Seni Hidup di Masa Pagebluk : Catatan Kuncitara #3

Bicara soal Charles Darwin sebetulnya tidak harus melulu membahas teorinya yang mengatakan manusia berasal dari monyet yang menuai banyak kontroversi. Karena di sisi lain, ia mengungkapkan istilah “natural selection” yang saya rasa memang betul terjadi kok. Dalam teorinya Darwin mengatakan bahwa “bukan species terkuat yang akan bertahan hidup, bukan pula yang paling pintar, tapi dia yang paling responsif terhadap perubahan.” Teori ini kemudian dihubungkan oleh Herbert Spencer dengan teori ekonomi miliknya dan melahirkan istilah baru yang ia sebut “survival of the fittest.”



Rasa-rasanya “survival of the fittest” cukup relevan dengan kondisi pagebluk Corona seperti sekarang. Ngomong-ngomong, belakangan baru saya tahu kalau “pagebluk” itu merupakan kata dari Bahasa Jawa yang sudah resmi terdaftar di KBBI, dan dapat dijadikan padanan kata untuk “wabah”.

Tak butuh waktu lama dari hari-hari awal imbauan social distancing di Indonesia, beberapa kawan sudah sigap menghadapi potensi penghasilan yang mungkin hilang karena Corona dengan menyediakan Covid Starter Kit, yang berisikan masker, sanitizer, hingga termometer tembak. Padahal kalau saya ingat, minggu sebelumnya mereka-mereka ini masih fokus bekerja sebagai marketing cafe, sales mobil, wedding organizer, dsb. Tapi memang mereka inilah contoh manusia terbaik yang mengamalkan survival of the fittest. Mereka tahu seninya hidup di masa pagebluk.

Nah yang sudah bertahan ini, tentunya lama-lama bukan sekadar hidup, tapi juga berkembang biak, dan malah berevolusi. Dari yang tadinya cuma jual masker kain biasa, kini maskernya sudah bermotif, atau bahkan bersablon lucu atau berbentuk unik dengan tambahan kuping, dan hidung boneka. Alhasil, pemandangan anak-anak yang berlarian depan rumah dengan masker kucing, atau macan menjadi the new normal pula bagi saya. Selain itu, kini tak sulit untuk membeli barang-barang ini, cukup jalan sedikit ke jalan raya, yang jual sudah ada. Atau tinggal pilih saja salah satu dari deretan kontak status Whatsapp yang ada. Selain berjualan masker, beberapa di antaranya malah kini sudah bertindak sebagai sebagai pedagang “Palugada” (apa yang lu mau gua ada).

Baca juga: Sebuah Upaya Untuk Tetap Waras: Catatan Kuncitara #1

Mungkin sebetulnya, tak perlu jauh-jauh bicara soal orang lain, tempat saya bekerja pun kini sudah mengalokasikan sebagian supply-chain untuk memproduksi APD, dari yang sebelumnya fokus membuat perlengkapan traveling. Bukan APD biasa tentunya, tapi APD yang selain memenuhi standar WHO, juga dapat digunakan berulang-ulang, hingga dapat bertahan lebih dari 20 kali proses sterilisasi dingin. Setidaknya, APD ini dapat mengurangi dana yang keluar oleh rumah sakit untuk penggunaan APD sekali pakai. Jasa pembuatan APD ini pun kemudian dapat saya jumpai melalui berbagai iklan brand lainnya yang cukup banyak berseliweran di kanal instagram.

Di samping sektor bisnis fashion, industri food & beverage dan pariwisata yang dapat dibilang sektor yang paling terkena dampak Corona pun harus memodifikasi layanannya dengan membuat penawaran produk yang lebih kreatif, dan adaptif. Contohnya saja seperti beberapa hotel yang membuka paket menginap satu bulan dengan harga super hemat, serta deretan coffee shop yang kini menjual kopi kemasan dengan ukuran botol literan. Produk ini menangkap kebutuhan pelanggan setianya yang ingin ngopi, tapi tidak diperkenankan berkurumun, dan tidak keluar rumah. Lalu ada juga jasa kirim sayur dan buah yang kian marak.

Pada masa pagebluk ini, mungkin saya dapat dibilang cukup beruntung, karena perusahaan tempat saya bekerja tidak sampai memberlakukan unpaid leave bagi karyawannya. Adapun saya dan kawan-kawan lainnya dirumahkan untuk kemudian tetap meneruskan rutinitas dengan sistem work from home. Hal ini dapat terwujud, ya.. karena memang bentukan aktivitas kerjanya memungkinkan.

Baca juga: Siasat Mengajarkan Ibu Menghadapi Corona : Catatan Kuncitara #2

Namun, berbeda halnya dengan yang dialami adik saya yang bekerja di sebuah hotel di kawasan Jatinangor. Begitu situasi darurat Corona diumumkan Negara, tingkat okupansi pun menurun drastis hingga mendekati nol. Dua hari kemudian, ia dirumahkan hingga saat ini. Sedikit banyak, akibatnya pun sebetulnya bisa saya rasakan. Bila diibaratkan keluarga kami selama ini adalah sebuah sepeda yang berjalan dengan dua roda, kini sepedanya harus dimodif agar bisa berjalan dengan satu roda saja. Masih aman, tapi cukup bikin ketar-ketir.

Sebetulnya saya sendiri memiliki dua jalur penghasilan. Selain bekerja, saya menjalankan bisnis online yang kurang lebih sudah berjalan selama setahun ke belakang. Akan tetapi, karena barang yang saya jual bukan kebutuhan primer, maka ambyar sudah kanal penghasilan tambahan saya. Dari yang Februari lalu bisa menghasilkan minimal tiga penjualan per hari, kini bahkan tak sanggup menggapai angka tersebut menginjak pekan ke-3 April. Saya rasa hal ini pun berlaku pada kawan-kawan lain yang berjualan barang-barang kebutuhan sekunder. Kini semua potensial customer kami lebih prefer untuk spend uangnya di kebutuhan pokok, dan tentunya untuk Covid Starter Kit. Sisanya akan sangat mungkin untuk ditabungkan sebagai dana jaga-jaga.

Krisis ekonomi karena Covid yang terjadi hari ini, tentu berbeda dengan krisis moneter yang pernah dialami Indonesia sekitar dua dekade silam. Bila saat tahun tersebut ayah saya masih bisa berhasil mengakali tambahan penghasilan dengan mengajar Bahasa Inggris di beberapa tempat kursus, kini saya yang mengambil alih peran beliau di keluarga, sedikit kebingungan mencari sampingan yang tepat. Karena pembatasan aktivitas tentunya.

Segini saja sudah bingung ya? Padahal ini masih belum seberapa dengan para pekerja, dan pedagang yang memang kolam nafkahnya berada di luar rumah. Bagaikan buah simalakama yang bentuknya baru saja iseng saya googling yang ternyata mirip jambu atau terong Belanda. Bila keluar rumah berisiko terpapar Corona, sedang bila diam di rumah, mereka tidak bisa memperjuangkan isi perut keluarga. Sedangkan bantuan pemerintah pun tentu butuh proses yang tak sebentar, dan harus menghadapi beragam rintangan yang mungkin terjadi di lapangan. Bukan bermaksud suudzon, tapi ya semoga saja dalam kondisi seperti ini tidak terjadi. Ya memang  di negeri kita ini, jangankan berbentuk uang tunai atau sembako, Es Krim mevvah nan viral Viennetta saja bisa jadi objek meraup keuntungan lebih bagi segelintir orang.


Soal Viennetta, beberapa hari terakhir lini masa twitter saya sempat diramaikan oleh kabar dari food vlogger Awi Rachma yang berhasil mengungkap penimbunan es krim ‘kesenjangan sosial’ itu di beberapa mini market. Itulah kenapa sangat sulit menemukan produk tersebut di rak pajangan freezer Walls. Karena stocknya disembunyikan di bagian bawahnya. Saat ada pelanggan yang berhasil menemukannya, dalih yang disebutkan petugas shift yang bersangkutan adalah bahwa es krim ini sudah dibeli oleh pegawai. Ya memang tidak salah bila pegawai sendiri membeli produk yang dijual toko. Tapi ketika produk tersebut kemudian dijual secara online dengan harga 1,5-2 kali lipat lebih mahal, ini meninggalkan kesan yang buruk bagi brand di mata pelanggan. Bahkan pihak Walls yang tidak bersalah pun sampai membuat surat permohonan maaf untuk ini. Awalnya saya tidak begitu perduli, hingga saya melihat postingan lain dalam akun instagramnya, Awi juga berhasil membuktikan penimbunan masker dan antiseptic oleh seorang karyawan mini market. Tentu tidak semua pegawai mini market bertindak demikian, tapi cukup membuat saya berpikir soal ketiadaan produk antiseptic saat hari pertama social distancing diberlakukan. Walaupun sejujurnya, dalam skandal ini cara Awi memang agak kurang bersahabat di social media hingga memicu amarah paguyuban pegawai mini market se-Nusantara.

Karakter orang Indonesia tuh sebetulnya panjang akalnya dalam menghadapi kondisi seperti ini. Namun terkadang, sikap lebih ingat dengan perut sendiri pada sebagian orang, tanpa sadar seringkali melupakan etika, serta mematikan nurani. Inilah yang menyebabkan harga masker medis melonjak dengan harga tak masuk akal. Kalau ada yang menjual dengan harga reguler, eh..barangnya fiktif. Hal ini pun yang membuat pihak platform e-commerce kemudian menyeleksi ketat merchant-nya yang terindikasi penipuan. 

Baca juga: Bahaya Laten Iliterasi, Dan Teori Konspirasi : Catatan Kuncitara #4

Yang memiliki sisi buruk tak sedikit, namun yang masih punya hati untuk membantu sesama pun tak kalah banyak. Beberapa grup WA yang saya ikuti banyak yang bergerak secara kolektif mengordinir pengumpulan donasi untuk membantu saudara kita yang perekonomiannya kurang. Dukungan terhadap sesama pun tak melulu bersifat financial, tapi juga dapat berbentuk moril, atau sesederhana sebuah rekomendasi bisnis kawan yang satu dengan kawan lainnya.

Lama waktu kemungkinan krisis ini berlangsung tidak hanya menyakiti isi dompet, tapi juga dapat memukul kesehatan mental. Oleh karena itu, kehadiran kawan pun penting. 

Dari lapisan bawah, hingga ke atas, semuanya pun terdampak perekonomiannya. Hanya saja resistensi terhadap krisis yang berbeda, dan tentu cara untuk survival-nya pun berbeda. Namun kita selalu memiliki pilihan dalam bertahan hidup. Apakah akan menjadi sosok adaptif yang berjuang bersama kawan? Atau menjadi pribadi manipulatif yang memanfaatkan keadaan?

0 komentar:

Posting Komentar