Menyoal “KKN di Desa Penari”, dan Realita Tradisi Adat Istiadat di Masyarakat


“Kaki seperti ingin lari dan melangkah masuk rumah,
tapi Nur semakin menggila, ia masih menari dengan senyuman ganjil di bibirnya.” 
Saat membaca paragraf dalam utas KKN di Desa Penari ini, ingatan saya langsung melambung ke cuplikan video mengenai Kesenian Tarawangsa yang direkam kawan di Komunitas Aleut saat berkunjung ke Desa Rancakalong, Sumedang, tahun lalu. Apalagi dalam kisah yang menjadi viral di twitter tersebut, diceritakan pula bahwa tarian Nur yang menggila itu diiringi oleh suara musik tradisional yang bersahut-sahutan, sama halnya dengan Tarawangsa. Bedanya, bila dalam cerita tersebut, Widya yang menjadi tokoh utama, menyaksikan tarian Nur yang diiringi oleh suara musik gamelan, sedangkan dalam Tarawangsa, ia diiringi oleh sebuah alat musik gesek yang bentuknya mungkin sedikit mirip dengan rebab. Nama kesenian ini sendiri diambil dari nama alat musik yang menjadi instrument utamanya, yakni Tarawangsa.
Pertunjukan Kesenian Tarawangsa di Kampung Adat Cigugur
Untuk latar tempat, tentunya lokasi cerita Desa Penari yang disebutkan terjadi di sebuah daerah di Timur Pulau Jawa ini, membentang cukup jauh dengan tempat asal Kesenian Tarawangsa yang populer di Jawa Barat. Apa yang akan saya ceritakan ini, tidak bermaksud untuk kemudian ikut mencoba menebak lokasinya, atau menyocoklogikan berbagai hal, hanya ingin berbagi beberapa pengalaman, serta sudut pandang.

Sebetulnya, di samping video Tarawangsa Rancakalong yang saya tonton, saya pun pernah langsung menyaksikan sendiri kesenian Tarawangsa pada saat Seren Taun di Kampung Adat Cigugur, Kuningan, tahun lalu. Masih dengan Komunitas Aleut juga. Namun, menurut testimoni kawan-kawan yang ikut sebelumnya ke Rancakalong, feel, dan nuansa yang ditimbulkan berbeda antara dua pertunjukan Tarawangsa tersebut berbeda. Katanya, musik yang dimainkan di Cigugur ini kurang greget. Suara gesekan senarnya tidak seliar yang di Rancakalong. Hal ini dapat terlihat dari beberapa wajah penari, yang lebih banyak tertangkap ekspresi lelah, dan bosan. Termasuk wajah kawan saya, Amanda, yang  berkesempatan ikut menari. Di wajahnya jelas tersirat kalimat, “duh, ini kapan selesainya sih.”

Selain Rancakalong, daerah lain yang masih melestarikan kesenian Tarawangsa ini adalah Tasikmalaya, dan Banjaran. Rupanya, saat malam 1 Muharram kemarin, kawan-kawan Komunitas Aleut kembali menyaksikan langsung kesenian Tarawangsa yang digelar di Kampung Gumuruh, Banjaran. Keesokan harinya, saya dikejutkan dengan video yang diunggah kawan Aleut, yakni Aip, di twiiter, yang menunjukkan dirinya ngibing dengan sangat lihai, dan sangat menjiwai. Saya cukup kenal Aip. Raut dan gerakannya ini jelas tak tampak seperti dirinya. Dalam tweet yang ia bubuhkan di video tersebut, ia pun mengakui kalau ia berada dalam kondisi trance. Saya pun kemudian bertanya kepadanya, tentang bagaimana rasanya pada saat itu. Ia menjawab, “siga eureup-eureup/sleep paralysis, setengah sadar, nggak bisa kontrol gerakan.” Ya, saya pun sepertinya bisa membayangkan rasanya. Sedangkan kawan saya lainnya, yakni Yasna, bertestimoni kalau rasanya setelah ngibing itu badan menjadi lelah, tapi perasaan menjadi ringan, dan bahagia.

Saya tidak tahu pasti tentang tarian apa yang diceritakan di “KKN di Desa Penari” ini, namun saat saya bertanya kepada teman yang berasal dari Jawa Timur, ia mengatakan kalau di Jawa Timur ada kesenian Tayub, dan Gandrung. Tapi bila melihat dari video dari dua kesenian tersebut, tampaknya Tayub, dan Gandrung ini betul-betul ditampilkan untuk kebutuhan hiburan masyarakat saja, tidak match dengan yang ada di dalam cerita. Beda halnya dengan Tarawangsa yang sepertinya memiliki aura tersendiri dalam setiap pertunjukannya. Coba saja tonton video dengan keyword ‘Tarawangsa’ di Youtube, dan nilai sendiri perbedaannya.

Walaupun terdengar creepy, sebetulnya Tarawangsa ini tak berhubungan dengan sesuatu yang berbau klenik, dan tak semenyeramkan kelihatannya. Hal ini diakui oleh seorang kawan saya yang menganut kepercayaan Sunda Wiwitan, yakni Putri Puspita. Putri yang rutin melakukan Tarawangsa untuk meditasi bersama komunitasnya ini menjelaskan bahwa sebetulnya pada saat Tarawangsa, penarinya itu mencoba melepaskan diri (ikhlas) untuk mengikuti irama. Mereka membiarkan geraknya mengikuti maunya badan. Karena memang tak ada gerakan ibingan khusus saat Tarawangsa. Saat ditanya soal orang-orang yang mengalami trance, ia pun menjawab kalau trance di sini bukan dalam artian “kesurupan” hantu, jin, atau makhluk halus lainnya. Trance dalam Tarawangsa ini ibarat seperti kita benar-benar melepaskan diri, dan enjoy dengan diri sendiri, seakan tak ada orang lain di sekitar. Gerak mengikuti badan, sambil menelaah ke dalam diri.

Di samping tariannya, hal lain dalam cerita “KKN di Desa Penari” yang cukup menarik perhatian saya adalah keberadaan Tipak Talas. Diceritakan bahwa Tipak Talas merupakan sebuah kawasan terlarang yang terdiri dari hutan belantara. Bagi saya sangat terdengar seperti Hutan Larangan yang banyak hadir  di banyak Kampung adat di Jawa Barat. Selama beberapa tahun ke belakang, saya memang sedang menyukai untuk tahu, dan belajar tentang kebudayaan di berbagai kampung adat. Cerita tentang hutan larangan ini pernah saya dengar saat bertandang ke Kampung Adat Cireundeu, dan Kampung Adat Cikondang. Bahkan saat ke Cikondang, saya pun sempat memasukinya. Tapi tentunya, dengan aturan dan adab setempat. Hutan larangan Cikondang pun sebetulnya hanya dilarang dimasuki pada hari-hari tertentu, serta dengan beberapa syarat, seperti melepas sandal, dan untuk perempuan tidak boleh masuk ketika sedang haid. Banyak hal menarik yang bisa dijumpai di dalam hutan larangan ini, salah satunya adalah keberadaan pohon melati berusia 350 tahun yang akar, serta dahannya menjulur ke pohon-pohon lain di sekelilingnya.



Menyoal tentang kebenaran cerita “KKN di Desa Penari”, wallahualam, tentu hanya tokoh-tokoh yang disebutkan di dalamnya yang paham. Namun, saya rasa semua yang membaca pun akan sepakat akan moral story-nya yang mengajarkan soal adab ketika bertandang ke tempat orang. Selain hal itu, di sini saya hanya mencoba untuk menceritakan sisi lain dari adat istiadat, dan tradisi budaya di masyarakat yang teringat kala membaca cerita tersebut.

Cerita seram, tak harus kemudian menjadi muram, tapi bisa dijadikan sebuah pengingat bahwa sebetulnya masih ada kuasa Tuhan.

Dari saya, yang dulu kuliah nggak ngalamin KKN, karena disuruh KKU oleh kampus.

0 komentar:

Posting Komentar