasa dengan teknologi dibuat mati gaya. Terkadang, jari-jari kami tak kuasa menahan gerak refleks untuk membuka layar smartphone dan mengharapkan ada beberapa notifikasi yang masuk.

Berbincang menjadi jalan keluar satu-satunya agar kami tetap berkutik menghadapi malam. Cerita akrab yang diselingi kelakar hangat, menambah sedap macaroni goreng yang digilir tangan-tangan lapar. Sesi tersebut membawa kami untuk mengenal lebih jauh tentang sosok Mas Daud yang ternyata merupakan seorang fotografer National Geographic Asia. Ia juga terlahir sebagai orang Pakistan tulen. Karena sudah lama tinggal di Indonesia, hal tersebut sama sekali tidak tercermin dari cara bicaranya, sementara wajahnya pun tak begitu mencirikan tempat ia berasal.

Usai puas meleburkan hasrat berbicara, berburu “Bima Sakti”menjadi aktivitas lanjutan kami untuk menutup malam. Langit musim panas pun tampak sangat mendukung dengan menelanjangi gugusan bintang tersebut di tengah hitamnya angkasa Baduy saat itu. Bagi saya sendiri, inilah pertama kalinya saya dapat melihat dan mengabadikan langsung galaxy yang mempunyai alias Milky Way tersebut.
Milky Way terlihat jelas di atas rumah adat di tanah Baduy


Tak terasa, angka digital pada gawai telah menunjukkan waktu yang cukup larut. Masing-masing dari kami pun mulai memasuki rumah tinggal, meraba sedikit ruang untuk mengamankan tempat berbaring, lalu terbangun dengan cahaya subuh yang jatuh menembus celah bilik. Setelah satu per satu dari kami berhasil menuntaskan perjuangan menghapus rasa kantuk dan malas, kami pun beranjak untuk menghabiskan pagi di seberang sungai dengan mengambil beberapa foto dan berbincang, karena hanya di kawasan Baduy Luar inilah kami dapat merekam ingatan melalui kamera. 


Baca lanjutannya di: Catatan Ingatan dari Tanah Baduy | Part 2

0 komentar:

Posting Komentar