Filosofi Singkong Kampung Adat Cireundeu


“Teu boga sawah, asal boga pare, teu boga pare, asal boga beas, teu boga beas, asal bisa nyangu, teu nyangu, asal dahar, teu dahar, asal kuat.”
Hasil panen Kampung Adat Cireundeu yang dipertunjukan saat acara Tutup Taun

Sebuah tulisan berbahasa Sunda yang secara arti cukup menarik ini, terpampang jelas di sebuah bangunan mirip saung di Kampung Adat Cireundeu. Sementara di bawah tulisan tersebut, berbagai hasil kekayaan alam yang didominasi oleh singkong, tersusun rapi, bak tumpeng raksasa yang dibuat untuk sebuah perayaan. Saat itu, warga Cireundeu memang tengah bersukacita memperingati pergantian tahun Saka Sunda dalam upacara adat Tutup Taun yang memang sudah rutin diadakan.  

Bukan tanpa alasan singkong menjadi primadona yang terlihat menjadi santapan, serta hiasan pada acara Tutup Taun Kampung Adat Cireundeu. Kampung yang berada di kawasan administratif Cimahi ini memang dikenal karena kebiasaannya yang sudah mulai mengganti pilihan bahan baku makanannya dengan singkong, mulai dari nasi singkong, dendeng singkong, hingga cemilan seperti egg roll pun dibuat dengan bahan utama singkong. Hal ini pun menjelaskan mengenai tulisan yang tertera di bangunan tadi. Itulah filosofi yang dipegang erat oleh warga Kampung Adat Cireundeu ini. Mereka berpedoman bahwa manusia itu tidak boleh bergantung pada satu bahan makanan saja. Sehingga bila satu bahan sedang langka, mereka lantas tidak harus kelabakan.
Cemilan khas Kampung Adat Cireundeu yang terbuat dari bahan baku beras singkong.

Contoh yang sangat nyata terjadi pada krisis moneter tahun 1997 silam. Saat seluruh masyarakat Indonesia ribut mempersoalkan kenaikan harga beras, dan bahan pokok lainnya, yang diakibatkan oleh inflasi besar-besaran. Warga Kampung Adat Cireundeu sama sekali tidak terpengaruh akan hal tersebut. Selain bisa ditanam di kebun belakang rumah, biaya pengembangannya pun tergolong murah. Lalu bila ditinjau dari segi gizinya, singkong memiliki kandungan gizi lebih baik, karena komposisinya yang rendah gula. Satu bungkus Rasi (beras singkong) dengan berat mungkin sekitar 500gr (sudah agak lupa, karena terakhir beli 2017), bisa dibeli dengan harga Rp5.000 saja. Satu kemasan tersebut sudah dapat dibuat nasi sekitar satu dandang.

Saya pribadi sudah beberapa kali mampir ke Kampung Adat Cireundeu, terutama saat digelarnya acara Tutup Taun. Setidaknya saat saya menyengaja untuk membeli produk-produk olahan singkongnya yang unik, ada festival budaya yang bisa sekaligus saya saksikan. Karena di luar acara Tutup Tahun, kampung ini terlihat seperti pemukiman warga biasa saja. Sudah tidak tersisa bekas-bekas rumah adatnya. Walaupun begitu, guyubnya warga, serta sikap gotong royong dalam keseharian masih bisa terlihat. Hal ini sudah langka bila saya bercermin ke lingkungan yang saya temui sehari-hari.
Pengunjung membeli produk-produk makanan olahan singkong di Kampung Adat Cireundeu.
Seperti kampung adat lainnya yang pernah saya kunjungi, Cireundeu juga memiliki hutan larangan. Namun, seperti yang sudah saya jelaskan di beberapa artikel sebelumnya, hutan larangan ini bukan berarti benar-benar terlarang untuk masuk. Hanya saja, ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh pengunjungnya, seperti dilarang dimasuki oleh perempuan yang sedang haid, serta pengunjung harus pula melepaskan alas kaki. Ujung dari hutan tersebut adalah Puncak Salam yang memiliki pemandangan yang katanya tak kalah menawan dari tempat-tempat wisata di Lembang. Belakangan malah sudah ada penyedia open trip yang memasarkan perjalanan malam ke Puncak Salam ini. Sayangnya saya belum berkesempatan menjajalnya.

Baca juga: Bertandang ke Kampung Adat Cikondang
Agenda hiburan pada acara Tutup Taun di Kampung Adat Cireundeu
Di samping wisata ke Puncak Salam, Kampung Adat Cireundeu juga memang sudah serius disiapkan oleh Pemerintah Kota Cimahi sebagai tujuan wisata andalannya. Bahkan kini mereka sudah memiliki slogan “Visit Cireundeu” yang sekaligus dijadikan akun promosi pariwisatanya. Tapi, memang tak heran bila Cireundeu ini menjadi ujung tombak pariwisata di Cimahi. Karena berdasarkan perbincangan saya dengan Kang Tri, salah seorang pemuda kampung tersebut, setiap minggunya itu selalu ada saja mahasiswa yang datang dari berbagai daerah untuk mempelajari budaya Kampung Adat Cireundeu. Hal ini juga menandakan bahwa sebetulnya masih ada wisata atraktif yang tidak dibatasi dari penilaian sisi visualnya. Karena sesungguhnya, budaya pun merupakan elemen penting pariwisata. Itu yang kebanyakan orang lupa.

Kampung Adat Cireundeu
Jl. Saptadaya (masuk lewat Jl. Leuwigajah di sebelah Kerkof), Cimahi



0 komentar:

Posting Komentar