Rahmat Jabaril, Pejuang Kampung Kreatif Bandung


“Saya sekolah Cuma sampe Aliyah, selebihnya saya jadi mahasiswa tongkrongan. Datang ke ITB, Unpad, Unpar, ikut nongkrong, ngopi, diskusi aja,” begitu jawab pria bernama Rahmat Jabaril ini saat ditanya soal almamater kampusnya.


Kang Rahmat Jabaril, saat ditemui di kediamannya di Kampung Dago Pojok
Pertemuan pertama saya dengan Kang Rahmat ini sebetulnya sudah lewat dua tahun lalu. Saat itu saya mampir ke Kampung Kreatif Dago Pojok yang ia bangun, untuk diangkat sebagai materi artikel di sebuah media tempat saya bekerja dulu. Karena kesibukan pekerjaan, saya baru dapat menulis artikel khusus tentang beliau sekarang.

Perbincangan yang mungkin berlangsung hampir selama dua jam di ruangan kerjanya ini juga dihadiri oleh seorang jurnalis Republika yang sekarang saya sudah lupa namanya. Saat itu ia pun sedang bertugas untuk meliput Kampung Dago Pojok yang menjadi salah satu venue yang digunakan edisi pertama bulan Seni Bandung. Memang untuk segala bentuk urusan peliputan tentang kampung, semua tamu yang datang akan diarahkan untuk bertemu dengan Kang Rahmat. Tak sulit pula untuk mendapatkan informasi tentang beliau. Namanya tersebut merupakan kata kunci yang akan mengarahkan kita ke puluhan tautan artikel dan video yang menjelaskan tentang ia dan kampung ini.

Ruangan kerjanya ini tak begitu besar. Ia hanya mengambil sedikit tempat di ruang tamunya untuk dijadikan sebuah ruang yang penuh dengan benda-benda seni rupa yang menjadi passion hidupnya, serta beragam penghargaan yang bertuliskan namanya. Sambil bercerita dan sekali-sekali menyeruput kopi hitam yang diseduhnya, ia berhenti berbicara. Tatapan matanya menyiratkan bahwa ia ingat tentang sesuatu hal yang sangat penting. Dari sebuah kotak di meja kerjanya, ia mengeluarkan puluhan lembar lebih kertas-kertas yang warnanya sudah menguning. Di permukaan kertas itu terdapat berbagai gambar sketsa tangan yang disertai paragraf-paragraf tulisan. Mirip seperti tampilan sebuah blog, namun bedanya, seluruh kontennya dibuat menggunakan tangan.
Hasil gambaran tangan Kang Rahmat Jabaril saat demo 1998
Rupanya, walau tidak pernah tercatat sebagai mahasiswa, pria yang akrab disapa Kang Rahmat oleh para tetangganya ini merupakan salah seorang aktivis yang berangkat ke Jakarta untuk menurunkan Presiden Soeharto dari tahta kepresidenan pada tahun 1998. Nah, pengalaman yang dialaminya tersebut ia guratkan pada kertas-kertas yang ia kini simpan dengan baik. Ia gambarkan langsung ingatannya itu sebagai dokumentasi pribadi, karena selain memang senang menggambar, waktu kejadian bersejarah tersebut terjadi pengguna kamera masih sangatlah jarang.

Melalui jiwa seniman yang sudah melekat dalam dirinya, ia pun berhasil menghias Kampung Dago Pojok yang terhimpit gang sempit, menjadi sebuah ruang berkarya untuk banyak orang. Namun ia pun bercerita bahwa sebetulnya, kampung kreatif itu bukan hanya dinilai berdasarkan bagaimana kampung tersebut dihias menjadi berwarna dengan mural-mural yang indah, tapi juga soal bagaimana warga sekitarnya dapat terus berjuang untuk mengembangkannya. Ia sendiri mengaku bahwa awalnya dia bukan warga asli kampung ini. Ketika pertama kali mengusulkan pengembangan kampung Dago Pojok pada tahun 2003, idenya pun banyak diremehkan warga aslinya. Butuh sekitar 8 tahun hingga akhirnya kampung ini dapat diresmikan, dan layak untuk menerima kunjungan wisata.
Salah satu sudut Kampung Dago Pojok yang menjadi ruang eksibisi karya warganya.

Saya sendiri merasakan bagaimana keramahtamahan warga Kampung Dago Pojok dalam menyambut tamunya. Orang Bandung memang sudah terkenal karena someah, tapi mereka ini hospitality level-nya sangat berbeda. Attitude mereka hampir layaknya pegawai hotel atau tempat wisata dalam menyambut pengunjung. Mereka juga sempat bercerita bahwa kampung ini sudah banyak didatangi wisatawan mancanegara. Bahkan tak jarang wisatawan tersebut meminta izin untuk tinggal 1-2 bulan, sekadar untuk merasakan suasana kehidupan kampung. Di samping soal keramahan warganya, kampung ini pun sudah memiliki sanggar yang sudah menjadi penghasilan mereka sehari-hari, mulai dari kaos, patung, hingga wayang golek.

Di samping Dago Pojok, Kang Rahmat pun sebetulnya sudah mengembangkan 6 kampung kreatif lainnya di berbagai titik di Kota Bandung. Beberapa di antaranya sempat saya sadari juga keberadaannya. Namun sayangnya, memang tidak berkembang, atau bahkan tidak terawat. Ya, sebagai orang yang dikenal sebagai penggagas konsep kampung kreatif, Kang Rahmat pun mengatakan bahwa hal terpenting dari Kampung Kreatif itu bukan soal tempatnya, tapi soal bagaimana orang-orangnya dapat bergerak untuk memperjuangkannya.


0 komentar:

Posting Komentar