Tiga Belas Hari Kemudian : Catatan Kuncitara #5

All around you……you….”

Akhirnya, saya bisa mendengarkan kembali suara bisikan yang muncul dalam Intro Dolby Digital yang diputar sebelum penayangan film di bioskop. Namun bedanya, suara khas ini disambut dengan sangat riuh oleh seluruh penonton di dalam studio. Sorak-sorai, siulan, dan tepuk tangan, meramaikan sesi nonton kali ini. Yaa, tapi wajar saja, hari ini memang hari istimewa. Hari ini merupakan hari pertama kembali dibukanya fasilitas sinema setelah kita sama-sama berhasil melewati periode genting Covid-19.

Memang sih, kondisi tanah air belum sampai 100% pulih. Bioskop dan mall saja baru dibuka pada H+13 dari hari dicabutnya masa darurat Corona. Tapi bisa dimengerti, mereka memang membutuhkan waktu untuk berbenah terlebih dahulu. Mulai dari melakukan pengecekan perlengkapan, mengoordinir kembali staff yang selama dirumahkan menjadi seorang wirausahawan palugada, hingga membuat protokol baru yang adaptif terhadap kondisi yang disebut banyak orang sebagai the new normal.

Baca juga: Sebuah Upaya Untuk Tetap Waras : Catatan Kuncitara #1

Contohnya saja, kini saya harus duduk selang satu kursi dengan partner setia menonton saya. Padahal kalau dulu, beli tiket dengan menyisakan lowong satu itu hukumnya haram di aplikasi pembelian tiket. Hal ini harus dilakukan, karena tidak ada satu pun pihak yang dapat menjamin warga +62 sudah 100% aman dari ancaman Covid-19. By the way, film yang saya tonton perdana ini adalah “Parasite” yang ditayangkan dalam tone black and white. Iya, film terbaik garapan Bong Joon Ho ini menjadi pilihan saya dibandingkan beberapa film lainnya yang terpaksa ditayangkan ulang. Kompaknya para produser film memundurkan jadwal penayangan filmnya yang sebetulnya sudah siap tayang sejak Maret lalu, membuat bioskop hanya menayangkan film-film terbitan lama saat kembali buka.

Kembali ke tiga belas hari yang lalu, dua belas jam setelah Pak Jokowi mengumumkan relaksasi situasi dari yang sebelumnya PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), saya memacu Revo Fit Hijau saya pukul tujuh pagi ke Braga, kawasan di Bandung yang sudah selama sekitar enam tahun terakhir seperti menjadi teras halaman saya. Nyetrit, ngaleut, ngonten, sarapan, berbincang, atau sekadar duduk-duduk di bangku hingga ada muda-mudi mendekat bertanya, “kakak orang Bandung? Boleh minta waktunya sebentar?” yang otomatis memaksakan pilihan kepada kaki saya untuk berjalan pergi.

Baca juga: Siasat Mengajarkan Ibu Tentang Corona : Catatan Kuncitara #2

Pukul tujuh pagi Braga masih sepi, tapi jelas sudah terasa bernafas kembali dibanding kemarin. Braga Permai yang terlihat muram saat dua bulan ke belakang saya lewati, kini sudah tampak ada beberapa orang berpakaian hitam putih menyapu halaman, dan membereskan bangku. Sementara security berdada tegap sudah berdiri tegak, wajahnya sumringah, terkesan penuh harap. Mungkin ia tak sabar bertemu kembali wajah-wajah yang biasa menghiasi kursi dan meja tempat ia bekerja tersebut.

Sementara di seberang Braga Permai, ibu penjual bubur ayam terlihat keluar dari Gang Apandi sambil mendorong gerobaknya yang berwarna biru Persela Lamongan. Diikuti seorang bapak yang tak lama langsung memesan semangkuk bubur, sambil mengeluarkan beberapa batang garfit dari saku kemeja casual yang lengannya digulung sepertiga. Ia bagikan garfitnya ke dua orang kawan yang menyusulnya sambil membawakannya secangkir kopi di gelas bekas Aqua. Satu kakinya ia naikkan ke bangku panjang dengan tangan yang bergantian menyesap kopi, dan menghisap rokok. Pandangannya menerawang ke arah langit Bandung yang membiru, dan dihiasi kuningnya Bunga Tabebuya yang bermekaran. Pandangan matanya menyiratkan kelegaan yang tersunggingkan lewat senyum kecilnya di sudut bibir.

Baca juga: Seni Hidup Di Masa Pagebluk : Catatan Kuncitara #3

Tiga puluh menit kemudian. Saat mentari mulai memberi bayangan pada pohon di rolling door Sugarush yang masih terkunci rapat, beberapa pemuda menenteng DSLR berlensa fix, mulai bergabung menambah riuh suasana. Sebagian memotret jalanan yang dikenal paling “heritage” di Bandung tersebut. Sementara beberapa lainnya memotret kawan perempuannya yang tengah berpose di depan “The Hangover”.

Pukul setengah Sembilan pagi, jumlah populasi manusia di Braga sudah meningkat sepuluh kali lipat dari saat saya tiba. Dari yang hanya mengambil objek jalan dan bangunan, saya yang juga membawa mirrorless sekarat Fujifilm X-M1 mulai mengalihkan objek foto pada euphoria tak biasa wajah-wajah yang tertawa bahagia di sepanjang jalan. Bukan cuma anak-anak muda yang berdatangan, ibu dan bapak setengah baya pun terlihat bergembira bersama anak bujang dan gadisnya yang tak hentinya mengajak mereka membuat vlog singkat di instastory, serta konten tiktok berseri.

Baca juga: Bahaya Laten Teori Konspirasi Tanpa Literasi : Catatan Kuncitara #4

Tak lama kemudian, sebuah mobil polisi dengan sirine nyaring terlihat berjalan pelan dari arah selatan. Begitu mendekati tempat saya berdiri, mereka mematikan sirinenya, dan mulai menyuarakan imbauan untuk tetap menjaga jarak antar sesama, dan tetap mengenakan masker. Ah, sesaat, kata-kata “jarak” dan “masker” malah membuyarkan riang yang tadi sempat berkumandang. Walaupun yang mereka suarakan benar adanya. Kita memang masih harus tetap melakukan tindakan preventif selama jumlah pasien Covid-19 masih belum mencapai angka nol.

Senang rasanya melihat beberapa hal kembali seperti semula. Tapi, kata “beberapa” yang saya ungkapkan di sini tentu menjelaskan bahwa ada beberapa lainnya yang tidak bisa kembali seperti sedia kala. Contohnya beberapa tempat makan, dan tempat nongkrong favorit yang terpaksa harus tutup karena tidak mampu beradaptasi dari sisi strategi bisnis, dan pengelolaan keuangan pada masa PSBB kemarin. Lalu ada juga tukang cukur langganan di Jamika yang pintunya tak pernah saya lihat terbuka kembali. Ya, memang tak bisa dipungkiri. Profesi kapster memang sangat terkena dampak dari pandemi Covid-19 ini. Karena dengan detail pekerjaannya, mereka sama sekali tak bisa mengikuti anjuran untuk melakukan physical distancing. Jujur saja, saya pribadi merupakan salah seorang yang berhenti pergi ke barbershop setelah virus Corona ini dinyatakan masuk ke Indonesua. Ayah saya yang berhenti mencukur rambut saya sejak SMA, kini harus kembali mengoperasikan gunting dan mesin cukur yang merupakan hasil impulsive buying saya di Shopee. Dengan catatan, tentu kualitas penglihatan yang dimilikinya sudah jauh menurun dibanding dua dekade lalu. Bayangkan saja, bagaimana deg-degannya saya duduk di kursi panas beliau ini selama kurang lebih nyaris 60 menit. Belum dengan adanya drama rambut saya yang ikal ini sering nyangkut di mesin cukur baru yang ternyata tumpul. Walaupun begitu, sebetulnya ada juga beberapa barbershop yang selama pandemi masih bisa membuka jasanya, dengan mengenakan APD lengkap, beserta face shield. Tapi saya, tetap tak cukup nyali kalau harus dipegang kepalanya oleh orang-orang yang memegang banyak kepala dalam sehari.

Lima hari adalah jumlah hari yang dibutuhkan oleh tim HR untuk menyiapkan protokol baru sekembalinya kami semua dari WFH (work from home). Senin itu saya memacu kendaraan melewati jalur Lengkong Kecil, Kosambi, hingga Laswi. Jalur yang sama dengan perasaan yang berbeda. Nyaris sama seperti hari kerja pertama di tempat ini. Lalu ada banyak gurat lega, dan kebahagiaan yang terpancar di muka kawan-kawan lainnya. Satu hal yang kemudian ternyata dilakukan oleh hampir semua karyawan. Ternyata kami kompak membawa masing-masing makanan dari rumah, tanpa direncanakan. Mungkin memang rasa-rasanya hal ini yang memang harus dilakukan untuk merayakan datangnya hari ini. Sebelum disambut deretan meeting koordinasi, dan sebuah tantangan yang harus dihadapi, bahwasanya ada sebuah dunia baru yang harus kita adaptasi kini.


NB: Cerita ini adalah fiktif, dan merupakan hasil imajinasi penulis belaka. Bila ada momen yang diceritakan betul-betul terjadi nanti di dunia nyata, yakinlah bahwa itu semua merupakan kebetulan semata. 

0 komentar:

Posting Komentar