A.D Pirous : Permata Meulaboh yang Berlabuh di Priangan.


Masih segar dalam ingatan, padahal sudah lewat lebih dari 10 tahun. Satu tayangan televisi menampilkan sebuah mesin pengeruk yang bergerak maju mundur mengangkut ribuan tubuh-tubuh tak bergerak untuk dikuburkan secara massal di sebuah liang lahat yang sangat besar. Tayangan tersebut hanya salah satu adegan dari beberapa rekaman yang ditayangkan berhari-hari bahkan berminggu-minggu oleh seluruh saluran televisi. Saat itu kosakata Tsunami masih terbilang baru bagi telinga orang Indonesia, jumlah ratusan ribu korban tewas bukan angka yang lumrah yang dapat diproses nurani.
Beda kepala, beda perasaan, beda ingatan. Bila saya hanya dapat mengingat tanah rencong dari berbagai kejadian yang diatayangkan di televisi, Bapak Abdul Djalil Pirous punya perasaan yang jauh lebih mendalam dari itu. Pria berusia 84 tahun ini merupakan putra asli Meulaboh, Aceh. Ingatannya ia tuangkan dalam sebuah lukisan keindahan pantai Meulaboh yang tak pernah ia kunjungi kembali karena takut, takut akan realita yang mungkin mengkhianati ingatannya. Walaupun kondisi Pantai Meulaboh sudah direkonstruksi, tapi ia tetap takut melihat perubahan yang terjadi dengan tempat bermainnya semasa kecil tersebut.
Abdul Djalil Pirous atau lebih dikenal dengan namanya disingkat menjadi A.D Pirous ini merupakan salah satu guru besar di ITB, beliaulah yang menginisiasi pembentukan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB sekaligus menjadi Dekan pertamanya. Tentunya tak hanya karir sebagai akademisi yang menarik perhatian, pamor Pak Pirous sebagai pelukis ternama pun tak kalah hebatnya. Pria yang kini tinggal di daerah Bukit Pakar Timur Bandung ini dikenal sebagai seorang seniman yang melejitkan seni kaligrafi di Indonesia, di saat pada masa tahun 70-an seni kaligrafi Arab belum banyak dikenal.
Bagi saya rumah kediaman yang juga gallery dari Pak Pirous ini memiliki daya
tarik yang mengagumkan, terutama ruang kerja dan gallerynya. Saya rasa saya dapat tinggal berhari-hari di ruangan kerjanya yang sangat membuat orang nyaman untuk berkarya. Tentunya berbagai lukisan hasil karyanya terpajang memenuhi dinding ruangan dan lantai. Langkah pertama saya terhenti beberapa langkah setelah masuk, sudut mata saya terpatri pada sebuah meja berantakan yang menghadap langsung ke jendela. Berantakan memang, namun sangat terlihat apa yang dapat ia hasilkan di sebuah furniture kayu yang kira-kira berukuran 1 x 0,5 meter. Meja pak pirous itu tampak penuh dengan berbagai wadah plastik yang isi dengan macam-macam jenis kuas, disampingnya bergeletakan puluhan tube cat pastel dengan banyak variasi warna. Sebuah mantel tercantol di punggung kursi, dan bila kita duduk ke arah kursi tersebut menghadap, sebuah pemandangan hijau nan asri tersaji. Saya membayangkan bila saya menghabiskan hari-hari saya kursi tersebut berhari-hari untuk menulis ataupun menghabiskan isi beberapa buku, sungguh akan terasa sangat menyenangkan.
Dari puluhan lukisan yang terpajang di ruangan tersebut, satu lukisan berukuran cukup besar menarik perhatian saya karena aramai dengan berbagai aspek yang sangat beragam. Sebuah aksara paku dari kebudayaan persia dan ukiran hieroglif dari jaman Mesir kuno menghiasi bagian bawah lukisan, serta huruf dan ukiran lainnya yang saya tidak hapal, namun saya tahu erat kaitannya dengan budaya dan sejarah. Di bagian tengah lukisan tersebut terdapat tulisan Arab dan gambar potongan halaman Al-Qur’an, sementara di bagian paling atas berbagai huruf alphabet berserakan. Penggunaan warna jingga yang menyala serta elemen emas mendominasi rasa lukisan tersebut.  Rasa penasaran saya berujung pada satu pertanyaan yang langsung saya tujukan ke Pak Pirous di ruangan mengenai lukisan yang dimaksud. Sambil membenarkan posisi topi fedora yang ia kenakan dan sedikit mengangkat kacamatanya ia memberikan satu jawaban yang cukup panjang. Ia menceriterakan bahwa lukisan itu berasal dari hasil perasaan dan pemikirannya saat tragedi invasi Amerika ke Irak di tahun 2003. Di tahun 2003 saat  terjadinya Invasi Irak, Pak Pirous memiliki kekhawatiran terhadap beberapa museum yang menyimpan berbagai harta umat manusia ikut hancur dan hilang, sehingga dalam satu lukisan tersebut terdapat bagaimana sebuah konflik antara Negara barat dan timur terjadi. Bila kita perhatikan bagian tengah lukisan tersebut juga berbentuk gedung dari World Trade Center yang menjadi asal mula pemicu kebencian Amerika terhadap Negara timur. Kekhawatiran yang ia pikirkan benar-benar terjadi dan baru menjadi sebuah tulisan di majalah TIMES pada tahun 2006. Halaman artikel tersebut bahkan ia masukkan ke dalam sebuah figura dan ia letakkan tepat di bawah lukisan tersebut.
Khairunnaas Anfauhum Linnaas, itu ayat favorite saya, sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat banyak terhadap manusia lainnya. Saya ingin bagaimana seni yang saya buat dapat juga bermanfaat bagi manusia lainnya, hablum minallah hablum minanaas” begitu ujarnya saat menutup jawaban dari apa yang saya tanyakan sebelumnya. Tak bisa dipungkiri dengan apa yang saya lihat di ruangan galeri miliknya, apa yang ia katakan sama sekali tak mengada-ada. Berbagai lukisan yang ia artikan sangat mendalam, satu ciri khasnya adalah sebuah garis yang memisahkan sisi kiri dan kanan lukisannya dengan sisi sama rata. Garis tengah vertikal tersebut bagai menunjukkan bagaimana keberadaan sisi hablum minallah pada karyanya. Inilah sedikit cerita dari pertemuan saya dengan Bapak A. D Pirous, permata Meulaboh yang berlabuh di tanah Priangan.

0 komentar:

Posting Komentar