Star Wars: The Rise of Skywalker, Saga yang Berakhir Emotdionless (Spoiler Alert)


“Terima Kasih Untuk 42 Tahun Penuh Kehangatan. Kami Mohon Pamit.”

Saya membayangkan bila poster Star Wars: The Rise of Skywalker disematkan pesan layaknya yang terdapat di poster film Akhir Kisah Cinta Si Doel, rasanya mungkin akan sangat emosional sekaligus terlihat sangat konyol. Kedua film ini punya kesamaan dari segi deretan karakter yang memiliki ikatan mendalam dengan fans militannya. Dan kedua film tersebut pun akhirnya menuntaskan saganya pada jarak waktu yang berdekatan setelah puluhan tahun lamanya.

Poster courtesy of Lucas Art and Disney

Teknis pada film memang penting, namun bagi saya, terkadang yang bisa meraih hati penonton adalah character bonding yang mampu membangkitkan segala jenis emosi dalam diri. Inilah yang secara personal tidak bisa saya dapatkan di Star Wars: The Rise of Skywalker yang berjalan emotionless.

No hard feeling terhadap trilogy ini, karena saya sangat menyukai The Force Awakens, serta The Last Jedi yang mengundang banyak kritik dari berbagai pihak. Tapi berbagai adegan (yang seharusnya) lucu dan menyedihkan di Star Wars: The Rise of Skywalker terasa sangat hampa. Kematian Kylo Ren, dan Princess Leia terkesan datar. Berbeda halnya saat Han Solo ditikam Ren di The Force Awakens. Air mata pun seketika menggenang, walaupun hari sebelumnya saya sudah mengetahui adegan tersebut dari ranjau spoilers yang bertebaran di social media. Sh*t, Bahkan saya masih bisa merasakan kekesalan karena kejadian tersebut.

Mungkin rasa-rasanya semua fan boy Star Wars sudah tau kematian Carrie Fisher sebagai pemeran Leia Organa beberapa tahun lalu, sehingga mau tak mau meyakini kalau yang tampil di film ini hanyalah CGI belaka. Tapi sepertinya bukan itu yang membuat kematian Leia menjadi tanpa haru. Tapi cara ia ‘dibuat’ mati yang rasanya terasa datar. Saya jadi berandai-andai, coba saja bila Leia tak selamat saat cockpit kapalnya diledakan di The Last Jedi, maka emosinya akan terasa berbeda. Tapi kan nggak mungkin juga, karena perannya di sisa film tersebut cukup banyak. (ini mah kan penginnya)

Hubungan  trio Rey-Fin-Poe pun terasa demikian pula datarnya. Masing-masing menunjukan akting yang sangat baik. Tapi itu dia, aktingnya hanya “masing-masing” baiknya. Entah kenapa ketiganya terasa tidak menyatu secara chemistry. Mau nggak mau, saya kan jadi membandingkan chemistry yang dirasa lebih dapet, saat trio Luke-Han-Leia, dan Anakin-Obi Wan-Padme menjadi karakter utama.

Kendati banyak fans di berbagai belahan dunia yang mengritik pengulangan-pengulangan garis cerita yang terjadi di franchisee film ini sejak diakuisi oleh Disney, saya sebetulnya tidak begitu mempedulikannya. Kalaupun mirip-mirip sikit, seperti Rey yang diceritakan berasal dari planet yang agak dusun seperti Luke, yang pada sekuel keduanya ia kemudian dilatih oleh seorang Jedi Master, serta seri ketiga dari setiap triloginya yang selalu berbau kebangkitan (RETURN of the Jedi, REVENGE of the Sith, the RISE of Skywalker), rasanya semua masih baik-baik saja, hingga adegan moment of truth yang mengungkap Rey adalah cucu dari Palpatine. “Waw..aku terkejut,” tapi rasanya pernah liat di mana gitu adegannya.

By the way, di Star Wars: The Rise of Skywalker, saya lebih menyukai Ben Solo a.k.a Kylo Ren yang tumbuh secara manusia, ketimbang Rey yang berkembang pesat secara kemampuan bertarung. Walaupun proses Ren menuju tobat, agak sedikit terlalu cepat.

Memang, Luke pun saat menyelesaikan masa pelatihannya bersama Yoda dan bertempur di Return of the Jedi, kemampuannya pun meningkat. Bedanya, si Rey ini jadinya keliatan jago banget. Ya kemampuan healing, ya kemampuan mempengaruhi pikiran, ya kemampuan menggerakan benda. Ia bagaikan Magneto yang jogres bersama Professor X. Bahkan di salah satu adegannya, ia benar-benar mengingatkan saya akan magneto. Tapi, dengan kemampuan serba bisanya yang bercampur dengan karakter penokohannya, ia tampak seperti seorang juara kelas yang pintar, tapi kaku dalam pergaulan. Padahal banyak adegan emosional di mana Rey harus menangis, tapi entah kenapa kok saya nggak merasa terharu ya.

Rasa emosional justru datang ketika tokoh-tokoh pada kisah trilogy klasik bermunculan, hantu Han Solo yang walau cuma tampil beberapa menit, cukup memberi rasa gembira sekaligus waas, bahkan melihat kehadiran Ewok di akhir film pun terasa menyenangkan. Dari situ saya menyadari kalau karakter-karakter pada trilogy ini tidak memberikan bonding yang cukup kuat di akhir saganya. Padahal baru di Star Wars: The Rise of Skywalker, trio Rey, Fin, dan Poe lebih banyak tampil berbarengan.

Saat awal kemunculan Fin di Force Awakens, saya malah sempat merasa Fin yang tampil agak kocak ini dapat menonjol sebagai karakter baru yang menjanjikan bersama BB8. Penampilannya tersebut masih bisa dilihat di The Last Jedi. Namun sayangnya hal ini justru hampir tidak muncul di film penutup.

Kalau menggunakan alasan wajar bila karakter-karakter tersebut tidak memiliki emotional bonding yang kuat, dikarenakan karakter tersebut baru, dan berbeda dengan karakter lama yang sudah hidup puluhan tahun lamanya di benak para penggemar. Saya rasa tidak begitu. Karena Chirut Imwe dan K-2SO yang bahkan hanya tampil sekali di film spin-off Star War, yaitu Rogue One, justru lebih berkesan di hati.

Kalau soal visual effects, tentu Star Wars: The Rise of Skywalker ini sudah dijamin terlebih dahulu oleh nama besar Disney akan menyajikan pertunjukan yang memanjakan mata. Tapi, entah kenapa, lagi-lagi kok saya merasa tidak termanjakan. CGI canggih, dan suara jedar-jeder yang mengalun sepanjang film, malah lama-lama membuat ngantuk. Bahkan tak biasanya, sedikit-sedikit saya pun mengecek HP untuk melihat notifikasi, dan waktu yang sudah berlalu. Padahal posisi duduk saya baris ketiga dari depan, angger we tunduh. Entah di bagian mana yang salah, karena saya pun bukan movie expert. Tapi baru kali ini saya menonton adegan penuh aksi dengan rasa segera ingin menyudahi.

Setelah menonton film, dan mengunggah review angka dari aplikasi cinepoint, saya cukup banyak menerima pandangan lain dari kawan-kawan yang juga mengikuti film ini dari The New Hope. Padahal kami semua ini tak ada yang betul-betul menonton filmnya saat rilis tahun 1977. Ya gile aja bro, kami-kami ini belum setua itu.

Kebanyakan kawan yang bereaksi tentu dari pihak yang kontra tentang nilai rendah yang saya berikan pada film ini. Beberapa memberi saran agar seharusnya saya tidak membanding-bandingkan film klasiknya dulu. Sementara yang lainnya mengemukakan analisa dari sudut pandang cerita yang ia runut secara terukur, yang kemudian disampaikan dengan argumen latar belakang “why J.J Abrams do this and that, in the movie?” Namun sayangnya, saya tak merasa dan mengalami hal yang mereka sampaikan saat menonton film tersebut. Saya pun datang ke bioskop tanpa beban apapun, termasuk ulasan para reviewer yang sengaja tidak saya lihat. Wajah pun berseri-seri, karena tiket nonton didapat cuma-cuma dari giveaway Torch.id.

Saya rasa, mungkin kita semua, termasuk saya, sering lupa kalau pengalaman sinematik itu sifatnya personal, dan tak akan bisa tergantikan dengan membaca sebuah ulasan tertentu. Oleh karena itu, review bagus pada rotten tomatoes ataupun medium penilaian film lainnya tak pernah ada yang bisa mencapai nilai baik yang sempurna. Bahkan partner setia nonton saya pun acap kali memiliki pendapat yang berbeda dengan saya. Cukup dipahami, tak perlu banyak-banyak didebat. Karena sesungguhnya, mendebat perspektif dan selera, adalah sesuatu hal yang sia-sia, hehe. Adapun review yang saya tulis ini adalah kebutuhan psikologis saya untuk dapat menguraikan kata-kata yang memuncak dalam kepala. Kali ini saya pinjam dulu line andalan Mas Aby dari channel Sumatran Big Foot.

“Boleh setuju, boleh tidak.”

0 komentar:

Posting Komentar