Karnaval Asia Afrika di (Mata) Bandung


“Geura eta mandina! Engke telat ieu teh lalajo pawaina,” begitu bunyi teriakan Ceu Odey tetangga sebelah yang saling bersahutan dengan gedoran pintu kamar mandi. Yaa..beginilah memang kondisi rumah tempat tinggal saya yang memungkinkan untuk saling berbagi dengar dengan tetangga. Selama beberapa minggu terakhir, event akbar Karnaval Asia Afrika yang digelar untuk memperingati Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 ini memang sangat mengundang antusias wisatawan maupun warga Bandung untuk berbondong-bondong hadir menyaksikan langsung. Inilah kondisi yang terjadi empat tahun lalu saat peringatan KAA ke-60 tahun.
Suasana Karnaval Asia Afrika tahun 2015
Lain dulu, lain sekarang. Suara antusiasme tersebut mulai memudar menjadi suara sumbang seperti “males”, “macet”, “bosen”, dan “rieut loba jelema”. Special untuk tahun Karnaval Asia Afrika 2019 ini, suaranya bertambah dengan ucapan “panas”. Entah apa yang dipikirkan penyelenggara, bisa-bisanya menggelar acara pawai yang dimulai pukul 10 siang, saat matahari sedang terik-teriknya. Hal ini pun tentu berdampak kepada para pehobi foto yang banyak mendapatkan gambar-gambar peserta karnaval berwajah gelap, dikarenakan cahaya matahari yang berada tepat di atas kepala menimbulkan bayangan pada muka. Saya sendiri hanya tahan sekitar 30 menit di lokasi acara.

Penyelenggaraan Karnaval Asia Afrika tahun 2015 memang menjadi penanda awal mula Bandung kemudian menjadi sebuah kota karnaval. Setidaknya dalam satu tahun, akan ada dua event karnaval yang kini sudah rutin diselenggarakan di Bandung, yakni Asia Africa Carnival, dan Bandung Light Festival. Bahkan pada tahun 2017, ada tiga karnaval. Agenda karnaval pada tahun tersebut ditambah dengan Karnaval Kemerdekaan Pesona Parahyangan yang memang diadakan bergilir setiap tahunnya, dan pada saat itu, Bandung mendapat giliran menjadi tuan rumah.
Karnaval Asia Afrika 2019
Acara karnaval seperti ini sebetulnya tentu tidak jelek, asalkan dikonsep dan dieksekusi dengan matang. Sedangkan untuk penyelenggaraan tahun ini, mohon maaf, selain pemilihan waktu yang salah, serta pengembangan konsep yang diam di tempat, rasanya Karnaval Asia Afrika kali ini dibuat hanya untuk menggugurkan kewajiban. Sangat terkesan “yang penting ada”. Bahkan saya sempat melihat sebuah postingan mengenai pembukaan pendaftaran untuk peserta karnaval baru disebarkan setelah lebaran, atau sekitar tiga minggu sebelum acara berlangsung.

By the way, untuk catatan, tulisan ini saya buat tanpa bermaksud menggeneralisasikan opini warga Bandung secara keseluruhan. Apa yang saya tulis ini murni berdasarkan perasaan, perbincangan, serta pengamatan secara pribadi sebagai seorang customer pariwisata. Pendapat ini mungkin akan terasa berbeda tentunya bila dilihat dari sudut pandang wisatawan yang memang tergolong jarang atau baru menginjakkan kakinya di Bandung.
Sedikit survey yang saya lakukan di instagram soal Festival Budaya Asia Afrika kepada kawan-kawan orang Bandung.
Memang tak mudah untuk mempertahankan, atau untuk terus meningkatkan kualitas dari standar yang sudah ada setiap tahunnya, karena pasti dibutuhkan waktu, tenaga, serta biaya yang harus dianggarkan. Namun tentunya, ada harapan agar event ini tak hanya dapat memenuhi kebutuhan rekreatif wisatawan luar Bandung, tapi juga dapat menjadi sesuatu yang dapat kembali menarik langkah Ceu Odey serta warga lainnya sebagai bagian dari stakeholder pariwisata untuk keluar rumah, dan ikut berbahagia.

Boleh setuju, boleh tidak.

0 komentar:

Posting Komentar