JOKER: Film Anti-Hero dengan Material Oscar (non-spoiler)


“Who’s the best Joker?”
Pertanyaan itu terus muncul sejak satu dekade lalu, tatkala almarhum Heath Ledger sukses memerankan tokoh antagonis DC Comic tersebut dengan gemilang dalam ‘The Dark Knight’ besutan Christopher Nolan.

Ledger yang berhasil menampilkan sisi lain Joker yang gelap, cukup dapat meraih hati banyak penggemar DC dalam beberapa polling yang diselenggarakan oleh berbagai situs hiburan seperti imdb.com, dan mtv.com.

Bagi saya, sebetulnya pertanyaan tentang Joker terbaik adalah sesuatu yang sia-sia untuk ditanyakan. Setiap aktor yang pernah memerankan Joker tak bisa dibandingkan satu sama lain, dikarenakan karakter Joker yang masing-masing mereka perankan berada dalam universe-nya sendiri. Jack Nicholson dengan Joker-nya yang wacko, Heath Ledger sebagai Joker yang gelap, Jared Letto yang eksentrik, atau bahkan Mark Hamill dengan dubbing di serial animasinya yang dianggap memiliki voice over suara tertawa Joker yang dinilai paling berkarakter.

Ngomong-ngomong soal Joker yang ‘gelap’, mulai tahun ini Heath Ledger tak sendiri. Joaquin Phoenix resmi bergabung ke dalam deretan pemeran Joker dalam film spin-off JOKER yang baru saja ditayangkan Oktober 2019 ini. Kegelapannya ini sudah sangat terasa sejak teaser trailer­­-nya diluncurkan beberapa bulan lalu. Satu hal yang saya sadari sedari pertama melihatnya. Film ini akan menjadi film material Oscar. Joaquin yang bermain dengan baik sebagai Theodore Twombly yang penyendiri pada ‘Her’ (2013), cukup menjadi hal yang menjanjikan bagi saya untuk memberi warna berbeda pada karakter Joker.
Poster Courtesy of Warner Bros Entertainment
Tebakan saya pun tak meleset. Sejak menit pertama kemunculannya dalam JOKER, Joaquin sudah memberikan kesan mendalam pada aktingnya. Ia menarik saya ke sebuah kegelapan yang berbeda dengan yang Joker-Ledger ciptakan. Kegelapan yang sebetulnya banyak dijumpai sehari-hari pada orang-orang di sekitar kita, atau bahkan pada diri kita sendiri. Joker-Joaquin adalah Joker paling realistis yang pernah dihadirkan ke layar. Tawanya adalah tawa ‘sakit’ di balik permasalahan hidup yang tengah ia hadapi. Joker-Joaquin adalah ‘kita’.

Joker di sini diperlihatkan bukan sebagai villain gila yang ingin menguasai dunia. Joker yang bernama asli Arthur Fleck hanyalah salah seorang dari kebanyakan pria di masyarakat yang mengalami depresi, delusional, dan mungkin sedikit memiliki kecenderungan schizophrenic. Menjadi Joker, adalah jalan yang ia ambil dalam persimpangannya.

Di samping cerita, dan akting Joaquin Phoenix yang menawan. Pengambilan gambar, perpindahan adegan, serta tata kelola musiknya pun sangat atraktif, sekaligus memberikan suasana yang sangat intense saat menyaksikannya. Music scoring-nya pada beberapa adegan yang berupa genderang yang ditabuh perlahan, cukup mengingatkan saya pada film One Flew Over the Cuckoo’s Nest (1975) yang juga dibintangi oleh salah satu ‘mantan’ Joker yaitu Jack Nicholson. Apalagi ada beberapa adegannya yang juga berlatar di rumah sakit jiwa. Menariknya lagi, ada juga adegan-adegan yang disampaikan tidak secara gamblang, yang cukup membuat kita memutar otak, atau bahkan memberikan pekerjaan rumah yang mungkin harus diselesaikan dengan menonton film ini lebih dari sekali.

Walau fokus pada karakter Joker, Todd Philips yang sebelumnya dikenal menyutradarai The Hangover (2009) cukup berhasil menarik benang merah Joker sebagai penjahat ikonik di DC Comics ke dalam isi cerita, tanpa mengubah jati diri film.

Saya bukan seorang movie expert. Tapi sebagai penikmat, prediksi saya setidaknya dua nominasi Oscar dalam kategori Best Actor dan Best Picture akan menjadi santapan JOKER. Tentu bukan tidak mungkin juga akan merambah kategori lain, dan bahkan memenanginya. Akan sulit menjadi contender akting Joaquin Phoenix di film ini.

Pesan saya, sebaiknya tidak membawa anak-anak untuk menonton film ini. Selain memang karena mungkin tidak akan disukai anak di bawah umur yang menginginkan aksi pada film superhero pada umumnya, JOKER di Indonesia yang memiliki rating untuk dewasa benar-benar ditayangkan tanpa sensor. Baik untuk adegannya, ataupun untuk beberapa dialognya.




0 komentar:

Posting Komentar