Courtesy of Machella FP & Visinema Pictures |
Bulan Januari, Visinema Pictures, dan cerita keluarga. Kepala
saya langsung teringat pada “Keluarga Cemara” yang tampil ‘hangat’ tepat
setahun silam. Hangatnya bahkan terasa dari mata yang turun ke hati, juga pipi. Iya,
saya cirambay bombay menonton film
ini. Hal yang mungkin masih didapatkan kawan-kawan lain di NKCTHI, tapi tidak demikian
dengan saya. Walaupun begitu, bukan berarti film ini buruk. NKCTHI tetap dapat
membangun rasa emosional dalam hati, namun dengan kadar, dan cara yang berbeda.
NKCTHI menawarkan hal lain yang membuat saya banyak berpikir ke dalam. Padahal, yang saya tonton ini kisah Awan, Aurora, dan Angkasa, tapi lebih dari separuh film ini membuat saya mengingat sendiri adegan pertengkaran saya yang pernah terjadi dengan ayah, tanggung jawab besar sebagai anak pertama, hingga sebuah kalimat yang terlempar dari mulut Aurora yang sepertinya terkubur juga di kepala saya bertahun-tahun lamanya. That part “kalian udah lama kehilangan gue” itu jelas nampar, sekaligus nuncleb.
NKCTHI menawarkan hal lain yang membuat saya banyak berpikir ke dalam. Padahal, yang saya tonton ini kisah Awan, Aurora, dan Angkasa, tapi lebih dari separuh film ini membuat saya mengingat sendiri adegan pertengkaran saya yang pernah terjadi dengan ayah, tanggung jawab besar sebagai anak pertama, hingga sebuah kalimat yang terlempar dari mulut Aurora yang sepertinya terkubur juga di kepala saya bertahun-tahun lamanya. That part “kalian udah lama kehilangan gue” itu jelas nampar, sekaligus nuncleb.
Menonton NKCTHI ini rasanya seperti membaca sebuah buku. Uraian
kata-kata yang diucapkan dalam perbincangannya terdengar lantang menusuk kalbu.
Bukan karena kalimat yang melangit, tapi karena emosinya yang membukit. Nyaris seluruh
karakter, adegan, dan percakapan yang terjadi rasa-rasanya akan relate dengan banyak orang. Termasuk
tentang perasaan ibu yang salah seorang anaknya harus meninggal ketika lahir,
dan diminta untuk lupa, dan bungkam sepanjang hidupnya.
Lebaran tahun lalu, saya, adik, dan kedua orang tua saya
mengunjungi sebuah makam di Tempat Pemakaman Umum Porib Caringin, Bandung. Kami
mengunjungi makam seseorang yang sosoknya tak pernah saya temui. Dialah kakak
saya, Adi Sylvana, yang tak diberikan kesempatan lama menghirup udara bumi setelah beberapa hari lahir ke dunia. Kejadian yang menyesakkan ini sudah lewat
lebih dari 30 tahun lamanya. Tapi saya masih dapat melihat mata ibu saya basah,
dan meluncurkan beberapa tetes air ke permukaan pipinya yang saya sadari mulai
banyak kerut. Kepala saya coba menebak, mungkin pikiran yang ada di balik air
matanya saat itu, "kalau saja Adi masih ada, mungkin keluarga kami akan lebih
ramai, ia mungkin akan sudah menikah, dan memberi kehadiran cucu pertama dalam keluarga". Saya (mungkin) tahu, karena terkadang saya pun berandai-andai. Bila
saja Adi masih ada, mungkin tugas saya akan menjadi lebih mudah menjalankan ekonomi keluarga. Namun untungnya, alam
bawah sadar saya tersebut selalu masih berada di level yang bisa saya kendalikan, untuk kemudian berbalik kepada
kenyataan.
Iya, NKCTHI dapat membawa saya larut sedalam itu, sehingga membumbungkan
ingatan dan pikiran ke dalam adegan-adegan yang saya tempuh sendiri dalam
hidup. Namun sayangnya, beberapa scene yang
seharusnya syahdu, rusak oleh benalu. Rombongan ibu-ibu bermental pemirsa
Sinetron Indonesia di barisan kursi depan seperti tak menginginkan filmnya
berjalan sesuai dengan yang dirancang sang sutradara. Tanpa malu-malu mereka
mengomentari setiap adegan yang terjadi dalam film. Saya sih langsung
membayangkan ibu saya bersantai di sofa panjang, dengan remote tv di genggaman.
Ia pun memang suka geregetan kalau nonton adegan-adegan di sinetron. Tapi kan
ia melakukannya di rumah. Ini ibu-ibu nganggap
studio bioskop ruang tengah rumahnya gitu? Sontak, nyaris seisi bioskop pun
kompak menegur dengan suara sssttt keras. Alhasil? Ibu-ibu ini tetap (maaf) bacot hingga credit title mulai bergulir di penghujung film. Dan jangan tanya bagaimana
mereka juga bereaksi saat adegan Rio Dewanto menyetrika baju dengan hanya mengenakan
celana boxer saja. Saya pernah bertemu tipe pengunjung bioskop yang jorok, dikit-dikit buka HP, atau yang overdiscussed sepanjang film dengan pasangannya, tapi tipe penonton ini adalah yang terburuk.
Sheila Dara Aisha mungkin memang menjadi aktris yang cukup
sering muncul di beberapa judul film Visinema yang rilis sebelumnya. Namun di NKCTHI,
aktingnya sebagai anak pangais bungsu yang
sedikit introvert akan sangat memorable.
Aurora yang diperankannya berhasil memperlihatkan sisi misterius yang sangat intense. Trauma masa kecil yang dialaminya
seperti bisa saya rasakan. Poin plus
lainnya saya sematkan kepada dua aktor yang bergantian memerankan sang ayah
pada alur cerita yang maju-mundur antar masa, yakni Oka Antara, dan Donny
Damara. Walau dari segi tampilan fisik, Oka dan Donny terlihat berbeda, kesan
yang ditimbulkan benar-benar sama. Dari gesture, dan cara mereka bertutur, saya
benar-benar bisa teryakinkan bahwa mereka adalah karakter yang sama dari waktu
yang berbeda.
Keluar dari sinema, di kepala pun masih terbayang beberapa adegan
dan kutipan yang mungkin akan lama membekas, dan bisa saja mengubah beberapa
hal dalam saya menyikapi hidup. NKCTHI
memang tidak sebombay Keluarga
Cemara, tapi kesan emosionalnya meninggalkan jejak dalam bentuk pemikiran mendalam.
Saya rasa film ini bukan sekadar kesan
semata yang akan lewat begitu saja. Selebihnya, mungkin sudah terekam di alam
bawah sadar. Tinggal, menunggu stimulan tepat untuk suatu saat bisa kembali
memunculkannya.
0 komentar:
Posting Komentar