Belajar Soal Melambat, dan Melihat ke Dalam, dari Theoresia Rumthe


“Cobalah untuk menyeruput kopi lebih lama, cobalah untuk menyentuh, dan merasakan dinginnya lantai secara perlahan ketika pulang kerja, cobalah untuk memandang hujan, tidak dengan cara yang seperti biasanya.”

Begitu bunyi nasihatnya. Sesaat setelah saya menyelesaikan pertanyaan mengenai cara untuk menemukan kembali diri dalam menulis. Lebih dari 700 artikel lifestyle yang saya tulis selama tiga tahun ke belakang di sebuah media, memang tanpa sadar telah melenyapkan sedikit demi sedikit rasa personal pada setiap pilihan kata yang saya coba susun. Oleh karena itulah, selepas memutuskan hengkang dari dunia media, saya pun mulai kembali rajin memberi asupan untuk blog pribadi. Tak kurang dari tiga kali seminggu. Walaupun, nafas reportase masih sangat terasa di dalamnya. Justru memang karena itulah saya melangkahkan kaki ke IFI (Institut Francais d’Indonesie) Bandung pada malam tersebut, yaitu agar dapat menemukan dan menuliskan suara sendiri lewat Theoresia Rumthe yang hadir sebagai pemberi materi.
Theoresia Rumthe, dalam workshop "Temukan dan Tuliskan Sendiri Suaramu" di Bandung Readers Festival 2019
Sama seperti karya tulisnya, tutur bicaranya sangat indah. Mendengar ia berkata, sudah seperti melihatnya menuliskan puisi secara live. Ia menata kata dengan cermat, serta pandai menempatkan jeda sebelum mengakhiri kalimat. Terkadang, keheningan pada jedanya lah yang membuat ucapan yang ia lempar berikutnya menjadi bernyawa.

Saya cukup mengagumi soal rancangan arena yang disiapkan panitia Bandung Readers Festival untuk Theo. Kursi-kursi disusun memutar. Lalu sebuah meja dan kursi diletakkan di tengah-tengahnya untuk sang pembicara. Walaupun, baginya seluruh ruangan tersebut adalah panggungnya. Ia cukup aktif berjalan mendekat, dan berinteraksi dengan orang-orang yang menjadi audiensnya.
 
Suasana workshop "Temukan dan Tuliskan Sendiri Suaramu" di Bandung Readers Festival 2019
“Tempat Paling Liar di Muka Bumi” menjadi awal perkenalan saya dengan Theoresia Rumthe. Buku puisi yang ia tulis bersama Weslly Johannes ini cukup berhasil membawa imajinasi saya melayang ke berbagai adegan, serta sebuah tempat eksotis bernama Saumlaki. Saat bertemu dengannya kemarin, ia persis seperti yang digambarkan Weslly dalam puja-puji yang ia lontarkan dalam buku tersebut.

Theo tak datang dengan membawa tangan hampa kala itu. Ia membawa sebuah wadah berisikan batu, tanah, serta bunga yang ia pakai untuk menyampaikan materinya. Memang cukup aneh untuk sebuah workshop tentang literasi. Namun saya pun kemudian paham ketika dalam sebuah sesi, ia memainkan benda-benda tersebut, untuk memanggil ingatan personal kami semua, yang kemudian kami wujudkan masing-masing dalam bentuk tulisan.

Beberapa dari kami pun bergiliran menyampaikan hasil tulisan yang dibuat dalam waktu singkat. Termasuk saya, yang dari hasilnya masih terdengar seperti membaca lantang sebuah surat kabar. Beda halnya dengan kebanyakan kawan lain dari ruangan ini. Pilihan diksi mereka sangat menarik, beberapa di antaranya terdengar sangat berjiwa. Saya pun langsung teringat akan kawan saya Nurul dari Mbantul, yang sepertinya memiliki warna penulisan kata yang sama dengan orang-orang ini.

Seperti yang saya sampaikan di awal, Theo meminta saya untuk belajar lebih melambat, belajar untuk melihat ke dalam, menikmati setiap pertemuan, mengamati perlahan detil yang harusnya dapat menjadi hal yang lebih. Mulai dari aroma tubuh, hembusan nafas, hingga sepatu yang orang kenakan. Iya, kata-katanya ini memang menjadi hal yang menyadarkan. Karena entah sejak kapan, memainkan gawai menjadi sebuah jalan saya untuk menghindar dari sebuah interaksi yang mungkin sudah ditakutkan duluan akan menjadi menjemukan.


Bandung Reader Festival
4-8 September 2019
Di berbagai ruang literasi di Kota Bandung

0 komentar:

Posting Komentar