Kritik Budaya Patriarki Lewat Komedi Kocak Ala Saiyo Sakato

Baru minggu lalu saya menonton film dengan latar belakang cerita usaha Rumah Makan Padang lewat “Tabula Rasa”. Lalu minggu ini, saya menjumpai cerita berlatar sejenis lewat serial yang tayang terbatas di layanan streaming GoPlay, yakni “Saiyo Sakato”. Tabula Rasa sendiri sebetulnya film yang sudah tayang tujuh tahun silam. Raihan empat Piala Citra pada ajang FFI (Festival Film Indonesia) 2014, tentu menjadi daya tarik lebih saat film ini mulai terpajang di menu Netflix.

 

Kedua judul ini memiliki nuansa dan karakter yang bagi saya luar biasa sangat mirip. Walaupun, dari segi cerita tentu berbeda jauh. Tapi dengan menonton keduanya, saya jadi dapat membayangkan kehidupan keluarga yang menjalankan usaha Rumah Makan Padang yang jauh dari kampuang halamannya. Mereka sungguh teliti soal rasa, dan begitu disiplin menjaga warisan budayanya. Di samping itu, saya pun menjadi mengenal lebih banyak masakan Padang selain Rendang, Daging Cincang, Ayam Pop, dan Talua Dadar, yang biasa menjadi template menu yang saya pilih saat menyantap Nasi Padang. Karena banyak visual adegan memasak, keduanya pun dijamin dapat membuat penontonnya ngidam masakan Padang usai menyaksikannya. 

 

Tabula Rasa dan Saiyo Sakato sebetulnya sama-sama menggambarkan kehidupan orang awak secara nyata, dan sederhana di perantauan. Keduanya pun memiliki bumbu konflik antar saudara dalam menjalankan bisnis rumah makan. Namun di samping bercerita soal rasa, dan usaha, Saiyo Sakato mencoba juga mengirimkan kritik atas budaya patriarki yang secara gamblang disampaikannya dalam setiap lembaran episodenya.

 

Alkisah diceritakan di awal cerita, Uda Zul yang merupakan pemilik Rumah Makan Padang Saiyo Sakato yang diperankan oleh Lukman Sardi meninggal dunia karena serangan jantung, dan mewariskan bisnisnya ini kepada istrinya Uni Mar yang diperankan oleh Cut Mini Theo. Hmm..oke, mungkin ada yang merasa pernah mendengar cerita ini? Yak, cerita Lukman Sardi sebagai suami, dan ayah yang meninggal di awal film yang meninggalkan Cut Mini yang berperan sebagai istri ini persis seperti awal cerita film “Orang Kaya Baru” besutan Ody C. Harahap yang tayang tahun 2019 lalu. Di dalam kedua film tersebut, praktis Lukman Sardi hanya tampil seiprit di awal, dan di hanya beberapa adegan flash back saja. Lalu sisanya ia tetap menjadi tokoh sentral yang terus disebut sepanjang film. Enak bener nih Om Lukman. :D

 

Tak lama setelah kepergian Uda Zul, Uni Mar yang tinggal dengan anak-anak, serta adik iparnya, kedatangan seorang perempuan muda bernama Nita yang mengaku telah diperistri juga oleh Uda Zul delapan tahun silam. Pernikahannya tersebut telah melahirkan seorang anak yang diberi nama Budi. Ternyata, Uda Zul terungkap telah berpoligami tanpa izin Uni Mar sebagai istri pertama. Adegan inilah yang memulai rangkaian pesan soal sisi negatif budaya patriarki di Indonesia yang disisipkan dengan begitu smooth ke dalam cerita seri sepuluh episode Saiyo Sakato.

 

Di samping soal Uda Zul yang berpoligami dengan berbohong kepada kedua istrinya, kritik mengenai patriarki juga disampaikan Sutradara Gina S. Noer melalui cerita kedua anak Uni Mar yang juga terkena dampaknya. Annisa yang merupakan anak sulung di keluarga, selalu terhalang keinginannya untuk menjadi penerus Saiyo Sakato karena posisinya sebagai perempuan. Di hampir setiap episodenya, ada saja adegan di mana Annisa dinasihati untuk segera mencari calon suami, dan menikah. Dalam salah satu adegan flash back, Uda Zul bahkan terang-terangan menyuruh Annisa untuk menikah, agar suaminya yang dapat menjadi penerus Saiyo Sakato. Kursi panas kepemilikan Saiyo Sakato yang tak dapat diteruskan Annisa akhirnya bergulir ke adik lelakinya Zaenal, yang justru sama sekali tidak menginginkannya. Alasan satu-satunya Zaenal dipilih oleh Uni Mar untuk meneruskan usaha keluarga, adalah hanya karena dia keturunan laki-laki satu-satunya dari Uda Zul. Di berbagai kesempatan, Uni Mar pun seringkali meremehkan kemampuan Annisa, dan ujung-ujungnya selalu meminta Annisa agar cepat menemukan pendamping.

 

Walaupun kental dengan kritik tentang budaya patriarki, Saiyo Sakato menyampaikannya secara ringan, santai, penuh dengan komedi kocak. Selain itu, dialog, serta pembawaan Cut Mini, dan juga Nirina Zubir yang memerankan Nita juga membuat konflik yang terjadi antara keduanya justru menjadi terasa lucu, ketimbang menegangkan. Tapi tentunya, tetap ada adegan-adegan menyentuh dari keduanya yang merupakan curhatan sedu istri-istri yang terluka. Saya rasa akting keduanya tak pernah mengecewakan. Apalagi salah satunya merupakan aktris langganan Piala Citra. Sejak Laskar Pelangi, hingga Dua Garis Biru tahun lalu, Cut Mini selalu menampilkan yang terbaik.

 

Kesimpulannya, Saiyo Sakato merupakan film seri yang enjoyable, dan akan disukai oleh penggemar tontonan yang menyajikan kesederhanaan hidup sehari-hari. Bagi yang menyukai Bajaj Bajuri, Suami-Suami Takut Istri, Get Married, dan Preman Pensiun, mungkin akan menyukai juga menonton Saiyo Sakato. Hal menarik lainnya juga hadir dari sisi penyajian teknik pengambilan adegan break the fourth wall (ala-ala Deadpool, di mana aktor berperan sekaligus menjadi narator yang bercerita ke kamera langsung, seolah-olah sedang berbicara dengan penonton). 

 

Penasaran kelanjutan ceritanya? Sila dapat mengunduh dulu layanan streaming GoPlay di smartphone-nya. Tarifnya tak menguras saldo kok. Untuk menonton kesepuluh episode Saiyo Sakato, saya cukup membayar paket hemat berlangganan satu minggu saja seharga Rp29.000. Yang pasti tulisan ini bukan endorse, tapi kalau pihak GoPlay ada sebuah niatan, tentu hamba tak menolak. Sila hubungi nomor telepon atau e-mail yang tertera di bio profile blog ini. :D

Baca juga: Tunnel, Serial Indonesia Adaptasi Korea Bertemakan Time Travel Yang Wajib Ditonton!

 


0 komentar:

Posting Komentar