Bahaya Laten Teori Konspirasi Tanpa Literasi : Catatan Kuncitara #4

Mulai dari penemuan bahtera Nabi Nuh di Turki, pemalsuan kematian Michael Jackson, hingga pembuktian kalau Neil Armstrong tidak pernah mendarat di bulan, saya menikmati pembahasannya bagaikan nonton marathon Star Wars, ataupun trilogy Back To The Future. Tapi ya, sebatas itu saja. Sebagai penggemar cerita fiksi, saya menyukai kisah misteri dunia, dan teori konspirasi hanya sebagai teman bagi secangkir kopi, dan sebungkus keripik setan yang padahal sudah pasti kombinasi tersebut bikin mondar-mandir ke kamar mandi pada dini hari.



Teori konspirasi bisa menyasar liar tentang apapun yang terjadi tanpa adanya batasan. Termasuk bahasan soal Covid-19 yang tengah menjadi pandemi global saat ini. Jauh sebelum pasien Covid 01 diumumkan pemerintah RI pada 2 Maret 2020, saya sudah mendengar, dan membaca banyak berita tentang teori konspirasi Wuhan dan Corona. Mulai dari pernyataan kalau virus Corona cepat menyebar karena ditransmisikan oleh teknologi 5G, atau virus Corona diciptakan Amerika Serikat melalui Bill Gates untuk merusak perekonomian China, hingga yang paling terbaru adalah virus Corona ini merupakan kebohongan yang diciptakan para pemerintah di tiap Negara, dan elite global untuk menebar ketakutan bagi masyarakat dunia agar tetap tunduk kepada penguasa.

Untuk pertama kalinya, saya agak kurang menikmati mendengar teori konspirasi yang menyebar tentang corona saat ini, dan malahan merasa sangat resah. Apalagi teori ini diberitakan oleh banyak media besar, dan dibahas langsung secara terbuka oleh banyak public figure yang mempunyai pengaruh. Alasannya, selain karena memang hal yang dibahas berhubungan langsung dengan kehidupan yang saat ini sedang dirasakan, hal ini bisa membuat banyak orang lengah atas keadaan yang terjadi.


Beberapa hari lalu algoritma youtube merekomendasikan sebuah video tentang teori konspirasi Covid-19 yang didiskusikan oleh Deddy Corbuzier dan Young Lex di beranda. Setelah saya tonton pada menit ke-5, video berdurasi total satu jam delapan menit ini sudah bisa saya tebak arah rantai logikanya seperti apa. Polanya sama dengan kebanyakan teori konspirasi yang kurang cukup bukti, dan tanpa diriset dengan literasi, yaitu bermula dari frasa “what if?” yang lahir dari dugaan karena kejadian, kemudian di-highlight dari hanya dari sisi eksotismenya belaka.

Kalau disampaikan dengan sebuah rangkaian argumen yang baik, mungkin tidak masalah. Tapi dari yang saya ikuti, bahasan mereka ini sangatlah berbahaya, karena tidak dipaparkan dengan sebuah narasi yang baik.

Malah saya menangkap kesan, kalau video tersebut hanyalah untuk kebutuhan entertainment. Walaupun mereka berulang kali mengungkapkan kalau hal ini hanyalah imajinasi, dan obrolan kosong semata, tapi cukup banyak orang yang sepertinya jadi sangat terpengaruhi. Hal ini bisa saya simpulkan dengan men-skimming ratusan dari ribuan komentar yang masuk, dan membuka kelengahannya. Teori dengan narasi "Corona itu tidak ada", tentu sangatlah berbahaya.

Baca juga: Sebuah Upaya Untuk Tetap Waras : Catatan Kuncitara #1

Dalam videonya tersebut, mereka mempertanyakan pula soal banyaknya pasien meninggal di masa pandemi yang rata-rata juga memiliki komplikasi penyakit lain di luar Corona, lalu divonis meninggal karena Corona. Padahal bisa saja faktor meninggalnya bukan karena Corona, tapi karena penyakit lain yang sudah lama dideritanya. Hal inilah yang mendasari pernyataan bahwa Covid-19 merupakan konspirasi elite global untuk mempertahankan kekuasaannya dengan menakuti masyarakat. Seiring dengan keberadaan kasus seperti itu, pernyataan instan mereka tentu saja tidak salah, tapi tidak juga bisa dibenarkan. Karena hal tersebut hanya diasumsikan melalui beberapa kasus saja yang mereka ketahui, yang disimpulkan dalam hitungan menit, bukan sebuah cara riset yang baik.

Beberapa akun berkomentar membenarkan kasus-kasus yang diceritakan benar terjadi, dan menimpa pada orang-orang terdekat mereka. Namun ada juga sebetulnya komentar yang menyatakan justru mengalami hal yang sebaliknya. Kalaupun ada di beberapa tempat terjadi kematian yang kemudian diperlakukan salah oleh petugas, atau orang di sekelilingnya, bukan berarti keseluruhan kasus tersebut bisa langsung disimpulkan demikian. Maka dari itulah, agar tidak menghasilkan keputusan dengan hasil lebih akurat, di dunia ini ada hal yang disebut dengan “penelitian”. Tak harus yang berprofesi sebagai ilmuwan yang bisa mengerti pentingnya riset untuk memutuskan sesuatu. Setiap individu di dunia ini sebetulnya kan melakukan banyak riset dalam hidupnya masing-masing, mulai dari barang dagangan apa yang harus dijual dalam aktivitas usaha mereka, hingga jalan yang harus ditempuh agar tidak macet untuk pergi bekerja. Mereka yang sukses menemukan jawaban dari setiap permasalahannya adalah mereka yang menganalisa hasil, dari berulang kali percobaan dengan beragam cara dan variabel tertentu.

Baca juga: Siasat Mengajarkan Ibu Soal Corona : Catatan Kuncitara #2

By the way, dua minggu lalu pun tetangga yang ada di sebelah tempat tinggal saya meninggal dunia secara mendadak dalam tidurnya. Dalam kondisi seperti ini tentu menjadi keresahan keluarga, ataupun kami, tetangganya, apakah akibat Covid-19 itu atau bukan. Hal ini pun dipertanyakan pula oleh pihak RT/RW setempat, dan pengurus tempat pemakaman di mana ia akan dikuburkan. Tapi dari pihak keluarganya kemudian bisa menyediakan surat pertanyaan tegas baik dari mereka sendiri, maupun dari dokter yang langsung melakukan pemeriksaan, bahwa ia meninggal karena komplikasi radang otak yang dideritanya. Ia pun kemudian dimakamkan dengan cara normal. Jadi, sekali lagi, tidak bisa sebuah kasus atau kesalahan penanganan pasien sakit kemudian digeneralisasikan menjadi sebuah fenomena umum.

Lalu, kenapa sih banyak orang yang mudah saja percaya dengan adanya teori konspirasi yang tak berdasar sebuah penelitian terstruktur? Kalau saya pribadi menganggap hal ini terjadi ya karena sebagian masyarakat kita ini adalah masyarakat yang iliterasi, kurang membaca, dan tidak mau melakukan pemahaman mendalam terhadap suatu hal. Mereka mencari sebuah jawaban cepat dari masalah-masalah yang dialami saat ini. Ya, karena turunnya pendapatan, stress karena pembatasan aktivitas, sampai mungkin karena duka yang sedang dialami. Alhasil mereka butuh sebuah pembenaran atau shortcut yang kemudian mereka dapatkan dari ucapan kedua orang youtuber tersebut, ataupun media lain yang membahasnya. Mereka sudah berhasil memengaruhi sisi emosi kita. Kalau sudah hati yang bermain, maka ucapan kalau “ini hanya imajinasi, dan ucapan omong kosong” pun tidak akan diingat dan didengar.

Bila teori soal "Corona ini tidak pernah ada" ternyata benar, lalu apa? Apa kemudian hanya menjadi kebanggaan semata? Seperti yang disebutkan Young Lex di akhir video. 

Reaksi saya terhadap teori konspirasi Covid-19 ini agak berbeda saat saya menyaksikan diskusi live tentang teori konspirasi antara dr. Tirta, dan Jerinx SID pada Rabu, 29 April. Karena keduanya lebih meriset apa yang diucapkannya. Dua jam diskusi tak hanya menghasilkan kesepahaman antara dua pribadi yang sebelumnya berbeda pendapat, tapi juga memberikan sebuah insight bagi para penontonnya. Keterbukaan input terhadap data yang saling mereka bagikan, menjadikan perbincangan lebih bergizi, dan yang pasti berbicara dengan empati. Bukan sekadar obrolan ngaler-ngidul penuh imajinasi, yang kemudian dapat berdampak buruk terhadap publik yang menyaksikan. Walaupun kemudian beberapa hari berikutnya, pernyataan Jerinx kembali sedikit ramai diperbincangkan karena semakin ngawur, dan tak berdasar.

Suka teori konspirasi boleh-boleh saja, asalkan jangan sampai kemudian jadi kehilangan kepekaan terhadap hal lain yang mungkin berakibat terjadi di sekitar. Dan yang paling dasar adalah lakukan literasi sebisa mungkin sebelum kemudian memutuskan sesuatu itu benar atau salah. Tidak ada jalan singkat menuju kebenaran yang akurat. Ini kan prinsipnya sama saja dengan hoax yang sering kita terima di grup-grup WA. Saat mendapat sebuah berita yang sepertinya terasa mind blowing, tonton dan bacalah sumber lain, diskusi, lakukan pencarian dari lebih banyak sudut pandang. Jangan biarkan kebenaran yang kita percaya berada di sebuah gelembung bias. Kita percaya, karena kita hanya ingin percaya bahwa itulah jawabannya. Kumpulkan data, bandingkan, pelajari, barulah putuskan. Jangan mau terjebak dengan bahaya laten budaya iliterasi yang hanya inginkan jawaban cepat.

0 komentar:

Posting Komentar